cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 14128004     EISSN : 25408240     DOI : -
Core Subject : Education,
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan yang memuat makalah tinjauan (review) fokus pada Penelitian dan kebijakan dengan ruang lingkup (scope) komoditas Tanaman Industri/perkebunan, antara lain : nilam, kelapa sawit, kakao, tembakau, kopi, karet, kapas, cengkeh, lada, tanaman obat, rempah, kelapa, palma, sagu, pinang, temu-temuan, aren, jarak pagar, jarak kepyar, dan tebu.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 17, No 2 (2018): Desember 2018" : 7 Documents clear
TEKNOLOGI PENYAMBUNGAN (GRAFTING) MENDUKUNG PENGEMBANGAN, PEREMAJAAN DAN REHABILITASI PERTANAMAN JAMBU METE / Grafting Technology for Support Extensification, Replanting, and Rehabilitation of Cashew Plantation Rudi Suryadi
Perspektif Vol 17, No 2 (2018): Desember 2018
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v17n2.2018.85-100

Abstract

Initially cashew cultivation was aimed at marginal land conservation. A tight spacing (3 m x 3 m) so that the crown can cover the ground as quickly as possible to prevent soil erosion during rain and deciduous cashew leaves will add soil organic matter. Therefore aspects of plant productivity have not been a concern. As the price of cashew nuts tends to increase every year. This can encourage farmers to try cashew crops more seriously. At present, cashew cultivation is not only an effort to conserve marginal land, but also as a source of income for farmers, especially in Eastern Indonesia (KTI). Until 2016, Indonesia's cashew area had reached 514,491 ha with production of 137,094 tons. However, the level of productivity is considered still low, namely 430 kg logs/ha/year, far below India and Nigeria in the range of 900-2,286 kg logs/ha/year. Some factors that cause low productivity of Indonesian cashew are (1) the quality of plant material used, (2) disruption of pests and diseases, (3) maintenance of plants, and (4) the number of old plants (> 30 years). For this reason, efforts need to be made to increase the productivity of cashew, by implementing grafting technology in the extensification, replanting and rehabilitation of cashew. Research related to the grafting has been done quite a lot and produced, both grafting in nurseries and directly on the field (top working). The production potential of 9 superior varieties released ranged from 5.97 - 37.44 kg logs/trees/year or an average of 16.70 kg logs/trees/year. If the extensification, replanting and rehabilitation activities apply the grafting technology using the stem from superior varieties, it will be able to increase the productivity of Indonesian cashew to 1,670 kg logs/ha/year or increase by 300% from current productivity. AbstrakAwalnya penanaman jambu mete bertujuan untuk konservasi lahan marjinal. Jarak tanam rapat (3 m x 3 m) agar tajuk dapat secepat mungkin menutup permukaan tanah untuk mencegah erosi permukaan tanah saat hujan dan daun jambu mete yang gugur akan menambah bahan organik tanah. Oleh sebab itu aspek produktivitas tanaman belum menjadi perhatian. Seiring perkembangan harga kacang mete cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut mampu mendorong petani untuk mengusahakan tanaman jambu mete lebih serius. Saat ini penanaman jambu mete tidak hanya sebagai usaha konservasi lahan marjinal, namun menjadi sumber pendapatan petani, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sampai 2016, luas areal mete Indonesia telah mencapai 514.491 ha dengan produksi 137.094 ton. Namun, tingkat produktivitas dianggap masih rendah yaitu 430 kg gelondong/ha/tahun, jauh dibawah India dan Nigeria pada kisaran 900-2.286 kg gelondong/ha/tahun. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas jambu mete Indonesia yaitu (1) mutu bahan tanaman yang digunakan, (2) gangguan hama dan penyakit, (3) pemeliharaan tanaman, dan (4) banyaknya tanaman tua (>30 tahun). Untuk itu perlu ditempuh upaya meningkatkan produktivitas jambu mete, dengan menerapkan teknologi penyambungan pada kegiatan pengembangan, peremajaan dan rehabilitasi pertanaman jambu mete. Penelitian terkait penyambungan sudah cukup banyak dilakukan dan dihasilkan, baik penyambungan di pembibitan maupun langsung di lapang (top working). Potensi produksi dari 9 varietas unggul yang dilepas berkisar antara 5,97- 37,44 kg gelondong/pohon/tahun atau rata-rata 16,70 kg gelondong/pohon/tahun. Apabila kegiatan pengembangan, peremajaan dan rehabilitasi menerapkan teknologi penyambungan menggunakan batang atas dari varietas unggul, akan mampu meningkatkan produktivitas jambu mete Indonesia menjadi 1.670 kg gelondong/ha/tahun atau meningkat 300 % dari produktivitas saat ini. 
STATUS KLON-KLON KARET SERI IRR HASIL KEGIATAN PEMULIAAN INDONESIA DAN ADOPSINYA DI PERKEBUNAN KARET INDONESIA The Status of IRR Series Rubber Clones from Indonesia Breeding Activity and Its Adoption in Indonesia Rubber Plantation Muhamad Rizqi Darojat; Sayurandi Sayurandi
Perspektif Vol 17, No 2 (2018): Desember 2018
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v17n2.2018.101-116

Abstract

Rubber breeding activities in Indonesia have occurred for 4 generations and result in increasing plant productivity. IRR (Indonesian Rubber Research) series clones are the fourth generation of rubber clones that its selection started in 1985. The clones have high potency in productivity (>2.500 kg/ha) and have fast growth rate so that the immature period of rubber plants can be shortened and the tapping activity can be done in less than 4-year-old plants. Moreover, IRR series clones also have moderate to resistant characteristic against leaf fall disease of Colletotrichum. The results of the multilocation test showed that IRR series clones have a wide range of adaptability and stability. However, The IRR series clones have rarely been adopted by smallholders in Indonesia. Due to lack of knowledge, smallholders mostly utilized seedlings as planting materials rather than trusting the IRR series clones. The role of advisors is the key factor in order to improve the adoption of IRR series clones in Indonesia. This attempt will certainly boost natural rubber production in Indonesian rubber plantation.ABSTRAKKegiatan pemuliaan dan seleksi tanaman karet di Indonesia telah berjalan selama 4 generasi (G-4) dan telah diperoleh kemajuan yang cukup pesat dalam hal peningkatan produktivitas tanaman. Klon Karet seri IRR (Indonesian Rubber Research) merupakan klon generasi ke-4 yang awal seleksinya dimulai pada tahun 1985. Selain memiliki potensi produktivitas tinggi (>2.500 kg/ha), keunggulan klon-klon seri IRR memiliki laju pertumbuhan tanaman cepat sehingga masa tanaman belum menghasilkan (TBM) lebih singkat dan tanaman dapat disadap pada umur ≤ 4 tahun. Klon-klon seri IRR memiliki tingkat resistensi tergolong moderat - resisten terhadap penyakit gugur daun Colletotrichum. Hasil pengujian multilokasi juga menunjukkan bahwa beberapa klon karet seri IRR memiliki daya adaptasi dan stabilitas  yang cukup baik di berbagai lokasi pengujian, sehingga klon-klon tersebut sangat potensial dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia yang memiliki agroklimat yang cukup luas. Namun, adopsi klon seri IRR oleh masyarakat karet Indonesia masih tergolong rendah. Sebagian petani karet masih menggunakan bahan tanam asal biji atau bibit asalan karena kurangnya pengetahuan dan kepercayaan terhadap klon-klon unggul yang telah beredar selama ini. Agar pemanfaatan klon-klon karet unggul seri IRR dapat berjalan lebih baik, maka peranan penyuluh dan pendamping perlu dioptimalkan kembali. Upaya tersebut tentunya akan berdampak positif tehadap perbaikan produktivitas perkebunan karet di Indonesia.
PROSPEK FERTIGASI UNTUK PENGELOLAAN HARA PADA BUDIDAYA LADA Prospect of Fertigation for Nutrient Management on Pepper Cultivation Joko Pitono
Perspektif Vol 17, No 2 (2018): Desember 2018
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v17n2.2018.117-128

Abstract

ABSTRACT Pepper is classified as nutrient demanding crop. In the field cultivation practices, 20-50% of the total cost of input production is for fertilizer provision. Therefore,  nutrient management is  the key to improve pepper cultivation efficiency in the field. Currently, fertilization practices in pepper cultivation in the field are lack of synchronization between  composition, dosage, frequency  and nutrient requirement. This lead to poor plant performance and much lesser production than its potential. Application of fertigation technology is enable to precisely adjust the composition and dosage of nutrients according to the physiological development of the plant, hence improving nutrient use efficiency.  Furthermore, it promotes maximum plant growth and yield. The results of previous studies indicated that the application of fertigation technology in horticultural plants induced nutrient use efficiency up to 25-40% compared to conventional fertilization approach, hence improving farmer’s income 10-15%. Even though fertigation is technically beneficial, its application in pepper cultivation in Indonesia has not yet developed. Several factors were alleged as the obstacles were lack of understanding of pepper farmers towards the superiority of fertigation technology, the technology  that are considered to be still expensive hence increasing  total cost, and the unavailability of alternative easy and cheap fertigation  technologies. The objective of this review was to describe the development of fertigation technology, its economic value and the perspective of its application in pepper cultivation.ABSTRAK Lada (Peper nigrum L.) tergolong tanaman pengkonsumsi hara tinggi. Sekitar 20-50% dari total pembiayaan input produksi lada adalah untuk penyediaan pupuk. Oleh karena itu, teknis pengelolaan hara menjadi faktor penentu yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan efisiensi budidaya lada. Praktek pemupukan lada secara konvensional umumnya masih bermasalah pada kurang sinkronnya komposisi, dosis, dan proporsi pemberian hara dengan kebutuhan tanaman lada, sehingga menyebabkan pertumbuhan dan produktivitas aktual jauh di bawah potensinya. Melalui aplikasi teknologi fertigasi memungkinkan untuk mengatur komposisi dan dosis hara secara tepat sesuai dengan perkembangan fisiologis tanaman, sehingga selain penggunaan hara menjadi lebih efisien, juga memberikan efek positif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman menjadi lebih maksimal. Beberapa hasil penelitian sebelumnya membuktikan bahwa penerapan teknologi fertigasi pada kelompok tanaman hortikultura dapat mengefisienkan penggunaan hara hingga 25-40% dibandingkan cara pemupukan konvensional, dengan disertai tambahan pendapatan pada kisaran 10-15%. Meskipun secara teknis fertigasi terbukti menguntungkan, namun penerapannya pada budidaya lada di Indonesia justru belum berkembang. Beberapa faktor disinyalir sebagai penyebab antara lain faktor kurang fahamnya petani lada terhadap keunggulan teknologi fertigasi, investasi pembiayaan yang dianggap masih mahal, dan belum tersedianya alternatif teknologi fertigasi yang mudah dan murah pembiayaannya. Tujuan penulisan review ini adalah menguraikan perkembangan teknologi fertigasi dan nilai keekonomian pada beberapa kasus implementasinya pada komoditas komersial lain, serta perspektif aplikasinya pada budidaya lada.
PENGOLAHAN TANAH DALAM PENYIAPAN LAHAN UNTUK TANAMAN KARET Soil Tillage in Land Clearing for Rubber Plantation Priyo Adi Nugroho
Perspektif Vol 17, No 2 (2018): Desember 2018
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v17n2.2018.129-138

Abstract

ABSTRAKUsaha agribisnis karet masih menjadi pilihan bagi banyak perusahaan perkebunan di Indonesia. Sebagai bagian dari kegiatan penyiapan lahan, pengolahan tanah menjadi salah satu kultur teknis yang cukup penting. Pengolahan tanah secara mekanis dengan tahapan Ripping, ploughing dan harrowing sudah sejak dulu dilaksanakan di banyak perkebunan besar di wilayah Sumatera. Harga komoditas karet yang cukup berfluktuatif dalam beberapa tahun terakhir, mengakibatkan banyak perusahaan tidak melakukan pengolahan tanah ketika melakukan tanaman ulang (replanting). Pengolahan tanah memiliki manfaat yang sangat besar dalam mendukung budidaya tanaman karet. Bulk density tanah yang diolah akan menurun sehingga tanah menjadi gembur dan memudahkan penetrasi akar tanaman karet, aerasi tanah menjadi lebih baik karena peningkatan nilai porositas. Selain proses pengerjaannya yang lebih cepat, pengolahan tanah secara mekanis dapat mempersingkat periode belum menghasilkan dan cukup efektif dalam memusnahkan sumber inokulan penyakit jamur akar putih (JAP). Pengolahan tanah yang terlalu berat berpotensi menimbulkan dampak negatif diantaranya laju dekomposisi bahan organik meningkat dan dalam jangka panjang tanah akan mengalami  penurunan kandungan bahan organik. Dekomposisi bahan organik akan melepaskan gas CO2 yang berbahaya bagi lingkungan. Larangan pembakaran dan biaya penyiapan lahan yang cukup besar telah menyebabkan beberapa perkebunan terutama Hutan Tanaman Industri memilih penyiapan lahan dengan tanpa olah tanah (TOT) atau zero tillage. Karena tidak terusik maka struktur tanah di areal TOT tidak mengalami kerusakan. Namun tingginya potensi gangguan hama dan penyakit terutama rayap dan JAP merupakan permasalahan serius yang harus segera diantisipasi. Upaya peningkatan keberhasilan penerapan TOT harus dilakukan secara komprehensif mulai dari pra penanaman maupun pasca penanaman karet di lapangan.  ABSTRACTRubber agribusiness is still reliable by many plantation companies in Indonesia. As a part of land preparation, tillage is very important and becoming a standard procedure on rubber cultivation. Tillage by machinery through ripping, plowing and harrowing has been established since many years ago in commercial rubber plantation in Sumatra. The rubber price that fluctuates in the last five years has led to many companies skip the tillage when do replanting. Tillage in rubber cultivation has enormous benefits. The Bulk density of soil after tillage will decrease and soil becoming loose, therefore the penetration of rubber’s root will be easier. In addition to effective in time, tillage by machinery is also effective enough for terminating the white root disease inoculum. However tillage by machinery takes the negative impact as well. Tillage will accelerate the organic matter decomposition and in the long term it will decline soil organic matter. Decomposition will release CO2 gas which is harmful to the environment. The prohibition of burning on land preparation process and the highly cost of land preparation has caused the planters, especially in Industrial Plantation Forest (HTI) introduce zero tillage (TOT). Because it was not disturbed, the soil structure in the TOT system will be better. Otherwise the high potential of pest and disease disorders, i.e. termites and white root disease becoming the serious problem. The efforts to increase the success of TOT implementation have to be carried out comprehensively both in pre-planting and post-planting.
PERBANYAKAN NILAM (Pogostemon cablin Benth) MENGGUNAKAN MEDIA DASAR ALTERNATIF SECARA IN VITRO In vitro multiplication of Patchouli uses alternative primary medium Amalia Amalia
Perspektif Vol 17, No 2 (2018): Desember 2018
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v17n2.2018.139-149

Abstract

Benih sangat menentukan dalam keberhasilan usahatani nilam. Perbanyakan benih secara konvensional vegetatif sangat mudah menularkan penyakit dan membutuhkan waktu yang relatif lama, seperti benih nilam yang diperbanyak selama ini dengan setek. Cara ini memiliki kendala, yang diharapkan dapat diatasi dengan teknik kultur jaringan. Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan kultur jaringan. Perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman nilam dengan metode kultur jaringan secara umum sudah dapat dilakukan tetapi untuk keberhasilannya sangat tergantung pada jenis media, terutama bila ditinjau dari sisi ekonomi. Karena aplikasi teknologi kultur jaringan untuk tanaman nilam masih dirasakan mahal. Tulisan ini mengulas tentang penggunaan media untuk menekan biaya media kultur jaringan yaitu dengan menggantikan media dasar MS (Murashige-Skoog), ZPT dan vitamin dengan media dasar alternatif dan air kelapa 10%. Air kelapa merupakan salah satu diantara beberapa persenyawaan kompleks alamiah yang sering digunakan dalam kultur jaringan. Sedangkan media dasar alternatif berupa pupuk daun dapat berfungsi sebagai penyedia unsur hara makro mikro  dengan komposisi  N:P:K (20:20:20). Hal ini untuk mengatasi permasalahan, agar media kultur jaringan menjadi relatif murah, dan harga jual benih lebih terjangkau. Air kelapa yang digunakan berasal dari kelapa hijau yang dicirikan dengan volume air masih memenuhi buah dan keadaan endosperm (daging kelapa) yang belum menebal.  Tetapi meski bahan alternatif ini sudah banyak digunakan untuk media pengganti kultur jaringan karena relatif mudah tersedia, murah, menghasilkan benih seragam dan sehat, ternyata belum dapat menunjukkan hasil yang setara dibandingkan dengan penggunaan media MS dalam perbanyakan tunas nilam secara kultur jaringan. Oleh karena itu berbagai penelitian  perbanyakan tanaman nilam dengan berbagai metode kultur jaringan agar menghasilkan benih yang murah, sehat, seragam dan dalam jumlah besar masih perlu terus diupayakan. ABSTRACT The quality of seeds are very  important in patchoulli cultivation. Cutting multiplication seeds are usually easy in transmitting diseases and relatively need a long time to grow. So far patchouli seeds  obtained conventionally with cutting has some constraints, hence tissue culture techniques becomes the solution once. The success of propagation and breeding of plants with tissue culture methods in patchouly is already conducted but is still expensive to be implemented. The paper review patchouli tissue culture propagation  by replacing basic media MS (murashige-skoog, Growth Regulating Substances (GRS) and vitamine with alternate  basic medium and 10% coconut water Coconut water is one of several natural complex compounds that are often used in tissue culture. The alternative medium as leaf fertilizer can serve as a micro and macro nutrient provider with composition N: P: K (20:20:20). Hopefully, It could become the solution to make tissue culture of patchoulli seeds cheaper and more available. Actually, eventhough the overall substitution of MS medium with full alternative media has already used in limited areas, it has not able yet  showing equal results with the use of basic medium MS media in tissue culture patchouli multiplication. Therefore, the researches on patchouli tissue culture should be continued to achieve the huge number, healthy, unity, and unexpensive seeds. 
DIVERSIFIKASI PRODUK BERBASIS TEH PADA INDUSTRI PANGAN, FARMASI, DAN KOSMETIK Diversification of Tea Based Products in the Food, Pharmaceutical and Cosmetic Industry Mukhammad Iqbal Prawira-Atmaja; Dadan Rohdiana
Perspektif Vol 17, No 2 (2018): Desember 2018
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v17n2.2018.150-165

Abstract

ABSTRAKTeh adalah minuman populer di dunia yang memiliki manfaat kesehatan. Selama periode 2006-2016 jumlah produksi dan konsumsi teh dunia meningkat signifikan. Intenational Tea Committee melaporkan bahwa jumlah produksi teh dunia di tahun 2016 mencapai 5,46 Juta Ton dengan jumlah konsumsi rata-rata mencapai 5,1 juta Ton. Namun, peningkatan produksi dan konsumsi teh tidak berbanding lurus dengan harga jual teh dipasaran. Rerata harga teh di rumah lelang berkisar US$ 2,6/kg.Indonesia merupakan negara produsen teh ke 7 dengan sumbangsih 3% dari total ekspor dunia. Tahun 2016 produksi teh Indonesia mencapai 125.000 Ton menurun 7% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan jumlah produksi teh tersebut salah satunya dikarenakan luas area tanaman teh dalam beberapa tahun terus mengalami penurunan dan banyak beralih fungsi menjadi tanaman hortikultura. Selain itu biaya produksi seperti upah buruh, pengelolaan lahan, dan utilitas yang terus meningkat berdampak terhadap semakin sedikit margin keuntungan yang diperoleh. Perkembangan dan terobosan teknologi dewasa ini telah banyak berperan di dalam mengembangkan keragaman produk berbasis teh. Diversifikasi produk berbasis teh mampu meningkatkan nilai tambah dan nilai jual produk tersebut. Keragaman produk berbasis teh telah banyak diaplikasikan dan dimanfaatkan pada industri pangan, industri farmasi, maupun industri kosmetik kecantikan. Meskipun begitu, kestabilan senyawa bioaktif teh seperti polifenol, katekin, theaflavin, dan senyawa bioaktif lainnya masih menjadi isu utama. Masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kestabilan senyawa bioaktif teh pada saat pengolahan, pengemasan dan penyimpanan, dan selama distribusi hingga ke tangan konsumen. Pemanfaatan bagian tanaman teh yang lain seperti biji dan bunga teh perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Pemanfaatan tersebut diharapkan bisa mendukung pohon industri teh dan mampu meningkatkan keragaman produk berbasis teh di masa mendatang. Review ini merangkumkan diversifikasi produk berbasis teh yang telah banyak dikomersialkan di pasaran dan memiliki nilai jual yang tinggi.ABSTRACTTea is a popular beverage in the world that have health benefits. Over the period 2006-2016 the amount of tea production and consumption in the world increased significantly. International Tea Committee reported that amount of world tea production in 2016 reached 5.46 million tons with total consumption reaching 5. 1 million tons. However, the increase in tea production and consumption is not directly proportional to the selling price of tea in the market. The average price of tea at the auction house is around US $ 2.6 / kg. Indonesia is the 7th tea producing country with a contribution of 3% of total world exports. In 2016 Indonesian tea production reached 125,000 tons, down 7% compared to the previous year. Decrease the amount of tea production due to a decline in the area of tea and many converted into horticultural crops. The condition is worsen by the increasing cost of processing production in the plantation and in the factory so that the profit margin obtained is very low. Recently developments and technological breakthroughs have much role in developing diversified tea products so as to increase the selling tea products. The diversity of tea-based products have been widely applied in the food industry, the pharmaceutical industry, as well as beauty cosmetic industries. Nevertheless, the stability of bioactive compounds such as tea polyphenols, catechins, theaflavins, and other bioactive compounds still a major issue. Further research is still needed to determine the stability of tea bioactive compounds during processing, packaging and storage, and during distribution to consumers. Utilization of other plant parts such as seed tea and flower tea needs to be done further research. The utilization is expected to support the tea industry tree and be able to increase the diversity of tea-based products in the future. This review we will summarize the diversification of tea-based products that have been widely commercialized on the market and have high selling points
PENINGKATAN PRODUKSI JAMBU METE NASIONAL MELALUI PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA BERBASIS EKOLOGI "Increasing national cashew production through improved ecology-based cultivation technology Rosman, Rosihan
Perspektif Vol 17, No 2 (2018): Desember 2018
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v17n2.2018.166-174

Abstract

ABSTRAK Jambu mete (Anacardium occidentale L.) telah berkembang luas di 24 provinsi di Indonesia. Namun pengembangannya belum diikuti dengan meningkatnya produktivitas tanaman. Rata-rata produktivitas jambu mete nasional adalah 432 kg/ha, sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas varietas unggul dapat mencapai lebih dari 1000 kg gelondong kering/ha. Produksi jambu mete Indonesia hanya memberikan kontribusi sebesar 2,86% dari produksi dunia yang berarti berpeluang untuk bersaing dengan negara lain, agar menjadi terbesar di dunia. Mengingat nilai ekonominya yang cukup tinggi, perlu adanya dorongan untuk meningkatkan produksi nasional dan bersaing dengan negara lain. Untuk itu, dalam mendukung pengembangan tanaman jambu mete di Indonesia diperlukan berbagai upaya, antara lain dengan meningkatkan produksi melalui perluasan wilayah pengembangan ke daerah-daerah yang sesuai persyaratan tumbuhnya dan meningkatkan produktivitas melalui dukungan  teknologi yang tepat dan  berbasis ekologi.  Lahan yang sesuai untuk jambu mete adalah ketinggian 1-500 m dpl, curah hujan 1300-2900 mm/tahun, bulan kering 4-5 bulan, drainase baik, pH 5,6-7,3, kedalaman air tanah >1,5 m. Teknologi yang tepat adalah teknologi spesifik lokasi, mulai dari kesesuaian lahan, varietas unggul, pemupukan hingga pola tanam. ABSTRACT Cashew (Anacardium occidentale L.) has grown widely in 24 provinces in Indonesia, but its development has not been followed by increasing crop productivity. Everage national of cashew productivity is still low (432 kg/ha), but result of varieties research show that the productivity of varieties in more than >1000 kg dried cashew nut/ha. Contribution of production cashew of Indonesia only 2,86 % in the world. Economy value of cashew is high. The oppotunity to compete with other contries is very possible, in order to become the biggest in the world. Considering its high economic value, there needs to be an encouragement to increase national production and compete with other countries. Therefore, in supporting the development of cashew in Indonesia, various efforts are needed, including increasing production through expantion of development areas, to areas that are in line with growing requirement and increasing productivity, through appropriate technology support and ecology-based.  Land suitable for cashew i.e. altitude 1-500 m above sea level, rain fall 1300-2900 mm/year, dry month 4-5 months, good drainage, pH 5,6-7,3, and ground water depth above 1,5 m. The right technology is location-specific technology, starting from land suitability, superior varieties, fertilization to cropping patterns.

Page 1 of 1 | Total Record : 7