cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Hubungan Internasional
ISSN : 18295088     EISSN : 25033883     DOI : -
Core Subject : Science, Education,
Jurnal Hubungan Internasional (JHI) is a biannual journal published by Department of International Relations, Faculty of Social and Political Science, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia collaborates with Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia(AIHII).
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 2 (2018)" : 10 Documents clear
Colorism, Mimicry, and Beauty Construction in Modern India Baiq Wardhani; Era Largis; Vinsensio Dugis
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62118

Abstract

Colorism adalah bentuk politik warna kulit. Mempertahankan warna berarti melestarikan politik diskriminasi. Di negara pasca-kolonial India, warna kulit menjadi simbol kekayaan dan kelas sosial. Praktik ini terkait dengan globalisasi dan kapitalisme, dan dilestarikan di dalam struktur sosial. Tulisan ini menjelaskan praktik diskriminasi dan penindasan pada wanita poskolonial India yang berdampak pada perubahan cara berpikir dan identifikasi diri terkait dengan warna kulit. Penulis berpendapat bahwa banyak wanita di negara poskolonial berasumsi bahwa warna kulit menentukan status sosial dengan menginternalisasi keyakinan bahwa orang kulit putih lebih disukai secara sosial. Sejalan dengan asumsi dalam studi poskolonial yang menempatkan masyarakat adat sebagai subyek perifer. Persoalan kompleks yang diciptakan selama era kolonial pada dasarnya tidak lenyap di era poskolonial. Salah satu konsekuensi dari mengubah identifikasi diri adalah munculnya pewarnaan kulit dalam bentuk pemutihan kulit, yang kemudian menjadi fenomena umum yang berkembang di negara-negara berpenduduk kulit berwarna yang memiliki sejarah kolonialisme Barat. Penggunaan pemutih kulit yang meluas oleh perempuan dan laki-laki di negara-negara berkulit berwarna adalah keberhasilan kapitalisme dalam mengeksploitasi kepercayaan diri yang rendah di antara orang-orang dari negara-negara kulit berwarna. Standar kecantikan Barat adalah bentuk kekerasan struktural dengan cara menghilangkan karakteristik budaya unik dengan mengubah gagasan bahwa putih adalah warna yang ideal. Colorism is a politics of skin color. Maintaining color is preserving the politics of discrimination. However, in the post-colonial country of India, skin color is a symbol of wealth and social class. This practice is related to globalization and capitalism, and is preserved in social structures. This paper explains the practices of discrimination and oppression in Indian postcolonial women that have an impact on changing ways of thinking and self-identification related to skin color. We argue that many women in the postcolonial state adopt the assumption that skin color determines social status by internalizing the belief that whites are socially preferred that justifies a key element in the post-colonial study on the observation of the process by which indigenous peoples are placed as peripheral subjects. The complex inferiority created during the colonial era basically does not disappear in the postcolonial era. One consequence of changing self-identification is the emergence of colorism in the form of skin bleaching, which then becomes a common phenomenon that develops in colored populated countries that have Western history. The widespread use of whitening skins by female and male in non-white skinned countries is the success of capitalism in exploiting poor self-confidence among the people of the colored nations. Western beauty standards are a form of structural violence since they have removed the unique cultural characteristics by changing the idea that white is the ideal color.
Playing with Words: The Securitization Construction of “Refugee” in ASEAN Politics Irawan Jati; Emily Sunderland
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62119

Abstract

ASEAN is playing with words among migrant, immigrants, asylum seekers, trafficked people and smuggled people terms to describe the enormous forced human movement from Myanmar. These terms are the representation of ASEAN’S securitization of humanitarian issues. It is unfortunate to see ASEAN unwillingness to entitle the term refugee where all of the necessary aspects are fulfilled. ASEAN has taken a very cautious political linguistic measure by evading the word “refugee” in their political dictionary. This article would like to examine the questions: why and how ASEAN securitized the refugee issue? And what are the political consequences for ASEAN if it keeps standing on its securitization policy? The discussion of this paper will be presented in Constructivist perspective approach. It argues that the construction of refugee in ASEAN is greatly influenced by its values that construct its collective security. In this respect, ASEAN is neglecting its role and identity as the defender of human rights in the region. Consequently, ASEAN’s refusal to comply with the international human rights regime will result in the organization in losing credibility and integrity. 
Securitizing e-Waste: Framing Environmental Issue as a Threat to Human Security Fajar Ajie Setiawan; Fitriana Putri Hapsari
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62115

Abstract

Isu limbah elektronik (e-waste), sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi elektronik dan sering melihat produk-produk elektronik dari sisi komersial yang terlepas dari siklus akhirnya, mendorong revolusi keberadaan limbah ini sebagai masalah global karena praktik pembuangan dan penggunaan ulang yang diterapkan seringkali tidak mengindahkan bahaya yang mungkin terjadi. Hal ini terutama menjadi perhatian di dunia bagian selatan karena adanya perspektif umum bahwa polusi dan limbah dipandang sebagai “harga” dari proses pembangunan, serta terkait juga dengan pandangan bahwa pengelolaan limbah elektronik adalah praktik yang mahal, sulit, dan tidak praktis serta asumsi bahwa lingkungan dan masyarakat dapat dipertahankan di masa depan, yang dengan demikian menunda upaya-upaya preventif. Kurangnya kesadaran akan permasalahan e-waste dari perhatian publik menimbulkan ancaman pada dimensi keamanan manusia. Artikel ini berargumen bahwa mencegah limbah elektronik menjadi isu keamanan utama dapat memberikan keuntungan dengan melakukan sekuritisasi masalah ini sebagai ancaman terhadap keamanan manusia. Tulisan ini akan dimulai dengan mengidentifikasi isu global tentang limbah elektronik dan bagaimana hal itu dapat membahayakan kesehatan dan keamanan manusia pada umumnya. Kerangka sekuritisasi kemudian akan diimplementasikan dengan menggunakan konsep komprehensif keamanan manusia dalam menjelaskan fenomena e-waste, karena dapat mengeksplorasi ranah normatif politik dan di sisi lain juga melakukan pendekatan dari berbagai sudut pandang, yang memungkinkan pemahaman dan solusi multidimensional. The issue of electronic waste (e-waste), as an effect of the rapid development of electronic technology and often view products from the commercial side regardless of its end-cycle, evolved its existence as a global problem because of the implemented disposal and reuse practices are often not heeding the dangers that may be resulted. This is especially a concern in the global south due to general perspective that pollution and waste is seen as the price of development, which also linked to the view that the management of electronic waste is a costly, difficult, and impractical practice as well as assumption that the environment and society can be maintained in the future. The omission of e-waste issue from public concern raises an impending threat to human security dimension. This paper argues that preventing e-waste from becoming a major security issue may benefit from securitizing the issue as a threat to human security. This paper will start by identifying the global issue of e-waste and how it can harm human’s health and security in general. Securitization framework will then be implemented using the comprehensive concept of human security in explaining the e-waste phenomenon since it explores the normative realm of politics while also a multi-faceted approach, enabling multidimensional understanding and solutions. 
Tata Kelola Remitansi Buruh Migran Indonesia oleh Pemangku Kepentingan di Tingkat Nasional dan Akar Rumput: Praktik Baik, Peluang dan Tantangan Elisabeth Adyiningtyas Satya Dewi; Sylvia Yazid
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62116

Abstract

This study is intended to provide general descriptions of the actors involved in the management of remittance sent by Indonesian migrant workers from their working abroad. Data was collected through interviewing 2 actors at the national level, a national NGO and a government institution, and 3 actors at the grassroot level, a local NGO, academic, and a community of women migrant workers. The interview is intended to identify the actors involved, their relative position and function within the remittance flow, bad practices that need to be avoided, and best practices that need to be replicated.  This study found that there are still needs for: safe and cheap remittance sending mechanism, remittance is still mainly used for consumption, there is a need for capacity building to assist Indonesian migrant workers to start their own business, and the strong influence of patriarchy culture in the management of remittance sent by women migrant workers. Kajian ini ditujukan untuk memberikan gambaran umum tentang aktor yang terlibat dalam pengelolaan aliran dana yang dikirimkan oleh buruh migran Indonesia sebagai hasil mereka bekerja di luar negeri. Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai 2 aktor di tingkat nasional, NGO nasional dan badan pemerintah, dan 3 aktor di tingkat akar rumput, NGO lokal, akademisi dan komunitas buruh migran perempuan. Wawancara ditujukan untuk mengetahui siapa aktor yang terlibat, posisi relatif mereka dan fungsi yang mereka jalankan dalam alur remitansi, praktik buruk yang perlu dihindari, dan praktik baik yang patut direplikasi. Penelitian ini menemukan masih diperlukannya mekanisme pengiriman remitansi yang aman dan murah, remitansi masih lebih digunakan untuk kebutuhan konsumsi, diperlukannya capacity building untuk membantu BMI memulai usaha, masih kentalnya budaya patriarki dalam pemanfaatan remitansi yang datang dari buruh migran perempuan.
Vladimir Putin dan Dekonstruksi Soft Power Rusia Mohamad dziqie aulia alfarauqi
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62113

Abstract

Vladimir Putin is a figure behind Russian intelligence after the collapse of the Soviet Union. Putin proved to be able to instill political and economic stability in the country and be able to stay on the peak of Russia's leadership for more than 15 years. One feature of Russia's foreign policy is the control of mass media and propaganda that gives Putin the power of public opinion. This condition is known as Russian soft power. This paper argues that Russia has made a deconstruction of its concept of soft power. Using the Postmodernism perspective, this paper seeks to see the deconstruction of soft power concept by Vladimir Putin. The conclusion of this research is in Putin's position of practicing the concept of soft power with a different style from the concept of soft power by Joseph Nye. He saw that the concept of soft power should be detached from the hegemony of United State and the west and must be in line with the national security of Russia so that it has implications for the policy against US hegemony
Haluan Baru Politik Luar Negeri Indonesia: Perbandingan Diplomasi ‘Middle Power’ Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo Rizky Alif Alvian; Ganesh Cintika Putri; Irfan Ardhani
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62112

Abstract

This article attempts to identify changes in Indonesia’s middle power diplomacy strategy under President Susilo Bambang Yudhoyono and Joko Widodo. This phenomenon is important to be studied because President Yudhoyono and President Widodo proposed different visions of Indonesia’s foreign policy, yet similarly perceived Indonesia’s position as a middle power country. Using border and maritime diplomacy as well as democracy, Islam, and human rights as case studies, this article argues that the strategy of Indonesia’s middle power diplomacy experienced a shift in orientation from—to use Krasner’s terminology—relational power to meta-power. While Indonesia under Yudhoyono previously attempted to gain benefits by following established rules, Indonesia under Widodo tried to pursue its interests by influencing, altering, or crafting rules in international politics.Artikel ini berupaya mengidentifikasi perubahan strategi diplomasi middle power Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Fenomena ini penting untuk dikaji karena Presiden Yudhoyono dan Joko Widodo mengajukan visi yang berbeda mengenai politik luar negeri Indonesia, tetapi sama-sama memaknai posisi Indonesia sebagai negara middle power. Dengan menggunakan isu diplomasi perbatasan dan maritim serta demokrasi, Islam, dan hak asasi manusia sebagai studi kasus, artikel ini berargumen bahwa strategi diplomasi middle power Indonesia mengalami pergeseran orientasi dari—meminjam terminologi Krasner—relational power menuju meta-power. Apabila Indonesia di bawah Yudhoyono sebelumnya berupaya meraih lebih banyak keuntungan dengan mengikuti aturan main yang mapan, Indonesia di bawah Widodo kini berusaha mencapai kepentingannya dengan cara mempengaruhi, mengubah, atau membangun aturan main dalam politik internasional.
ISIS Menuju Asia Tenggara: Ancaman dan Kerja Sama Keamanan Kawasan dalam Menghadapi Peningkatan Ekspansi ISIS Amin, Khoirul
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62117

Abstract

The Marawi war in early 2017 became the most explicit evidence of ISIS terrorist group existence in Southeast Asia. The region is predicted to be their new territory for expansion under the leadership of Abu Bakar Al-Baghdadi, even more after their lost at many territories in the Middle East. The Southeast Asia countries immediately generate preventive actions by strengthening the territorial security cooperation. This paper examines how Southeast Asia has great possibility to be the new destination for ISIS to invade and how the countries in Southeast Asia deal the threat. It is assumed that ISIS as part of global terrorism is trying to widen their expansion to Southeast Asia and how the countries in Southeast Asia rise up cooperation among them to prevent and resist from the ISIS expansion.  Pertempuran di Marawi pada awal tahun 2017 menjadi bukti paling jelas hadirnya ancaman kelompok teroris ISIS di kawasan Asia Tenggara. Asia Tenggara diprediksi menjadi tujuan baru bagi agenda perluasan wilayah kekhalifahan Negara Islam di bawah Abu Bakar Al-Baghdadi setelah mengalami banyak kekalahan dan kehilangan wilayah kekuasaan di Timur Tengah. Negara-negara di Asia Tenggara segera mengambil langkah atraktif dengan meningkatkan kerja sama keamanan kawasan sebagai upaya sekuritisasi. Tulisan ini mengkaji bagaimana kawasan Asia Tenggara berpotensi besar menjadi tujuan baru bagi ISIS untuk kembali membangun kekuatan dan bagaimana upaya negara-negara di Asia Tenggara menghadapi ancaman tersebut. Tulisan ini berpendapat bahwa ISIS sebagai bagian dari terorisme global sedang berusaha memperluas pengaruhnya ke Asia Tenggara dan peningkatan kerja sama keamanan kawasan yang dilakukan negara-negara di Asia Tenggara, dapat dipahami sebagai bentuk upaya menghadapi ekspansi ISIS di kawasan.
Latar Belakang Peran Aktif Jepang di Anti-Piracy Asia Tenggara dalam Perspektif Konstruktivisme Mayora Bunga Swastika
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62114

Abstract

This article explains the identity of Japan that influences Japan's active role in Southeast Asia anti-piracy. Japan has been making efforts to fight against piracy in the Southeast Asia waters, such as dialogue partnerships, capacity building, and joint exercises with Southeast Asian countries. Japan also initiated the establishment of the Regional Cooperation Agreement to Combat Hijacking and Armed Robbery against Ships (ReCAAP). This evokes a question, why does Japan as an East Asia country join and make efforts to combat piracy in Southeast Asia? The purpose of this article is to understand the reasons behind state efforts about an issue in other regions. Identity theory used in this article to analyze the reasons for Japan’s active role in Southeast Asia anti-piracy. This article uses literature study by collecting related data, such as Japan’s role in Southeast Asia anti-piracy. This article shows that Japan's identity as a maritime country is influencing Japan’s behavior to participate actively in Southeast Asia anti-piracy cooperation.  Artikel ini menjelaskan tentang identitas Jepang yang mempengaruhi peran aktif Jepang dalam upaya anti-piracy di wilayah Asia Tenggara. Jepang telah melakukan upaya untuk menangani perompakan yang terjadi di wilayah laut Asia Tenggara. Upaya yang dilakukan Jepang seperti dialog-dialog, capacity building, latihan bersama dengan negara-negara Asia Tenggara. Jepang juga menginisiasi pembentukan Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships (ReCAAP). Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa Jepang sebagai negara di Asia Timur ikut menangani perompakan di wilayah Asia Tenggara? Tujuan dari artikel ini adalah untuk memahami alasan negara melakukan upaya-upaya menangani suatu isu di kawasan lain dan memahami kepentingan negara dalam suatu kerja sama. Teori identitas digunakan untuk menganalisis alasan Jepang berperan aktif menangani perompakan di Asia Tenggara. Artikel ini menggunakan studi pustaka dengan mengumpulkan data-data yang terkait dengan peran yang telah dilakukan oleh Jepang di kawasan Asia Tenggara untuk menangani perompakan. Pada akhirnya, artikel ini menunjukkan bahwa identitas Jepang sebagai negara maritim mempengaruhi perilaku Jepang ikut berperan aktif dalam menangani perompakan di wilayah Asia Tenggara. 
The Critical Role of G-20 in Dealing with the 2008 Global Financial Crisis Taufik Taufik; Ade Priangani; Gede Endy Kumara Gupta
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62111

Abstract

Strategi G-20 dalam mengatasi krisis keuangan telah dinyatakan pada kesepakatan KTT G-20 2008-2009 dengan adanya tiga pertemuan selama periode tersebut berlangsung (Washington, London dan Pittsburgh). Bersama dengan beberapa lembaga termasuk IMF, WB, FSB, OECD dan MDB, G-20 mampu menangani krisis tersebut baik di tingkat nasional maupun internasional. Pada saat yang bersamaan G-20 pun mampu mempertahankan koordinasi berdasarkan lima prinsip yang disepakati dalam KTT 2008 di Washington. Tulisan ini berfokus pada kontribusi G-20 sebagai alat koordinasi sekaligus aktor langsung dalam manajemen krisis, serta menyoroti peran negara-negara anggotanya. Deskripsi masalah ini akan dibagi menjadi empat bagian. Pertama, pandangan singkat tentang tujuan pembentukan G-20 dan penyebab krisis sebagai latar belakang tulisan ini; Kedua, kontribusi G-20 untuk penyelesaian krisis keuangan global; Ketiga, deskripsi hasil dari tiga kesepakatan G-20 (komunike) pada tahun 2008-2009 sebagai dasar dari strategi penanganan krisis keuangan global untuk G-20 dan lembaga internasional terkait; dan Keempat merupakan bagian analisis strategi G-20 yang kemudian menghasilkan prinsip-prinsip dasar manajemen krisis pada masalah yang diajukan dalam penelitian ini.The G-20 strategy in overcoming the financial crisis has been declared on the agreement of 2008-2009 G-20 Summit with three meetings over that period (Washington, London and Pittsburgh). In handling the crisis, the G-20 was in collaboration with several institutions including the IMF, WB, FSB, OECD and MDB. G-20 was able to make good efforts both nationally and internationally while maintaining coordination based on five principles agreed in 2008 Summit in Washington. This paper focuses on the contribution of the G-20, both as a coordinating tool, as a direct actor on crisis management, as well as the role of member countries. The description of these issues will be divided into four sections, First, a brief look at the purpose of the G-20's establishment and the causes of the crisis as the background of this paper; Second, the G-20's contribution to the settlement of the global financial crisis; Third, a description of three outcomes of the G-20 (communiqués) agreement in 2008-2009 as the foundation of the global financial crisis handling strategy for both G-20 and related international institutions; and Fourth, the analytical part of the G-20 strategy which then produced the basic principles of crisis management on the problems in this study.
Pengelolaan Perbatasan dan Hubungan Antaretnis di Bengkayang Cahyo Pamungkas
Jurnal Hubungan Internasional Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/hi.62110

Abstract

This article aims to describe the cultural dimension in the management of territorial border between Indonesia and Malaysia in Bengkayang. To explain the cultural approach, this article shed a light on the history of the border between Indonesia and Malaysia, problems of socio-cultural appeared in the border, and border management approach accommodating to the interests of cultural communities. This article is resulted from a field research in Bengkayang, West Kalimantan in 2015. Findings of this study conclude that the political approach in viewing border issue is not in accordance with the dynamics of inter-ethnic relations. The cultural dimension is often forgotten in the political analysis of border management due to the state border, in the conventional approach, is seen as a political borderline.Tulisan ini merupakan suatu deskripsi mengenai dimensi sosial-kebudayaan dalam pengelolaan perbatasan darat RI-Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat. Pertanyaan yang ingin dijawab oleh kajian ini adalah (i) bagaimanakah sejarah pembentukan perbatasan di Kalimantan Barat? (ii) Bagaimanakah persoalan relasi antaretnik di daerah tersebut? Dan (iii) Bagaimana relasi antaretnik tersebut dipengaruhi oleh konflik pada masa lalu? Untuk menjelaskan pendekatan kebudayaan dalam melihat perbatasan, akan diuraikan perubahan perspektif perbatasan, sejarah pembentukan perbatasan, persoalan-persoalan sosial-budaya yang muncul di kawasan perbatasan, dan pendekatan pengelolaan perbatasan yang akomodatif terhadap kepentingan masyarakat perbatasan. Persoalan utama dalam kajian perbatasan adalah masih kuatnya pendekatan keamanan negara dalam pengelolaan perbatasan dan masih diabaikannya realitas kehidupan masyarakat perbatasan yang bersifat kompleks dalam pengelolaan perbatasan. Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat pada tahun 2015. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan politik keamanan yang digunakan dalam melihat persoalan perbatasan kurang sesuai dengan dinamika hubungan antaretnis masyarakat perbatasan yang longgar. Dimensi kebudayaan seringkali dilupakan dalam analisis politik pengelolaan perbatasan karena perbatasan negara, dalam pendekatan konvensional, dipandang sebagai garis perbatasan politik.

Page 1 of 1 | Total Record : 10