cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
JURISDICTIE Jurnal Hukum dan Syariah
ISSN : 20867549     EISSN : 25283383     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurisdictie (print ISSN 2086-7549, online ISSN 2528-3383) is peer-reviewed national journal published biannually by the Law of Bisnis Syariah Program, State Islamic University (UIN) of Maulana Malik Ibrahim Malang. The journal puts emphasis on aspects related to economics and business law which are integrated to Islamic Law in an Indonesian context and globalisation context. The languages used in this journal are Indonesia, English and Arabic.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 12, No 1 (2021): Jurisdictie" : 7 Documents clear
COMPARATIVE STUDY ON THE REGULATION OF SHARIA FINANCIAL TECHNOLOGY IN INDONESIA AND MALAYSIA Susilawati, Cucu; Sulaiman, Ahmad Azam; Abduh, Muhamad; Prasetyo, Yoyok; Athoillah, Mohamad Anton
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 12, No 1 (2021): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v12i1.12213

Abstract

Financial technology is a part of digital ecosystem which development is rapid and massive, so does the sharia fintech. However, conventional and sharia fintech are two different systems and should have each regulation. The problem is if sharia fintech regulations in Indonesia is appropriate. Then what about Malaysia which are considered successful in developing the sharia fintech. This study compares sharia fintech regulations in Indonesia and Malaysia. The aim is to find out the readiness of Indonesia and Malaysia in supporting the sharia fintech trend realized in the regulations. This is a qualitative research using books and academic articles as an addition to the literature and regulations as the analytical method. The results indicate that Indonesia and Malaysia try to accommodate sharia fintech regulations. Indonesia still uses The Financial Services Authority Regulation (POJK) and Bank Indonesia regulations, both of which do not meet the sharia principles. Meanwhile, Malaysia uses the 2013 Islamic Financial Services Act (IFSA), a law to regulate sharia compliance of the Islamic financial services sector, including the Sharia Fintech. In addition, Malaysia also has a Sharia Advisory Council as a supervisor for the Islamic financial services implementations. Malaysia’s and Indonesia’s regulations have yet answered the sharia fintech developments. Financial technology merupakan bagian dari ekosistem digital yang perkembangannya sangat pesat dan masif, tak terkecuali fintech syariah. Namun, fintech konvensional dan syariah adalah dua sistem yang berbeda dan seharusnya memiliki peraturan yang berbeda pula. Permasalahannya apakah regulasi fintech syariah di Indonesia sudah tepat apa belum, lalu bagaimana dengan regulasi di Malaysia yang dianggap berhasil mengembangkan fintech syariah. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauhmana kesiapan Indonesia dan Malaysia dalam mendukung trend fintech syariah dalam regulasi. Penelitian kualitatif ini menggunakan buku dan artikel akademis sebagai tambahan literatur dan peraturan sebagai metode analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia dan Malaysia sama-sama berusaha mengakomodasi regulasi. Indonesia masih menggunakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia, dan belum memenuhi prinsip syariah. Malaysia menggunakan Islamic Financial Services Act (IFSA) 2013, sebuah Undang-Undang yang mengatur kepatuhan syariah dari sektor jasa keuangan Islam. Malaysia juga memiliki Dewan Pertimbangan Syariah sebagai pengawas pelaksanaan jasa keuangan Islam. Regulasi yang dimiliki oleh Malaysia dan Indonesia belum menjawab perkembangan fintech syariah.
THE ACTUALIZATION OF ECONOMIC FIQH IN EMPOWERING THE SMALL TRADERS TO CHALLENGE ASEAN ECONOMIC COMMUNITY Khasanah, Umrotul
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 12, No 1 (2021): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v12i1.12167

Abstract

The small traders in traditional markets have become a unique phenomenon. In actualizing the Fiqh of Economy, they should be empowered. However, in socio-economic facts, small traders often face difficulties in obtaining fund assistance from formal financial institutions. This qualitative study reveals the role of the Economic Fiqh actualization in empowering small traders in the era of ASEAN Economic Community (AEC). They still face the classic problem i.e. limited access to capital. The credit distribution from conventional financial institutions should have been accessible for small traders to increase capital. However, in fact, it is not that easy due to lack of collateral and less elastic administrative management. Interestingly, amid the unfortunate situation, Sharia Microfinance Institutions (SMI) provide capital access for small traders. SMI transforms the existing system by providing easy access without collateral and elastic administration. Since 2015, Indonesia has entered the AEC committed to realizing economic equality in the ASEAN region by prioritizing the Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) sector. With easy access to capital, it will encourage people’s welfare and increase the economic growth of the community.Keberadaan pedagang kecil di dalam pasar tradisional menjadi fenomena unik. Secara aktualisasi fiqih ekonomi pedagang kecil mestinya harus diberdayakan. Namun, dalam fakta sosial-ekonomi, pedagang kecil kerap kali kesulitan mendapatkan bantuan modal dari lembaga keuangan formal. Penelitian kualitatif ini, mengungkapkan peran aktualisasi fiqih ekonomi dalam pemberdayaan ekonomi pedagang kecil di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pedagang kecil masih menghadapi masalah klasik yaitu keterbatasan akses permodalan. Penyaluran kredit dari lembaga keuangan konvensional, yang mestinya dapat diakses pedagang kecil untuk menambah modal, namun tak bisa diakses karena ketiadaan agunan dan pengelolaan administrasi yang kurang elastis. Menariknya, di tengah persoalan yang menghimpit para pedagang kecil, Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) memberi akses pedagang kecil untuk mendapatkan modal. LKMS mentransformasi sistem yang ada, yaitu dengan memberikan kemudahan akses tanpa jaminan dan administrasi yang elastis. Sejak 2015, Indonesia telah memasuki MEA yang berkomitmen untuk mewujudkan pemerataan ekonomi di kawasan regional ASEAN dengan mengutamakan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Dengan akses permodalan yang mudah akan mendorong kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
THE PATTERN OF ABSORPTION OF ISLAMIC LAW INTO NATIONAL LAW: Study of The Halal Product Guarantee Law in The Perspective of Maqashid Shari’ah Rohmah, Siti
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 12, No 1 (2021): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v12i1.10521

Abstract

The transformation of Islamic Law into the Halal Product Guarantee or Jaminan Produk Halal (JPH) Law is unique. Muslim minorities in Indonesia worry that the JPH Law is no longer voluntary but mandatory. The state acts as a regulator and an operator at the same time. This is because the JPH Law is derived from Islamic law but is intended for both Muslim and non-Muslim producers, in national and international context. This research aims to analyze the pattern of absorption of Islamic law in the jurisprudence provisions of halal products into the JPH Law and to review it from the perspective of maqashid shari’ah. This is a normative juridical research with a qualitative approach. The results indicate that 1) there are two patterns of absorption. On one hand, its existence reflects the pattern of Islamization of national law. On the other hand, it reflects the pattern of nationalization of Islamic law; 2) in the perspective of maqashid shari’ah a) the pattern of Islamization of JPH into National law is an expression of preserving religion (hifdz al-din) and the realization of hifdzu al-’aql; b) the pattern of nationalization of Islamic law in the JPH Law is deemed appropriate, if it is related to the philosophical values contained in the pattern of absorption of Islamic law. This is because the nationalization of Islamic law is a pattern that emphasizes the absorption of Islamic legal values that are compatible with Indonesian culture. Transformasi Hukum Islam ke dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal memiliki keunikan tersendiri. Ada kekhawatiran bagi minoritas muslim di Indonesia jika aturan tersebut diberlakukan secara mandatory, tidak lagi voluntary. Negara bukan hanya berposisi sebagai regulator akan tetapi pada waktu yang bersamaan Negara juga berperan sebagai operator. Hal ini karena UU JPH yang bersumber dari hukum Islam namun diperuntukkan untuk semua produsen baik muslim maupun non muslim, baik dalam konteks nasional maupun internasional. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pola penyerapan hukum Islam yang ada dalam ketentuan fikih produk halal ke dalam UU JPH, serta meninjaunya dalam perspektif maqashid syari’ah. Metode penelitian adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola penyerapan hukum Islam ke dalam UU JPH memiliki dua pola, yaitu pola islamisasi hukum nasional dan juga mencerminkan pola nasionalisasi hukum Islam. Kajian dalam perspektif maqashid syari’ah, pola Islamisasi Jaminan Produk Halal ke dalam hukum Nasional merupakan ekspresi untuk menjaga kelestarian agama (hifdz al-din) dan terwujudnya hifdzu al-‘aql. Pola nasionalisasi hukum Islam dalam UU JPH dirasa tepat, jika dikaitkan dengan nilai-nilai filosofis dalam pola penyerapan hukum Islam yang menekankan pada penyerapan nilai-nilai hukum Islam yang kompatibel dengan kultur keindonesiaan.
THE EXISTENCE OF CRIMINAL SANCTION IN INSIDER TRADING IN THE ACT NUMBER 8 OF 1995 CONCERNING CAPITAL MARKET AFTER THE FINANCIAL SERVICES AUTHORITY REGULATION NUMBER 36/POJK.04/2018 Fatimah, Wahyu Nur
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 12, No 1 (2021): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v12i1.12254

Abstract

This article is written because of the existence of the Securities Exchange Act (UUPM) No. 8 of 1995 concerning criminal sanctions for perpetrators of insider trading crimes. Furthermore, The Financial Services Authority (OJK) issued the OJK Regulation No. 36/POJK.04/2018 ruling sanctions against the insider trading criminals following Una Via principles i.e. the selection between criminal and administrative sanctions. To date, the insider trading criminals have been given only administrative one. UUPM states clearly that such perpetrator is included in crimes, not violation, so they should be given criminal sanction. The article aims to describe the position of criminal sanction toward insider trading criminals after the implementation of the OJK Regulation No. 36/POJK.04/2018 concerning Procedures for Audit in the Capital Market Sector. The author uses normative juridical method in reviewing the legislation by using articles, books, and other literatures related to the problem. The results reveal that the OJK prioritizes administrative sanction and has the criminal sanction as the last option in penalizing the insider trading criminals. Such criminal is forbidden in Islam because they cheat other capitalists.Penulisan artikel ini dilatarbelakangi adanya Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 memuat sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana insider trading, dan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan baru yakni Peraturan OJK No. 36/POJK.04/2018 mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana insider trading menganut prinsip Una Via yakni prinsip pemilihan antara sanksi pidana dan sanksi administrative. Implementasi peraturan selama ini tindak pidana insider trading hanya dikenakan sanksi administratif. Didalam Undang-Undang Pasar Modal telah dinyatakan bahwa tindak pidana insider trading masuk dalam kategori kejahatan dan bukan pelanggaran, sehingga sanksi yang dikenakan adalah sanksi pidana. Artikel ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana kedudukan sanksi pidana pada tindak pidana Insider Trading pasca berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 36/POJK.04/2018 Tentang Tata Cara Pemeriksaan di Sektor Pasar Modal. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif yakni mengkaji peraturan perundang-undangan yang juga dibantu dengan artikel, buku, dan literatur lain yang berkaitan dengan permasalahan pada tulisan ini. Hasil kajian menunjukkan bahwa untuk kedudukan sanksi pidana sendiri OJK lebih mengedepankan sanksi administrative dan menempatkan sanksi pidana sebagai pilihan terakhir dalam pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana insider trading. Tindak pidana insider trading dalam hukum Islam dilarang karena terdapat unsur mencurangi para pemodal lain.
BAITUL MAL IN SAMBAS IN THE COLONIAL PERIOD: The History of Establishment And Management Sunandar, Sunandar; Posha, Beti Yanuri; Lamazi, Lamazi; Yusnita, Henny
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 12, No 1 (2021): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v12i1.10942

Abstract

Baitul Mal management in the Sultanate of Sambas started from the establishment of Ulama’s official institution, so the state could supervise the religious issues. Through the Maharaja Imam, Muslim affairs were handled. The permanent management improvement of Baitul Mal in the Sultanate of Sambas was started in 1944, through Ulama’s discussion in the Sambas Kingdom consisting of Imam, Khatib, and Penghulu. They formulated 37 articles concerning the cost of marriage, divorce, reconciliation, alms (zakat māl, and zakat fitrah), procedures for withdrawal, distribution, and the eligible recipients of funds. The Baitul Mal founding was interfered by a fundamental problem, caused by political issues within Sambas society. Those issues included Japan’s defeat in 1945, the NICA arrival followed by the Dutch expulsion in 1949, and the PGRS-PARAKU incidents until 1965. Since the early days, Baitul Mal management in Sambas has found its form and can move social life through the funds distribution, one of which is to support the schools in Sambas. Baitul Mal in Sambas is currently in crisis due to the existence of new zakat institutions both semi-government and private such as Badan Amil Zakat (BAZ). Therefore, they really need to have the people-oriented management.Pengelolaan Baitul Mal di wilayah Kesultanan Sambas dimulai dari pembentukan lembaga resmi ulama, sehingga pengurusan masalah keagamaan ditangani oleh negara. Melalui Maharaja Imam, urusan Muslim ditangani. Perbaikan pengelolaan Baitul Mal secara permanen di Kesultanan Sambas dimulai pada tahun 1944, melalui musyawarah yang dihadiri oleh para ulama di Kerajaan Sambas yang terdiri dari Imam, Khatib dan Penghulu. Dalam rapat tersebut dirumuskan 37 pasal tentang masalah biaya perkawinan, perceraian, rukun, sedekah (zakat mal dan zakat fitrah), tata cara penarikan, penyaluran /distribusi dana dan orang-orang yang berhak menerimanya. Pembentukan Baitul Mal mengalami masalah yang mendasar, yang diakibatkan oleh masalah politik yang dihadapi oleh masyarakat Sambas, mulai dari kekalahan Jepang kepada Sekutu pada tahun 1945, yang diikuti kedatangan NICA hingga pengusiran Belanda pada tahun 1949, peristiwa PGRS-PARAKU hingga tahun 1965. Manajemen Baitul Mal di Sambas sejak masa awal telah menemukan bentuknya dan mampu menggerakkan kehidupan sosial melalui distribusi dananya, salah satunya adalah menopang sekolah/madrasah yang terdapat di Sambas. Dalam carut marut pengelolaan Baitul Mal di Sambas saat ini yang ditandai dengan munculnya beragam lembaga dengan label Badan Amil Zakat (BAZ), semi pemerintah maupun swasta maka sangat dibutuhkan pengelolaan yang beorientasi pada kepentingan umat.
THE LEGAL PROTECTION FOR DEBTORS IN THE EXECUTION OF MORTGAGE AT THE SEMARANG STATE ASSETS AND AUCTION SERVICE OFFICE Ningsih, Ayup Suran
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 12, No 1 (2021): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v12i1.12112

Abstract

One of the goals of national development in the field of economics and law is to create a just and prosperous society in accordance with Pancasila and the 1945 Constitution. One of the legal actions taken by the community for the smooth running of its business activities is to make loans or credit to financial institutions. The loan is accompanied by the provision of Mortgage on the collateral object. In the process of lending and borrowing activities from creditors to debtors, problems or defaults can occur in the future, making it possible for an auction process to be carried out. The purpose of this article is to find out and analyze the auction process by State Assets And Auction Service Office (KPKNL) in Semarang City based on Regulation of The Minister of Finance of The Republic of Indonesia (PMK) No. 213/PMK.06/2020 and to see whether the process is in line with the Indonesia Mortgage Rights Law and how the protection provided for the default debtor is. The writing method used by the author is an empirical juridical approach. The empirical juridical approach is to identify and conceptualize law as a real and functional social institution in a real-life system. The mortgage auction process done by the KPKNL Semarang based on the above regulations is appropriate and protects the debtor’s rights properly.Salah satu tujuan pembangunan nasional dibidang ekonomi dan hukum adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat demi kelancaran kegiatan usahanya adalah dengan melakukan pinjaman atau kredit ke lembaga keuangan. Pinjaman tersebut disertai dengan pemberian Hak Tanggungan atas benda jaminannya. Dalam prosesnya kegiatan pinjam meminjam dari kreditur kepada debitur ini dapat terjadi masalah atau cidera janji kedepannya, sehingga memungkinkan untuk dilakukannya proses lelang. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis proses lelang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di Kota Semarang berdasarkan PMK No. 213/PMK.06/2020 dan untuk melihat apakah proses tersebut sudah sejalan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan serta bagaimana perlindungan yang diberikan bagi debitur wanprestasi tersebut. Metode penulisan yang digunakan penulis ialah pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris ialah mengidentifikasi dan mengkonsepsi hukum sebagai institusi sosial yan riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang nyata. Proses lelang hak tanggungan yang dilakukan oleh KPKNL Semarang berdasarkan peraturan tersebut diatas sudah sesuai dan melindungi hak debitur dengan baik.
THE EFFECTIVENESS OF GUIDANCE AND SUPERVISION OVER HALAL FOOD PRODUCT BASED ON THE QANUN ACEH NUMBER 8 OF 2016 CONCERNING HALAL PRODUCT GUARANTEE SYSTEM Azrianda, Melvi Salsabil; Yani, Teuku Ahmad; Gani, Iskandar A
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 12, No 1 (2021): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v12i1.12280

Abstract

Qanun Number 8 of 2016 regulates the Halal Product Guarantee System, but there are still many business actors in Banda Aceh who do not have halal certificate for the food they sell. This journal aims to further examine the protection for Muslim consumers regarding food products or places of business that do not have a halal certificate and logo given by LPPOM Aceh and to find out the effectiveness of LPPOM MPU Aceh in providing guidance and supervision over food products distributed in Aceh. The method and type of writing is empirical-legal by conducting interviews with the Aceh MPU LPPOM. This writing approach is known as an empirical socio-legal study. Based on the research results, the legal protection for Muslim consumers regarding food products or places of business that do not have a halal certificate and logo is regulated in the Qanun SJPH. The inclusion of the halal logo is mandatory. However, there are business actors who still have not applied to obtain halal certification. This happened because LPPOM experienced obstacles in terms of guidance and supervision over halal food sold in Aceh and the absence of regulations concerning the Qanun SJPH implementation.Qanun Nomor 8 Tahun 2016 bertuliskan tentang Sistem jaminan Produk Halal, namun masih banyak pelaku usaha makanan di Banda Aceh yang tidak melakukan sertifikasi makanan halal terhadap makanan yang dijual. Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengkaji lebih lanjut terhadap perlindungan konsumen muslim pada produk atau tempat usaha makanan yang tidak memiliki sertifikat dan logo halal LPPOM Aceh efektivitas LPPOM MPU Aceh dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap produk makanan yang beredar di Aceh. Metode dan jenis penulisan ini bersifat yuridis empiris dengan melakukan wawancara kepada pihak LPPOM MPU Aceh. Pendekatan penulisan ini disebut dengan penelitian empirik dan hukum sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian Perlindungan hukum konsumen muslim terhadap produk atau tempat usaha makanan yang tidak memiliki sertifikat dan logo halal di atur dalam Qanun SJPH. Pencantuman logo halal bersifat wajib. Namun kenyataannya masih ditemukan pelaku.usaha yang belum melakukan sertifikasi.halal. Hal tersebut terjadi karena LPPOMI mengalami hambatan dalam hal pembinaan dan pengawasan. terhadap makanan halal. yang beredar di Aceh dan tidak adanya peraturan pelaksana Qanun SJPH.

Page 1 of 1 | Total Record : 7