cover
Contact Name
Wahyu Saputra
Contact Email
wahyu@iainponorogo.ac.id
Phone
+6282230400101
Journal Mail Official
alsyakhsiyyah@iainponorogo.ac.id
Editorial Address
Fakultas Syariah IAIN Ponorogo, Jl. Puspita Jaya, Pintu, Jenangan, Ponorogo, Jawa Timur, Kode Pos: 63492, Telp. (0352) 3592508
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Al-Syakhsiyyah : Journal of Law and Family Studies
ISSN : 27156699     EISSN : 27156672     DOI : https://doi.org/10.21154/syakhsiyyah
Jurnal Al Syakhsiyyah (Journal Of Law and Family Studies) diterbitkan oleh Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Ponorogo 2 kali dalam setahun. Jurnal ini dimaksudkan sebagai wadah pemikiran yang terbuka bagi semua kalangan. Artikel yang diterbitkan dalam jurnal ini berupa tulisan-tulisan ilmiah tentang pemikiran konseptual, kajian pustaka, maupun hasil penelitian dalam bidang hukum dan hukum keluarga Islam yang belum pernah dipublikasikan.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 97 Documents
PIDANA HUKUMAN MATI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ETIKA DEONTOLOGI Izad, Rohmatul
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstractDiscourse about capital punishment is a discourse that often causes polemics. Problems that underlie the problem of capital punishment do not only occur in the realm of law, but also the realm of thought outside. The problem that often becomes polemic is whether the death penalty for serious criminals will have a deterrent effect for anyone not to commit the same crime, is a life not the most substantial right of life for humans, and capital punishment is often considered contrary to human rights. This study specifically examines capital punishment in Indonesia in terms of deontological ethics theory, which looks at the issue of capital punishment from the perspective of ethical values that start with acts of kindness based on duties and obligations. This study analyzes the polemic of capital punishment, both pros, and cons, as well as tracing the roots of morality in the practice of capital punishment, so this research can make a new contribution through the perspective of ethical deontology in viewing ethical aspects in the practice of capital punishment. On this basis, this research uses a descriptive-interpretative approach. Researchers critically dissect how the root of the formation of the death penalty in Indonesia, by carefully reviewing it from the perspective of ethical deontology.Keywords: Death Penalty, Deontology Ethics, Human Rights. AbstrakWacana tentang pidana hukuman mati merupakan wacana yang banyak menimbulkan polemik. Problem yang mendasari persoalan pidana hukuman mati tidak hanya terjadi pada ranah hukum, tetapi juga dalam ranah pemikiran secara luar. Masalah yang sering menjadi polemik adalah apakah hukuman mati bagi para pelaku pidana berat akan menimbulkan efek jera bagi siapapun untuk tidak melakukan tindak kejahatan yang sama, bukankah nyawa adalah hak hidup paling substansial bagi manusia, dan hukuman mati seringkali dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia. Penelitian ini secara khusus mengkaji tentang pidana hukuman mati di Indonesia ditinjau dari sudut teori etika deontologi, yakni melihat persoalan pidana mati dari perspektif nilai-nilai etis yang bertitik tolak pada tindakan kebaikan berdasarkan tugas dan kewajiban. Penelitian ini menganalisis tentang polemik hukuman mati, baik yang pro dan kontra, maupun menelusuri akar-akar moralitas dalam praktik pidana hukuman mati, kiranya penelitian ini dapat memberikan kontribusi baru melalui cara pandang etika deontologi dalam melihat sisi-sisi etis dalam praktik pidana hukuman mati. Atas dasar tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan deksriptif-interpretatif. Peneliti membedah secara kritis bagaimana akar terbentuknya hukuman mati di Indonesia, dengan secara cermat melakukan peninjauan dalam perspektif etika deontologi.
PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL MELALUI PERDA KOTA MADIUN NOMOR 8 TAHUN 2017 Maulidia, Rohmah; Afidah, Khilyatul
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 1, No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Secara hukum, ulama sepakat tentang keharaman minuman keras (Miras). Namun faktanya, secara umum masyarakat masih banyak yang mengonsumsinya. Untuk itu, kemudian Pemerintah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah untuk mengatur peredarannya. Melalui Perda ini, minuman keras hanya diperbolehkan dijual di Hotel bintang 3, bintang 4, dan bintang 5.  Miras juga hanya boleh dijual di Restoran bintang 2 dan bintang 3 atau Bar termasuk Pub dan Klab Malam. Selain itu Penjualan Minuman Beralkohol hanya dapat diberikan kepada konsumen yang telahberusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih yang dibuktikan dengan menunjukkan Kartu identitas yang berlaku kepada petugas/pramuniaga.
ANALISIS USIA IDEAL PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF MAQASID SYARI’AH Anshori, Teguh
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstractThis study departs from a juridical confusion regarding the age limit of marriage with other provisions regarding age. Article 7 Paragraph 1 of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage, states that marriage is only permitted if the male has reached the age of 19 (nineteen) years and the female has reached the age of 16 (sixteen) years. Law Number 23 the Year 2002 concerning Child Protection states that what is called a 'child' is a person who is under 18 years of age. As for Law Number 26 of 2000 concerning the Human Rights Court, it is explained that an adult category is a person who is 18 years old. The Marriage Age Maturing Program (PUP) offers a solution, namely the ideal age of marriage seen from various perspectives is a minimum of 20 years for women and 25 years for men. Departing from this, this study seeks to explore why the need for an ideal marriage age limit according to Maqasid Sharia, as well as how to analyze Maqasid Sharia against the provisions of the ideal age limit of marriage in Mating the Age of Marriage (PUP). To answer this question, this study uses Maqasid Sharia theory with the basic assumptions of the theory, namely the protection of religion, soul, reason, descent, and property. The normative-empirical approach in this study refers to the study of the formal aspects of the Marriage Age Maturity (PUP) program.This study found that the existence of an ideal marriage age limit in Maqasid Sharia theory can have a variety of positive impacts when applied. The positive impact is in the form of increasing the ideal age of marriage; increasing family welfare; improved education; increased understanding related to the importance of the ideal age of marriage; and parents increasingly understand the importance of the ideal age of marriage when they want to marry their children. The provisions of the ideal marriage limit in Maturing Marriage Age (PUP) are at least 20 years for women and 25 years for men. Sharia Maqasid's analysis results in this study indicate that the ideal age provisions applied in the Marriage Age Maturing (PUP) program are the right solution in creating a good Sharia Maqasid family. The application of these provisions can regulate relations between men and women; look after offspring; creating sakinah, mawaddah, warahmah families; maintain lineage; maintain diversity in the family; set the pattern of good relationships in the family and regulate financial aspects in the family.Keywords: Maqasid Sharia, Maturity Maturity (PUP). AbstrakPenelitian ini berangkat dari sebuah kerancuan yuridis mengenai batas usia perkawinan dengan ketentuan lain mengenai usia. Pasal 7 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak laki-laki telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa yang disebut dengan ?anak? adalah orang yang masih berusia di bawah 18 tahun. Adapun dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa kategori dewasa adalah orang yang berumur 18 tahun. Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) menawarkan solusi, yaitu usia ideal perkawinan dilihat dari berbagai perspektif adalah minimal 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini berusaha menelusuri mengapa perlunya batas usia ideal perkawinan menurut Maqasid Syariah, serta bagaimana analisis Maqasid Syariah terhadap ketentuan batas usia ideal perkawinan dalam Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan teori Maqasid Syariah dengan asumsi dasar teori yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pendekatan normatif-empiris dalam penelitian ini mengacu pada kajian aspek formal program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).Penelitian ini menemukan bahwa adanya batas usia ideal perkawinan dalam teori Maqasid Syariah dapat memberikan berbagai dampak positif apabila diterapkan. Dampak positif tersebut berupa meningkatnya usia ideal perkawinan; meningkatnya keluarga sejahtera; meningkatnya pendidikan; meningkatnya pemahaman terkait pentingnya usia ideal perkawinan; serta orang tua semakin memahami pentingnya usia ideal perkawinan ketika hendak menikahkan anaknya. Adapun ketentuan batas ideal perkawinan dalam Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yaitu minimal 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Hasil analisis Maqasid Syariah dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan usia ideal yang diterapkan dalam program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) merupakan solusi tepat dalam menciptakan Maqasid Syariah keluarga yang baik. Penerapan ketentuan tersebut mampu mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan; menjaga keturunan; menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah; menjaga garis keturunan; menjaga keberagamaan dalam keluarga; mengatur pola hubungan yang baik dalam keluarga dan mengatur aspek finansial dalam keluarga.
ANALISIS YURIDIS KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM SIDANG PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN MADIUN Roihanah, Rif'ah; Cornelia, Irfina
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstractA witness is a person who gives testimony before a hearing by meeting certain conditions regarding an event or condition that is seen, experienced, heard itself as evidence of the event or condition. However, what if a witness who appears or is present at a hearing does not see or experience it directly, but hears the incident or situation through news from someone else (testimonium de auditu), while the Religious Court judge may not reject a case that is submitted and brought to him.The formulation of the problem in this study are: How is the juridical analysis of the strength of the evidence of witness testimonium de auditu in divorce cases in the Religious Court of Madiun Regency. And how is the juridical analysis of the judges of the Madiun District Religious Court in divorce cases regarding the use of witness testimonium de auditu.To answer the question above, the researcher used a qualitative approach, looking for data through interviews of the judges as the primary data source, then secondary data was obtained from books that have a connection with this problem. Furthermore, the data obtained were analyzed using a descriptive analysis system. In collecting data using field research techniques and making conclusions (verification). The location of this study was in the Religious Court of Madiun Regency.The results of the study concluded that the strength of the evidence of witness testimonies de auditu in the Religious Court of Madiun Regency according to the juridical study was not appropriate. However, in practice in the courtroom especially in divorce proceedings, the judge has the authority to examine the de auditu witnesses, and there is nothing wrong if the judge hears the testimony of the de auditu witnesses, but the use of de auditu witnesses is not as direct evidence. So de auditu's testimony can be used as a source of allegations. Keywords: Juridical Power, Evidence, Testimonium de Auditu AbstrakSaksi adalah orang yang memberikan keterangan di depan sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu tentang suatu peristiwa atau keadaan yang dilihat,dialami, didengar sendiri sebagai bukti kejadian atau keadaan tersebut. Namun,bagaimana jika saksi yang muncul atau dihadirkan dalam sidang tidak melihat atau mengalami secara langsung, melainkan mendengar kejadian atau keadaan tersebut melalui kabar dari orang lain (testimonium de auditu), sedangkan hakim Pengadilan Agama tidak boleh menolak perkara yang masuk dan diajukan kepadanya.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah analisis yuridis terhadap kekuatan alat bukti saksi testimonium de auditu dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun. Dan bagaimanakah analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dalam perkara perceraian tentang penggunaan saksi testimonium de auditu.Untuk menjawab pertanyaan di atas peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, dengan mencari data melalui wawancara para hakim sebagai sumber data primer, kemudian data sekunder diperoleh dari buku yang memiliki keterkaitan dengan masalah ini. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sistem deskriptif analisis.Dalam pengumpulan data menggunakan teknik penelitian lapangan (field research) dan pengambilan kesimpulan (verifikasi).Lokasi penelitian ini di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun.Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Kekuatan alat bukti saksi testimonium de auditu di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun menurut kajian yuridis adalah tidak sesuai. Namun, dalam praktik di dalam sidang khususnya dalam siding perceraian, hakim mempunyai wewenang untuk memeriksa saksi de auditu, dan tidak ada salahnya jika hakim mendengarkan keterangan saksi yang de auditu tersebut, akan tetapi penggunaan saksi yang de auditu tidak sebagai bukti langsung. Sehingga kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai sumber persangkaan.
PROBLEMATIKA DOMINASI ISTRI SEBAGAI PENCARI NAFKAH (STUDI KASUS DI DESA JORESAN KEC. MLARAK KAB. PONOROGO) Lia Noviana; Salma Dewi Faradhila
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 2, No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v2i1.2162

Abstract

ABSTRAK : Penikahan merupakan sarana dalam membentuk keluarga, yang tidak hanya mengatur hubungan antar manusia, namun juga mengandung sakralitas hubungan manusia dengan Tuhannya. Dalam Perkawinan timbul hak dan kewajiban antar suami istri yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, salah satunya ialah kewajiban suami memenuhi nafkah untuk keluarganya. Namun tidak jarang kewajiban suami sebagai pencari nafkah digantikan oleh istri sebagaimana yang terjadi di Desa Joresan Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo. Istri sebagai pencari nafkah utama disebabkan karena suami kurang mampu mencukupi perekonomian keluarga. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisa lebih dalam tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi istri menjadi pencari nafkah dan dampak yang ditimbulkan pada keluarga serta peran istri sebagai pencari nafkah dalam perspektif maslahah. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis, peneliti menganalisa realita istri sebagai pencari nafkah keluarga serta pengaruhnya terhadap kehidupan rumah tangga dalam perspektif maslahah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa istri sebagai pencari nafkah merupakan usaha untuk menolak kemudaratan yang terjadi dikarenakan sang suami belum mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dilihat dari segi kepentingan dan masalahnya, istri yang bekerja sebagai pencari nafkah keluarga di Desa Joresan termasuk dalam kategori maslahah daruriyah. Dalam perspektif maslahah wajibnya memperhitungkan seberapa besar kemanfaatan atau kemudaratan yang didapat demi menjaga kelangsungan hidup agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA DISPENSASI NIKAH BERDASARKAN ANALISIS MASLAHAH (Studi Penetapan Hakim No. 266/Pdt.P/2020/PA.Pwr di Pengadilan Agama Purworejo) Waluyo Sudarmaji
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.3068

Abstract

In the event that the prospective bride and groom will hold a marriage registered at the local Office of Religious Affairs If the age is less than 19 years, it will be rejected because the marriage conditions are not fulfilled. Because the marriage is considered urgent to be carried out, then parents or guardians can apply for a marriage dispensation at the Religious Court. Marriage dispensation is an application for ratification of a marriage that will take place by the prospective bride and groom or one of the prospective brides who are not old enough to marry. This research is the result of research on the consideration of judges in deciding the case of marital dispensation with the analysis of maslahah with the main problem of consideration of judges in deciding the case and the analysis of maslahah. This research is analitive descriptive qualitative research with normative approach, data source used by primary data source in the form of interviews, observations, and secondary data in the form of court determination. The technical analysis of data used is qualitative approach to primary data and secondary data. The purpose of this research is what the judge considered in the Purworejo Religious Court in granting the application for marital dispensation on the determination No. 266/Pdt.P/2020/PA/Pwr, and to find out the determination of judges in the Purworejo Religious Court regarding marital dispensation which is analyzed through maslahah. Based on the results of the research conducted, it can be concluded that the consideration of the judge in granting the request for marital dispensation is on the grounds that the marriage is urgent to be done, between the husband and wife there is no obstacle to marriage and the two families have approved each other. In the analysis maslahah consideration of judges included in the maslahah doruriyah because to maintain religion and descendants.
RELEVANSI MEDIASI PENAL DALAM PENERAPAN DIVERSI KASUS ANAK Ahmad Syakirin
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 2, No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v2i2.2602

Abstract

ABSTRAK: Undang-undang sistem peradilan pidana anak no 11 tahun 2011 memberi batasan terhadap usia kapan anak bisa dikenai sanksi, baik berupa sanksi pidana ataupun tindakan. Dalam segala hal terkait penanganan anak ini akan mendapatakan prioritas yang berbeda bila dibandingkan dengan orang dewasa pada umumnya. Mulai dari penyidikan, penuntutan,dan persidangan rangkaiannya akan nampak beda, hal demikian akaibat sebagai konsekwensi terhadap implementasi lex spesialis (lex specialis legi superior). Konsep sistem peradilan pidana anak ini (Juvenile Justice System) hakikatnya adalah keselurahan proses penyelesaian perkara berkaitan anak yang berhadapan dengan hukum, dimulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahapan pembimbingan setelah menjalani pemidanaan. Jadi, konsep mediasi penal ini sangat relevan dalam menangani segala permasalahn terkait dengan dunia anak, dengan megedepankan ide-ide proses perdamaian sebagai upaya mengedepakan penyelesaian perkara pidana anak diluar pengadilan.
PILKADES LANGSUNG DALAM TINJAUAN FIQH SIYASAH (STUDI KRITIS PILKADES LANGSUNG DI INDONESIA PERSPEKTIF MASLAHAT) Umarwan Sutopo
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 2, No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v2i2.2591

Abstract

ABSTRAK: Pemilihan kepala desa (Pilkades) adalah hajatan politik yang berlangsung secara rutin di Indonesia. Mekanisme suksesi kekuasan tingkat desa tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagian poin dalam peraturan tersebut yang menjadi pembahasan tulisan ini adalah keberlakuan model pilihan langsung seorang kepala desa. Unifikasi sistem pilkades dalam perjalanannya justru tidak jarang meninggalkan aspek negative terhadap masyarakat. Akibatnya kerukunanan, tepo sliro, dan kekeluargaan yang menjadi ciri khas  dan budaya penduduk desa bisa tercabik-cabik. Fiqh Siyasah melalui pendekatan maslahat menawarkan gagasan tentang keniscayaan berlangsungnya pesta pilkades yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Artinya bentuk suksesi kepemimpinan tingkat desa bisa secara langsung one man one vote, perwakilan, atau berpijak pada kearifan lokal dimana hal tersebut justru mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar pada masyarakat.
REINTERPRETASI KONSEP KAFĀ’AH (Pemahaman Dan Kajian Terhadap Maqaṣid Sharīʻah) ASHWAB MAHASIN
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 2, No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v2i1.2158

Abstract

ABSTRAK ; Perkawinan merupakan salah satu aplikasi sosial dari konsep maqashid syari’ah yaitu sebagai kelanjutan dari hifdz an-nasl dengan cara menyatukan antara laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan yang sah untuk membentuk keluarga yang bahagia. Salah satu cara yang dilakukan sebelum berlangsungkan ikatan perkawinan yaitu perlu diupayakannya mencari calon yang baik dan sesuai, maka konsep kafā’ah sangat penting untuk diketahui. Dalam konsep ini, masih terjadi perbedaan wacana dan pemahaman dalam menerapkan secara konkret dalam masyarakat antara teks dan konteks maupun normatifisme dengan historisitasnya. Walaupun kafā’ah bukan perkara yang baru dan para ulama telah banyak yang mengkaji dan ada beberapa kesepakatan tetapi dalam prakteknya perlu dikembangkan atau direorientasikan seiring perkembangan zaman dengan tetap mengacu pada tujuan syari’ah. Pemahaman konsep ini perlu adanya perpaduan teori yang pada intinya dapat diambil sebuah garis tengah bahwa konsep kafā’ah memandang pentingnya nilai kesepadanan yang dijadikan sebagai cara untuk mencari calon pasangan yang sesuai dan serasi dalam membentuk rumah tangga. Akan tetapi, konsep kafā’ah tidak boleh dijadikan sebagai langkah untuk mengetahui seseorang dengan maksud mendiskriminasi perbedaan dan melebihkan seseorang dalam hal tertetu. Dengan demikian, pensyari’ahan kafā’ah dalam perkawinan merupakan langkah antisipasi rusaknya hubungan suami-isteri setelah berlangsungkan aqad nikah sehingga dapat terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah baik dari segi sosial, ekonomi, maupun agama. Dan kafā’ah yang semula merupakan suatu ukuran kesepadanan yang mempertimbangkan agama, harta, keturunan, pekerjaan dapat dipertegas menjadi kesesuaian yang berdasarkan kecocokan dalam hati tanpa paksaan dengan diperkuatkan keserasian berkeyakinan dalam beragama untuk membangun rumah tangga yang bahagia.
Talak di Luar Pengadilan Perspektif Fikih dan Hukum Positif M Muhsin; Soleh Hasan Wahid
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.3063

Abstract

Abstract: Divorce is breaking the ties of marriage and ending the husband and wife relationship. According to Fiqh law, divorce is considered legally binding when a husband pronounces the word talaq to his wife clearly and figuratively. Meanwhile, according to the Marriage Law, it is explained that divorce can only be carried out before the court after the court concerned tries and fails to reconcile the two parties. The focus of the problem in this study is: (1) What is the status of divorce outside the court according to fiqh law and positive law? (2) Which is used as a guideline between the two divorce proceedings on the termination of marriage? The type of research conducted by the author is field research using qualitative methods. The analysis used is the descriptive analysis method. The number of respondents in this study was five people with the category of divorce outside the court. Based on the method used in the study, it was concluded that the divorce handed down out of court was legal, according to fiqh, so that the marriage broke up by fiqh rules. However, the divorce is not legal according to positive law in Indonesia, so that in the eyes of positive law, the marriage has not been broken, and the positive law that applies in Indonesia is used as a guide to the dissolution of marriage because the legal consequences arising after the divorce are more clearly regulated so that obligations and rights that arise after the divorce is more secure.Abstract: Talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dan mengakhiri hubungan suami istri. Menurut hukum Fikih perceraian dianggap jatuh hukumnya ketika seorang suami mengucapkan kata talak kepada istrinya baik secara jelas maupun kiasan. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Fokus masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana status talak di luar pengadilan menurut hukum fikih dan hukum positif? (2) Manakah yang dijadikan pedoman antara dua proses perceraian terhadap putusnya perkawinan? Jenis penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian lapangan (field research) yang menggunakan metode kualitatif. Analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak lima orang dengan kategori melakukan penceraian di luar Pengadilan. Berdasarkan metode yang digunakan dalam penelitian dihasilkan kesimpulan bahwa, talak yang dijatuhkan di luar pengadilan adalah sah menurut fikih, sehingga perkawinannya putus sesuai dengan aturan fikih. Namun perceraian tersebut tidak sah menurut hukum positif di Indonesia, sehingga di mata hukum positif perkawinannya belum putus dan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang dijadikan sebagai pedoman terhadap putusnya perkawinan, dikarenakan akibat hukum yang ditimbulkan setelah terjadinya perceraian lebih diatur dengan jelas, sehingga kewajiban dan hak yang timbul setelah terjadinya perceraian lebih terjamin.

Page 2 of 10 | Total Record : 97