Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

EKSISTENSI PEMERINTAHAN DESA DITINJAU DARI PERSPEKTIF ASAS SUBSIDIARITAS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA Achmad Hariri
Legality : Jurnal Ilmiah Hukum Vol. 26 No. 2 (2018): September
Publisher : Faculty of Law, University of Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The existence of the Village Government in the perspective of Law Number 6 of 2014  concerning Villages is increasingly clear, it’s because the village is given the authority to manage and regulate its own household as known as the subsidiarity principle, while independence in managing governance in regional government is known as the principle of decentralization. This authority is given to realize the vision of the life of a prosperous and independent village government. But in the implementing regulations contrary to the concepts and principles of the establishment of the Village Law, there are several norms explicitly that village authority is still intervened by the government Supra Desa (Regional Government). The purpose of this study is to analyze the existence of village government. The results of this study recommend that there is a need for synchronization and harmonization between the regulations governing village authority, namely Law number. 6 of 2014 concerning Villages, Government Regulation Number 43 of 2014 concerning Implementation Regulations of Law Number 6 Year 2014 concerning Villages, and Government Regulation Number 60 of 2014 concerning Village Funds sourced from the State Budget.
Dekonstruksi Ideologi Pancasila sebagai Bentuk Sistem Hukum di Indonesia Achmad Hariri
Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 3 No. 1 (2019): Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Serang Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30656/ajudikasi.v3i1.1055

Abstract

Pancasila legal system in Indonesia does not seem to have found a final formulation, it is still abstracted from the dominant legal system, namely civil law / rechstaat. In the 1945 Constitution it is clear that Indonesia promulgates as a legal state, although there is no implicit explanation of the legal system which is adopted (rechstaat, the rule of law or the Pancasila legal system), on the other hand Pancasila becomes the ideology and basis of the state, therefore there needs to be a formulation of the Indonesian legal system by deconstructing (reading; dismantling) the Pancasila ideology, so that the Pancasila is not only an ideology, but also as a legal system adopted in Indonesia. Pancasila can be placed in a prismatic postulate, where Pancasila is placed as a counterweight between existing legal systems, the Pancasila legal system can be used as an alternative legal system originating from noble values, legal systems relevant to plural societies are legal pluralism, namely common law configurations who uphold substantive justice, civil law that knows procedural justice, and the Pancasila legal system that upholds social justice. so that the substance of prismatic Pancasila law can be realized, namely justice as its purpose.
PEMERINTAH DESA PASCA UU NO. 6 TAHUN 2014 (Studi Tentang Implementasi Otonomi Desa di Desa Paciran Kabupaten Lamongan) Umar Sholahudin; M. Hari Wahyudi; Achmad Hariri
CAKRAWALA Vol 11, No 2: Desember 2017
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1157.924 KB) | DOI: 10.32781/cakrawala.v11i2.15

Abstract

Untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan UU No 6 tahun 2014 terhadap aparatur desa Desa sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan diormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang No 6 tahun 2014 ini memberikan wewenang yang cukup luas kepada desa dalam mengatur rumah tangga pemerintahan di desa, sebagaiman yang ditegaskan dalam pasal 18. Bagaimana desa menjalankan kewenangan dan otonominya untuk mewjudkan kesejahteraan masyarakatnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif yaitu menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh dari fakta dan data di lapangan. Pengumpulan data-data dilakukan melalui studi lapangan terhadap tata kelola pemerintahan desa di Desa Paciran Lamongan. Selain itu data pula dilakukan melalui wawancara mendalam yang dilakukan dan masyarakat desa. Adapun Hasil dari Penelitian ini adalah pengelolaan pemerintahan Desa Paciran Kabupaten Lamongan dalam rangka pengelolaan pemerintahan berbasis otonomi desa dapat berjalan relatif baik. Hhal ini ditunjukkan dengan kebijakan pengelolaan keuangan desa yang sudah lebih berfokus pada pembangunan desa yaitu pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan. Selain itu pembangunan desa juga melibatkan peran serta masyarakat desa, sehingga pembangunan mulai perencanaan dan pelaksanaan, masyarakat memiliki peran aktif untuk mengawasi dan mengevaluasi pembangunan desa.
The Dialectics Feminism Paradigm Of The Legal Marriage As A Form Of Legal Protection In Girls Achmad Hariri
Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran Vol 21, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.656 KB) | DOI: 10.18592/sjhp.v21i2.3992

Abstract

Abstrak: Konstitusi sebagai dasar negara memberikan petunjuk bahwa bangsa Indonesia seluruhnya memiliki hak yang sama, lihat pada pasal 27 (1) UUD 1945, termasuk posisi perempuan dan laki-laki. Namun dominasi budaya partiarki memposisikan perempuan sebagai subaltern dari laki-laki. Bagi paradigma Feminisme Legal Theory hukum merupakan produk laki-laki, sehingga menjadi barometer produk hukum adalah laki-laki, seperti penentuan upah dalam UU ketenagakerjaan,  UU terkait Lingkungan dan UU tentang perkawinan. Belakangan ada peristiwa menarik yaitu ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Judicial Review terkait batas minimal usia perkawinan, dimana di UU perkawinan sebelum revisi ada perbedaan usia anak yang relatif cukup jauh, 16 tahun perempuan dan 19 laki-laki. Setelah adanya Putusan MK No. 22/Puu-Xv/2017, kemudian Pemerintah merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjadi UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 ini mengatur batas usia untuk melakukan pekawinan, khususnya usia perempuan minimal 19 tahun bisa melakukan perkawinan, sama dengan laki. Apakah ini menandakan politik hukum Indonesia mengarah pada paradigma teori hukum feminisme atau Feminist Legal Theory (FLT). Sebenarnya masih banyak norma dalam undang undang yang bias gender, termasuk dalam UU No. 16 Tahun 2019. Adapun pendekatan dalam penelitian ini menggunakan statute approach dan conseptual approach.Kata Kunci: Paradigma Feminisme Hukum; Hukum Perkawinan; Perempuan Abstract: The constitution as the basis of the state indicates that all Indonesians have the same rights, see Article 27 (1) of the 1945 Constitution, including the position of women and men. However, the domination of patriarchal culture places women as a subaltern of men. For the paradigm of Feminist Legal Theory, the law is a product of men, so that it becomes a barometer that legal products are men, such as determining wages in labor laws, laws related to the environment, and laws on marriage. Recently, there was an interesting incident when the Constitutional Court granted the Judicial Review request related to the minimum age of marriage, wherein the Marriage Law before the revision there was a relatively different minimum age for marriage between the couples, 16 years old for girls and 19 for boys. After the Constitutional Court Decision No. 22 / Puu-Xv / 2017, then the Government revised Law No. 1 of 1974 on marriage to become Law No. 16 of 2019 concerning Amendments to Law 1 of 1974 regulates the age limit for marriage, especially women who are at least 19 years old can marry, same as men. It may indicate that Indonesian legal politics leads to the paradigm of feminist legal theory or Feminist Legal Theory (FLT). Many legal norms are gender-biased, including in Law no. 16 of 2019. The approach in this study uses a statute approach and a conceptual approach.Keywords: Legal Feminism Paradigm; Marriage Law; Women    
THE POLITICS OF LAW CONCERNING THE TENURE OF VILLAGE HEAD REVIEWED FROM THE CONSTITUALISM PERSPECTIVE Achmad Hariri
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 1 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2385.759 KB) | DOI: 10.22373/petita.v5i1.71

Abstract

The politics of law is an instrument of law-making to achieve legal objectives, and the objectives of the law-making must be in line with the constitutional norms. The constitution is a foundation rule for law-making (the politics of law), and in its development, the modern state constitution must be constitutionalism. Constitutionalism is an idea that the constitution must limit the power to hinder the abuse due to unrestricted power. The politics of constitutional law can be seen in the first amendment, namely, Article 7 of the 1945 Constitution: the tenure of a president is five years and limited to two periods, the 1945 constitution is, therefore, constitutionalism. The power limitation of high state institutions is constitutional, but in Law No. 6 of 2014 concerning Villages, some norms are contrary to the constitution: Article 39 related to the tenure of the village head. The tenure of village head in this article is relatively longer than the executive position in supra-village government, that is six years and can be re-elected for three periods, meaning that the village head can occupy the position for a maximum of 18 years. This tenure is eight years longer than the tenure of the president, governor, regent and mayor, thus, it is likely for the village head to conduct the "abuse of power" and the tenure is against the constitutionalism. Abstrak: Politik hukum merupakan instrumen pembuatan hukum untuk mencapai tujuan hukum, adapun tujuan pembentukan hukum harus sejalan dengan norma Konstitusi. Konstitusi itu merupakan aturan dasar yang menjadi sumber pembentukan hukum (politik Hukum), dalam perkembangannya kemudian konstitusi negara modern itu harus konstitusionalisme, paham konstitusionalisme adalah suatu paham dimana konstitusi harus membatsasi kekuasaan, kekuasaan harus dibatasi untuk menjauhi dari tindakan penyelewengan akibat tidak dibatasinya kekuasaan, dalam politik hukum konstitusi dapat dilihat pada amandemen ke satu yaitu pasal 7 UUD 1945, masa jabatan presiden 5 tahun dan dibatasi dua periode, oleh sebab itu konstitusi UUD 1945 konstitusionalisme. Pembatasan kekuasaan lembaga tinggi negara sudah konstitusional, namun dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa ada norma yang bertentangan dengan konstitusi yaitu pada pasal 39 terkait masa jabatan kepala Desa. Dalam pasal tersebut massa jabatan kepala desa relatif lebih lama dibandingkan dengan jabatan eksekutif di pemerintahan supra desa, yaitu 6 tahun dan dapat dipilih lagi sampai tiga periode, artinya kepala desa dapat menduduki sebagai orang nomor satu di desa sampai dengan delapan belas (18) tahun. Masa jabatan ini relatif lebih lama delapan tahun dibanding jabatan presiden, gubernur, bupati dan wali kota, sehingga kepala desa akan dimungkinkan dapat menyelewengkan kewenangan “abuse of power’ dan masa jabatan tersebut bertentangan dengan konstitusionalisme. Kata Kunci: Politik Hukum, Massa Jabatan Kepala Desa, Konstitusionalisme
Protection and compliance of Human Rights of Residents Affected by the Semeru Eruption Achmad Hariri; Samsul Arifin Ari; Satria Unggul Wicaksana Prakasa; Asis Asis
Audito Comparative Law Journal (ACLJ) Vol. 3 No. 3 (2022): September 2022
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/aclj.v3i3.23209

Abstract

The eruption of Mount Semeru had a major impact on the surrounding communities affected. Not only about health, but these natural disasters also affect other aspects such as the economy, education, clean water facilities, and residential areas. The fulfilment of these rights is actually regulated in the International Covenant on economic, social, and cultural matters. Any country subject to such rules is insufficient to grant the right to access Education. Still, the state is obliged to provide Educational facilities, and the existing social and Educational facilities will necessarily suffer damage due to natural disasters. From these problems, this study aims to understand and elaborate on legal responsibility, protection and fulfilment of human rights for residents affected by the Semeru eruption. The method used in this research is Socio-Legal based legal research with an approach of Participatory Action Research (PAR).
Analisis Yuridis Gugatan Citizen Lawsuit Dalam Konflik Lingkungan Waduk Sepat (Studi Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 200/Pdt.G/2019/Pn. Sby jo No. 544/Pdt/2020/Pt) Ahmad Bahrul Efendi; Achmad Hariri
Res Judicata Vol 5, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29406/rj.v5i2.4922

Abstract

Gugatan citizen lawsuit (gugatan warga negara) yang dikenal di Negara Anglo-Saxon yang menganut sistem hukum common law, yang pada pokoknya merupakan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap tanggung jawab penyelenggara Negara atau Pemerintah atas kelalaiannya. Berkembangnya gugatan citizen lawsuit dalam sistem hukum perdata di Indonesia dikarenakan pengadilan dilarang menolak suatu perkara yang diajukan dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya sebagaimana bunyi Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam praktiknya pengadilan perdata di Indonesia telah banyak menerima dan memutus dalam perkara gugatan citizen lawsuit sehingga telah menjadi putusan yurisprudensi bagi hakim berikutnya. Metode yang digunakan adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang - undangan (statute approach) yang bermaksud untuk menganalisa dua putusan pengadilan yang berbeda  dalam satu kasus yang sama pada perkara gugatan citizen lawsuit (gugatan warga negara) yang seharusnya hakim menolak  permohonan pihak korporasi untuk masuk dan bergabung dalam perkara gugatan citizen lawsuit dengan alasan bahwa korporasi tidak mempunyai legal standing, sehingga kedua putusan yang berbeda tersebut mengandung kontradiktif yang tidak mempunyai kepastian hukum.Kata Kunci: keabsahan gugatan citizen lawsuit, kepastian hukum dan hak atas lingkungan. 
PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MEREDUKSI TINDAK PIDANAA KORUPSI DI DAERAH Mohammad Buchori Muslim; Achmad Hariri
Mendapo: Journal of Administrative Law Vol. 4 No. 1 (2023): Februari 2023
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/mendapo.v4i1.23442

Abstract

Korupsi pada tahun-tahun terakhir ini diributkan dengan banyaknya  yang terjerat kasus korupsi. Korupsi ini kemudian berbuah pada kerugian yang diderita publik, seperti kemiskinan dan kesenjangan sosial serta berdampak pada terhambatnya pelayanan publik. Sejak 2004 hingga Februari 2021, total sudah ada 126 kepala daerah yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka. Tindak Pidana Korupsi yang yang terjadi di pemerintah, khususnya pemerintah daerah tidak lepas dari lemahnya fungsi pencegahan dari dalam. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi jumlah tindak pidana korupsi dari tahun 2004 sampai dengan 2019 terbanyak yaitu pada instansi pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sebanyak 500 kasus dari total 1032 kasus. Upaya untuk melawan atau memberantas korupsi tidak cukup dengan menangkap dan menjebloskan koruptor ke penjara, namun upaya preventif juga perlu galakkan. Upaya preventif dapat dilakuakan engan meperkuat Lembaga pengawasan yang ada di daerah seperti Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP), badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta peran serta masyarakat juga diperlukan daam upaya ini. Selain tu juga diperlukan penanaman nilai-nilai integritas yang baik serta melakukan upaya pencegahan yang di pelopori oleh pemerintah daerah itu sendiri tanpa menunggu aksi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
The Existence of the Government Internal Supervisory Inspectorate (APIP) as an Internal Supervisor of Local Government Achmad Hariri; Dedy Stansyah
Law and Justice Vol. 8 No. 2 (2023): Law and Justice
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/laj.v8i2.2284

Abstract

Peran pemerintah daerah dalam mewujudkan negara kesejahteraan sangat besar, hal ini dikarenakan negara Indonesia dengan konsep negara kesatuan memilih asas desentralisasi, sehingga pemerintah daerah diberikan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat yang dikenal dengan istilah otonomi daerah, namun otonomi daerah sangat sulit terhindar dari praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah, bahkan korupsi ini menjadi musuh besar yang sering menghantui pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena peran pengawas internal pemerintah tidak kuat, bahkan yang ada adalah sebagai bawahan dari kepala daerah. Permasalahannya adalah bagaimana merekonstruksi sistem pengawasan pemerintahan di daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem pengawasan pemerintah daerah, jenis penelitian ini adalah deskriptif analisis, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini dalam rangka mengurangi terjadinya korupsi di pemerintah daerah adalah dengan cara memperkuat sistem pengawasan pemerintah daerah, antara lain; Pertama, aparat pengawas internal pemerintah harus diperkuat dengan undang-undang. Kedua, Paran DPRD juga harus dikembalikan sebagaimana ajaran trias politica Montesque, yaitu perannya sebagai kontrol terhadap pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan Checks and Balances. Ketiga, Partisipasi Masyarakat juga memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya praktik korupsi di pemerintahan daerah, karena dalam negara demokrasi tanpa adanya partisipasi masyarakat maka akan sulit untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang baik.     The role of local governments in realizing a welfare state is very large, this is because the Indonesian state with the concept of a unitary state chooses the principle of decentralization, so that local governments are given government affairs by the central government known as regional autonomy, but regional autonomy is very difficult to avoid corrupt practices carried out by regional officials, even this corruption is a big enemy that often haunts local governments. This is due to the role of internal government supervisors is not strong, even existing as subordinate to regional heads. The problem is how to reconstruct the peerintahan surveillance system in the regions. This study aims to analyze the local government supervision system, this type of research is a discriptive analysis, using a statutory approach (statute approach) and a conceptual approach (conceptual approach). The results of this study in order to reduce the occurrence of corruption in local governments are by strengthening the local government supervision system, including; First, the government's internal supervisory apparatus must be strengthened by law. Second, Paran DPRD must also be restored as the teaching of Montesque's trias politica, namely its role as a control of local government in order to realize Checks and Balances. Third, Public Participation also has an important role to prevent corrupt practices in local governments, because in a democratic country without public participation it will be difficult to realize good local governance.