Tisna Prabasmoro
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

KONSEPSI SENI BORIS PASTERNAK DALAM “DEFINISI PUISI” Tisna Gumilar; Tisna Prabasmoro; Rasus Budhyono
Metahumaniora Vol 9, No 3 (2019): METAHUMANIORA, DESEMBER 2019
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v9i3.26856

Abstract

Tulisan ini mencoba mencari sebuah konsep estetik Boris Pasternak melalui penelusuran puisi ars poetica-nya berjudul Определение поэзии [Opredjelenje Poezzia] ‘Definisi Puisi’.  “definisi puisi” diasumsikan sebagai representasi imaji personalitas pengarangnya baik melalui pernyataan langsung yang berhubungan dengan personalitas pengarang (pengetahuan atau pandangan-pandangan yang diekspresikan) juga melalui seluruh struktur karya tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam analisis karya digunakan pendekatan hermeneutic Ricoeur(1976)  terutama mengenai teori metafora. Hermeneutika digunakan sebagai teori untuk mengungkap konsep filosofi yang terkandung dalam puisi  tersebut. Definisi puisi adalah konsepsi seni Boris Pasternak yang di tuangkan dalam metafora-metafora. 
RASISME DAN PERSPEKTIF ANAK DALAM NOVEL WHEN HITLER STOLE PINK RABBIT KARYA JUDITH KERR Pangesti Rokhi Dewi; Tisna Prabasmoro; Sri Rijati Wardiani
Metahumaniora Vol 10, No 3 (2020): METAHUMANIORA, DESEMBER 2020
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v10i3.30580

Abstract

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis perspektif tokoh anak Yahudi, yakni Anna dan Max terhadap rasisme selama Hitler memimpin Jerman pada tahun 1933 yang tergambar dalam novel anak When Hitler Stole Pink Rabbit karya Judith Kerr. Dalam penelitian ini digunakan teori naratologi dari Genette (1980), dan konsep rasisme yang dikemukakan oleh Fredrickson (2015) dan Better (2008). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menganalisis novel. Hasil penelitian ini adalah terdapat dua jenis rasisme pada novel tersebut, yakni rasisme institusi yang ditunjukkan oleh Nazi dan individu yang ditunjukkan oleh anak dan orang tuanya yang pro terhadap Nazi, serta teman-teman sekolah Max. Penelitian ini pun menunjukkan fokalisasi Anna dan Max baik yang dituturkan oleh mereka sendiri maupun narator tentang rasisme sebagai bentuk represi terhadap fisik dan psikis mereka. Mereka dapat meresistensi semua rasisme yang mereka alami dengan menjadi orang Yahudi yang lebih baik untuk mematahkan prasangka yang melekat pada Nazi maupun orang-orang yang membenci mereka.  Kata Kunci: rasisme, nazi, perspektif anak, sastra anak, naratologiAbstractThis research aims to analyze the Jewish children’s perspective, namely Anna and Max, on racism during Hitler's leadership in Germany in 1933 in the children's novel When Hitler Stole Pink Rabbit by Judith Kerr. The theories used in this research are narratology of Genette (1980), and the concept of racism proposed by Fredrickson (2015) and Better (2008). This study used descriptive qualitative method to analyze the novel. The article is to show the two occurrences of racism in the novel; racism shown by Nazis and individuals shown by children and parents who are pro-Nazi, as well as Max's school friends. The article examined Anna and Max’s focalizations, both spoken by themselves and by the narrator. The article eventually argues that Anna and Max’s perspective about racism is a form of repression towards their physical and psychological aspects. They withstand racial oppression by becoming better Jews to break the prejudices attached to the Nazis or those who associate them.Keywords: racism, nazi, children’s perspective, children’s literature, narratology             
Ras dan Homoseksualitas: Gagasan James Baldwin dalam Another Country Tisna Prabasmoro; Rasus Budhiyono
Metahumaniora Vol 7, No 1 (2017): METAHUMANIORA, APRIL 2017
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v7i1.23328

Abstract

Penelitian ini mencoba untuk ikut menyumbangkan gagasan-gagasan pada diskusi tentang isu-isu ras dan homoseksualitas yang pelik di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Agar dapat mendekati permasalahan yang kompleks ini, penelitian membahas novel karangan James Baldwin berjudul Another Country, yang menantang supremasi kulit putih dengan pemikiran-pemikirannya perihal identitas pribadi dan sosial. Pada penelitian ini Another Country dimanfaatkan untuk menunjukkan pentingnya pemikiran-pemikiran Baldwin tentang identitas personal dan sosial, berkaitan dengan pengenalan dam pengakuan diri seseorang sebagai manusia, yang menjadi lokus pendukung perubahan sosial yang diperlukan untuk terciptanya keselarasan hubungan-hubungan di Amerika Serikat. Penelitian ini mencoba untuk menganalisis kehidupan dan karya Balwin terhadap perkembangan politik pada masanya, dan dengan meminjam konsep-konsep identitas,  untuk menunjukkan bagaimana dikotomi warga berkulit putih dan hitam adalah pengalaman-pengalaman hidup Baldwin yang paling mengganggu, namun bermakna. Penelitian ini juga pada akhirnya menunjukkan bahwa dengan mempelajari Baldwin sebagai individu dan anggota masyarakat, kita dapat menafsirkan eksistensi dan ekstensi dikotomi yang tidak berterima tersebut: keunggulan warga berkulit putih disamakan dengan keumuman heteroseksualitas dan kemarjinalan warga berkulit hitam dengan keterasingan homoseksualitas.
Konstruksi gender dalam sastra anak Sunda Nala karya Darpan Eka Ayu Wahyuni; Aquarini Priyatna; Tisna Prabasmoro
Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 6 No. 1 (2022): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/satwika.v6i1.20250

Abstract

Nala adalah sastra anak Sunda yang mengantarkan Darpan mendapatkan Hadiah Samsoedi pada tahun 2016, yaitu hadiah yang diberikan kepada penulis sastra anak berbahasa Sunda. Nala penting untuk dibahas karena ditulis oleh seorang penulis laki-laki yang memusatkan cerita pada tokoh anak perempuan tomboi yang kemudian diarahkan untuk menjadi perempuan feminin. Dari gambaran tersebut Nala diasumsikan menghadirkan konstruksi gender yang kaku yang menuntut perempuan untuk menunjukkan atribusi feminin; laki-laki harus menunjukkan atribusi maskulin. Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan konstruksi gender yang dimanifestasikan melalui penggambaran sikap serta peran tokoh perempuan dan tokoh laki-laki dalam Nala karya Darpan. Metode deskriptif-kualitatif digunakan di dalam penelitian ini. Selain itu penelitian ini menggunakan pendekatan kritik sastra feminis untuk melihat bagaimana citra perempuan dihadirkan di dalam karya sastra yang ditulis oleh laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam Nala, konstruksi dan peran gender ditampilkan secara kaku bahwa perempuan harus feminin dan laki-laki harus maskulin. Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruksi gender yang ditampilkan di dalam Nala masih berorientasi pada konstruksi gender normatif, yang berkenaan dengan sikap dan peran. Penggambaran gender normatif tersebut menafikan adanya potensi konstruksi gender alternatif seperti yang dihadirkan melalui tokoh Nala, anak perempuan tomboi, sehingga digiring untuk mengikuti peran feminin.   Nala is a Sundanese children's literature that led Darpan to achieve the Samsoedi Prize, a prize awarded to notable writers of Sundanese children's literature, in 2016. Examining Nala is important because it is written by a male writer who focuses the story on a tomboy girl character, directed to become a feminine girl. From this description, Nala is assumed to present a rigid gender construction that requires women to show feminine attributions in contrast to men that must exhibit masculine attributions. This article aims to discuss gender construction manifested through the description of attitudes and roles of female and male characters in Darpan's Nala. Descriptive-qualitative method was employed in this study. In addition, this study used a feminist literary criticism approach to see how the image of women is presented in literary works written by men. The results show that the construction of gender and roles is depicted rigidly, in a way that women must be feminine, and men must be masculine. The findings led to a conclusion that the gender construction shown in Nala is aligned with the normative gender construction, which relates to certain attitudes and roles. The depiction of normative gender denies the potential for alternative gender construction as presented through the character of Nala, a tomboyish girl who is led and expected to follow the feminine role.
BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS BOBOTOH ID DI LAMAN FACEBOOK (BASTER AND SPEAKER IDENTITY: BOBOTOH ID STATUS ON FACEBOOK) Tisna Prabasmoro; Ferry Parsaulian Pakpahan; Abdul Hamid
Metalingua: Jurnal Penelitian Bahasa Vol 18, No 1 (2020): METALINGUA EDISI JUNI 2020
Publisher : Balai Bahasa Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/metalingua.v18i1.454

Abstract

Status updates are one of the most popular features of Facebook, but few local studies have explored the traits and motives that influence the topics that people choose to update about. As many Persib supporters, otoriously called bobotoh, socialize and spend a great deal of time in technology-mediated environments such as fan communities and social networking sites, they develop an online identity as bilingual and knowlegeable Facebook admins and readers. The article explores the notion of identity as a fluid construct that shifts over time with these bobotoh’s longterm participation in a Facebook fan page named Bobotoh ID. It demonstrates how Sundanese (local language for the people in West Java), bobotoh-ship (a distinct identity) –as points of affiliation– and technology converge to provide a context in which these bobotoh are able to develop a powerful local culture identity circulated through a technologically mediated milieu.AbstrakMeskipun pemutakhiran pampangan (status) adalah salah satu fitur terpopular facebook, kajian-kajian lokal yang mendalami sifat dan motif yang memengaruhi pilihan topik status masih belum banyak dilakukan. Dengan banyaknya jumlah pendukung Persib yang dikenal dengan nama bobotoh yang bermasyarakat dan menghabiskan banyak waktu mereka dalam jejaring teknologi, seperti komunitaskomunitas pendukung dan situs jejaring sosial, mereka mengembangkan identitas maya mereka sebagai admin atau pembaca yang berpengetahuan luas dan bilingual. Artikel ini mengeksplorasi makna identitas sebagai konstruksi cair yang bergeserbersama waktu seiring dengan partisipasi jangka panjang bobotoh dalam komunitas penggemar Persib di facebook bernama Bobotoh ID. Artikel ini juga menunjukkan bagaimana bahasa Sunda (sebagai bahasa daerah masyarakat Jawa Barat), kebobotohan (sebagai identitas yang berbeda)–yang berfungsi sebagai titik-titik afiliasi–dan teknologi bertemu dan memberikan konteks sehingga bobotoh mampu mengembangkan identitas budaya lokal yang kuat di lingkungan yang dimediasi teknologi.
BOBOTOH DAN PERSIB: MENGONSUMSI IDENTITAS MELALUI MAKANAN Tisna Prabasmoro; Trisna Gumilar; Ladinata Ladinata
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 12, No 2 (2020): PATANJALA VOL. 12 NO. 2 Oktober 2020
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30959/patanjala.v12i2.598

Abstract

Makanan adalah salah satu simbol yang dapat secara menonjol merepresentasi identitas pribadi dan kelompok dan membentuk keunikan serta rasa kebersamaan dan keterikatan anggota dalam kelompok yang lebih besar. Masing-masing individu meleburkan diri mereka ke dalam komunitas dan masyarakat dengan mengupayakan (re)konstruksi diri. Artikel ini berhipotesis bahwa pendukung Persib—yang secara umum  dikenal dengan nama bobotoh—terus-menerus mencari cara baru untuk dapat mengekspresikan identitas mereka. Menggunakan kajian-kajian identitas yang berhubungan dengan persepsi akan tempat atau a sense of place, budaya kuliner, ruang fisik, pilihan dan gaya hidup, artikel ini membahas peran rumah makan yang berhubungan dengan Persib, dan menyoroti kemungkinan implikasi dari kegiatan makan bobotoh di rumah makan-rumah makan tersebut. Berfokus pada bagaimana Pawon Sunda Buhun Bobotoh dan 1933 Dapur dan Kopi—dua tempat makan dengan keunikan berbeda—turut me(re)konstruksi identitas bobotoh, artikel ini berargumen bahwa bobotoh juga mengandalkan kegiatan mengonsumsi makanan yang terkait dengan Persib/bobotoh untuk mengekspresikan, memelihara dan bahkan memperkuat identitas pribadi dan kolektif mereka. Food is a symbol that can prominently represent personal and group identity and form uniqueness and a sense of bonding among members of a larger group. Individuals conform themselves to communities and society through self-(re)constructing efforts. The article hypothesizes that Persib’s supporters—commonly known as bobotoh—have continuously sought new ways to express their identity. Employing identity theories related to a sense of place, culinary culture, physical space, choices, and lifestyle, the article examines the roles of Persib-related eateries and highlights the possible implications of bobotoh’s dining out. Focusing on how Pawon Sunda Buhun Bobotoh and 1933 Dapur dan Kopi—two significantly different eating places—contribute to bobotoh’s self identity (re)construction, the article argues that bobotoh also rely on consuming food as a Persib/bobotoh-related activities to express, retain and even strengthen their personal and collective identity.
LUH AYU MANIK MAS SEBAGAI REPRESENTASI SUPERHERO PEREMPUAN BALI DALAM KOMIK Hanifah Puji Utami; Aquarini Priyatna; Tisna Prabasmoro
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 13, No 1 (2021): PATANJALA VOL. 13 NO. 1 APRIL 2021
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30959/patanjala.v13i1.718

Abstract

Penelitian ini berangkat dari minimnya penggambaran karakter beridentitas Indonesia dan maraknya marjinalisasi karakter perempuan dalam komik superhero. Salah satu komik yang mewujudkan tradisi budaya dan kearifan lokal Indonesia adalah Luh Ayu Manik Mas, yang menampilkan kebudayaan Bali. Tulisan ini membahas bagaimana Luh Ayu Manik Mas merepresentasikan perempuan Bali yang terwujud dalam karakternya sebagai superhero. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode analisis isi terhadap empat edisi komik Luh Ayu Manik Mas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Luh Ayu Manik Mas ditampilkan memanifestasi identitas lokal melalui sumber kekuatan, yang dinamakan dengan gelang Tri Datu, dan kepercayaannya pada Tri Hita Karana. Tri Datu diyakini sebagai sumber kekuatan hidup, sedangkan Tri Hita Karana diyakini sebagai prinsip hidup yang menjamin keharmonisan dalam setiap aspek kehidupan. Agama dan Budaya merupakan hal yang berbeda. Luh Ayu Manik Mas merepresentasikan superhero perempuan Bali yang dimuliakan oleh ajaran agama Hindu (sebagai agama dominan di Bali), ketika budaya Bali masih tunduk pada sistem patriarki. This research is motivated by two reasons, namely the lack of the presence of characters with Indonesian identities and the marginalization of female characters in superhero comics. One of the comics that is quite representative of presenting Indonesia's cultural traditions and local wisdom is Luh Ayu Manik Mas, which contains the Balinese culture. This paper discusses how Luh Ayu Manik Mas has represented the Balinese women through her character as a superhero. The research is carried out using the content analysis method on the four comic editions of Luh Ayu Manik Mas.  The results of this study have shown that Luh Ayu Manik Mas was designed to appear to be a manifestation of local identities, such as a source of strength from the Tri Datu bracelet, and the belief in the Tri Hita Karana. Tri Datu is believed to be the source of life force and Tri Hita Karana is the principle of life that ensures harmony in every aspect of life. Religion and culture are two different things. Luh Ayu Manik Mas, who represents the figure of a Balinese female superhero who is glorified by the teachings of Hinduism as the dominant religion in Bali, is in contrast to Balinese culture which is still subject to the patriarchal system.
RACISM DISCOURSE: MUSLIM STEREOTYPE AND DISCRIMINATION IN THE NOVEL OF SAFFRON DREAMS Nursyakillah Musakar; Tisna Prabasmoro; Amaliatun Salehah
ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial dan Budaya Vol. 12 No. 1 (2023): Volume 12, Issue 1, February 2023
Publisher : Laboratorium Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/etnoreflika.v12i1.1758

Abstract

Muslims in America again became a concern when the events of 9/11 occurred in 2001. Muslims who already have a negative image in the eyes of the West have strengthened again, especially when it is associated with the issue of terrorism. The stereotype of Muslims as a religious and cultural identity is echoing again. The aims of this research is to explain Muslim stereotypes in the novel Saffron Dream by Abdullah (2009). This researchy uses a qualitative descriptive method with sociology of literature approach. The result of this research is that in the novel Saffron Dreams, there are two forms of racism experienced by the main character: the stereotype that they (Muslims) are terrorists. The second is that the stereotype leads Arrisa into discrimination, leading to physical and verbal violence. Based on all the explanations in the previous discussion, one of the main conclusions drawn by the author is that the cause of the racist behavior accepted by Arrisa stems from bad prejudice against Muslims because of their religious and racial similarities with the terrorists in the 9/11 tragedy in America which claimed thousands of lives. Because these prejudices make Americans think that Islam is a religion that teaches the science of terror and that all Muslims are terrorists.
NOSTALGIA DAN IDENTITAS : SEPAK BOLA NASIONAL DALAM FOTO ESAI SEPAK BOLA DI MUSEUM OLAHRAGA NASIONAL Deddy Setiawan; Tisna Prabasmoro; Widyo Nugrahanto
Metahumaniora Vol 13, No 1 (2023): METAHUMANIORA, APRIL 2023
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v13i1.39674

Abstract

AbstrakMuseum Olahraga Nasional meluaskan kemungkinan dalam menjangkau target publik yang lebih besar dan menyediakan ruang-ruang yang berhubungan dengan isu perihal sejarah dan nostalgia. Museum juga terkait erat dengan proyeksi identitas pribadi dan kolektif karena pengunjung menyambangi kembali kenangan lama mereka sembari mengonsumsi berbagai produk pendidikan dan budaya seperti esai foto. Penelitian ini menempatkan nostalgia dan kegiatan mengunjungi museum sebagai hal yang berhubungan dengan identitas dan warisan. Terdapat empat karakterisasi olahraga yang telah diidentifikasi secara khusus terkait dengan warisan: warisan olahraga berwujud tak bergerak (stadion, tim nasional, atlet), warisan olahraga berwujud bergerak (acara), warisan olahraga tak berwujud (ritual dan tradisi), serta barang dan jasa yang terkait dengan komponen warisan olahraga. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan esai foto dengan ingatan pengunjung. Artikel ini mempertimbangkan bagaimana museum memfasilitasi berbagai jenis kenangan dengan menyediakan ruang publik terutama ketika ingatan individu tentang sepak bola berkelindan dengan ingatan kolektif. Penelitian ini beranggapan bahwa esai foto di Museum Olahraga Nasional memiliki kapasitas untuk menghubungkan dirinya dengan identitas dan masa lalu pengunjung yang menstimulasi ingatan yang membangun identitas kolektif.Kata kunci: Nostalgia; Identitas; Foto Esai; Sepak Bola; Museum Olahraga NasionalAbstractThe National Sports Museum enhances the possibilities of reaching a wider public and provides forums for issues of history and nostalgia. It is also closely linked to projections of personal and collective identities because visitors revisit their old memories while consuming a variety of educational and cultural products such as photo essays. This paper situates nostalgia and the activity of visiting a museum are related to identity and inheritance. Four characterizations of sport specifically related to heritage are identified: tangible immovable sports heritage (stadiums, national teams, athletes), tangible movable sports heritage (events), intangible sports heritage (rituals and traditions), and goods and services with a sports heritage component. The article sets out to explore the photo essays’ relationship with the visitors' recollections. It considers how the museum facilitates different types of remembrance by providing a public space in which individual memories of football are intertwined with collective memories. The article argues that the photo essays in The National Sports Museum have the capacity to connect with visitors' identities and pasts, stimulating memories that generate collective identity.Keywords: Nostalgia; Identity; Photo Essay; Football; National Sports Museum