After the Japanese occupation, regional languages and Dutch were prohibited from being used. Only Japanese language and Indonesian language are permitted to be used. Because of this, Sundanese language and literature declined, while Indonesian language and literature were pushed forward. Entering the independence era, the situation in Sundanese literature was getting worse, because from 1945 to 1950 the Indonesian people were constantly waging war against Japan, the Allies and the Netherlands. This research will focus on the Sundanese movement that occurred in the 1950s, especially those represented through the poem Tanah Sunda and Tanah Air by Ajip Rosidi. The purpose of writing this article is to see (1) the Sundanese movement emerged simultaneously with the emergence of the form of poetry in Sundanese literary treasures, and (2) the Sundanese movement and the "renewal" movement in Sundanese literature are related to the experience of the Sundanese people in an Indonesian environment. The method used in writing this article is analytical descriptive. There are three stages carried out in this study, namely data provision, data analysis, and presentation of the results of the analysis. The results of the study show that the poems "Tanah Sunda" and "Tanah Air" represent the interweaving of Sundaneseness in Indonesianness. Specifically, it appears that Sundanese is transforming towards Indonesianness, but Sundanese cannot be eliminated because Sundanese is the root and balancer of Indonesian. AbstrakPasca pendudukan Jepang, bahasa daerah dan bahasa Belanda dilarang digunakan. Yang diizinkan untuk digunakan hanyalah bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa dan sastra Sunda mengalami kemunduran, sementara bahasa dan sastra Indonesia justru didorong untuk maju. Memasuki zaman kemerdekaan keadaan sastra Sunda kian memburuk, sebab dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1950 bangsa Indonesia terus-menerus melakukan peperangan melawan Jepang, Sekutu, dan Belanda. Penelitian ini akan berfokus pada gerakan kesundaan yang terjadi pada tahun 1950-an, terutama yang direpresentasikan melalui sajak Tanah Sunda dan Tanah Air karya Ajip Rosidi. Tujuan penulisan artikel ini, yaitu untuk melihat (1) gerakan kesundaan timbul bersamaan dengan munculnya bentuk sajak dalam khazanah sastra Sunda, dan (2) gerakan kesundaan dan gerakan “pembaruan” dalam sastra Sunda berkaitan dengan pengalaman masyarakat Sunda berada dalam lingkungan keindonesiaan. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah deskriptif analitis. Ada tiga tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Hasil penelitian menunjukan bahwa puisi “Tanah Sunda” dan “Tanah Air” merepresentasikan keterjalinan kesundaan dalam keindonesiaaan. Secara spesifik tampak bahwa kesundaan bertransformasi menuju keindonesiaan, tetapi kesundaan tidak boleh dihilangkan karena kesundaan adalah akar dan penyeimbang keindonesiaan.