Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

NOVEL BABALIK PIKIR KARYA SAMSOEDI SEBAGAI BILDUNGSROMAN SUNDA PADA MASA PRAKEMERDEKAAN Liska Puri; Teddi Muhtadin; Ari Jogaiswara Adipurwawidjana
Metahumaniora Vol 11, No 1 (2021): METAHUMANIORA, APRIL 2021
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v11i1.31943

Abstract

Penelitian ini berupaya memetakan karya Samsoedi pada masa prakemerdekaan sebagai Bildungsroman yang diduga dibuat untuk memberikan figur baru untuk anak-anak di lingkungan masyarakat penutur bahasa Sunda pada waktu itu. Kemudian isu-isu sosial dan politik yang dimunculkan  pada karya-karya Samsoedi itu, diduga sengaja dimunculkan untuk memberikan pandangan baru pada anak-anak mengenai modernitas atau pendidikan tertentu yang diusung oleh pemerintah untuk kaum pribumi. Kebijakan pemerintah kolonial dengan meresmikan politik etis, memberikan kesempatan bagi anak-anak  pribumi untuk mengenyam pendidikan. Dengan kesempatan itu, anak-anak pribumi mempunyai kesempatan baru untuk mengetahui pengetahuan dunia melalui bacaan. Bacaan merupakan salah-satu sarana yang dipilih oleh Belanda untuk menjaga kestabilan kekuasaan mereka juga sebagai upaya untuk membentuk masyarakat pribumi seperti pemikiran mereka, sehingga Balai Pustaka diciptakan untuk mendukung itu semua. Pembacaan terhadap lima novel Samsoedi ini didudukan dalam kerangka teoritis sastra anak khususnya Hunt dan Bildungsroman khususnya Jeffers.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola bildungsroman telah difungsikan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat penutur bahasa Sunda, khususnya anak-anak.
Variasi Bahasa Sunda di Daerah Pesisir Jabar Selatan Asri Soraya Afsari; Teddi Muhtadin
Journal Social and Humaniora Vol 19 No 1 (2019)
Publisher : Udayana University Press bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (600.391 KB) | DOI: 10.24843/PJIIB.2019.v19.i01.p03

Abstract

Setiap bahasa di dunia memiliki variasi. Bentuk variasi bahasa dapat dibedakan berdasarkan letak geografis, sosial, dan temporal. Bahasa Sunda sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia memiliki pula variasi tersebut. Secara geografis, bahasa Sunda yang berada di daerah pegunungan memiliki perbedaan dengan bahasa Sunda di daerah pesisir (pantai). Begitu pun bahasa Sunda yang berada di pesisir Jabar Utara memiliki perbedaan pula dengan bahasa Sunda di pesisir Jabar Selatan. Pangandaran merupakan salah satu wilayah yang ada di lintasan pantai Jabar Selatan. Daerah ini banyak didatangi oleh penduduk yang berasal dari Jawa, seperti Cilacap yang menyebrang ke daerah Jawa Barat. Awalnya para pendatang hanya melakukan perdagangan dan mengadu nasib. Seiring waktu para pendatang tersebut kemudian menikah dengan warga asli dan menetap di Pangandaran. Kehadiran para pendatang tentu membawa banyak pengaruh pada kehidupan masyarakat yang ada di Pangandaran, tidak terkecuali dalam hal bahasa dan budaya. Bahasa Sunda yang digunakan di daerah Pangandaran memiliki karakteristik sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian makrolinguistik bidang dialektologi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk variasi bahasa Sunda yang ada di daerah Pangandaran. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode lapangan melalui teknik wawancara informan dan metode survei melalui penyebaran koesioner.
MENJADI INDONESIA: IKONISITAS SUNDA-INDONESIA DALAM PUISI ‘TANAH SUNDA’ DAN ‘TANAH AIR’ KARYA AJIP ROSIDI (Become Indonesia: Sunda-Indonesia Iconicity in The Poetry of ‘Tanah Sunda’ and ‘Tanah Teddi Muhtadin
SAWERIGADING Vol 29, No 1 (2023): Sawerigading, Edisi Juni 2023
Publisher : Balai Bahasa Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/sawer.v29i1.1193

Abstract

After the Japanese occupation, regional languages and Dutch were prohibited from being used. Only Japanese language and Indonesian language are permitted to be used. Because of this, Sundanese language and literature declined, while Indonesian language and literature were pushed forward. Entering the independence era, the situation in Sundanese literature was getting worse, because from 1945 to 1950 the Indonesian people were constantly waging war against Japan, the Allies and the Netherlands. This research will focus on the Sundanese movement that occurred in the 1950s, especially those represented through the poem Tanah Sunda and Tanah Air by Ajip Rosidi. The purpose of writing this article is to see (1) the Sundanese movement emerged simultaneously with the emergence of the form of poetry in Sundanese literary treasures, and (2) the Sundanese movement and the "renewal" movement in Sundanese literature are related to the experience of the Sundanese people in an Indonesian environment. The method used in writing this article is analytical descriptive. There are three stages carried out in this study, namely data provision, data analysis, and presentation of the results of the analysis. The results of the study show that the poems "Tanah Sunda" and "Tanah Air" represent the interweaving of Sundaneseness in Indonesianness. Specifically, it appears that Sundanese is transforming towards Indonesianness, but Sundanese cannot be eliminated because Sundanese is the root and balancer of Indonesian. AbstrakPasca pendudukan Jepang, bahasa daerah dan bahasa Belanda dilarang digunakan. Yang diizinkan untuk digunakan hanyalah bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa dan sastra Sunda mengalami kemunduran, sementara bahasa dan sastra Indonesia justru didorong untuk maju. Memasuki zaman kemerdekaan keadaan sastra Sunda kian memburuk, sebab dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1950 bangsa Indonesia terus-menerus melakukan peperangan melawan Jepang, Sekutu, dan Belanda. Penelitian ini akan berfokus pada gerakan kesundaan yang terjadi pada tahun 1950-an, terutama yang direpresentasikan melalui sajak Tanah Sunda dan Tanah Air karya Ajip Rosidi. Tujuan penulisan artikel ini, yaitu untuk melihat (1) gerakan kesundaan timbul bersamaan dengan munculnya bentuk sajak dalam khazanah sastra Sunda, dan (2) gerakan kesundaan dan gerakan “pembaruan” dalam sastra Sunda berkaitan dengan pengalaman masyarakat Sunda berada dalam lingkungan keindonesiaan. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah deskriptif analitis. Ada tiga tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Hasil penelitian menunjukan bahwa puisi “Tanah Sunda” dan “Tanah Air” merepresentasikan keterjalinan kesundaan dalam keindonesiaaan. Secara spesifik tampak bahwa kesundaan bertransformasi menuju keindonesiaan, tetapi kesundaan tidak boleh dihilangkan karena kesundaan adalah akar dan penyeimbang keindonesiaan. 
Kesundaan dalam Keindonesiaan: Memahami Sajak Sunda Tahun 1950-an Teddi Muhtadin
PANGGUNG Vol 33, No 2 (2023): Ideologi, Identitas, dan Kontekstualitas Seni Budaya Media
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v33i2.2620

Abstract

Tulisan ini berfokus pada pemahaman sajak Sunda yang ditulis tahun 1950-an. Tujuannya untuk mengungkap representasi kesundaan dalam bingkai keindonesiaan. Tujuan tersebut dicapai dengan menggunakan teori semantik semiotika. Hasilnya untuk mengungkapkan bahwa secara semantik, sajak Sunda didominasi oleh tanda ikonis diagramatis dan tanda ikonis metaforis. Tanda ikonis diagramatis menempatkan keindonesiaan di depan kesundaan dan tanda ikonis metaforis menggambarkan bahwa keindonesiaan dapat dijelaskan dengan tradisi kesundaan. Artinya bahwa keindonesiaan terkandung di dalam kesundaan. Selain itu, terungkap pula identitas kesundaan berubah seiring berubahnya bingkai keindonesiaan. Ketika pada tahun 1950-an bingkai keindonesiaan menyempit dan menjadikan kesundaan tereksklusi, maka kesempatan tersebut dipakai untuk melihat dan memahami kesundaan kembali. Dalam pertemuannya dengan keindonesiaan yang menjadi tujuan kesundaan, kesundaan pun menemukan kesundaan yang paling primordial sekaligus berusaha mengatasi kesundaan yang berorientasi kejawaan. Kata kunci: sajak, sunda, gerakan kesundaan
LANDSCAPE AND THE SILENCE OF COLONIALISM NARRATIVE IN THE FIRST SUNDANESE NOVEL (1914) Asep Yusup Hudayat; Lina Meilinawati; Teddi Muhtadin
Prosiding Seminar Nasional dan Internasional HISKI 2020: 29TH INTERNATIONAL CONFERENCE ON LITERATURE AND HISKI 36TH ANNIVERSARY IN GORONTALO 2020 (Lite
Publisher : Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37905/psni.v0i0.56

Abstract

The landscape (nature and domestic space) in the first Sundanese novel (1914) Baruang ka nu Ngarora” Poison for the Youth”, which was published during the colonial period of the Dutch East Indies, can be interpreted as ambiguous, which has the potential to show a palimpsest. The reasons are (1) the landscape (especially nature) in the novel has an atmosphere of silence, (2) the atmosphere cannot be interpreted as peaceful, but how the problems surrounding the practice of colonialism are likely to be hidden, diverted, or even interpreted, and (3) the landscape has the potential as a layered text based on memory traces inherent in narratives about the changing natural landscapes and domestic space. Thus, this study aims to uncover the potential of landscapes as areas of hiding, diversifying, and suppressing the narratives of colonialism. The approach used for this purpose is postcolonial. From a postcolonial perspective, Loomba (2003: 92-93) states that literature is also an important means of taking, reversing, or opposing the dominant colonial means and ideologies. This study also uses the palimpsest concept to show the overlapping phenomenon of pre-colonial and colonial narratives in the natural landscape and domestic space, which indicates the hidden narrative of colonialism behind this background. The result of this research is the silence of the narrative of colonialism in the background of natural landscapes and domestic space which is constructed as hiding and transferring of colonialism narratives.