Untung Haryanto
Unknown Affiliation

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA YANG EFEKTIF DAN EFISIEN Untung Haryanto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 1 No. 1 (2000): June 2000
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v1i1.2100

Abstract

Terdapat beberapa tahapan klasik yang selalu dilakukan pada kegiatan penyemaian yang dilaksanakan oleh UPT Hujan Buatan yaitu penentuan waktu pelaksanaan, penyiapan bahan semai (termasuk di dalamnya adalah produksi, mobilisasi, dan mempertahankan ukuran atau packing,). Ketika sudah berada di lapangan pelaksana dihadapkan pada penentuan atau pemilihan awan yang disemai dan teknik penyebarannya, waktu dan lokasi penyemaian dalam kaitannya dengan obyek awan. Pada tahap akhir, kegiatan yang dilakukan berupa evaluasi, yang sementara ini baru menggunakan teknik statistik. Teknik evaluasi statistik yang digunakan terkadang tidak berhasil mendeteksi tambahan curah hujan baik pada jaringan penakar hujan ataupun tambahan inflow pada sistem catchment. Dari beberapa tahapan tersebut, beberapa diantaranya kerapkali dirasa sebagai kendala baik dari sisi pandang user maupun pelaksana karena tidak "efektif dan efisien". Salah satu hal yang sering dipersalahkanadalah cuaca : angin yang kuat, tidak ada awan potensial. Dari tinjauan proses hujanyang terjadi di dalam awan, dasar ilmiah manipulasi proses, dan dipadukan denganstatus teknologi modifikasi cuaca yang dilaksanakan beberapa tempat di dunia hinggatahun 1999, disimpulkan bahwa teknologi modifikasi cuaca yang efektif dan efisien dapat dicapai melalui dua pendekatan yaitu pertama menjadikan teknologi modifikasi cuaca sebagai bagian integral pengelolaan sumberdaya air, dan kedua menerapkan pemakaian "new cloud seeding device", serta pemakaian sarana yang sesuai untuk kebutuhan operasional.There were some classical operational steps on each cloud seeding operational carriedout by UPT Hujan Buatan that was determine the initial of operatianal day, preparing and handling seeding agent, and the last was overall evaluation. During the opereational day, incharge person on the field should be decided when he must seed and where, which cloud to be choosed, and how much seeding agent must be injected into the cloud on the right time and the right place. Some time, the evaluation based on statistical could not detect the additioal rainfall or river disharge on catchment. Some of those steps looks like in view of user or operator as costraint because its inefective and ineficient. The frequent of unfavourable weather and strong wind during operational day caused the absence of potential cloud. Base on rain process knowledge and its manipulation it was concluded that an efective and eficient cloud seeding operatioanal could be reached by two aproached that is firstly: carried out the cloud seeding operational as an integral part of water resources management, and secondly : by using a "new cloud seeding device", and using the proper tools and equipment for operational.
KARAKTERISTIK INDEX U-3 PADA HARI-HARI DENGAN CURAH HUJAN LEBIH DARI 5mm PADA BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA Untung Haryanto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 1 No. 2 (2000): December 2000
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v1i2.2127

Abstract

Telah di bangun suatu indeks U-3 dari data sounding udara yang dapat digunakan untukmemberi gambaran kondisi lingkungan atmosfer dengan rata-rata curah hujan yang besardi Indonesia. Pengujian di Riamkanan (Kalimantan Selatan), Bandung (Jawa Barat), Malang (Jawa Timur), dan Soroako (Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa pada hari-hari dengan rata-rata curah hujan lebih besar dari 5mm, indeks U-3 menunjukkan nilai kurang dari 71, atau 70 persen dari total banyaknya kasus yang diteliti.Base on temperature and wind provile taken from soundimg data the U-3 index have beendeveloped and used it for predict the atmospheric environment potential for cumulus development. Base on 40 sounding cases and area rainfall more than 5 mm have strongrelationship to the low value of U-3, with different range depending on geographic position of sounding point.
NOTE AND CORRESPONDENCE REANALISIS KONDISI ATMOSFER UNTUK DEKLARASI FAVOURABLE-DAY Untung Haryanto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 1 No. 2 (2000): December 2000
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v1i2.2133

Abstract

Misi penyemain tanggal 18 Desember 1999 ternyata tidak menemukan awan dengankriteria seperti yang diidentikan pada desain penelitian, namun tetap dilakukanpenyemaian pada awan yang ada karena analisis rawinsonde dilapangan menyatakankondisi favorable. Analisis ulang menggunakan indeks U-3 yang telah diuji kehandalannya mendapatkan bahwa lingkungan udara hari itu tidak favorable karenanilai U-3 yang besar, yaitu 277. Citra awan GMS-5 kanal IR memperkuat analisis ini.Dengan demikian penyemain yang dilakukan hari itu merupakan kesalahan dan set untuk hari itu harus dikeluarkandari “set data semai”. Secara keseluruhan set data semaimenjadi 2 -data, sedangkan set data tidak semai 3 -data, ukuran sampel ini tidak dapatdianalisis dengan statistik WMW, sehingga efek penyemain tidak bisa disimpulkan.Seeding mission on December 18, 1999 can not found the suitable cloud as criteriadefined on experiment design, but due to favorable condition declared by analysissounding the existing cloud have been seed. Reanalysis using U-3 indices indicates thatno potential for cloud development due to great value of U-3, ie 277; this result supported by GMS-5 image. There was occur erroneous analysis to declare favorable condition and data set for that day must be rejected from seed data set. After rejected total data set consist only 2 - data seeding and 3 -data unseeding and not suitable for WMW statistical test and seeding effect is inconclussive.
ANALISIS TINGKAT HIGROSKOPISITAS DAN UKURAN PARTIKEL YANG DIHASILKAN DARI PEMBAKARAN FLARE DENGAN 14 MACAM KOMPOSISI BERBEDA UNTUK DIPILIH DAN DIGUNAKAN PADA CLOUD BASE SEEDING DI SOROAKO Untung Haryanto; P Sudibyo Sarwono; Shanty Shanty
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 2 No. 1 (2001): June 2001
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v2i1.2148

Abstract

Telah dilakukan analisis komposisi asap flare higroskopik yang dibuat dengan 14macam komposisi berbeda menggunakan kaskad impaktor. Flare dengan karakteristikdiameter dominan (21.48 %) 15.7 mikron dan coefisien higroskopik tinggi dipilih dandibuat sebanyak 220 batang untuk eksperimen cloud base seeding di Soroako padabulan Mei 2000. Koefisien higroskopisitas dan diameter dominan sekitar 15 mikrondigunakan sebagai dasar pemilihannya.Laboratory analysis was carried out to analyze size and hygroscopicity particle producedby smoke burning of hygroscopic pyrotechnics flare using cascade impactor of 14different compositions. Flare that has dominant size particles of about 15.7 micron indiameter (21.48 %) and coefficient hygroscopicity of 0.96 was selected for field experiment. 220 flares were assembled to be used at field cloud base seedingexperiment in Soroako in May 2000.
ANALISIS KLIMATOLOGI INDEKS OSILASI SELATAN (SOI) UNTUK PENDUGAAN MUSIM TIGA-BULAN KE DEPAN MENGGUNAKAN REGRESI LINIER: PENDUGAAN SOI MUSIM JFM TAHUN 2002 Untung Haryanto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 3 No. 1 (2002): June 2002
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v3i1.2155

Abstract

Telah dilakukan analisis terhadap data klimatologi SOI untuk periode tahun 1900 - 2000guna mengetahui tingkat peramalannya, serta peristiwa besar yang diakibatkannya .1200 data bulanan SOI ini di stratifikasi menjadi data musim (season) dua-bulanan dantiga-bulanan. Hasil analisis auotokorelasi menunjukkan bahwa dua deret musiman iniberkaitan erat, dengan korelasi 0,71. Dari hasil ini, dilakukan analisis regresi linier untukmemformulasikan model training, dan kemudian dilakukan validasi. Validasi silang tigalipatan (three fold cross validation) menunjukkan bahwa model M3 = 1.027 M2 + - 1.12merupakan model training yang menunjukkan kinerja paling baik, berdasarkan dengantingkat korelasi antara SOI-musim hasil dugaan (predicted) dengan SOI -musim hasilpengamatan yang memiliki tingkat korelasi sebesar 0,9. Dengan hasil ini maka modeltraining terpilih digunakan untuk melakukan prediksi SOI-musim tiga bulanan ke depan.Dengan data musim ND tahun 2001, hasil model menunjukkan bahwa musim JFM tahun 2002 adalah normal.Climatology of Southern Oscillation Index (SOI) within period of 1900 - 2000 was out toanalyzed to find out its predictability, and possibility impacts might follow. Total of 1200monthly SOI data was stratified into new series , namely 2-month SOI -season and 3-month SOI-seson. The result of auto -correlation analysis indicates that this two serieshave strong lag-correlation ie 0,71. Base on this result , linear regression analysis wasapplied to formulate a model training, and then to validate its model. Three-fold CrossValidation of model training indicates that model training M3 = 1.027 M2 - 1.12 has better performance, because correlation between SOI -season prediction and SOI real data, is 0.9. Therefore the model may be used in forecasting activity to predict three SOI- season ahead. Based on SOI season ND 2001 the model says that JFM SOI season is normal.
ANALISIS UPPER AIR MELALUI EKSPANSI DATA PERMUKAAN KE LEVEL 850 mb, 700 mb, dan 500 mb Untung Haryanto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 3 No. 2 (2002): December 2002
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v3i2.2171

Abstract

Telah dilakukan analisis kondisi atmosfer Jakarta dengan menggunakan data permukaanyang diekspansi ke level mandatori 850, 700, dan 500 mb. Didapatkan bahwa hujandengan tebal lebih dari 10 mm terjadi jika atmosfer MR700 bernilai lebih dari 6 gr/kgr, dan suhu pada level mandatori 700 mb lebih hangat dari 11 C, dan perubahan tekanan udaratidak memberi petunjuk karena variasinya kecil. Hasil ini mungkin dapat digunakan sebagaibagian sistem peringatan banjir akibat hujan lebat.Analysis atmospheric around Jakarta was carried out by expansion of surface measurement data to the three mandatory levels of 850, 700, and 500 mb. Analysis result found that heavy rainfall more than 10 mm per day occured if MR700 equal or more than 6 gr/kgr, and temperature at 700 mb mandatory level more than 11 C, and no indication from pressure changes due to no variation. Result might used as flood warning due to heavyrain.
STUDI MODEL UNTUK PENINGKATAN PRESIPITASI AWAN KONVEKTIF DENGAN BUBUK GARAM Belyaeva M. V; Drofa A.S; Ivanov V.N; Mahally Kudsy; Untung Haryanto; R Djoko Goenawan; Dini Harsanti; Ridwan Ridwan
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 12 No. 2 (2011): December 2011
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v12i2.2188

Abstract

Sebuah studi tentang penggunaan garam serbuk polidispersi sebagai bahan semaitelah dilaksanakan dengan memakai model 1-dimensi. Dalam studi ini pengaruhpenambahan serbuk garam tersebut terhadap distribusi tetes awan dan jumlah penambahan presipitasi telah dilakukan, serta hasilnya telah dianalisa dan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada pemakaian partikel higroskopis yang diperoleh dari flare piroteknik. Kondisi awan yang dipelajari terdiri dari beberapa macam ketinggian, updraft dan konsentrasi inti kondensasi atmosfer semula. Hasil studi menunjukkan bahwa bubuk garam polidisperse dapat dipakai untuk menghasilkan presipitasi dari awan marginal yang biasanya tidak mampu menghasilkan presipitasi.A study of use of polydisperse salt as seeding agent in cloud modification was conducted using 1-dimensional model. In this study the effects of introduction of the salt powder to cloud droplet distribution and the amount of precipitation enhancement were analyzed and compared to the results obtained by introduction of hygroscopic particles from pyrotechnic flares at various cloud media conditions such as cloud thickness, updraft, and original atmospheric condensation nuclei. This study reveals that polydisperse salt powder is usable to obtain precipitation from marginal cloud that usually can not produce precipitation.
ANALYSIS OF STORM CATEGORY AND COALESCENCE ACTIVITY : RELATIONSHIP TO THE DAILY MEAN CATCHMENT RAINFALL (CASES CLOUD SEEDING OPERATIONAL IN LARONA AND CITARUM CATCHMENT AREA) Untung Haryanto; Dini Harsanti; R. Djoko Goenawan; Krisna Adithya
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 13 No. 1 (2012): June 2012
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v13i1.2204

Abstract

Cloud seeding operational has been conducted in Indonesia. In this study, the two cases operational were analysis, ie Larona (2005) and Citarum Catchment Area (2011). The coalescence activity during operational were analysed using archives of NOAAGFS model sounding and it also used to determined storm category and ICA. For this purpose, the number parameters for moderate threshold range on Raob-55 software were reduced and modified with more suitable range for Indonesia region. Result indicated that in Larona Catchment Area, the most of the storm having category weak to moderate with mean of storm category 67% and 21% respectively, the mean ICA value was -5.7. Relative larger weight of Weak and Medium category of storm were shown in Citarum ie 72% for weak and 18%, with the mean of ICA was -2.7%. As consequences, proportion of Medium together with Strong category for Larona is larger than Citarum,resulting larger amount mean catchment rainfall for Larona (17.1mm) compare to the Citarum (5.2 mm). The coalescence actifity in cloud during operation was effective for booth of two area, but varies due to the varies of cloud base height temperature and potential buoyancy (PB). The mean of CCL temperature in Larona was 20.30C since PB was 3.80C. This study also found that mean 500mb temperature (T) and mean rising parcel (TP) in Larona catchments was more warmer comparing to the Citarum is -4.00C and -0.150C for Larona , and -5.30C and -1.50C for Citarum. Base of the result it has been concluded that ICA has inverse correlation to the mean daily catchments rainfall, since together of Medium and Strong Storm Category has positive correlation.Modifikasi awan sudah operasional. Pada studi ini dilakukan analisis dua kasus operasional , yaitu operasional di DAS (Daerah Aliran Sungai) Larona (2005) dan DAS Citarum (2011). Aktifitas koalesensi selama operasional dianalisis menggunakan arsip data sounding NOAA-GFS yang digunakan untuk menentukan ICA (Index Coalescence Activity – indeks aktifitas koealesensi) dan Storm Category – kategori awan hujan). Bagi keperluan ini banyaknya parameter dan rentang kategori moderat pada perangkat lunak Raob -55 di dikurangi dan dimodifikasi dengan yang paling sesuai dengan kondisi daerah di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan sebagian besar awan hujan yang ada memiliki kategori weak hingga moderat – yaitu 67% dan 21% di DAS Larona dengan rata-rata nilai ICA besarnya -5.7, sedangkan di DAS Citarum, nilai kategori ini lebih besar yaitu 72% dan 18% dengan nilai rata rata ICA adalah -2.7. Sebagai konsekuensinya adalah porsi awan hujan dengan kategori ini lebih banyak muncul di DAS Larona dibandingkan pada DAS Citarum dengan rata rata hujan masing masing 17.1mm di DAS Larona dan 5.2mm di DAS Citarum. Aktivitas koalesensi di kedua DAS ini sama-sama aktif, variasinya ditentukan oleh variasi ketinggian dasar awan konvektif (CCL) dan potensi daya apung awan (PB). Di DAS Larona CCL cukup hangat yaitu 20.30C , dengan nilai PB 3.80C. Pada sutudi ini juga di peroleh bahwa rata rata suhu dan suhu parsel paras 500mb pada DAS Larona lebih hangat (-4.00C dan -0.150C) dari pada di DAS Citarum (-5.30C dan -1.50C). Dari studi ini, disimpulkan bahwa ICA berkorelasi terbalik dengan curah hujan harian, dan berkorelasi positif dengan awan hujan berkategori “ sedang” dan “kuat” secara bersama-sama.
HASIL PENGUKURAN PARTIKEL ASAP GROUND PERTICLES GENERATOR (GPG) DI LAB TMC PUSPIPTEK SERPONG PADA 11 APRIL 2013 R. Djoko Goenawan; Untung Haryanto; Pitoyo Sarwono Sudibyo; Bambang Asmoro; Pamuji Pamuji
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 14 No. 1 (2013): June 2013
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v14i1.2683

Abstract

ABSTRAK  Telah dilakukan pengukuran distribusi dan konsentrasi asap partikel dari hasil penyalaan GPG yang dilakukan di Lap TMC - Puspiptek Serpong. Alat yang digunakan dalam pengukuran baik besar, distribusi dan konsentrasi partikel adalah menggunakan LightHouse (LH) yang bisa menampilkan secara langsung dalam layar monitor alat tersebut. Yang secara langsung terbaca dalam monitoring LH adalah besar partikel dan jumlah partikel per satuan volume (m3). Kisaran alat pengukur partikel LH bisa mengukur terkecil 0.3 mikron hingga 5 mikron dengan rincian 0.3, 0.5, 1.0, 2.5, dan 5 mikron. Light House (LH) adalah satu satunya alat yang biasa digunakan untuk pengukuran udara dan lingkungan dari Laboratorium Aerosol, PTKMR BATAN. Telah dilakukan pengukuran partikel dari asap GPG (Ground Particles Generator) sebanyak 21 kali sampling. Sekali pegambilan sampling asap diperlukan waktu sebanyak 5 menit dan pengukuran udara dalam wadah sampling tersebut juga diperlukan waktu sekitar 5 menit. Selain pengukuran dengan menggunakan LH, juga dilakukan pengukuran dengan menggunakan Impaktor Kaskade Type Anderson dengan 12 tingkat yang memungkinkan pengukuran dari 0.1 mikron hingga 9 mikron. Waktu yang diperlukan cukup lama, yaitu antara pukul 13.15 hingga 18.15 WIB yaitu 5 jam. Impaktor tidak bisa langsung terbaca hasil pengukuran partikelnya namun harus di proses kemudian di kondiskan serta dilakukan penimbangan partikel yang mengendap di setiap tingkatan, sehingga bisa diketahui distribusi partikel tersebut setiap tingkat dari 0.1 mikron hingga partikel terbesar yaitu 9 mikron. Hasil sementara dari pengukuran menggunakan LH dari sebanyak 21 sampel adalah untuk partikel 0.3 mikron memiliki jumlah partikel terbesar mencapai 495.466.815/m3 atau 495 partikel/cm3 asap dan terkecil sebanyak  51.767.763/m3 atau 52 partikel/cm3 asap. Sementara, untuk partikel yang terukur 0.5 mikron terbanyak mencapai 8.969.923/m3 atau 9 partikel/cm3 asap dan terkecil 84.755.200 partikel/cm3 atau 85 partikel/cm3. Sedangkan, partikel yang terukur 1.0, 2.5 dan 5.0 mikron di LH tidak terpantau atau tidak ada sama sekali alias Nol (skala 1 cm3). Tampak puncak distribusinya diperkirakan kurang dari 0.3 mikron (antara 0.1 – 0.05 mikron), sebagai “tail” kanan distribusi (jika dianggap normal) adalah 0.5 mikron. Perkiraan tersebut akan di buktikan dengan menggunakan Impaktor yang bisa mengukur partikel terkecil 0.1 mikron.    ABSTRACT  Measurement of Concentration Distribution and smoke particles from the ignition GPG conducted in TMC-Lab Puspiptek Serpong. Measurement tool used in both large, the distribution and concentration of particles is using Light-House (LH) which can display directly in the device monitor screen which is directly readable in monitoring large particles and LH is the number of particles per unit volume (m3). LH range of gauges can measure the smallest particles 0.3 microns to 5 microns with the details 0.3, 0.5, 1.0, 2.5 and 5 microns. Light House (LH) is the only tool used to measure air and environment of the Aerosol Laboratory, PTKMR BATAN in Jakarta. Have performed measurements of the smoke particles GPG (Ground Particles Generator) as much as 21 times the sampling. Once pegambilan sampling smoke take as many as 5 minutes and air measurements in the sampling container also takes about 5 minutes as well. In addition to measurements by using LH, also be measured by using the cascade Impaktor Type Anderson with 12 levels that allow measurement of 0.1 microns to 9 microns. It takes quite a long time, which is between 13:15 to 18:15 hrs ie 5 hour. Impaktor can not directly read the results of measurements of the particles but must be in process later in kondiskan and sediment particles weighing is done at every level, so they can know the distribution of particles of 0.1 microns each level until the largest particles is 9 microns. Interim results of measurements using as many as 21 samples of LH is for 0.3 micron particles have the greatest number of particles reaching 495 partikel/cm3 495.466.815/m3 or as much smoke and the smallest 52 partikel/cm3 51.767.763/m3 or smoke. While, for the measured particles 0.5 microns or 9 the highest reaches 8.969.923/m3 partikel/cm3 smoke and smallest partikel/m3 84,755,200 or 85 partikel/cm3. Whereas, particles measured 1.0, 2.5 and 5.0 microns in LH is not monitored or none at all, aka Zero. Looks peak distribution estimated to be less than 0.1 microns, as the "tail" distribution right (if it is considered normal) is 0.5 microns. The estimate will be proved by using Impaktor that can measure the smallest particles of 0.1 microns.
Evaluasi Hasil Pelaksanaan Teknologi Modifikasi Cuaca di Jawa Barat Menggunakan Analisis Data Curah Hujan Budi Harsoyo; Untung Haryanto; Tri Handoko Seto; Sunu Tikno; Tukiyat Tukiyat; Samsul Bahri
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 14 No. 2 (2013): December 2013
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v14i2.2689

Abstract

-