Nikardi Gunadi
Unknown Affiliation

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Pengaruh Jumlah Cabang per Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Paprika Nikardi Gunadi; R Maaswinkel; Tonny Koestani Moekasan; Laksminiwati Prabaningrum; - Subhan; Witono Adiyoga
Jurnal Hortikultura Vol 21, No 2 (2011): JUNI 2011
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v21n2.2011.p124-134

Abstract

Di Indonesia, penelitian tentang pengaruh jumlah cabang per tanaman sangat terbatas dan baru dilakukan pada satu varietas paprika, yaitu cv. Ferrari. Dalam rangka meningkatkan pilihan petani terhadap varietas yang dibudidayakan, penelitian tentang pengaruh jumlah cabang per tanaman pada pertumbuhan dan hasil tiga varietas paprika perlu dilakukan. Penelitian dilaksanakan di Rumah Plastik kayu-metal, Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang (1.250 m dpl.), Jawa Barat dari bulan Juni 2007 sampai dengan Februari 2008. Penelitian menguji dua faktor perlakuan, yaitu (1) jumlah cabang per tanaman dengan dua taraf, yaitu dua dan tiga cabang per tanaman serta (2) varietas dengan tiga taraf yaitu varietas Spider, Chang, dan Athena. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah cabang per tanaman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil paprika. Tanaman paprika dengan sistem tiga cabang menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan sistem dua cabang terutama pada  umur 11 minggu setelah tanam. Tanaman paprika dengan sistem tiga cabang memberikan hasil total dan hasil kelas buah >200 g berturut-turut lebih tinggi  yaitu sebesar 9,3 dan 9,1% daripada tanaman paprika dengan dua cabang. Total hasil varietas Athena dan Spider lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Chang, tetapi varietas Chang menghasilkan jumlah buah yang lebih banyak dibandingkan dengan dua varietas lainnya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk pemilihan varietas dan teknik budidaya paprika dalam kondisi rumah plastik di Indonesia.In Indonesia, research on the effect of stem number per plant is very limited and it was conducted only in one sweet pepper variety namely Ferrari. In order to increase the possibility of farmers to choose good cultivated varieties, an experiment needs to be conducted to determine the effect of stem number per plant on the growth and yields of three sweet pepper varieties. This experiment was carried out in the wood-metal plastichouse at the experimental field of the Indonesian Vegetable Research Institute (IVEGRI), Lembang (1,250 m asl.), West Java from June 2007 to February 2008. Two factor treatments tested were (1) number of stem per plant with two levels i.e. two stems and three stems per plant and (2) varieties of sweet pepper i.e. Spider, Chang, and Athena. The treatment combinations were arranged in a completely randomized block design with three replications. The results indicated that number of stem per plant significantly affected the growth and yield of sweet pepper. The plant height of sweet pepper plants grown with three stems were significantly higher than those with two stems, especially after 11 weeks after planting. The plants grown with three stems per plant gave higher total yield and yield of class >200 g up to 9.3 and 9.1%, respectively than the ones grown with two stems per plant. The total yield and yield of class > 200 g of Athena and Spider were significantly higher than those of Chang. However, Chang yielded more number of fruits compared to Athena and Spider. The results can be used as a recommendation in variety selection and cultivation of sweet pepper grown under plastichouse  conditions in Indonesia.
Karakteristik Teknis Sistem Pertanaman Polikultur Sayuran Dataran Tinggi Witono Adiyoga; Rachman Suherman; Nikardi Gunadi; A. Hidayat
Jurnal Hortikultura Vol 14, No 4 (2004): Desember 2004
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v14n4.2004.p287-301

Abstract

Penelitian ini dilaksanakan di sentra produksi sayuran dataran tinggi Pangalengan, Jawa Barat pada bulan No vem ber2001. Observasi lapang dan survai for mal melalui wawancara dengan 23 orang petani responden diarahkan untukmemperoleh data/informasi dasar mencakup karakteristik teknis sistem pertanaman polikultur pada komunitassayuran dataran tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari penggunaansistem pertanaman polikultur. Kombinasi tanaman yang pal ing sering dipilih petani adalah cabai + petsai, kemudiandiikuti oleh tomat + petsai, cabai + siampo, kubis + petsai, dan cabai + kentang + petsai. Secara umum, pemilihan jenissayuran yang dikombinasikan telah sejalan dengan prinsip dasar polikultur yang mengisyaratkan maksimisasisinergisme dan minimisasi kompetisi antartanaman. Petani pada umumnya memilih tanaman kombinasi yangcenderung berumur lebih pendek dan memiliki kanopi lebih sempit dibandingkan dengan tanaman utama.Pengalaman petani mengindikasikan bahwa (a) tomat+petsai dikategorikan memiliki hubungan kompetitif, (b)cabai+petsai dikategorikan tidak saja memiliki hubungan komplementer, tetapi juga hubungan suplementer, (c)tomat+cabai, kentang+tomat, tomat+siampo, dikategorikan memiliki hubungan komplementer/kompetitif, dan (d)cabai+tomat dikategorikan memiliki hubungan suplementer/kompetitif. Kemungkinan kekurangan air ataukekeringan dipersepsi memiliki bobot pengaruh terpenting terhadap keberhasilan sistem pertanaman polikultur.Berdasarkan urutan kepentingannya, bobot pengaruh tersebut diikuti oleh curah hujan per tahun, efek naungan daritanaman lain yang dapat mengurangi radiasi sinar matahari, to tal kebutuhan air, curah hujan efektif per tahun dan efeklindungan. Dukungan hasil penelitian hulu yang bersifat teknis mencakup optimasi penataan spasial dan tem po ral(waktu tanam), optimasi kombinasi tanaman berdasarkan potensi sinergi dan kompetisi, seleksi, dan pemuliaantanaman spesifik untuk tumpangsari, aplikasi pemupukan dan pemulsaan, serta pengendalian hama penyakit secarabiologis, masih sangat diperlukan agar diperoleh suatu acuan atau bahan pembanding yang dapat digunakan untukmelakukan evaluasi, konfirmasi, dan pengembangan sistem polikultur lebih lanjut.Kata kunci: Polikultur; Sayuran dataran tinggi; Sinergisme; KompetisiAB STRACT. Adiyoga, W., R. Suherman, N. Gunadi, and A. Hidayat. 2004. Tech ni cal char ac ter is tics ofpolyculture sys tem of high land vegetables. This study was car ried out in No vem ber 2001, in the high land veg e ta blepro duc tion cen ter, Pangalengan, West Jawa. Field ob ser va tion and for mal sur vey to in ter view 23 re spon dents wereaimed to ob tain data tech ni cal char ac ter is tics of veg e ta ble mul ti plecrop ping sys tems in the high land. Re sults sug gestthat there is an in creas ing trend the use of multiplecropping by veg e ta ble farm ers. The most fre quent crop com bi na tioncho sen by farm ers is hot pep per + chi nese cab bage, fol lowed by to mato + chi nese cab bage, hot pep per + chi nese mus -tard, cab bage + chi nese cab bage, and hot pep per + po tato + chi nese cab bage. In gen eral, the choice of crop com bi na -tion has been in agree ment with the ba sic re quire ment of multiplecropping that is max i miz ing syn er gism, whilemin i miz ing com pe ti tion be tween crops. Farm ers usu ally choose a com pan ion crop that is early ma tur ing and haslower/smaller can opy than the main crop. Farm ers’ ex pe ri ence sug gests that (a) to mato+chi nese cab bage tends to havea com pet i tive re la tion ship, (b) hot pep per+chi nese cab bage, not only has a com ple men tary, but also a sup ple men taryre la tion ship, (c) to mato+hot pep per; po tato+to mato; and to mato+chi nese mus tard have a com ple men tary/com pet i tivere la tion ship, and (d) hot pep per+to mato has a sup ple men tary/com pet i tive re la tion ship. The pos si bil ity of wa ter short -age is per ceived to be the most sig nif i cant fac tor that may af fect the suc cess of multiplecropping sys tems. This is fol -lowed by other fac tors, such as rain fall per year, shad ing ef fect, to tal wa ter re quire ment, ef fec tive rain fall per year, andshel ter ef fect. The sup port of tech ni cal ba sic re search that in cludes the op ti mi za tion of spa tial and tem po ral ar range -ments, op ti mi za tion of crop com bi na tion that con sid ers syn er gism and com pe ti tion as pects, se lec tion of and breed ingof crop va ri et ies which are par tic u larly suited to mul ti ple crop ping, fer til iza tion and mulch ap pli ca tion, and biologicalpest and disease control, is still needed to establish a guidance for evaluating, con firm ing, and further developing theadvantages of multiplecropping sys tem.
Penggunaan Pupuk Kalium Sulfat sebagai Alternatif Sumber Pupuk Kalium pada Tanaman Kentang Nikardi Gunadi
Jurnal Hortikultura Vol 17, No 1 (2007): Maret 2007
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v17n1.2007.p%p

Abstract

ABSTRAK. Percobaan untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk kalium sulfat sebagai alternatif sumber pupuk kalium pada tanaman kentang telah dilaksanakan di lahan petani di Desa Padaawas, Kecamatan Pangalengan (1.400 m dpl), Kabupaten Bandung, Jawa Barat dari bulan Maret sampai Juni 2002. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah acak kelompok dan setiap perlakuan diulang 3 kali. Perlakuan terdiri dari kombinasi 2 faktor yaitu dosis pupuk kalium dan sumber pupuk kalium, yaitu (1) 0 kg K2O, (2) 50 kg K2O (KCl), (3) 100 kg K2O (KCl), (4) 150 kg K2O (KCl), (5) 200 kg K2O (KCl), (6) 250 kg K2O (KCl), (7) 50 kg K2O (K2SO4), (8) 100 kg K2O (K2SO4), (9) 150 kg K2O (K2SO4), (10) 200 kg K2O (K2SO4) dan (11) 250 kg K2O (K2SO4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun penggunaan pupuk kalium sulfat pada tanaman kentang dengan dosis 250 kg K2O per ha meningkatkan beberapa peubah pertumbuhan tanaman dan komponen hasil tanaman kentang, namun penggunaan pupuk kalium sulfat pada percobaan ini belum dapat menggantikan pupuk kalium klorida yang sudah umum digunakan petani. Penggunaan pupuk kalium sulfat pada penelitian ini hanya berpengaruh positif terhadap berat jenis, tetapi tidak terhadap kandungan gula tereduksi dan kandungan pati. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pemilihan sumber pupuk kalium dalam penanaman kentang.ABSTRACT. Gunadi, N. 2007. The Use of Potassium Sulphate as an Alternative Source of Potassium Fertilizer in Potato. An experiment to determine the effect of potassium sulphate as an alternative source of potassium fertilizer in potato was conducted at a farmer’s field in Padaawas Village, Pangalengan Subdistrict (1,400 m asl), Bandung District, West Java, from March to June 2002. Randomized completely block design with 3 replications was used in the experiment. The treatments consisted of combination of rate and source of potassium fertilizer (potassium chloride and potassium sulphate) i.e. (1) 0 kg K2O, (2) 50 kg K2O (KCl), (3) 100 kg K2O (KCl), (4) 150 kg K2O (KCl), (5) 200 kg K2O (KCl), (6) 250 kg K2O (KCl), (7) 50 kg K2O (K2SO4), (8) 100 kg K2O (K2SO4), (9) 150 kg K2O (K2SO4), (10) 200 kg K2O (K2SO4) and (11) 250 kg K2O (K2SO4). The results indicated that although the use of potassium sulphate in potato with a rate of 250 kg K2O per ha increased some growth parameters and yield components of potato, but it could not be easily replaced by the use of potassium chloride, which is commonly used by the farmers. The use of potassium sulphate affect positively only on specific gravity, but not on sugar reduction and starch content. The results could be used as a recommendation to select the source of potassium in potato production.
Kelayakan Teknis dan Ekonomis Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu pada Sistem Tanam Tumpanggilir Bawang Merah dan Cabai Tony Koestony Moekasan; Euis Suryaningsih; Ineu Sulastri; Nikardi Gunadi; Witono Adiyoga; A. Hendra; M. A. Martono; - Karsum
Jurnal Hortikultura Vol 14, No 3 (2004): September 2004
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v14n3.2004.p188-203

Abstract

Percobaan lapangan menggunakan metode perbandingan perlakuan berpasangan telah dilaksanakan di Desa BojongNagara, Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (± 5 m dpl), dari bulan Juni sampai Desember 2002.Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan teknis dan ekonomis penerapan teknologi pengendalian hamaterpadu (PHT) yang dihasilkan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran dibandingkan dengan teknologi yang umumdigunakan oleh petani. Tiap perlakuan diulang empat kali, dengan ukuran petak perlakuan adalah 5 x 20 m = 100 m2.Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan rakitan komponen teknologi PHT pada bawang merah dan cabai yangdihasilkan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran secara ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan dengansistem petani, karena nilai nisbah R/C di petak PHT sebesar 1,47 sedangkan nilai nisbah R/C di petak petani sebesar0,84. Secara ekologi, penerapan PHT pada sistem tanam tumpanggilir bawang merah dan cabai lebih menguntungkankarena dapat menekan penggunaan insektisida dan fungisida masing-masing sebesar 61,53 dan 100% pada tanamanbawang merah dan 72,72 dan 90,90% pada tanaman cabai, sehingga residu insektisida di dalam tanah menurunsebesar 23,06% inhibisi dan fungisida menurun sebesar 50,72% inhibisi, sedangkan di petak petani residu insektisidadi dalam tanah meningkat sebesar 8,14% inhibisi dan fungisida menurun sebesar 20,37% inhibisi. Sementara populasipred a tor di petak PHT lebih tinggi (11,54-55,55%) dibandingkan dengan populasinya di petak petani. Populasi agenshayati, yakni Bacillus sp. dan Trichoderma sp. pada petak PHT lebih tinggi, masing-masing sebesar 35,31 dan 58,35%dibandingkan populasi di petak petani. Residu insektisida dan fungisida pada hasil panen bawang merah dan cabai dipetak PHT masih di bawah ambang batas yang diijinkan, sedangkan residu pada hasil panen bawang merah dan cabaipada petak petani berada di atas ambang batas yang diijinkan.AB STRACT. Moekasan, T.K., E. Suryaningsih, I. Sulastrini, N. Gunadi, W. Adiyoga, A. Hen dra, M.A.Martono, and Karsum. 2004. Tech ni cal and eco nom i cal fea si bil ity of in te grated pest man age ment tech nol ogyon intercropping sys tem of shal lot and hot pep per. A field ex per i ment us ing a paired treat ment com par i son methodwas con ducted at Bojong Nagara vil lage, Ciledug sub dis trict, Cirebon dis trict, West Jawa (±5 m asl) from June un tilDe cem ber 2002. The pur pose of this study was to com pare the tech nique and eco nomic fea si bil ity of in te grated pestman age ment (IPM) tech nol ogy found by In do ne sian Veg e ta bles Re search In sti tute with farmer’s sys tem on shal lotand hot pep per in re lay plant ing sys tem. The ex per i ment used com par i son de sign with four rep li ca tions. The plot sizewas 100 m2. The re sults on shal lot showed that IPM im ple men ta tion gave more eco nom i cally ad van tages than thefarmer’s sys tem, be cause R/C ra tio on IPM plot was 1.47 and R/C ra tio on farmer’s plot was 0.84 re spec tively. On hotpep per, the plant dam age in IPM plot was lower that the dam age in farmer’s plot, but the yield on IPM plot was lowerthan the yield on farmer’s plot. Implementation of IPM could sup press the use of in sec ti cides and fun gi cides ca. 61.53and 100% re spec tively on shal lot and 72.72 and 90.90% re spec tively on hot pep per. In IPM plot, in sec ti cide and fun gi -cide res i due in the soil de creased ca. 23.06% in hi bi tion and 50.72% in hi bi tion re spec tively. In the other hand, the in -sec ti cide res i due in the soil in farmer’s plot in creased ca. 8.14% in hi bi tion, but the fun gi cide res i due de creased ca.20.37% in hi bi tion. Di ver sity of fauna in the plan ta tion in IPM plot was higher (22.03%) than the di ver sity in farmer’splot. Pred a tors pop u la tion in IPM plot was higher (11.54-55.55%) than the pop u la tion in farmer’s plot. Pop u la tion ofBa cil lus sp. and Trichoderma sp. in IPM plot higher (35.31 and 58.35% re spec tively) than the pop u la tion in farmer’splot. Pes ti cide res i due in shal lot bulbs and hot pep per fruits in IPM plot was at the lower level than thresh old level, butthe res i due in farmer’s plot sur passed the thresh old level.
Respons Tanaman Tomat terhadap Penggunaan Jamur Mikoriza di Lahan Marjinal Nikardi Gunadi; - Subhan
Jurnal Hortikultura Vol 17, No 2 (2007): Juni 2007
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v17n2.2007.p%p

Abstract

ABSTRAK. Percobaan untuk mengetahui respons tanaman tomat terhadap penggunaan jamur mikoriza di lahan marjinal telah dilaksanakan di lahan petani di Desa Lemahneundeut, Kecamatan Cisurupan (1.500 m dpl.), Kabupaten Garut, Jawa Barat dari bulan Juli 2001 sampai dengan Desember 2001. Dua faktor perlakuan yaitu (1) penggunaan mikoriza (tanpa dan dengan mikoriza 2 g per tanaman) dan (2) dosis pupuk fosfat (0, 45, 90, 135, dan 180 kg P2O5/ha), diatur dalam sebuah rancangan acak kelompok faktorial dengan 4 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun serapan P pada tanaman tomat meningkat dengan penggunaan jamur mikoriza, namun secara umum penggunaan jamur mikoriza tidak berpengaruh nyata, baik terhadap peubah pertumbuhan maupun komponen hasil tanaman tomat. Pengaruh nyata dari penggunaan jamur mikoriza hanya didapatkan pada pengamatan bobot kering tanaman pada umur 9 minggu setelah tanam. Penggunaan pupuk P dengan dosis 45 kg P2O5/ha meningkatkan secara nyata bobot kering tanaman dan komponen hasil seperti bobot buah total per petak dan jumlah buah per petak (15 m2).ABSTRACT. Gunadi, N. and Subhan. 2007. Response of Tomato on the Application of Mycorrhizae Fungi in Marginal Land. An experiment to determine the response of mycorrhizae fungi application in tomato grown in marginal land was conducted at a farmer’s field in Lemahneundeut Village, Cisurupan Sub-district (1,500 m asl), Garut District, West Java, from July 2001 until December 2001. Two treatment’s factors i.e. factor (1) mycorrhizae application (without and using mycorrhizae 2 g per plant) and factor (2) phosphate fertilizer rate (0, 45, 90, 135, and 180 kg P2O5/ha), were arranged in a randomized block design with 4 replications. The results show that although P uptake in tomato increased with mycorrhizae fungi application, in general mycorrhizae fungi application did not affect significantly to several growth parameters and yield component of tomato. Significant effect of mycorrhizae fungi application was only indicated in total plant dry weight at 9 weeks after planting. The use of phosphate fertilizer at 45 kg P2O5/ha increased significantly on total plant dry weight and yield component such as total fruit weight per plot and fruit number per plot (15 m2).
Identifikasi Potensi dan Kendala Produksi Paprika di Rumah Plastik Nikardi Gunadi; Tonny Kustoeni Moekasan; - Subhan
Jurnal Hortikultura Vol 17, No 1 (2007): Maret 2007
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v17n1.2007.p%p

Abstract

ABSTRAK. Survai eksplorasi dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2003 di daerah sentra produksi paprika Lembang, Bandung, Jawa Barat, untuk mendapatkan gambaran teknologi produksi sayuran di rumah plastik, khususnya paprika, serta mengidentifikasi potensi, peluang, dan masalah budidaya yang ada. Petani responden berjumlah 17 orang dan dipilih secara purposif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paprika adalah jenis sayuran utama yang diusahakan di rumah plastik, kemudian diikuti oleh tomat, tomat ceri, serta mentimun. Pada umumnya, petani responden mengencerkan nutrisi sebanyak 4–14 l nutrisi per 1.000 l air dan mengaplikasikannya dengan dosis 750–2.000 ml/tanaman/hari, sebanyak 3-5 kali/hari. Organisme pengganggu tanaman yang paling merugikan adalah hama thrips, dan berturut-turut diikuti oleh penyakit layu fusarium, dan embun tepung. Perkiraan biaya produksi per tanaman paprika berkisar antara Rp.7.000-Rp.10.000/tanaman. Pengeluaran terbesar dalam biaya produksi adalah untuk nutrisi, dan secara berturut-turut diikuti oleh tenaga kerja, pestisida, benih, dan media. Gerai yang banyak digunakan untuk memasarkan produk adalah pedagang pengumpul, perusahaan swasta, dan koperasi. Kisaran harga maksimal biasanya terjadi antara bulan Januari sampai Mei, sedangkan kisaran harga minimal seringkali terjadi antara bulan Juni sampai Agustus. Indikator efisiensi pengusahaan beberapa jenis sayuran di rumah plastik menunjukkan bahwa rasio penerimaan biaya untuk paprika, tomat, tomat ceri, dan mentimun menunjukkan besaran yang bernilai positif (menguntungkan). Kendala utama sistem produksi sayuran di rumah plastik berdasarkan peringkat kepentingannya adalah insiden hama penyakit, kualitas konstruksi rumah plastik, ketersediaan modal, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan nutrisi, ketersediaan pestisida, ketersediaan air/pengairan, ketersediaan media dan sarananya, fluktuasi harga, dan ketersediaan informasi teknis. Potensi pengembangan yang tercermin dari potensi pasar domestik dan ekspor masih menunjukkan prospek baik. Hal yang perlu dicermati berkaitan dengan kemungkinan pengembangan lebih lanjut adalah ketergantungan yang tinggi terhadap beberapa input produksi utama, antara lain benih, dan plastik UV.ABSTRACT. Adiyoga, W., N. Gunadi, T. K. Moekasan, and Subhan. 2007. Identification of Potential and Constraint of Sweet Pepper Cultivation in Plastichouse. An exploratory survey was carried out in August to October 2003 in sweet pepper production center, Lembang, Bandung, West Java, to obtain general situation of vegetable production technology, especially sweet pepper, in plastichouse, and to identify potentials and constraints of existing cultural practices. There were 17 interviewed farmers that were selected purposively. The results showed that sweet pepper is the most important vegetable cultivated in plastichouse, followed by tomato, cherry tomato, and cucumber. Farmers usually mix 4–14 l of nutrient with 1000 l of water, apply with the dosage of 750–2000 ml/plant/day, as many as 3-5 times/day. The most important pest is thrips, followed by some diseases, such as fusarium wilt, and downy mildew. Estimated production cost per plant is between Rp. 7.000 to Rp. 10.000. The biggest expense is for nutrients, followed by labor, pesticide, seed, and media, subsequently. Outlets mostly used by respondents are assembly markets/traders, private companies, and cooperatives. Maximum price of sweet pepper usually occurs between January and May, while the minimum price frequently occurs between June and August. Efficiency indicators indicate that the R/C’s for tomato, sweet pepper, cherry tomato, and cucumber are positive (profitable). Main constraints of vegetable production in plastichouse based on their rank of importance, as perceived by farmers are pest and disease incidence, quality of plastichouse construction, capital availability, labor availability, nutrient availability, pesticide availability, water/irrigation availability, media availability, price fluctuation, and technical information availability. Potentials for further development as reflected by domestic and export market opportunities, are still promising. However, further development should be pursued cautiously, since there is a high dependence on main inputs that are still imported, such as seeds and UV-plastic.
Kalium Sulfat dan Kalium Klorida Sebagai Sumber Pupuk Kalium pada Tanaman Bawang Merah Nikardi Gunadi
Jurnal Hortikultura Vol 19, No 2 (2009): Juni 2009
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v19n2.2009.p%p

Abstract

Percobaan untuk mengetahui pengaruh 2 sumber pupuk kalium, yaitu kalium sulfat (K2SO4) dan kaliumklorida (KCl) serta dosis pupuk kalium terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah. Penelitian dilaksanakan dilahan petani di Desa Ciledug (12 m dpl.), Cirebon, Jawa Barat dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2003. Duasumber pupuk kalium, yaitu kalium sulfat dan kalium klorida ditempatkan sebagai petak utama dan dosis pupuk kalium,yaitu 50, 100, 150, 200, dan 250 kg K2O/ha sebagai anak petak dalam rancangan petak terpisah dengan 3 ulangan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh sumber pupuk kalium tidak nyata terhadap parameter pertumbuhan,seperti tinggi tanaman, jumlah tunas, dan bobot kering komponen tanaman. Namun pada saat panen pupuk kaliumberpengaruh nyata. Tanaman yang mendapat pupuk K2SO4 mempunyai hasil umbi kering per tanaman, hasil umbisegar per petak, dan hasil umbi kering per petak yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan tanamanyang diberi pupuk KCl. Penggunaan pupuk kalium sulfat tidak nyata meningkatkan kualitas umbi bawang merahpada saat panen dibandingkan dengan penggunaan pupuk kalium klorida. Pengaruh dosis pupuk kalium terhadapbeberapa parameter pertumbuhan tanaman bawang merah, seperti tinggi tanaman, jumlah tunas per tanaman, jumlahdaun per tanaman, dan juga bobot kering komponen tanaman serta pada saat panen, hasil umbi segar dan umbi keringbaik per tanaman maupun per petak (15 m2) tidak nyata.ABSTRACT. Gunadi, N. 2009. Potassium Sulphate and Potassium Chloride as Sources of Potassium Fertilizeron Shallots. An experiment to determine the effect of 2 sources of potassium fertilizer i.e. potassium sulphate (K2SO4)and potassium chloride (KCl) and the rate of potassium fertilizer on the growth and yield of shallots was conductedat farmer’s field in Ciledug Village (12 m asl.), Cirebon, West Jawa from June until August 2003. Two sources ofpotassium fertilizers i.e. potassium sulphate and potassium chloride were assigned as main plots and the rates ofpotassium fertilizers i.e. 50, 100, 150, 200, and 250 kg/ha were assigned as subplots. The experiment was arrangedin a split plot design with 3 replications. The results indicated that the effect of source of potassium fertilizer was notsignificantly affect the growth parameters such as plant height, shoot number, leaf number, and dry weight of plant.While at harvest, however, the effect was significant. The application of potassium sulphate gave higher dry yieldper plant, fresh yield per plot, and dry yield per plot (15 m2) compared to potassium chloride. The use of potassiumsulphate did not significantly increase the quality of shallot bulb at harvest compared to the use of potassium chloride.The effect of potassium fertilizer rate was not pronounced on some growth parameters and yield of shallots such asplant height, shoot number per plant, and leaf number per plant, total plant dry matter, fresh and dry yield either perplant or per plot (15 m2).
Aspek Nonteknis dan Indikator Efisiensi Sistem Pertanaman Tumpang Sari Sayuran Dataran Tinggi Witono Adiyoga; Rachman Suherman; Nikardi Gunadi; Achmad Hidayat
Jurnal Hortikultura Vol 14, No 3 (2004): September 2004
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v14n3.2004.p1-7

Abstract

Penelitian ini dilaksanakan di sentra produksi sayuran dataran tinggi Pangalengan, Jawa Barat pada bulan No vem ber2001. Observasi lapang dan survai for mal melalui wawancara dengan 23 orang petani responden diarahkan untukmemperoleh data/informasi dasar mencakup aspek non-teknis dan indikator efisiensi sistem pertanaman tumpangsaripada komunitas sayuran dataran tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas sayuran utama yangdiusahakan secara monokultur maupun tumpangsari di Pangalengan adalah kentang, kubis, petsai, cabai dan tomat.Petani mempersepsi kentang sebagai komoditas sayuran yang teknik budidayanya pal ing dikuasai serta pal ing dapatdiandalkan/menguntungkan. Sementara itu, tomat dan kubis dikategorikan sebagai jenis sayuran yang memiliki risikoproduksi pal ing tinggi (terutama dikaitkan dengan risiko kehilangan hasil panen akibat serangan hama penyakit).Sebagian besar petani responden cenderung lebih sering memilih sistem pertanaman tumpangsari berdasarkanpertimbangan (a) memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi petani untuk menghindarkan kemungkinankehilangan hasil secara to tal serta kerugian finansial yang disebabkan oleh rendahnya harga salah satu komoditas yangditanam, (b) memanfaatkan lahan dan energi sinar matahari secara lebih efisien, (c) instabilitas hasil yang disebabkanoleh cekaman lingkungan maupun serangan hama penyakit secara keseluruhan dapat dikurangi oleh karena sistemterdiri dari dua atau lebih spesies tanaman yang berbeda, (d) memungkinkan penggunaan tenaga kerja dan modalproduksi secara lebih efisien, dan (e) dua atau lebih cabang usaha (jenis tanaman) yang menopang sistem tersebutdapat saling menutupi jika salah satu di antaranya mengalami kerugian. Sebagian besar petani responden cenderungmemberikan penilaian positif terhadap sta tus sistem pertanaman tumpangsari berkaitan dengan kemungkinanpeningkatan pendapatan usahatani, pengurangan risiko harga/hasil dan pemeliharaan/perbaikan kelestarianlingkungan. Evaluasi produktivitas sistem pertanaman tumpangsari menunjukkan bahwa nisbah kesetaraan lahanuntuk berbagai kombinasi tanaman, berkisar antara 1,13-2,10. Berdasarkan urutan kepentingannya, petanimempersepsi fluktuasi harga, ketersediaan modal dan insiden hama penyakit sebagai tiga kendala terpentingkeberhasilan sistem pertanaman tumpangsari sayuran dataran tinggi. Secara berturut-turut kemudian diikuti olehketersediaan lahan, ketersediaan pupuk/pestisida, ketersediaan air/pengairan, erosi tanah atau kesuburan tanah,ketersediaan informasi teknis dan ketersediaan tenaga kerjaABSTRACT. Adiyoga, W., R. Suherman, N. Gunadi dan A. Hidayat. 2002. Nontechnical aspects and efficiencyindicators of highland vegetable multiple cropping systems. This study was carried out in November 2001, in thehigland vegetable production center, Pangalengan, West Java. Field observation and formal survey to interview 23respondents were aimed to obtain information on non-technical aspects and efficiency indicators of highlandvegetable multiple cropping systems. Results indicate that potato, cabbage, chinese cabbage, hot pepper and tomatoare the most common vegetable crops grown in monocropping and multiple cropping systems. Farmers perceivepotato as the most familiar/manageable, in terms of cultural practices, and the most profitable crop. Tomato andcabbage are perceived as crops that have highest risk, in relation to pest and disease yield losses. There is an increasingtrend of the use of multiple cropping by farmers since (a) it may avoid the yield and financial total loss, (b) it couldutilize land and lights more efficiently, (c) it may reduce the yield instability caused by environmental stress andpests/diseases incidence, and (d) it may use labor and capital more efficiently. Most respondents are in favor of or inagreement with the multiple cropping system’s potential in increasing net income, reducing price and yield risks, andmaintaining and improving environmental conservation. Productivity evaluation of multiple cropping systems showsthat the land-equivalent ratio for some crop combinations is quite high (1.13-2.10). Based on its relative importance,farmers perceive price fluctuation, working capital availability and pest and disease incidence as the main threeconstraints that hamper the succesfulness of the highland vegetable multiple cropping systems. The other secondarycontraints are related to the availability of land, fertilizer and pesticide, water and irrigation, technical information,labor, and soil fertility and ero sion.