Pandu Ishaq Nandana
Division of Urology, Department of Surgery, Faculty of Medicine, Universitas Mataram, Mataram

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

HINDRONEFROSIS BERAT KANAN YANG DISEBABKAN OLEH DUPLIKASI PELVIS-URETER TIPE LENGKAP DENGAN STENOSIS URETEROVESIKAL JUNCTION Justitia, Ica; Nandana, Pandu Ishaq
Jurnal Kedokteran Vol 2 No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hidronefrosis adalah dilatasi kaliks dan pelvis renalis karena penumpukan urin sebagai akibat obstruksi aliran keluar urin di distal dari pelvis renalis.1 Hidronefrosis dapat disebabkan oleh kelainan kongenital dan didapat.2 Duplikasi pelvis-ureter merupakan kelainan kongenital yang penting dan paling sering dibidang urologi.3 Pada artikel ini akan disajikan laporan kasus seorang pasien dengan hidronefrosis berat yang disebabkan oleh kelainan kongenital duplikasi pelvis-ureter dan stenosis ureterovesikal junction.
Efektifitas Tramadol dibandingkan Ketoprofen untuk Mengurangi Nyeri pada Pasien Pasca Operasi Bedah di RS. Bhayangkara menggunakan VAS skor Yasa, I Nengah Putra; Kresnoadi, Erwin; Nandana, Pandu Ishaq
Jurnal Kedokteran Vol 6 No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Nyeri pasca bedah disebabkan oleh adanya rangsangan mekanik luka yang menyebabkan tubuh mengeluarkan mediator-mediator kimia nyeri dan bervariasi mulai dari nyeri ringan sampai nyeri berat namun menurun sejalan dengan proses penyembuhan. Tramadol dan Ketoprofen merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri pasca operasi bedah. Tramadol berkerja dengan menghambat reseptor opioid dan Ketoprofen bekerja dengan penghambatan jalur siklooksigenase dari metabolisme asam arakhidonat. Penelitian ini membandingkan efektifitas Tramadol 100 mg supp. dan Ketoprofen 100 mg supp. dalam mengurangi nyeri pasca operasi bedah. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional. Responden penelitian diobservasi sampai waktu tertentu untuk melihat efek yang timbul pada sampel penelitian. Total 48 pasien, yang terbagi dalam 2 kelompok. Kelompok Tramadol 24 pasien dan Kelompok Ketoprofen 24 pasien. Data disajikan dalam bentuk nilai rerata ± simpang baku, kemudian diuji dengan menggunakan Uji Mann Whitney dan Independent t-Test dengan (a = 0,05). Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara Kelompok Tramadol dan Kelompok Ketoprofen dalam menurunkan derajat nyeri dengan hasil uji statistik p<0,01. Kesimpulan: Pemberian Tramadol 100 mg supp. lebih efektif dibandingkan Ketoprofen 100 mg supp. dalam mengurangi nyeri selama 24 jam pasca operasi.
Evaluasi Angka Bebas Batu pada Pasien Batu Ginjal yang Dilakukan ESWL Berdasarkan Letak dan Ukuran Batu di Rumah Sakit Harapan Keluarga Mataram Periode 2015-2016 Abdurrosid, Lalu Muhammad Kamal; Maulana, Akhada; Hapsari, Yunita; Nandana, Pandu Ishaq
Jurnal Kedokteran Vol 6 No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Batu saluran kemih adalah batu yang terdapat dalam saluran kemih atau traktus urinarius, dimana lokaisnya dapat berada di organ ginjal, saluran ureter dan uretra, serta kandung kemih atau buli-buli. Prevalensi batu ginjal diperkirakan antara 1%- 15%, dan memiliki variasi menurut usia, jenis kelamin, ras, dan lokasi geografis. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) merupakan terapi non-invasif yang menjadi tatalaksana pada batu ginjal. Terdapat berbagai faktor yang diduga dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan ESWL, diantaranya lokasi batu dan ukuran batu ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan antara lokasi batu dan ukuran batu dengan tingkat keberhasilan ESWL pada pasien batu ginjal. Metode: Merupakan penelitian non eksperimental menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional yang diamati secara retrospektif. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Harapan Keluarga Mataram dengan mengambil 67 data rekam medis tahun 2015-2016 dengan batu ginjal yang sudah dilakukan ESWL. Data kemudian dikelompokkan sesuai dengan kategori ukuran batu (diameter <5 mm, 5-10 mm, 11-20 mm dan >20 mm) dan lokasi batu (kaliks superior, kaliks media, kaliks inferior, pyelum, dan uretero-pelvic-junction), lalu dihitung persentase keberhasilan ESWL dan dianalisis dengan uji koefisien kontingensi untuk melihat kemaknaannya. Hasil: Didapatkan bahwa sampel memiliki rentang usia 13-73 tahun (rerata 45,4 tahun). Persentase keberhasilan ESWL lebih tinggi pada batu ukuran <5 mm (100%), 5-10 mm (100%) dibanding batu ukuran ≥10 mm (94%). Didapatkan juga persentase keberhasilan ESWL lebih tinggi pada batu kaliks superior (100%), kaliks media (100%), pyelum (100%), dan UPJ (100%) dibandingkan kaliks inferior (93%). Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara lokasi dan ukuran batu ginjal dengan tingkat keberhasilan ESWL dengan nilai p berturut-turut 0,556 dan 0,326. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara lokasi dan ukuran batu ginjal dengan tingkat keberhasilan ESWL.
EFEKTIFITAS PEMBERIAN TRAMADOL 37,5mg + PARACETAMOL 325mg per oral DIBANDINGKAN KETOPROFEN 100mg supp UNTUK MENGURANGI NYERI SELAMA 24 JAM PADA PASIEN PASCA OPERASI BEDAH DI RS. BHAYANGKARA MENGGUNAKAN VAS Skor Hardiansyah, Nanang Bagus; Kresnoadi, Erwin; Nandana, Pandu Ishaq
Jurnal Kedokteran Vol 6 No 3.1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Nyeri pasca bedah disebabkan oleh adanya rangsangan mekanik luka yang menyebabkan tubuh mengeluarkan mediator – mediator kimia nyeri dan bervariasi mulai dari nyeri ringan sampai nyeri berat namun menurun sejalan dengan proses penyembuhan. Tramadol+paracetamol dan Ketoprofen merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri pasca operasi bedah. Kombinasi Tramadol + paracetamol menghambat sintesis prostaglandin dalam sistem saraf pusat dan nyeri blok impuls pada sistem saraf perifer dan ketoprofen berkerja dengan penghambatan jalur siklooksigenase dari metabolisme asam arakidonat. Tujuan: Penelitian ini membandingkan efektifitas tramadol 37,5mg + paracetamol 325 mg peroral dan ketoprofen 100mg supp dalam mengurangi nyeri pasca operasi bedah umum. Metode: Metode Penelitian ini observasi klinik karena sampel penelitian diobservasi sampai waktu tertentu untuk melihat efek yang timbul pada sampel penelitian. Total 48 pasien, yang terbagi dalam 2 kelompok. Kelompok Tramadol 24 pasien dan Kelompok Ketoprofen 24 pasien. Data Disajikan dalam bentuk nilai rerata ± simpang baku, kemudian diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney dan Independent t-Test dengan (α = 0,05). Hasil: Penurunan derajat nyeri pada pasien pasca operasi bedah umum yang diberi tramadol 37,5mg + paracetamol 325 mg peroral lebih efektif dibanding dengan ketoprofen 100mg supp, p=0,000 (p,0,05). Kesimpulan: terdapat perbedaan bermakna antara kelompok tramadol + paracetamol dan kelompok ketoprofen dalam menurunkan derajat nyeri, p=0,000 (p,0,05).
Insidensi Penyakit Kanker Buli-buli di RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat periode 2017-2018 Pandu Putra Anugrah; Pandu Ishaq Nandana; Marie Yuni Andari
Jurnal Kedokteran Vol 8 No 2 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jku.v8i2.332

Abstract

Kanker kandung kemih (ca buli-buli) merupakan kanker yang paling umum ke 4 terjadi pada pria dan ke 12 pada wanita. Kanker kandung kemih paling banyak terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian kanker kandung kemih di RSUP NTB periode tahun 2017-2018. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Data diambil dari register di bagian instalasi bedah sentral dan bagian kemoterapi RSUP NTB. Total angka kejadian kasus ca buli-buli pada periode 2017-2018 sebesar 90 kasus. Terdiri dari 42 kasus pada tahun 2017 dan 48 kasus pada tahun 2018. Angka kejadian kasus ca buli-buli lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita. Ca buli-buli paling banyak terdiagnosis pada usia 50-80 tahun. TURB merupakan pilihan tindakan yang paling sering dilakukan di RSUP NTB dan hanya sebagian kasus yang dilakukan kemoterapi.
PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI OBAT DUTASTERIDE DAN TAMSULOSIN TERHADAP KADAR PSA (PROSTATE SPECIFIC ANTIGEN) PADA PASIEN BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA) DI RSUD PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT salsabila, safira; Maulana, Akhada Maulana; Nandana, Pandu Ishaq; Wedayani, AA Ayu Niti
Jurnal Kedokteran Vol 9 No 1 (2020): Jurnal Kedokteran Vol 9 No 1 2020
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jku.v9i1.405

Abstract

Latar belakang: Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan tumor jinak yang biasa dijumpai pada 1 dari 3 pria yang berusia lebih dari 50 tahun. Sedangkan Prostate Specific Antigen (PSA) adalah protein yang dihasilkan oleh kelenjar prostat yang bersifat organ spesifik dan diperiksa pada semua pasien BPH untuk mengetahui perjalanan penyakit BPH. Penggunaan obat dutasteride pada BPH dapat menghambat perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron serta dapat menekan pertumbuhan prostat karena obat ini termasuk dalam golongan inhibitor 5 alfa reduktase. Tamsulosin termasuk dalam golongan obat antagonis reseptor alfa 1 yang dapat merelaksasikan tonus otot polos kelenjar prostat dan leher buli-buli. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian komparatif dengan pendekatan eksperimental dan metode pengambilan data dengan pengukuran berulang (pre test – post test field trial). Pengambilan data dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Poliklinik Bedah Urologi dan Instalasi Rekam Medis RSUD Provinsi NTB pada periode waktu Oktober 2019 sampai dengan Desember 2019. Hasil: Dari 32 responden yang dilakukan pemeriksaan PSA awal dan akhir didapatkan rata-rata kadar PSA awal terbanyak pada kelompok <4 ng/ml dan rata-rata kadar PSA akhir terbanyak pada kelompok <4 ng/ml. Rata-rata responden berasal dari kelompok usia 61-69 tahun. Berdasarkan uji hipotesis menggunakan uji paired sample T test diperoleh nilai p = 0,035 (p < 0,05) menunjukkan terdapat perubahan kadar PSA pada pasien BPH yang sudah diberi kombinasi obat dutasteride dan tamsulosin. Kesimpulan: Terdapat perubahan kadar PSA pada pasien BPH yang sudah diberi terapi menggunakan kombinasi obat dutasteride dan tamsulosin di RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Overview Of Characteristics, IPSS Score, and Quality of Life BPH Patients in Mataram Hospital Samudera, I Made Ari; Nandana, Pandu Ishaq
Jurnal Kedokteran Vol 9 No 4 (2020): Jurnal Kedokteran volume 9 no 4 2020
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jku.v9i4.427

Abstract

Overview of Characteristics, IPSS Score, and Quality of Life BPH Patient’s in Mataram Hospital I Made Ari Samudera1 Pandu Ishaq Nandana2 Abstract Background: Benign prostate hyperplasia (BPH) is a degenerative disease that causes discomfort. Risk factors; are; age, obesity, and diabetes mellitus (DM). Patients can be assessed by using the International Prostate Symptom Score (IPSS) which contains seven questions and one Quality of Life (QoL) question. This study aims to describe some risk factors for BPH, IPSS score and QoL scores. Method: This study used a descriptive cross-sectional design. The sample was 43 BPH patients in Mataram City Hospital. The research instrument used medical records, measuring instruments for height and weight, and reference values for IPSS score and QoL scores on PPK BPH IAUI. Result: This study found that the ages of 70-79 years were 44.1%, 60-69 years 37.2%, ? 80 years 11.6%, and 50-59 years 6.9%. Patients with DM 18,6 % and non DM 81,4 %. Patients with obesity 27.9% while non-obese 72.1%. IPSS score moderate category was 44.1%, severe 39.5% and mild 16.2%. The highest QoL score was 4 with 27.9% patients, while the lowest QoL score was 0 with 2.3% patient. Conclusion: BPH patients in Mataram Hospital were dominated 44.1% from aged 70-79 years, non-DM 81,4 %, and non-obese 72.1%. IPSS score is dominated by the moderate category 44.1%, with a QoL score of 4 with 27.9%. Keywords: BPH, Ages, DM, Obesity, IPSS score, QoL Score 1Internship in Mataram Hospital *e-mail: arisamudera@yahoo.com
THE CHARACTERISTIC OF ERECTILE DYSFUNCTION AMONG TYPE 2 DIABETES MELLITUS MALE IN EASTERN INDONESIA Zulfiqqar, Andy; Anthonius, Franky Renato; Cyko, Prasetyo Amanda; Nandana, Pandu Ishaq; Yuri, Prahara; Brodjonegoro, Sakti R
Indonesian Journal of Urology Vol 28 No 1 (2021)
Publisher : Indonesian Urological Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32421/juri.v28i1.603

Abstract

Objective: To determine Type-2 diabetic patients and its characteristics to determined risk of Erectile dysfunction (ED) and the role of EHS score as more practical tools to screening ED among T2DM patients. Material & Methods: The cross-sectional observational study was carried out at the Internal medicine Unit of Manambai Abdulkadir and Dompu district Hospital, out of 45 patients were included on this study. The data were collected from June 01 – August 01 2017. A structural questioner was used to collect the data and was analyzed using SPSS 2.0. person analysis correlation and logistic regression were used to find the Odds Ratio (OR). Results: We found that 38 out of 45 (84.4%) patients (mean age 57.2 ± 7.1) have Erectile dysfunction, 26 patients uncontrolled diabetes, 5 (11.1%) treated as CHF, 4 (8.9%) CKD, and 7 (15.6%) neuropathy diabetic. There is high correlation between random glucose level and IIEF-5 score (r=0.5, p=0.01). The overall odd ratio of ED in this studies was 4.3 (95% CI: 0.73 to 25.1) for uncontrolled diabetes, 2.5 (95% CI: 0.1 to 51.1) for Treated CHF, 2 (95% CI: 0.01 to 41.6) for CKD, and it was 1.2 (95% CI: 0.1 to 11.5) for neuropathy diabetics. Conclusion: From this study, we found that most diabetic patients have ED, and there is high correlation between random glucose level and simplified IIEF-5 score, EHS performed similar result on diagnoses ED compared to IIEF-5.
The impact of glucose control index on erectile hardness score among type 2 diabetes mellitus patients Sakti Brodjonegoro; Andy Zulfiqqar; Franky Renato Anthonius; Amanda Cyko; Pandu Ishaq Nandana
Journal of the Medical Sciences (Berkala Ilmu Kedokteran) Vol 53, No 1 (2021)
Publisher : Journal of the Medical Sciences (Berkala Ilmu Kedokteran)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.034 KB) | DOI: 10.19106/JMedSci005301202102

Abstract

The prevalence of erectile dysfunction (ED) was reported to vary from 37.5 to52% in men above 40. Type 2 diabetes mellitus (T2DM) maycause the nervesand blood vessels damages that worsened the ED. This study aimed to evaluatethe correlation between the glucose control index and the erection hardnessscore (EHS) among T2DM patients. The cross-sectional observational studywas conducted in two district hospitals i.e. Manambai Abdulkadir DistrictHospital, Sumbawa, and Dompu District Hospital, Dompu, West Nusa Tenggara,Indonesia. Forty-five patients with T2DM were involved in this study. Data werecollected using structural questioners during the period from June 1st to August1st, 2017 and were analyzed using SPSS 24.0. Pearson correlation and logisticregression analysis were used to determine the odds ratio (OR). Among 45patients having age 57.38± 7.22 years involved in this study, 38 (84.4%) patientshad ED, 26 (57.8%) uncontrolled DM, 5 (11.1%) congestive heart failure (CHF),4 (8.9%) chronic kidney diseases (CKD), and 7 (15.6%) neuropathy diabetic.A strong correlation between random glucose level and IIEF-5 score (r=0.91;p=0.01) was observed. The overall odds ratio of ED in this study was 4.3 (95%CI: 0.73 to 25.1) for uncontrolled DM, 2.5 (95% CI: 0.1 to 51.1) for CHF, 2 (95%CI: 0.01 to 41.6) for CKD, and 1.2 (95% CI: 0.1 to 11.5) for neuropathy diabetics.In conclusion, there is a strong correlation between random glucose level,duration of diagnosed DM and EHS. Active screening is recommended for thispopulation.