Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Strategic Development Security (PPS): Efforts to Prevent Corruption by the Attorney General's Office Indah Maulani; Wahyu Beny Mukti Setiyawan; Bagus Hanindyo Mantri
Veteran Justice Journal Vol 2 No 2 (2021): Veteran Justice Journal
Publisher : Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33005/vjj.v2i2.39

Abstract

Abstract This research aims to describe the efforts made by the Strategic Development Security (PPS) in the prevention of corruption which is based on a qualitative doctrinal approach. Therefore in this study prioritizes secondary data collected by literature study. The data that has been processed is then analyzed qualitatively. Based on the research results, it was found that the efforts made by the Strategic Development Security Program (PPS) could be done by providing legal information; hold a discussion or discussion together; provide legal information and legal counseling and the Attorney General's Office can also involve other agencies or parties that have the capacity, competence and relevance to legal information materials. Keywords: Security Strategy Development (PPS), Attorney General's Office, Prevention, Corruption.
MENGGAGAS MODEL RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA MARITAL RAPE DALAM MEMBENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN YANG SESUAI DENGAN NORMA HUKUM DI INDONESIA Wahyu Beny Mukti Setiyawan; Hadi Mahmud
Jurnal Ius Constituendum Vol 3, No 1 (2018): April
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.515 KB) | DOI: 10.26623/jic.v3i1.864

Abstract

AbstraksiIndonesia merupakan Negara hukum. Hukum bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi dalam kenyataannya banyak sekali penyelewengan yang terjadi di masyarakat. Salah satu contohnya yaitu kasus kejahatan dalam berumah tangga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Kejahatan rumah tangga yang paling merusak keutuhan rumah tangga salah satunya yaitu kasus marital rape. Sedangkan dalam Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) belum mengatur khusus tentang atau masalah marital rape. Ada cara yang sangat membantu untuk mengatasi masalah marital rape yaitu dengan metode pendekatan restorative justice. Dengan pendekatan model ini, maka masalah marital rape akan terpecahkan karena tujuan dari model restorative justice ini mengutamakan suatu keadilan dan pemulihan masalah tanpa jalur pidana. Restorative justice akan berhasil dilaksanakan di masyarakat jika memperhatikan norma-norma yang ada di masyarakat terkhusus Norma Hukum. Untuk itu, dibutuhkan sosialisasi tentang restorative justice di kalangan masyarakat agar pelaksanaan restorative justice bisa menyelesaikan kasus marial rape di indonesia. Penyelesaian kasus marital rape dengan metode pendekatan restorative justice dapat berupa memberikan solusi dengan konsultasi psikologi, jika cara tersebut belum berhasil, bisa menggunakan cara hukum, dimana korban bisa menggugat cerai si pelaku, dan jika si korban mengalami kekerasan fisik yang dilakukan pelaku, korban bisa mendapatkan bantuan medis. Abstract Indonesia merupakan Negara hukum .Indonesia is a Nation of law. The aim of law is to create  peace and tranquility in social life. But in the reality  many  once  misappropriation that occurred  in  society. For instance in case of crime in household. Domestic Violence (KDRT) actually has arranged in  Constitution  Number 23 of 2004 that governing abolishment  violence  in  household. One of the most factor which demage households integrity is case in marital rape. While in  Constitution Domestic Violence (KDRT) there is no special regulation yet against marital rape. There is  a really helpfull way to resolve marital rape with approach  restorative justice method.  With  approach this model, then  problem  marital rape  will solved  because  aim  of this restorative justice model give priority  for a  justice  and  recovery  problem  without criminal law. Restorative justice will successful held  in  community  if  pay attention  norms that exist  in  community  especially the Legal Norms. Therefore socialization about  restorative justice are needed  in  circles  community for implementing  restorative justice in order to solve  case of  marital rape  in  Indonesia. Settlement  of marital rape  with  restorative  justice approach   method  could actualized through  psychology consultation, if  that way not successful yet, the victim could take litigation way, where she could divorce the perpetrator, and  if the victim has experience Physical violence by perpetrators, the victims  could acquired medical aid. 
POLITIK HUKUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA Wahyu Beny Mukti Setiyawan; Prijo Dwi Atmanto; Hana Hanifia Yusrima Latifa Hanum
Jurnal Ius Constituendum Vol 4, No 1 (2019): April
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (426.413 KB) | DOI: 10.26623/jic.v4i1.1532

Abstract

Politik hukum hadir di titik perjumpaan antara realisme hidup dengan tuntutan idealisme. Politik hukum menyangkut sebuah cita-cita atau harapan, maka terdapat visi hukum yang ditetapkan terlebih dahulu yang kemudian bentuk dan isi hukum dibangun untuk mewujudkan visi tersebut. Urgensi keberadaan peradilan administrasi dalam mewujudkan Negara hukum mendorong pemerintah untuk membentuk sistem hukum dibidang peradilan administrasi, yakni melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang merupakan fondasi bagi pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Pada penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat percari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Secara prinsip, suatu negara diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia warga negaranya.
Implementation of Business Competition Violation Norms in the Decision of the Business Competition Supervision Commission Arifin Ma’ruf; Wahyu Beny Mukti Setiyawan; Widiatama Widiatama
Journal of Morality and Legal Culture Vol 1, No 2 (2020): Journal of Morality and Legal Culture
Publisher : Faculty of Law, Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jmail.v1i2.47127

Abstract

This paper analyzes the application of norms concerning violations of business competition in KPPU decisions. The case study in this paper is in the case of violations of business competition conducted by PT Forisa Nusapersada in Case Decision Number 14/KPPU-L/2015. As a comparison, this study also compares the application of norms in cases that are almost similar, namely the Decision of the Case KPPU Number 14/ KPPU-L/ 2015 with the Decision of the Case KPPU Number: 06/KPPU-L/2004. The results of the research show that in addition to Article 19 and Article 25 above, KPPU should also apply Article 52 paragraph (2) letter a and Article 15 paragraph (3) of Law Number 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition in the case of PT Forisa Nusapersada. 
Mewujudkan Pendaftaran Tanah Yang Responsif Pada Era Disrupsi Sebagai Penunjang Kesejahteraan Rakyat Muhammmad Aziz Zaelani; Wahyu Beny Mukti Setiyawan; Fery Dona
JURNAL USM LAW REVIEW Vol 5, No 1 (2022): MEI
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v5i1.4877

Abstract

This article aims to examine the importance of realizing responsive land registration in the era of disruption to support people's welfare and examine the form of responsive land registration in the era of disruption to support people's welfare. Land registration has a high urgency because it is one of the elements in supporting the welfare of the people. This welfare is related to legal certainty and the fulfillment of governance needs which is manifested in guaranteeing legal protection for land management. However, there are still various problems related to land registration, especially in the era of disruption that demands optimization of technology. Therefore, changes are needed with responsive land registration as a solution. This article includes normative legal research with a statutory and conceptual approach. The urgency is to show a prescriptive on what should be applied to the legal issues under study, especially finding a form of land registration that is responsive in the era of disruption. The results show: (i) The urgency of realizing responsive land registration in the era of disruption to support people's welfare is that there are still land conflicts, the need for an efficient land registration mechanism and maximizing technology; (ii) Responsive forms of land registration in the era of disruption to support people's welfare are realized by: efficiency of land registration by means of information technology, optimization of responsive land registration by expanding community participation facilities, and accountability of land registration by revitalizing land stakeholders.Artikel ini bertujuan untuk mengkaji  pentingnya mewujudkan pendaftaran tanah responsif pada era disrupsi sebagai penunjang kesejahteraan rakyat, dan mengkaji tentang bentuk pendaftaran tanah responsif pada era disrupsi sebagai penunjang kesejahteraan rakyat. Pendaftaran tanah penting untuk menunjang kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum pengelolaan tanah. Masih terdapat permasalahan pendaftaran tanah pada era disrupsi yang menuntut optimalisasi teknologi menghadapi perubahan. Diperlukan perubahan pendaftaran tanah responsif sebagai jalan keluar. Artikel ini termasuk penelitian hukum normatif, menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, analisis deduktif dengan pendekatan perundangan serta konseptual. Hasil penelitian menunjukkan: urgensi mewujudkan pendaftaran tanah responsif pada era disrupsi sebagai penunjang kesejahteraan rakyat adalah maraknya konflik pertanahan, kebutuhan mekanisme pendaftaran tanah yang efisien dan memaksimalkan teknologi;  bentuk pendaftaran tanah responsif pada era disrupsi diwujudkan dengan efisiensi pendaftaran tanah dengan teknologi informasi, optimalisasi pendaftaran tanah responsif dengan memperluas partisipasi masyarakat, akuntabilitas pendaftaran tanah dengan revitalisasi stakeholder pertanahan.   
Political Will sebagai Strategi Mengelola Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Surakarta Wahyu Beny Mukti Setiyawan; Suharno .; Widiatama .
Jurnal Supremasi Volume 9 Nomor 2 Tahun 2019
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (380.056 KB) | DOI: 10.35457/supremasi.v9i2.750

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam mengefektifkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Surakarta dan bagaimana mengefektifkan Peraturan Daerah tersebut. Implikasi dari penelitian ini adalah untuk menciptakan efektivitas sebuah kebijakan diperlukan kerjasama yang baik (sinergitas) antara para penegak hukum dan juga pemerintah. Selain itu juga harus melibatkan peran serta dari masyarakat, baik masyarakat umum dan khususnya para PKL. Keberhasilan penataan PKL di Kota Surakarta dipengaruhi oleh faktor peran Walikota dalam mengkomunikasikan kebijakan (political will) yang akan diambilnya.
Pancasila sebagai Refleksi Karakter Bangsa dan Aktualisasinya dalam Menghadapi Fenomena Hoax Wahyu Beny Mukti Setiyawan; Muhammad Aziz Zaelani; Fery Dona
Jurnal Supremasi Volume 12 Nomor 1 Tahun 2022
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35457/supremasi.v12i1.1983

Abstract

Pancasila merupakan norma dasar sebagai sumber dari segala sumber hukum. Sifat abstrak Pancasila menjadi problem-solving yang cepat meresap ke dalam ranah alam konsep pemikiran bangsa menghadapi hoax. Urgensi Pancasila sebagai bangunan utama penyusun Pembukaan Konstitusi, menunjukkan peraturan tidak dapat dipisahkan dengan nilai Pancasila. Penelitian hokum ini normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual untuk menemukan aktualisasi Pancasila sebagai problem-solving menghadapi fenomena hoax melalui refleksinya. Hasil penelitian menunjukkan: (i) aktualisasi nilai Pancasila sebagai problem-solving pembentukan karakter bangsa menghadapi fenomena hoax menggunakan etika dari rasa kemanusiaan, sikap jujur, saling peduli, memahami, menghargai, mencintai, tolong menolong; (ii) antinomi hoax dengan karakter bangsa Indonesia dibuktikan ketidaksesuaiannya dengan kepribadian Indonesia diamati dari nilai yang masih eksis dalam masyarakat.
PEMBENTUKAN SMALL CLAIM COURT (SCC) SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN Wahyu Beny Mukti Setiyawan; Titin Herawati Utara; Fitriya Dessi Wulandari
Citizenship Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Universitas PGRI Madiun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (261.787 KB) | DOI: 10.25273/citizenship.v7i2.5914

Abstract

Tujuan Penelitian ini adalah melihat pentingnya penerapan Small Claim Court (SCC) di Indonesia.  Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum  normatif.  Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti berdasarkan data-data sekunder atau data kepustakaan. Hasil penelitian ini menujukan bahwa dengan pembentukan SCC di Indonesia, akan semakin meningkatkan akses menuju keadilan, bukan hanya bagi masyarakat pencari keadilan namun juga bagi pembangunan ekonomi bangsa secara keseluruhan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan memberikan perlindungan bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah sebagai implementasi Sila ke-lima (5). Masyarakat biasa-pun dapat menyelesaikan sengketa mereka dengan cara yang menyenangkan tanpa membutuhkan biaya besar, tanpa penundaan, tanpa prosedur teknik dalam pengajuan gugatan, yang didukung oleh perangkat hukum yang sederhana dan terpadu sehingga membuka praktik peradilan bagi orang awam melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih bersifat informal dan kekeluargaan
PENGUATAN PERAN LEMBAGA SOCIAL DEVELOPMENT CENTER FOR CHILD (SDC) DALAM PENGENTASAN KASUS SEXUAL CRIME TERHADAP ANAK JALANAN Wahyu Beny Mukti Setiyawan
Jurnal Bedah Hukum Vol 4 No 1 (2020): Jurnal Bedah Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Boyolali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36596/jbh.v4i1.346

Abstract

Menjadi bangsa yang beradab merupakan salah satu nilai yang tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, dewasa ini bangsa Indonesia bisa dikatakan sedang mengalami krisis moralitas. Hal ini terbukti dari maraknya kasus kejahatan seksual yang terjadi di masyarakat. Ironinya korban dari kejahatan seksual adalah anak-anak. Mereka yang menjadi korban kejahatan seksual rata-rata adalah anakjalanan. Bahkan hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual dan perkosaan. Negara melalui Kementerian Sosial selanjutnya telah membentuk suatu lembaga sosial yang khusus menaungi permasalahan anak jalanan. Lembaga ini adalah Social Development Centre for Child (SDC). Social Development Centre for Child (SDC) memiliki peran dalam menangani kasus anak jalanan. Sebagaimana menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi-Saksi dalam Pelanggaran HAM yang berat, korban adalah “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderita sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak mana pun”.
Urgensi Penerapan Interdependent Airspace Governance Untuk Optimalisasi Tata Kelola Ruang Udara Nasional Sebagai Antisipasi Open Sky Policy Wahyu Beny Mukti Setiyawan; Nurul Hidayah; Andi Chaerul Sofyan
Wajah Hukum Vol 4, No 2 (2020): Oktober
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/wjh.v4i2.252

Abstract

Indonesia as an archipelago state has a national airspace of 5,180,053 km². Indonesia's airspace is located in a strategic position between the continents of Asia and Australia which makes Indonesia one of the busiest air routes in the world. Therefore, the management of air space is a vital matter that must be emphasized through various legal instruments. The sovereignty of Indonesian air space is affirmed in Article 49 paragraph (2) of the 1982 International Law of the Sea Convention which was ratified by Law Number 17 of 1985 concerning Ratification of the United Nations Convention on the Law of the Sea. This article explicitly regulates the legal status of archipelagic waters, air space over archipelagic waters and the seabed as well as the land below. So far, territorial sovereignty that is complete and exclusive is regulated in Law Number 1 of 2009 concerning Aviation, but it does not specifically regulate the boundaries of Indonesia's sovereign air space, either vertically or horizontally. The national airspace of a country is completely closed to foreign aircraft, both civilian and military, so it must be with the permission of the underworld, either through bilateral agreements or multilateral agreements, so that a country's national air space can be traversed by foreign aircraft. Such closed nature can be understood considering that air space is a very vulnerable medium of movement when viewed from the point of view of under-state defense and security. Attacks using aircraft have many advantages and conveniences that can exploit the vulnerability of an air space, such as its fast (speed), wide range, surprise, optimal penetration. This is what prompts each country to adopt its national airspace protection standards which are strict and rigid. Flights between countries are fully regulated through the Bilateral Air Transport Agreement (BATA). Without BATA, the state cannot provide air transportation services to a country. BATA itself is a form of implementation of state sovereignty in air space that is complete and exclusive in the midst of globalization challenges, such as aviation liberalization (Open Sky Policy). Referring to the Open Sky Policy, this policy allows air carriers to make decisions on routes, capacities, prices and various options for flight activities.