Ristiawan Muji Laksono
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Anestesi Epidural Thorakal pada Operasi Shapp Plate pada Pasien dengan Fraktur Kosta Tertutup Multipel Fardian, Dedy; Laksono, Ristiawan Muji
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 32 No 2 (2014): Juni
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Teknik anestesi epidural thorakal banyak digunakan dengan atau tanpa anestesi umum pada operasi daerahthoraks, abdomen dan retroperitoneal. Penggunaan kombinasi dengan anestesi umum akan mengurangi kedalamananestesi dan hemodinamik lebih stabil, serta pulih lebih cepat. Laporan kasus ini, wanita usia 65 tahun, dengandiagnosis fraktur tertutup costae 3–7 sebelah kanan yang menjalani operasi SHAPP klipping kosta dengan anestesiumum dikombinasi epidural thorakal. Status isik pasien ASA 3 dengan geriatri, hipertensi terkontrol, iskemiaanteroekstensif. Anestesi epidural dengan pendekatan median setinggi vertebra T7-8, teknik loss of resistance padakedalaman 3,5 cm dan kateter sedalam 5 cm. Setelah test dose negatif, dilakukan intubasi endotrakeal. Bupivakain0,25% 8 mL+fentanil 50 μg didiberikan ke dalam kateter epidural. Operasi berlangsung stabil dengan tingkatsedasi ringan anestesi inhalasi. Penatalaksanaan nyeri pascaoperasi dengan bupivakain 0,125%+morin 1 mg totalvolume 8 mL, VAS score 0–1. Pada hari ke-4, kateter epidural dicabut diganti obat NSAID oral. Pasien dipulangkanpada hari ke-5. Anestesi epidural thorakal merupakan teknik anestesi yang mempunyai beberapa kelebihan efekanalgesianya, efek perubahan hemodinamik minimal serta menurunkan risiko komplikasi pascaoperasi sehingga berperan utama dalam anestesi bedah thoraks pada geriatri termasuk penatalaksanaan nyeri pascaoperasinya. Kata kunci: Anestesi epidural thorakal, geriatri, hemodinamik stabil, komplikasi pascaoperasi, penatalaksanaan nyeri pascaoperasi Thoracic epidural anesthesia has become widely used with or without general anesthesia for thoracic, abdominal,and retroperitoneal procedures. Combined with general anesthesia, it decreases the need for deep level of anesthesiaand provides more hemodynamically stable operative course and faster emergence of general anesthesia. In thiscase report, an elderly woman, 64 years old, suffered from right 3rd–7th closed rib fracture undergo SHAPP clippingrib surgery under general anesthesia combined with thoracic epidural anesthesia. The physical status was ASA 3with geriatric, controlled hypertension, anteroextensive ischemia. Epidural anesthesia was performed with medianapproach in level T7-8, loss of resistance technique had been used to ind epidural space at 3.5 cm depth, and 5cm catheter was inserted. After the test dose showed negative result, the endotracheal intubation was performed.Bupivacaine 0.25% 8 mL+fentanyl 50 μg was injected intra epidural catheter. The operation went stable with lowlevel sedation of inhalation anesthetics agent. For post operative pain management we used regimen bupivacaine0.125%+morphine 1 mg total volume 8 mL, VAS score 0–1. On the day 4 after surgery, the epidural catheter wasremoved and switched to oral NSAID and the patient discharged on day 5. Thoracic epidural anesthesia is oneof regional anesthesia technique with many advantages such as superiority of pain relief, minimally changes inhemodynamic also lowering risk of postoperative complication, so it plays a major role providing anesthesia inthoracic surgery especially in geriatric, including post operative pain management.Key words: Geriatric, hemodynamically stable, post operative complication, post operative pain management, thoracic epidural anesthesia Reference Yilmaz M, Wong CA. Technique of neuraxial anesthesia. Dalam: Wong CA, penyunting. Spinal and Epidural Anesthesia. New York: McGraw-Hill, Inc; 2007. hlm. 56–9. Hadzic A. Epidural blockade. Dalam: Hadzic A, penyunting. Textbook of regional anesthesia and acute pain management. New York: McGraw-Hill; 2007. hlm. 253–56, 267–70. Brown, DL. Spinal, epidural and caudal anesthesia. Dalam: Miller RD, penyunting. Miller’s Anesthesia. Edisi ke-7. Philadelphia: Churcill Livingstone; 2009. hlm.1611–38, 2261–76. Xie Z, Lanahan J. Anesthesia for geriatric patients. Dalam: Dunn, PF, penyunting. Clinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams and wilkins; 2007.hlm. 487–91. Akhtar S. Ischemic heart disease. Dalam: Stoelting’s Anesthesia and co-existing disease. Edisi ke-5. Philadelphia: Churcill livingstone; 2009. hlm.11–20. Wu CL, Hurley RW. Post operative pain management and patient outcome. Dalam: Post operative pain management: an evidencebased guide to practice. Philadelphia: Saunders; 2006. hlm. 50, 75–9. Strebel BM, Ross S. Chronic postthoracotomy pain syndrome. CMAJ 2007177: 1029. Macrae WA. Chronic post-surgical pain: 10 years on. Br J Anaesth. 2008;101:77–86. Gerner P. Post-thoracotomy pain management problems. Anesthesiol Clin. 2008;26(2):355. Sokouti M, Aghdam BA, Golzari SEJ, Moghadaszadeh M. A comparative study of post operative pulmonary complications using fast track regimen and conservative analgesic treatment: a randomized clinicaltrial. Tanaffos 2011;10(3):12–9 Kettner SC , Willschke H, Marhofer P. Does regional anaesthesia really improve outcome? Br J of Anaesth. 2011;107(S1):i90–5.
Premedikasi Lidokain dengan Torniket Lebih Baik Dibanding dengan Kombinasi Lidokain dan Propofol untuk Mencegah Nyeri Injeksi Propofol Ristiawan Muji Laksono; Isngadi Isngadi; Yudi Hadinata; Karmini Yupono; Ruddi Hartono; Djudjuk Rahmad Basuki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 3 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n3.2382

Abstract

Propofol merupakan jenis obat induksi intravena yang paling sering digunakan dalam pembiusan umum, namun dapat menimbulkan rasa nyeri pada lokasi injeksi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan persentase nyeri pascainjeksi propofol setelah premedikasi lidokain dengan perlakuan torniket selama satu menit dan teknik campuran lidokain fropofol. Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar tunggal bersifat eksperimental. Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Saiful Anwar pada April–Mei 2013. Subjek penelitian adalah 50 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok secara acak. Kelompok A (n=25) mendapat perlakuan campuran 40 mg lidokain dalam propofol intravena (i.v.). Kelompok B (n=25) mendapat perlakuan lidokain 40 mg (i.v.) dengan perlakuan torniket selama satu menit, diikuti injeksi propofol. Derajat nyeri diukur menggunakan Verbal Rating Score. Hasil pengukuran dianalisis statistik dengan uji normalitas, homogenitas, dan Mann Whitney menggunakan software SPSS (versi 18, IBM Statistic, USA). Pemberian lidokain dengan perlakuan torniket signifikan dapat merunkan detajat nyeri lebih baik (24/25 tidak nyeri, 1/25 nyeri) dibanding dengan kelompok campuran lodokain dan propofol (10/25 tidak nyeri, 11/25 nyeri ringan, 4/25 nyeri sedang) (p=0,000). Premedikasi lidokain dengan perlakuan torniket lebih baik dalam menurunkan derajat nyeri dibanding dengan pemberian campuran lidokain dan propofol.Premedication Using Lidocaine with Tourniquet Technique is Superior to Combining Lidocaine and Propofol to Prevent Propofol Injection PainPropofol is one of the most used intravenous induction drugs in general anesthesia, but it produces pain at the injection site. This study aimed to compare the post-propofol injection pain after premedication using lidocaine with the tourniquet technique and a mixture of lidocaine in propofol. This study was a single-blind, experimental clinical trial conducted from April to May 2013. The study's subject was 50 patients divided into two groups. Group A (n=25) received a mixture of 40 mg lidocaine in propofol intravenously (i.v.). Group B (n=25) received 40 mg lidocaine (i.v) with a tourniquet technique for one minute, followed by propofol injection. The degree of pain is measured using the Verbal Rating Score. The results were statistically analyzed using the normality, homogeneity, Mann-Whitney test using SPSS (version 18, IBM Statistic, USA) software. The administration of lidocaine with the tourniquet technique was significantly better in reducing the pain levels (24/25 painless, 1/25 mild pain) compared to the mixture of lidocaine in the propofol group (10/25painless, 11/25 mild pain, 4/25 moderate pain) (p= 0,000). The premedication of lidocaine with the tourniquet technique significantly produces lower pain levels than the mixture of lidocaine in propofol. Premedication of lidocaine with a tourniquet technique can prevent pain after injecting propofol.
Pengaruh Pemberian Pre Emptive Ketamin 0,15 mg/kgbb iv Terhadap Intensitas Nyeri Pasca Operasi Bedah Onkologi Mayor Dengan Anestesi Umum Di RSUD Dr Saiful Anwar Malang Umi Satiyah; Djudjuk Rahmad Basuki; Ristiawan Muji Laksono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 7, No 3 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.605 KB) | DOI: 10.14710/jai.v7i3.10811

Abstract

Latar Belakang : Preemptive analgesia dan multimodal analgesia mempunyai peranan penting dalam penanganan nyeri selama dan pasca operasi dengan memblok jalur nyeri yang terdiri dari tranduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Ketamin sebagai Anti NMDA (N metil D Aspartat) reseptor bekerja memblok  jalur transmisi dan modulasi serta sinergis dengan opioid. Ketamin dosis kecil 0,15 mg/kgbb mempunyai efek preemptive analgesia dan tidak memiliki efek samping yang berat.Tujuan : mengetahui pengaruh pemberian preemptive ketamin 0,15 mg/kgbb iv terhadap intensitas nyeri  pasca bedah onkologi mayor dengan anestesi umum pada  1,2 dan 3 jam pasca operasiMetode : Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda, bersifat eksperimental. Sampel penelitian adalah pasien usia 17-40 tahun, kriteria klinis ASA I-II, pendidikan minimal SMP, dan BMI antara 20-30 kg/M2 yang menjalani pembedahan elektif bedah onkologi mayor kategori nyeri sedang yang meliputi operasi struma dan mammae selain radikal mastektomi (MRM). Jumlah sampel  adalah 44 pasien yang  dibagi secara random menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok 1 (perlakuan) yang menerima ketamin 0,15 mg/kgbb dan kelompok 2 (kontrol) tanpa menerima ketamin 0,15mg/kgbb. Semua pasien menerima  (multimodal analgesia) yaitu fentanyl (opioid), ketorolac (NSID) dan juga obat2an lain untuk  anestesi umum. Intensitas nyeri  pada semua sampel diamati pada  1, 2 dan  3 jam pasca operasi dengan menggunakan Verbal numerical rating scale (VNRS) yang setara dengan VAS (visual Analogue scale). Uji statistik normalitas menggunakan uji saphiro wilk diperoleh hasil bahwa data yang ada tidak terdistribusi normal sehingga dilakukan uji beda non parametrik mann whitney testHasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ketamin 0,15 mg/kgbb mengurangi nyeri akut lebih baik pada  1, 2 dan 3 jam pasca operasi.  Pada  1 jam pasca operasi  kelompok perlakuan memiliki nilai rerata VAS 0 atau lebih rendah 0,77 cm dbandingkan kelompok kontrol dengan nilai p<0,001. Pada  2 jam pasca operasi kelompok perlakuan memiliki rerata VAS 0,3 cm atau lebih rendah 1,4 cm bila dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan nilai p<0,001. Pada  3 jam pasca operasi kelompok perlakuan memiliki rerata 0,9 cm atau lebih rendah 1,6 cm dengan nilai p<0,001.Kesimpulan : Pada penelitian ini preepmtive ketamin 0,15 mg/kgbb iv memberikan pengaruh menurunkan intensitas nyeri  pada  1 jam, 2 jam dan 3 jam pasca pembedahan onkologi mayor kategori nyeri sedang. 
Efek Pemberian Pre-emptive Fentanyl 25 μg terhadap Kejadian Batuk Setelah Bolus Fentanyl 2 μg/kg IV (Fentanyl Induced Cough) Taufiq Agus Siswagama; Hari Bagianto; Ristiawan Muji Laksono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 5, No 1 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (656.784 KB) | DOI: 10.14710/jai.v5i1.6419

Abstract

Latar belakang: Fentanyl merupakan opioid sintetik yang poten, dengan berbagai kelebihannya sehingga fentanyl dijadikan pilihan utama agen premedikasi dan induksi anestesi umum. Kejadian batuk setelah pemberian bolus fentanyl intravena/ fentanyl induce cough (FIC) merupakan sesuatu yang tidak diharapkan pada kasus pembedahan tertentu sehingga pencegahan FIC haruslah dilakukan. Beberapa penelitian telah dilakukan namun kurang efisien, oleh karenanya pada penelitian ini dilakukan pemberian pre-emptive fentanyl dosis 25 μg untuk menurunkan FIC.Tujuan: Mengetahui efek pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg intravena terhadap insiden batuk setelah bolus fentanyl 2 μg/kgBB intravena.Metode: Empat puluh pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum dipilih secara acak untuk diikutkan dalam penelitian. Dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama (20 pasien) mendapat injeksi intravena normal salin 0,5 ml dan diikuti fentanyl 2 μg/kgBB dalam 2 detik, dan kelompok sisanya mendapatkan injeksi intravena fentanyl 25 μg sebelum fentanyl induksi. Digunakan tes Mann-Whitney dan uji korelasi Spearman untuk membandingkan dan menilai hubungan variabel.Hasil: Pemberian pre-emptive fentanyl menunjukkan nilai signifikansi 0.183 pada timbulnya batuk dibandingkan kelompok yang mendapat normal saline namun berkorelasi negatif. Hubungan insiden batuk diantara kedua kelompok bernilai tidak signifikan (p=0,08). Dari derajat batuknya, berbeda signifikan (p=0,043), dengan nilai koefisien korelasi negatif (-0,326) dan nilai yang signifikan (p=0,04).Simpulan: Pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg dapat menurunkan insiden FIC namun secara statistik tidak bermakna.Perlu penelitian selanjutnya untuk mengetahui rentang dosis pre-emptive fentanyl yang tepat serta teknik lainnya sebagai alternative untuk menurunkan insiden FIC 
Efek Penggunaan Breathing Circuit Disposable Terhadap Pertumbuhan Kuman pada Y-Piece di Mesin Anestesi Muhammad Irzal; Ristiawan Muji Laksono; Isngadi Isngadi; Djudjuk R Basuki
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 1 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v13i1.16518

Abstract

Latar Belakang: Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit. Kontaminasi mikroba dari lingkungan rumah sakit, terutama di ruang operasi dan unit khusus lainnya terus berdampak meningkatnya prevalensi infeksi nosokomial. Bakteri ESKAPE patogen (enterococcus faecium, staphylococcus aureus, klebsiella pneumoniae, acinetobacter baumannii, pseudomonas aeruginosa, dan spesies enterobacter) adalah penyebab utama infeksi nosokomial di seluruh dunia. Kebanyakan dari kuman itu adalah isolat resistan multidrug, yang merupakan salah satu tantangan terbesar dalam praktek klinis. Kontaminasi bakteri yang berasal dari mesin anestesi telah menjadi masalah pengendalian infeksi sejak 1950-an. Terdapat sejumlah penelitian yang menyelidiki kontaminasi bakteri dari mesin anestesi yang fokus pada breathing circuit disposable.Tujuan: Mengetahui efek penggunaan breathing circuit disposable terhadap pertumbuhan kuman pada Y-Piece di mesin anestesi dengan pemeriksaan kultur mikrobiologi.Metode: Studi observasional yang dilakukan di kamar operasi sentral RSUD Dr. Saiful Anwar Malang pada bulan Maret 2017 hingga sampel terpenuhi. Dilakukan swab pada kedua kelompok studi (Y-Piece yang baru dibuka dari kemasan dan setelah 1 jam pemakaian) kemudian dilakukan pembiakan bakteri selama 24 jam pada suhu 37°C di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.Hasil: Tidak ditemukan kontaminasi kuman pada Y-Piece breathing circuit disposable yang baru dibuka, sedangkan penggunaan Y-Piece breathing circuit disposable setelah 1 jam ditemukan pertumbuhan kuman.Kesimpulan: Terdapat perbedaan tingkat kontaminasi kuman yang signifikan secara statistik pada Y-Piece breathing circuit saat dibuka dari kemasan dan setelah digunakan 1 jam di mesin anestesi.
Thoracic Paravertebral Block (TPVB) Sebagai Teknik Anestesi yang Aman dan Nyaman untuk Torakoskopi Vilda Prasastri Yuwono; Ristiawan Muji Laksono
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 3 (2020): September
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.03.05

Abstract

Latar belakang: Thoracoscopy atau evaluasi ruang torak merupakan standard diagnosis untuk efusi pleura dan dapat juga digunakan untuk mengambil sampel tumor secara biopsi. Anestesi lokal umum digunakan untuk thoracoscopy, namun sering menyebabkan nyeri karena adanya incomplete block. Thoracic Paravertebral Block (TPVB) yang menawarkan blok unilateral secara keseluruhan dan memiliki efek analgesia jangka panjang dapat digunakan sebagai teknik anestesi pada Thoracoscopy.Kasus: Pasien wanita 44 tahun, berat badan 32 kg, tinggi 155 cm didiagnosa susp keganasan Lung Carcinoma, efusi pleura massive, anemia (Hb 8), Hipoalbumin (2,95), underweight (BMI 14,2), dan riwayat asma. Pasien mendapat tindakan Thoracoscopy biopsi. Thoracic Paravertebral Block dilakukan dengan teknik blind berdasarkan landmark tulang dengan predetermined teknik. Jarum diinsersikan pada ligament costo-transverse superior 1-1,5 cm dari batas superior vertebral transverse. Agen anestesi yang digunakan adalah 9 ml bupivacaine 0,5% (masing-masing 3 ml pada T3, T4, T5). Thoracic Paravertebral Block memberikan efek analgesia selama tindakan dan setelah tindakan thoracoscopy hingga 12 jam dengan Visual Analog Scale rendah selama thoracoscopy.Kesimpulan: Thoracic Paravertebral Block sangat efektif, nyaman, dan aman untuk tindakan thoracoscopy dengan mampu memberikan efek analgesia selama tindakan dan setelah tindakan thoracoscopy hingga 12 jam. 
Perbandingan Outcome Teknik Spinal Anestesi Dosis Rendah Dibandingkan Dosis Biasa pada Sectio Caesarea Darurat Di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Vidya Sulistyawan; Isngadi Isngadi; Ristiawan Muji Laksono
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 2 (2020): May
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.02.02

Abstract

Latar belakang: Sectio caesarea (SC) adalah operasi darurat terbanyak pada obstetrik. Spinal anestesia direkomendasikan untuk section cesarean. Akan tetapi, ffek samping spinal anestesia tersering (hipotensi) dapat menimbulkan efek samping fetomaternal. Spinal anestesia dosis rendah diduga dapat mengurangi efek samping spinal anestesia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan outcome spinal anestesia dosis rendah dibanding dosis biasa pada operasi section cesarean darurat.Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada 119 pasien yang menjalani  SC dengan spinal anestesia. Kelompok A mendapat bupivacaine heavy 5mg + adjuvant (dosis rendah), kelompok B mendapat bupivacaine heavy 7,5mg + adjuvant (dosis rendah), kelompok C mendapat bupivacaine heavy >8mg + adjuvant (dosis biasa). Outcome diteliti yaitu tekanan darah dan nadi ibu menit ke 0,3,6,9. waktu capai ketinggian blok T10-T6, Bromage score, dan Apgar score bayi. Data penelitian dianalisa statistik menggunakan uji normalisasi dan homogenitas, Korelasi Spearman, One-Way ANOVA, Kruskal wallis dan Mann Whitney dengan p≤0,05.Hasil:  Tidak ada beda yang signifikan antara tekanan darah dan nadi pada menit ke 0,3,6, dan 9, waktu capai Bromege 2-3 (p ≥ 0,05), waktu capai T10-T6 (p≥ 0,05) dan Apgar score pada ketiga kelompok penelitian. Akan tetapi waktu kembali Bromage 0 kelompok spinal dosis rendah  dan dosis biasa memiliki beda yang signifikan (p  ≤0,05).Kesimpulan: Outcome tekanan darah, nadi, waktu capai blok T10-T6, bromege score 2-3, Apgar score tidak berbeda signifikan pada spinal anestesia dosis rendah dibanding dosis biasa. Waktu kembali bromege 0 berbeda signifikan pada spinal anestesia dosis rendah dibandingkan dosis biasa.
Kesesuaian antara Persiapan Darah Preoperatif dengan Kebutuhan Darah Durante Operasi Total Hip Replacement (THR) dan Total Knee Replacement (TKR) pada Operasi Elektif di RSSA Devi Ariani; Ristiawan Muji Laksono; Arie Zainul Fatoni
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 3 (2020): September
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.03.01

Abstract

 Latar belakang: Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar saat ini belum memiliki tata peraturan permintaan darah sehingga permintaan didasarkan dengan kebiasaan atau pengalaman. Akibatnya, sering terjadi ketidaksesuaian antara jumlah darah yang disiapkan dengan kebutuhan darah intraoperatif pada pasien yang menjalani operasi Total Hip Replacement dan Total Knee Replacement pada pembedahan elektif di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara persiapan darah preoperatif dengan kebutuhan darah durante operasi pada operasi elektif di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional pada 109 subjek yang menjalani  total hip replacement (THR) (63 pasien)  dan total knee replacement (TKR) (46 pasien). Data rekam medis yang didapat diolah dengan menggunakan Ms Office Excell. Data yang diamati berupa kesesuaian jumlah darah yang disediakan dengan jumlah darah yang dibutuhkan. Data dianalisis menggunakan uji Korelasi menggunakan SPSS 18.00.Hasil: Sebanyak 61,90 % dari subjek Total Hip Replacement dan 50% dari operasi Total Knee Replacement tidak memiliki kesesuaian antara darah yang disiapkan dengan darah yang dibutuhkan. Jumlah total darah yang digunakan pada Total Hip Replacement sebanyak 36 labu (31,58%) dari 144 labu darah yang disiapkan, sedangkan pada operasi Total Knee Replacement 45 labu (100%) darah yang disiapkan tidak digunakan. Waktu operasi THR berbanding lurus dengan jumlah perdarahan pada kedua jenis operasi. Rata-rata perdarahan pada operasi TKR sebanyak 134,02 ml sedangkan pada operasi THR sebanyak 601,11 ml. Kesimpulan: Pada operasi THR didapatkan ketidaksesuaian antara persiapan darah preoperatif dengan kebutuhan darah durante operatif yang lebih besar dibandingkan dengan operasi TKR. Perlu dilakukan pengurangan dalam penggunaan darah atau pengetatan aturan transfusi sehingga dapat berefek baik terhadap pasien dan manajemen rumah sakit. 
Manajemen Nyeri pada Kasus Complex Regional Pain Syndrome (CRPS) di Tangan Kiri Disertai Nyeri Bahu dan Leher Taufiq Agus Siswagama; Ristiawan Muji Laksono
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 1 (2020): January
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.01.05

Abstract

 Latar belakang: Nyeri dan edema lengan pasca operasi mammae cukup sering terjadi dan menimbulkan permasalahan yang pelik bagi pasien dan tenaga kesehatan. Gejala dan tanda berupa nyeri progresif yang tidak sebanding dengan penyebabnya diikuti edema, perubahan warna kulit dan suhu serta gangguan fungsi gerak merupakan tanda dan gejala Complex Regional Pain Syndrome (CRPS). Diperlukan pemahaman tentang penegakan diagnosis dan terapi yang tepat agar pasien CRPS mendapatkan tatalaksana yang baik. Kasus: Pasien dengan nyeri dan edema lengan kiri yang progresif pasca operasi mammae aberant kiri, tidak memberikan hasil memuaskan dengan terapi konservatif selama sepuluh tahun, dilakukan terapi intervensi nyeri dengan stellate ganglion block, facet cervical-3 median branch block dan suprascapullar nerve block dilanjutkan dengan program fisioterapi menunjukkan hasil yang baik. Kesimpulan: Tatalaksana CRPS pada ekstremitas atas dengan terapi konservatif yang tidak menunjukkan hasil yang baik memerlukan terapi intervensi nyeri dikombinasi dengan fisioterapi agar memberikan hasil yang memuaskan.
Transversus Abdominis Plane Block sebagai Analgesia Post-operatif pada Pasien Sectio Caesarea dengan Stenosis Mitral Berat Eko Nofiyanto; Ristiawan Muji Laksono; Isngadi Isngadi
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 2 (2020): May
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.02.06

Abstract

 Latar belakang: Pasien pasca seksio sesarea dapat mengalami nyeri postoperatif dengan rerata skor nyeri 4,7 (skala 10). Komplikasi nyeri postoperatif pada pasien dengan komorbid kardiak dapat mengakibatkan disfungsi organ kardiopulmoner. Transversus abdominis plane block (TAP blok) sebagai blok saraf perifer memberikan analgesia pada dinding abdomen anterior. Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui skala nyeri post operatif, waktu mobilisasi dan lama hari rawat inap serta komplikasi kardiak post operatif pada pasien seksio sesarea dengan komorbid kardiak stenosis mitral berat  yang diberikan TAP blok sebagai bagian multimodal analgesiaKasus: Pasien perempuan 31 tahun, kehamilan ke 2, usia kehamilan 34-36 minggu dengan Pre eklampsia berat, stenosis mitral berat, regurgitasi mitral ringan, regurgitasi trikuspid sedang,regurgitasi pulmonal ringan, ejection fraction (EF) 79,11%, hipertensi pulmonal high probability, Gagal  jantung stadium B fungsional II. Menjalani tindakan seksio sesarea, dengan regional anestesi Sub Arachnoid Block. Setelah operasi dilakukan TAP blok bilateral dipandu ultrasound dengan regimen Ropivacaine 0,25% total volume 30 cc. Monitoring hemodinamik post operatif dilakukan di ruang rawat intensif. Pasien diamati skala nyeri selama dirawat, waktu mobilisasi dan lama hari rawat inap. Dari hasil pengamatan didapatkan hemodinamik stabil, skala nyeri 0-1 selama di rawat tanpa tambahan analgesia opioid, mobilisasi aktif dimulai hari ke 2, dan lama rawat inap selama 4 hari.Kesimpulan: TAP Blok sebagai bagian dari multimodal analgesia memberikan analgesia yang aman dan efektif pada pasien seksio sesarea dengan komorbid kardiak stenosis mitral berat, mencegah komplikasi kardiak, menurunkan penggunaan opioid, mempercepat waktu mobilisasi dan hari rawat inap sama dengan pasien normal.