Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Konstruksi Hukum Penguatan Izin Pertambangaan Rakyat Pasca Undang-Undang Pemda Nomor 23 Tahun 2014 M. Panji Prabu Dharma; Lalu Husni; Sahnan Sahnan
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (151.965 KB) | DOI: 10.29303/ius.v7i1.610

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan mengetahui implikasi yuridis mengenai pengaturan kewenangan izin pertambangan rakyat (IPR) pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, serta menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berdarsarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa implikasi yuridis terkait kewenangan izin pertambangan rakyat (IPR) pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi. Sehingga kewenangan izin pertambangan rakyat yang sebelumnya merupakan kewenangan Bupati/Walikota sudah menjadi kewenangan Gubernur.
PENEGAKAN HUKUM PEMANFAATAN TANAH KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR Sahnan Sahnan; Zainal Asikin
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 6, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.931 KB) | DOI: 10.29303/ius.v6i1.530

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pelaksanaan penegakan hukum penguasaan dan pemilikan tanah kawasan hutan di Dusun Jarang Koak, Desa Bebidas, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur. Mengkaji dan menganalisis kendala-kendala yang dihadapi dalam  penegakan hukum pemanfaatan tanah kawasan hutan tersebut. Dari Hasil Penelitian dapat di kemukakan bahwa (1) dalam Pelaksanaan penegakan hukum dalam pemanfaatan tanah kawasan hutan di Dusun Jurang Koak, Desa Bebidas, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. di mana para aparat penegak hukum dalam penegakan hukum, hanya melihat dari unsur kepastian hukumnya saja, dan mengabaikan unsur manfaat dan keadilannya. Pada hal ketiga unsur tersebut harus mampu diterapkan  secara bersamaan, kalaupun pelaksanaan dari ketiga unsur tersebut di dalam praktiknya tidaklah mudah. Sedangkan (2) Kendala-kendala yang di hadapi dalam penegakan hukum pemanfaatan tanah kawasan hutan dapat  di bagi menjadi tiga yakni: dari sisi struktur, substansi dan kultur.
Kewenangan Badan Pertanahan Nasional Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan Sahnan Sahnan; M. Arba; Lalu Wira Pria Suhartana
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v7i3.714

Abstract

Penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional adalah merupakan terobosan baru dalam rangka untuk menghindari penumpukan perkaran di dunia peradilan khususnya Peradilan Tata Usaha Negara. Penelelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalis proses penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan menurut Permen Nomor 11 Tahun 2016, dan untuk memahami dan menganalisis bentuk kewenangan BPN dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Metode pendekatan yang digunakan adalah: pendekatan Perundang-undangan, pendekatan konsep. Dari hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa proses penyelesaian sengketa pertanahan dalam kaitannya dengan pembatalan sertifikat dapat dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara dan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam hal ini kewenangan pembatalan diberikan kepada BPN yang dapat di bagi menjadi dua yaitu melalui kewenangan kementerian dan di luar kewenangan kementerian. Sedangkan Bentuk kewenangan BPN dalam penyelesaian sengketa pertanahan bisa berupa kewenangan atribusi dan kewenangan pendelagasian. 
Kepastian Hukum Pemilikan Hak Atas Tanah Di Kawasan Tanah Hak Pengelolaan Mandalika Resort (Analisis Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 293 /K/Tun/2009) Sahnan Sahnan
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 8, No 2: August 2020 : Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v8i2.815

Abstract

Tujuan dari penelitian ini terdiri dari (1) memahami peraturan tentang hak pengelolaan lahan. (2) Memahami kepastian hukum tentang hak kepemilikan tanah di dalam hak pengelolaan kawasan Mandalika Resort. Artikel ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1). Peraturan tentang hak pengelolaan berasal dari hak-hak yang dikendalikan oleh Negara berdasarkan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan tentang hak manajemen dapat ditemukan pada UUPA, meskipun aturan tersebut sangat implisit dalam penjelasan umum pada poin 2 angka 2. Dan selama ini, peraturan yang berkaitan dengan hak manajemen telah diatur dalam peraturan pemerintah. (PP) dan peraturan lainnya yang setara dengan peraturan oleh menteri dan Badan Pertanahan Nasional. (2) Namun, pengadilan telah memenangkan gugatan atau pengadilan menerima bagian dari hukum dari ahli waris almarhum Haji Kemudian Sapri CS di tanahnya di Mandalika Resort Area terhadap PT. Pengembangan Pariwisata Lombok (PT. LTDC). Namun tetap, sampai sekarang, status tanah belum jelas atau memiliki kepastian hukum tertentu. Lebih lanjut, Badan Pertanahan Nasional di Lombok Center tidak ingin memproses penerbitan yang diajukan oleh ahli waris Haji Lalu Sapri CS. Badan Pertanahan Nasional di Lombok Tengah masih berpendapat bahwa tanah yang dimenangkan oleh ahli waris Haji Kemudian Sapri CS masih merupakan tanah negara. Keputusan Mahkamah Agung tidak mencabut status tanah negara ini, dan keputusan Mahkamah Agung hanya mencabut pemberian Hak Bangunan.
SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI ALAT BUKTI HAK YANG KUAT Dadi Arja Kusuma; Rodliyah Rodliyah; Sahnan Sahnan
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (213.359 KB) | DOI: 10.29303/ius.v5i2.465

Abstract

Salah satu tujuan dari pendaftaran tanah adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat hak milik atas tanah yang beriktikad baik. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis kriteria-kriteria sertifikat sebagai alat bukti yang kuat, dan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat yang beriktikad baik. Tipe penelitian hukum ini adalah penelitian normatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum, teori penegakkan hukum, teori kewenangan dan teori perlindungan hukum. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang–undangan, konseptual dan pendekatan kasus.  Berdasarkan hasil penelitian bahwa kriteria-kriteria sertifkat sebagai alat bukti hak yang kuat yakni penerbitan sertifikat hak milik atas tanah harus melalui prosedur peraturan yang berlaku, Sertifikat di buat oleh Pemegang Hak yang beriktikad baik, diterbitkan instansi yang berwenang dan obyek tanah dikuasai secara nyata selama lebih dari 5 (lima) tahun. dan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat yang beriktikad baik yaitu secara preventif ketentuan pasal 32 ayat 1 dan 2 pp 24 tahun 1997 dan represif dengan adanya lembaga recstverwerking, dan khususnya pada perkara perdata nomor :10/Pdt.G/2010/PN.SBB diberikan perlindungan hukum secara represif bagi pemegang sertifikat yang beriktikad baik.
Kedudukan Hukum Perempuan Dalam Perolehan Hak Milik Atas Tanah Muhammad Arba; Any Suryani; Sahnan Sahnan; Wiwiek Wahyuningsih; Shinta Andriyani
Jurnal Kompilasi Hukum Vol. 5 No. 2 (2020): Jurnal Kompilasi Hukum
Publisher : Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jkh.v5i2.25

Abstract

Manusia dalam kehidupannya selalu mengantungkan diri dengan tanah, baik dilihat dari aspek ekonomis maupun dari aspek religius. Oleh karenanya setiap manusia dan badan hukum ingin memiliki dan menguasai tanah. Hukum Adat Sasak asli menyatakan bahwa anak perempuan tidak berhak mewarisi harta benda si pewaris yang berupa tanah dan rumah karena anak perempuan adalah anak yang akan dibawah keluar oleh suaminya. UUPA menentukan tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Hukum Islam sudah menentukan dalam Al-Qur’an Surat Annisa 11 bahwa bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian ahli waris perempuan. Hukum Adat Sasak menganut sistim kekerabatan Patrilineal sehingga anak laki-laki saja yang berhak mewarisi tanah. Akan tetapi perkembangan sekarang sudah menerapkan sistim kekerabatan Parental, yaitu anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak waris atas tanah.
PROBLEMATIKA YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENERAPKAN SANKSI PIDANA DI BAWAH PIDANA MINIMAL KHUSUS Erwin Harlond Palyama; Zainal Asikin; Sahnan Sahnan
MEDIA BINA ILMIAH Vol 13, No 12: Juli 2019
Publisher : BINA PATRIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (450.631 KB) | DOI: 10.33758/mbi.v13i12.264

Abstract

Tujuan dari penelitian untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana problematika yuridis terhadapputusan pengadilan tindak pidana korupsi yang menerapkan sanksi pidana di  bawah pidana minimal Khusus dan mengapa hakim menjatuhkan sanksi pidana dibawah pidana minimal khusus dalam perkara tindak pidana korupsi, dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hokum positif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach).  Larangan untuk menolak suatu perkara dengan dalih aturan tidak ada atau kurang jelas, menjadi dasar pemikiran bagi hakim untuk melakukan penafsiran terhadap undang-undang dalam memberikan sanksi bagi terdakwa.
EKSISTENSI TANAH PECATU DESA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA (Studi Di Desa Apitaik Kabupaten Lombok Timur) Riska Siskawati; Arba Arba; Sahnan Sahnan
MEDIA BINA ILMIAH Vol 13, No 6: Januari 2019
Publisher : BINA PATRIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (339.857 KB) | DOI: 10.33758/mbi.v13i6.276

Abstract

Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) pada tanggal 15 Januari 2014, memiliki arti bahwa desa-desa di Indonesia sudah memasuki implementasi babak konstruksi penggabungan fungsi self-governing community dengan local-self government dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia yang telah berjalan hampir dua dekade. Perlindungan terhadap tanah pecatu desa yang merupakan hak tradisional masyarakat adat sangat penting mengingat bahwa selama ratusan tahun masyarakat hukum sudah terbentuk dan mendiami wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan sebelum NKRI terbentuk. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah studi lapangan dan kepustakaan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis deskriptif kualitatif. Hasil yang didapatkan adalah eksistensi tanah pecatu masih ada setelah berlakunya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Eksistensi ini tercermin dalam pasal 76 Ayat (1) yang menyebutkan tanah ulayat merupakan aset desa. Tanah pecatu merupakan tanah ulayat sehingga memiliki arti bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengakui kebaradaan tanah pecatu. Bentuk pengalihan tanah pecatu desa setelah berlakunya tanah undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa yakni berdasarkan Peraturan menteri dalam negeri nomor 1 tahun 2016 tentang pengelolaan aset desa adalah tukar menukar dan penyertaan modal. Setiap aturan hukum yang diterapkan pasti memiliki masalah tersendiri dalam pelaksanaannya, terlebih apabila berkaitan dengan aspek hukum adat. Masalah yang mengikuti tanah pecatu desa setelah berlakunya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa ialah dimana terlambat dilakukannya inventarisasi terhadap aset desa khususnya tanah pecatu sebab sebelumnya inventarisasi dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Lombok timur. Masalah lainnya yakni dimana ketika desa pemekaran meminta untuk mendapatkan tanah pecatu, sebab pemerintah daerah kabupaten Lombok timur akan mengembalikan tanah pecatu kepada desa induk. Saran dari penelitian ini adalah bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota harus meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan tanah pecatu desa khususnya dalam hal inventaris aset desa di Desa Apitaik.
ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2011 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2019 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MATARAM TAHUN 2011-2031 Safrudin Safrudin; Arba Arba; Sahnan Sahnan
MEDIA BINA ILMIAH Vol 13, No 12: Juli 2019
Publisher : BINA PATRIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (389.152 KB) | DOI: 10.33758/mbi.v13i12.263

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimanakedudukan dan perlindungan hukum serta penyelesaian permasalahan yang timbul setelah berlakunya PerdaNomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Mataram Tahun 2011-2031 (Perda RTRW Kota MataramTahun 2011-2031). Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan sosiologis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustkaan dan studi lapangan dengan menggunakan teknik wawancara. Setelah data-data tersebut diperoleh, maka dianalisis dengan kajian deskriptif kualitatif yang menggunakan logika berfikir induktif atau berangkat dari hal-hal yang khusus untuk mendapatkan kesimpulan yang umum. Kedudukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)tidak memiliki kekuatan hukumapabila belum adanya penyesuaian dengan Perda tersebut walaupun pemanfaatan ruang yang sah menurut rencana tata ruang dandapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar. Bentuk perlindungan hukum terhadap pemilik bangunan yang berdiri sebelum berlakunya Perda RTRW Kota Mataram Tahun 2011-2031 yaitu berupa pemberian masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian dan kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak berdasarkan amanat Pasal 77 Undang-Undang Tentang Pemanfaatan Ruang.Ada 2 cara yang dilakukan dalam penyelesaian terhadap pelanggaran Perda RTRW Kota Mataram Tahun 2011-2031 yaitudengan cara non litigasi melalui proses negosiasi dan cara litigasi
KAJIAN YURIDIS PEMANFAATAN AREAL BEBAS GARIS SEMPADAN BANGUNAN UNTUK PEMBANGUNAN RUKO DI KOTA MATARAM Arif Hidayat; Hirsanuddin Hirsanuddin; Sahnan Sahnan
MEDIA BINA ILMIAH Vol 13, No 11: Juni 2019
Publisher : BINA PATRIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (278.784 KB) | DOI: 10.33758/mbi.v13i11.290

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengkaji secara yuridis pemanfaatan areal bebas garis sempadan bangunan untuk pembangunan ruko di ko Kota Mataram. Terkait dengan bagaimana pengaturan tentang pemanfaatan areal bebas Garis Sempadan Bangunan dan bagaimana pelaksanaan dalam pemanfaatan areal bebas Garis Sempadan Bangunan terhadap pembangunan ruko di Kota Mataram, serta apa kendala dalam upaya untuk mengatasi pelanggaran pemanfaatan  areal bebas Garis Sempadan Bangunan. Landasan teori mengacu kepada teori negara hukum, teori kewenangan, teori kemanfaatan. Jenis penelitian: penelitian hukum normatif empiris. Berdasarkan pendekatan perundang-undangan yang mempelajari kaidah hukum positif yang berasal dari undang-undang serta berkaitan dengan masalah yang dikaji, pendekatan konsep yaitu pendekatan yang dilakukan untuk memahami konsep, asas, prinsip serta pandangan doktrin yang terkait dengan masalah yang dihadapi, pendekatan sosiologis yaitu dengan pendekatan metode berfikir induktif. Analisis data dan bahan hukum secara normatif terjadi kekaburan norma. Hasil penelitian mengenai pengaturan GSB terdapat kekaburan di dalam PERDA Kota Mataram No 12 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kota Mataram pada Pasal 58 ayat 2 huruf e, sehingga dalam pelaksanaannya berakibat pelanggaran tata letak bangunan yang kurang dari ukuran sebenarnya mulai dari 1,5 (satu koma lima) meter sampai dengan 14,42 (empat belas koma empat puluh dua) meter, berdasarkan penelitian dalam pelaksanaannya terdapat 205 ruko yang melanggar GSB dan pelanggaran ini terjadi sejak tahun 2014 sampai januari 2019, adapun kendalanya dikarenakan regulasi yang kosong dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, PERDA Provinsi NTB No. 3 Tahun 2010 Tentang RTRW dan kabur PERDA Kota Mataram serta tidak adanya keseriusan dari pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan dan penindakan sehingga menimbulkan multi tafsir sesuai dengan kepentingan masing-masing baik dari pemberi izin maupun yang memohonkan izin.Kekosongan kekaburan hukum ini dikarenakan oleh ketidak seriusan dari pemerintah untuk membuat regulasi yang menjamin kepastian hukum, atas pelanggaran GSB terhadap 205 ruko yang terjadi tidak ada pengawasan dan penindakan secara nyata yang dilakukan pemerintah melalui instansi terkait, atas pelanggaran yang terjadi harus ada upaya preventif dan represif guna mengurangi pelanggaran.