Cahya Dewi Satria
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat Dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Sari Pediatri

Faktor Prediktor Kematian Anak dengan Infeksi HIV yang Mendapat Terapi Antiretrovirus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan RSUP Dr. Kariadi Semarang Dyah Perwitasari; Eggi Arguni; Cahya Dewi Satria; MMDEAH Hapsari
Sari Pediatri Vol 18, No 3 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (82.321 KB) | DOI: 10.14238/sp18.3.2016.204-8

Abstract

Latar belakang. Kasus infeksi HIV pada anak di Indonesia semakin meningkat dengan angka kematian yang cukup tinggi. Angka kematian anak HIV yang menjalani terapi antiretrovirus disebabkan oleh berbagai faktor.Tujuan. Mengetahui faktor prediktor yang memengaruhi kematian anak dengan infeksi HIV yang telah mendapat terapi antiretrovirus.Metode. Penelitian studi kasus-kontrol dengan matching usia pada anak dengan infeksi HIV yang mendapat terapi ARV di RSUP Dr. Sardjito dan RSUP Dr. Kariadi dari Januari 2007 sampai dengan Desember 2013. Kelompok kasus adalah pasien meninggal dan kelompok kontrol adalah pasien yang hidup setelah mendapat terapi ARV. Data diambil dari catatan medis dengan kuesionerterstruktur. Data dianalisis dengan SPSS 17.0.Hasil. Didapatkan 96 anak dirawat dengan infeksi HIV dan menggunakan terapi ARV selama periode penelitian. Dua puluh pasien meninggal setelah menerima ARV sebagai kasus dan 20 pasien hidup sebagai kelompok kontrol. Pada analisis bivariat terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi, stadium klinis WHO, ketaatan kunjungan, lama terapi ARV terhadap kematian. Pada analisis multivariat, ketidaktaatan kunjungan memiliki OR 13,8 (IK95%: 1,04-184,02) dengan nilai p<0,05 dan lama terapi ARV ≤6 bulan memiliki OR 22,133 (IK95%: 1,202-407,60).Kesimpulan. Ketidaktaatan kunjungan ke Poliklinik dan lama terapi ARV ≤6 bulan merupakan faktor prediktor yang berpengaruh terhadap kematian pada anak dengan infeksi HIV yang mendapat terapi ARV. Namun, lama terapi ARV ≤6 bulan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kematian.
Antibodi Anti DS-DNA Sebagai Faktor Prognosis Mortalitas pada Lupus Erimatosus Sistemik Muslikhah Yuni Farkhati; Sunartini Hapsara; Cahya Dewi Satria
Sari Pediatri Vol 14, No 2 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp14.2.2012.90-6

Abstract

Latar belakang.Angka kejadian lupus eritematosus sistemik (LES) di RSUP Dr Sardjito meningkat dengan mortalitas tinggi. Antibodi anti double stranded-DNA (ds- DNA ) merupakan antibodi patognomonik pada SLE.Tujuan.Mengetahui hubungan antara antibodi anti ds-DNA dengan mortalitas pasien SLE.Metode.Penelitian kohort retrospektif terhadap pasien SLE yang berusia kurang dari 18 tahun yang didapatkan secara konsekutif. Survivaldihitung menggunakan metode Kaplan Meier. Analisis log rankdan regresi Coxdigunakan untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan mortalitas.Hasil.Didapatkan 46 pasien ikutserta dalam penelitian, 8 (17,4%) laki-laki dan 38 (82,6%) perempuan dengan rerata usia terdiagnosis 11,9 tahun, 21 subyek (45,7%) diantaranya meninggal. Survivalpada tahun pertama, ketiga dan kelima adalah 85%, 60%, dan 30 %. Rerata waktu follow uppasien dengan antibodi anti ds-DNA sebesar 885,5 hari (IK 95% 631,9–1139,1) tampak lebih pendek secara bermakna dibanding pasien dengan antibodi anti ds DNA negatif 4807,5 (IK 95% 4025,4–5389,0). Analisis multivariat menunjukkan antibodi anti ds-DNA merupakan satu – satunya faktor prognostik terhadap mortalitas pasien SLE (hazard ratio6,7; IK 95% 1,38–12,40). Kesimpulan.Antibodi anti ds-DNA merupakan faktor prognosis terhadap mortalitas pasien SLE.
Acute Kidney Injury sebagai prediktor kematian pada SIndrom Syok Dengue di RSUp dr. Sardjito Budyarini Prima Sari; Eggi Arguni; Cahya Dewi Satria
Sari Pediatri Vol 19, No 5 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (57.857 KB) | DOI: 10.14238/sp19.5.2018.252-9

Abstract

Latar belakang. Sindrom syok dengue (SSD) merupakan salah satu dari spektrum kompleks dan berat infeksi dengue. Tatalaksana SSD masih merupakan tantangan besar, khususnya pada kondisi yang terjadi komplikasi multiorgan. Acute kidney injury (AKI) sebagai salah satu penyakit ginjal terkait infeksi dengue perlu diperhitungkan dampaknya pada SSD.Tujuan. Untuk menentukan frekuensi, keparahan, dan prediktor mortalitas pada pasien SSD berdasarkan kondisi AKI.Metode. Kami melakukan penelitian kohort retrospektif pada anak usia 1 bulan sampai 18 tahun yang dirawat di RSUP dr. Sardjito dengan diagnosis sindrom syok dengue sejak Januari 2010 sampai Desember 2015. Kami menggunakan data produksi urin dan rumus formula Pottel untuk menghitung laju filtrasi glomerulus. Uji chi square digunakan untuk menganalisis hubungan antara data klinis dan luaran pasien sindrom syok dengueHasil. Dari 151 anak yang memenuhi kriteria, kondisi gangguan ginjal akut terjadi pada 65 pasien (43%). Berdasarkan kriteria pRIFLE, 42 (62%) pasien termasuk ke derajat risk, 23 (35%) pasien derajat injury. Angka kematian pasien SSD di RSUP 21,2% dan secara signifikan paling tinggi terdapat pada kelompok AKI (p=0,000) terutama pada kelompok derajat injury (p=0,001) dengan RR 2,656 (IK 95%: 1,494-4,721). Di kelompok AKI, hanya koagulasi intravaskular disseminata (KID) yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian (P=0,003) dengan RR 2,483 (IK 95%: 1,318-4,677).Kesimpulan. Insiden AKI pada SSD lebih tinggi dari yang diperkirakan dan berhubungan dengan kematian pasien SSD.
Hubungan antara Kadar 25-OH D3 dengan Derajat Fungsi Ginjal pada Pasien Lupus Sistemik Eritematosus Aninditya Dwi Messaurina; Agung Triono; Retno Palupi Baroto; Cahya Dewi Satria; Sumadiono Sumadiono
Sari Pediatri Vol 21, No 4 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp21.4.2019.213-7

Abstract

Latar belakang. Defisiensi vitamin D banyak ditemukan pada anak lupus eritematosus sistemik (LSE) dibandingkan dengan anak normal. Berbagai penelitian membuktikan defisiensi vitamin D berkontribusi terhadap perkembangan chronic kidney disease. Belum ada penelitian hubungan vitamin D dengan derajat fungsi ginjal pada anak Lupus. Tujuan. Mengetahui hubungan antara 25-hidroksivitamin D dengan derajat fungsi ginjal pada anak Lupus.Metode. Menggunakan desain cross sectional dengan melibatkan 62 anak Lupus di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito yang telah mendapatkan protokol dari Januari 2014 sampai April 2018. Hubungan antara kadar serum 25-hidroksivitamin D dan derajat fungsi ginjal dianalisis menggunakan Independent T-test, sedangkan jenis kelamin, kalsium, steroid, dan aktivitas penyakit dengan uji chi-square. Defisiensi vitamin D didefinisikan konsentrasi 25-hidroksivitamin D<20 ng/ml, sedangkan gangguan ginjal didefinisikan GFR<90/ml/mnt/1.73m2.Hasil. Sebagian besar subyek berjenis kelamin perempuan, 93,5% vs 6,5% dengan rerata usia 14,6±3,1 tahun, dan rerata skor Mex-SLEDAI 7,6±5,6. Secara keseluruhan 66% subyek penelitian mengalami defisiensi vitamin D. Analisis dengan Independent T-tes menunjukkan rerata vitamin D yang mengalami gangguan ginjal 14,14±4,9 lebih rendah dibandingkan normal dengan rerata 19,43±10,3 dengan perbedaan yang bermakna p=0,004. Jenis kelamin, kalsium, steroid, dan aktivitas penyakit tidak berpengaruh signifikan terhadap derajat fungsi ginjal, p>0,05.Kesimpulan. Terdapat hubungan signifikan 25-hidroksivitamin D dengan derajat fungsi ginjal pada anak lupus.
Faktor Prediktor Nefritis pada Anak dengan Purpura Henoch-Schonlein Ahmad Wisnu Wardhana; Cahya Dewi Satria; Sunartini Hapsara
Sari Pediatri Vol 18, No 3 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (54.094 KB) | DOI: 10.14238/sp18.3.2016.209-13

Abstract

Latar belakang. Penyakit purpura Henoch-Schonlein (PHS) dapat menyebabkan komplikasi nefritis. Nefritis PHS dapat membaik sendiri atau berkembang menjadi penyakit ginjal kronik. Beberapa faktor prediktor telah diketahui berhubungan dengan kejadian nefritis PHS.Tujuan. Menentukan usia ≥10 tahun, purpura persisten, gejala abdomen berat dan relaps sebagai faktor prediktor nefritis pada PHS.Metode. Dilakukan studi kohort retrospektif. Sampel penelitian adalah anak berusia 1 tahun – 18 tahun dengan PHS yang dirawat di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2008-Agustus 2016 yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel diambil secara konsekutif, kemudian diidentifikasi adanya faktor prediktor nefritis berdasarkan data rekam medis. Analisis bivariat untuk menghitung nilai p serta analisis multivariat dengan regresi logistik.Hasil. Diikutsertakan 80 pasien yang yang diikuti selama 6 bulan. Didapatkan nefritis pada 31 pasien (38,75%). Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan bahwa hanya gejala abdomen berat yang merupakan faktor prediktor nefritis dengan nilai p=0,027 dan p=0,021, dan RR 3,759 (IK95%: 1,222-11,562).Kesimpulan. Gejala abdomen berat merupakan faktor prediktor pada kejadian nefritis PHS dan meningkatkan risiko 3,75 kali terjadinya nefritis PHS. Usia ≥10 tahun, purpura persisten, dan relaps tidak terbukti berpengaruh pada kejadian nefritis PHS.