Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

THE ROLE OF WILAYAT AL-HISBAH IN THE IMPLEMENTATION OF ISLAMIC SHARIAH IN ACEH* Muhammad, Rusjdi Ali
Petita : Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : State Islamic University (UIN) Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (684.512 KB) | DOI: 10.22373/petita.v2i2.2311

Abstract

The Wilayat al-Hisbah (WH), known also as sharia police in Aceh, plays important roles in implementing Islamic law in Aceh - Indonesia. In one hand they must act profesionally based on Islamic principles, unfortunately their future career is still unclear. In national level there are no clear regulations mentioning the WH cjareer path. This consequences lead to the profesionalitiy of WH. Most of them will switch their career to other career having clear future career and also having clear regulation arranging the career.
Multi Alasan Cerai Gugat: Tinjauan Fikih terhadap Cerai Gugat Perkara Nomor:0138/Pdt.G/2015/MS.Bna pada Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh Muhammad, Rusjdi Ali; Yulmina, Yulmina
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (385.107 KB) | DOI: 10.22373/sjhk.v3i1.4399

Abstract

Islam membolehkan perceraian. ini bagian dari solusi akhir hubungan perkawinan yang retak dan dimungkinkan adanya bahaya yang besar menimpa salah satu atau keduanya. Pihak yang mengajukan cerai bisa saja dari pihak suami melalui cerai talak atau isteri melalui cerai gugat dengan disertai alasan-alasan tertentu. Salah satu perkara cerai gugat tersebut misalnya dalam Putusan Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh Nomor 0138/Pdt.G/2015/MS.Bna. Menariknya, putusan ini memuat banyak sekali alasan-alasan cerai. Untuk itu, masalah penelitian ini yaitu bagaimana isi dan pertimbangan hakim dalam perkara Cerai Gugat No.0138/Pdt.G/2015/MS.Bna, faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya Cerai Gugat pada perkara No. 0138/Pdt.G/2015/MS. Bna, dan bagaimana tinjauan fikih terhadap putusan dan pertimbangan hakim dalam Perkara Cerai Gugat No.0138/Pdt.G/2015/MS.Bna. Untuk menjawab masalah tersebut, digunakan metode kualitatif dengan kajian studi pustaka (library research). Adapun temuan penelitian ini ada tiga: (1) Pertimbangan hakim dalam memutus perkara cerai gugat dalam Putusan No. 0138/Pdt.G/Ms.Bna ada dua: Pertama, pertimbangan hukum yuridis, bahwa hakim melihat terpenuhinya unsur materil dan unsur formil persidangan. Kedua, pertimbangan normatif hukum Islam, di mana hakim merujuk menimbang tidak terwujudnya tujuan pernikahan penggugat dan tergugat sebagaimana maksud QS. Al-Rūm ayat 21. (2) Penggugat mengajukan 10 (sepuluh) alasan cerai. Namun demikian, hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh cenderung menekankan penyebab cerai adalah karena percekcokan atau syiqāq yang telah berlangsung lama. (3) Pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut gugat dalam Putusan Nomor 0138/Pdt.G/Ms.Bna telah sesuai dengan ketentuan fikih. Pertimbangan hakim ialah adanya mudharat yang lebih besar dalam hubungan penggugat dan tergugat ini sesuai dengan kadiah fikih yang intinya kemudharatan harus dihindarkan sedapat mungkin.
Fenomena Peradilan Rakyat dalam Perspektif Pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh Rusjdi Ali Muhammad
Islam Futura Vol 1, No 1 (2001): Jurnal Ilmiah Islam Futura
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jiif.v1i1.5254

Abstract

Among the most significant impact of the ongoing conflict in Aceh is the weakening of law enforcement in society. Indeed, thius result is emergence of what is known as ‘people court” (pengadilan rakyat). According to the information provided by the Human Rights Commission of Aceh Branch (FP HAM), there were at least eighteen cases of people court that took place in the region within the period between September 1999 and January 2001. Indeed, this is an interesting phenomenon to be studied, especially when it is seen from Islamic legal perspective. As it is known, in Islam both formal and informal institutions are to play their significant roles in maintaining law and moral order, a concept discussed under the topic of wilayat al-tahkim. However, this study shows that the Acehnese cases are indeed far from the Islamic judicial system.
Pemidanaan Terhadap Pelaku Homoseksual ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia Chairul Azmi; Rusydi Ali Muhammad; Rizanizarli Rizanizarli
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 9 No 1 (2020)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.435 KB) | DOI: 10.24843/JMHU.2020.v09.i01.p04

Abstract

Indonesia kecuali provinsi Aceh tidak melarang perbuatan homoseksual secara mutlak dan tidak pula melegalkan pernikahan sesama jenis. Di Indonesia, berdasarkan data statistik pada tahun 2016 jumlah kaum homoseksual tercatat mencapai 10-20 juta orang. Universalisme HAM selalu dijadikan alasan ketika budaya timur berbeda dengan budaya barat. Padahal dalam teori-teori HAM yang dikemukakan para ahli, selain teori universalisme HAM masih ada lagi yang disebut dengan relativisme HAM. Budaya barat yang tidak memandang buruk perilaku homoseksualitas seharusnya tidak dipaksakan untuk masuk ke dalam budaya timur. Begitu juga budaya timur sebaiknya juga tidak dijadikan katalisator untuk mengukur kesopanan budaya barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemidanaan terhadap pelaku homoseksual dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Data yang digunakan terdiri bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jika di masa yang akan datang pemidanaan terhadap laki-laki/wanita dewasa homoseksual yang suka sama suka diterapkan di Indonesia, semuanya bukanlah merupakan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan konsekuensi dari Pasal 1 CAT yang pada intinya menyatakan bahwa pemidanaan/penyiksaan yang berdasarkan hukum dikecualikan dari pelanggaran HAM.
Reconciliation for the Settlement of Criminal Cases: Reactualization of Local Wisdom in Indonesian Criminal Law [Upaya Perdamaian Untuk Penyelesaian Perkara Pidana: Reaktualisasi Kearifan Lokal dalam Hukum Pidana Indonesia] Rusjdi Ali Muhammad
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11339

Abstract

Abstract: One characteristic of Islamic law is not explicitly distinguished between the domain of public law and private law. Sanctions for deliberate murder are qishas for example, where the victim's heirs have a more permanent role to choose the death penalty imposed (qishas) or give forgive by request to pay diyat (compensation). Amount number of diyat is also can be negotiated through mediation method called Shulh (peace). So here the element of private law is more dominant. Even diyat can be released at all heirs of the victim initiatives. In this last case, the state may punish the offender with ta'zir, so here its public law elements recur. This idea is not unknown in Indonesian national law provisions. The victim had usually been involved as a witness in his father's murder case or rape case against her. In customary law in Aceh, there are several institutions in efforts to realize peace for criminal cases, namely in the form of adat meulangga, dhiet, sayam, or takanai (South Aceh). Principles of peaceful settlement of disputes may also be considered not only for civil cases but also in criminal cases. Thus, the doctrine that says the criminal nature of a case will not remove although there is a peace agreement, would need to be revisited. However, it is important also to restrict that not every criminal case could be solved by a peace agreement. Criminal cases like premeditated murder and rape should be excluded from the possibility of a peace agreement. Abstrak: Salah satu ciri hukum Islam adalah tidak secara tegas membedakan antara ranah hukum publik dengan hukum privat. Sanksi untuk pembunuhan yang disengaja adalah Qisas misalnya, dimana ahli waris korban memiliki peran yang lebih permanen untuk memilih hukuman mati yang dijatuhkan (Qisas) atau memberi maaf dengan meminta pembayaran Diyat (ganti rugi). Besaran jumlah Diyat juga dapat dinegosiasikan melalui semacam metode mediasi yang disebut Shulh (damai). Jadi di sini unsur hukum privat lebih dominan. Bahkan Diyat dapat dibebaskan pada semua ahli waris atas inisiatif korban. Dalam hal yang terakhir ini Negara dapat menghukum pelakunya dengan ta'zir, sehingga di sini unsur hukum publiknya terulang kembali. Gagasan ini tidak dikenal dalam ketentuan hukum positif Indonesia. Korban biasanya terlibat sebagai saksi dalam kasus pembunuhan ayahnya atau kasus pemerkosaan terhadap dirinya. Dalam hukum adat di Aceh terdapat beberapa lembaga dalam upaya mewujudkan perdamaian atas perkara pidana, yaitu berupa adat meulangga, dhiet, sayam atau takanai (Aceh Selatan). Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara damai juga dapat dipertimbangkan tidak hanya untuk kasus-kasus perdata tetapi juga dalam kasus-kasus pidana. Dengan demikian doktrin yang mengatakan bahwa sifat pidana suatu kasus tidak akan hilang meskipun ada kesepakatan damai, perlu ditinjau kembali. Namun penting juga untuk membatasi bahwa tidak setiap kasus pidana dapat diselesaikan dengan kesepakatan damai. Kasus-kasus kriminal seperti pembunuhan berencana dan pemerkosaan harus dikesampingkan dari kemungkinan kesepakatan damai.
THE DISCOURCE OF DRESS CODE IN ISLAMIC LAW Rusjdi Ali Muhammad; Dedy Sumardi
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 4 No 2 (2019)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3407.071 KB) | DOI: 10.22373/petita.v4i2.18

Abstract

The discussion concerning dress code or clothing will always be closely related to the debate of aurat or ‘awrah, as the clothing mainly serves to cover aurat. The ‘awrah (in Arabic) or aurat (in Bahasa) is the parts of the body which must be covered with clothing. The boundary of the aurat in the Islamic jurisprudence (fiqh) study is associated with the prayer (salah), which is then ascribed to the boundary of the aurat beyond prayer, based on qiyas. The thinking framework of fuqaha’ (the expert in Islamic law) in their attempt to cover the aurat of Muslim men and women refers to common terms, such as hijab, jilbab, khimar, dir sabigh and milhaf. Even though these terms do not represent the standard form and model of dressing, they are adequate to reveal the restriction of dressing based on Islamic teaching (shariah). The absence of a standard formulation for the form and model of Islamic dressing indicates that Islamic teachings are flexible for the discovery of ideal forms and models of clothing adhering to religious norms, ethics and moral teachings. Clothing is part of the cultural product as well as religious and moral requirements without denying the custom of society. Abstrak: Pembahasan tentang busana/pakaian akan senantiasa terkait erat dengan pembahasan aurat, karena fungsi utama pakaian adalah sebagai penutup aurat. Batasan aurat dalam kajian fiqh Islam dikaitkan dengan ibadah shalat, yang kemudian diaplikasikan kepada batasan aurat di luar shalat, berdasarkan qiyas. Landasan berpikir yang digunakan fuqaha' dalam upaya menutup aurat laki-laki dan perempuan muslim merujuk pada istilah umum seperti hijab, jilbab, khimar, dir sabigh dan milhaf. Meskipun istilah-istilah ini belum mewakili bentuk dan model busana/pakaian yang baku, tetapi mampu mengungkap batasan makna busana/pakaian dalam ajaran Islam. Tidak adanya rumusan baku tentang bagaimana bentuk dan model busana/pakaian islami mengindikasikan bahwa ajaran Islam memberi keleluasaan dalam menemukan bentuk dan model pakaian ideal yang tetap mengacu pada norma-norma agama, etika dan ajaran moral. Pakaian merupakan bagian dari produk budaya sekaligus tuntunan agama dan moral tanpa menafikan adat kebiasaan suatu masyarakat. Kata Kunci: Pakaian, Aurat, Fiqh
KEDUDUKAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MOU) HELSINKI DALAM PEMBENTUKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH Qonita Royani Salpina; Rusjdi Ali Muhammad; Yenny Sriwahyuni
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 3 No 1 (2018)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2329.682 KB) | DOI: 10.22373/petita.v3i1.34

Abstract

Abstract: The Helsinki MoU between the Indonesian Government and the Aceh Free Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) aimed to resolve the Aceh conflict peacefully. The Helsinki MoU agreement mandated to form the law on the governing of Aceh (UUPA), and this law should accommodate the contents of the agreement. The research problem was what the position of the Helsinki MoU in establishing UUPA is and whether the establishment of UUPA adhered to the technical procedures of establishing laws and regulations. The results showed that the Helsinki MoU was the forerunner in the establishment of UUPA as mandated in the Helsinki MoU agreement terms. Some terms of the agreement had been accommodated in UUPA, while some were not accommodated or not explicitly regulated in the UUPA. In theory, the considerations should include the background for the establishment of laws and regulations, and they must contain the sociological basis as one of the absolute foundations that should be present in every law. Regarding the technical procedure of the law establishment, the establishment of UUPA had met the technical procedures of the laws and regulations as stipulated in law number 10 of the Year 2004, concerning the establishment of laws and regulations. Abstrak: MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM bertujuan untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai. Pada poin perjanjian MoU Helsinki diamanatkan untuk membentuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh, dan diharapkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat mengakomodir isi perjanjian tersebut. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan MoU Helsinki dalam pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh serta apakah pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan teknis pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan MoU Helsinki pada pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh merupakan cikal bakal dibentuknya Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagaimana telah diamanatkan pada poin perjanjian MoU Helsinki. Sebahagian ketentuan perjanjian telah diakomodir dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, namun ada beberapa ketentuan MoU Helsinki yang tidak diakomodir atau tidak tegas diatur dalam UUPA. Secara teori seharusnya dalam konsideran memuat latar belakang dibentuknya sebuah peraturan perundang-undangan, dan konsideran haruslah memuat landasan sosiologis sebagai salah satu landasan yang mutlak dan seharusnya ada dalam setiap undang-undang. Mengenai teknis pembentukan undang-undang, maka pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kata Kunci: MoU Helsinki, UUPA, dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
THE ROLE OF WILAYAT AL-HISBAH IN THE IMPLEMENTATION OF ISLAMIC SHARIAH IN ACEH Rusjdi Ali Muhammad
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 2 No 2 (2017)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2230.492 KB) | DOI: 10.22373/petita.v2i2.64

Abstract

The Wilayat al-Hisbah (WH), known also as sharia police in Aceh, plays important roles in implementing Islamic law in Aceh - Indonesia. In one hand they must act professionally based on Islamic principles, unfortunately their future career is still unclear. In national level there are no clear regulations mentioning the WH career path. This consequence lead to the professionality of WH. Most of them will switch their career to another career, having clear future career. For the time being, in WH office will hard to get higher position. In national level, the career of WH does not have a stepping stone. Thus, most of government officer will chase other positions after five years. This fact have affected the implementation sharia law in Aceh Indonesia, caused by lack of WH officer in every years. Abstrak: Wilayat al-Hisbah (WH) yang juga dikenal sebagai polisi syariah di Aceh memainkan peran penting dalam menerapkan hukum Islam di Aceh - Indonesia. Di satu sisi mereka harus bertindak profesional berdasarkan prinsip-prinsip Islam, namun masa depan karir mereka masih belum jelas. Di tingkat nasional, tidak ada peraturan yang jelas mengenai jalur karir WH. Hal ini berdampak pada profesionalitas WH. Sebagian besar dari mereka akan beralih karir ke karir lain yang memiliki masa depan jelas. Untuk saat ini, sulit untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi di kantor WH. Sementara di tingkat nasional, karir WH tidak memiliki batu loncatan. Oleh karena itu, sebagian besar pejabat pemerintah akan mengejar posisi lain setelah lima tahun. Hal ini mempengaruhi implementasi Syariah islam di Aceh, Indonesia, disebabkan oleh kurangnya petugas WH setiap tahun. Kata kunci: Polisi Syariah, Jalur Karir, Syariah Islam, Pegawai Pemerintah
Syariat Islam dan Budaya Hukum Masyarakat di Aceh Hasnul Arifin Melayu; Rusjdi Ali Muhammad; MD Zawawi Abu Bakar; Ihdi Karim Makinara; Abdul Jalil Salam
Media Syari'ah Vol 23, No 1 (2021)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v23i1.9073

Abstract

This paper discusses the influence of the implementation of Islamic law on the legal culture of society in Aceh. This question arises because in the last few years after the enactment of the Qanun Hukum Jinayat (QHJ) in 2015 the number of cases of sharia violations in several districts /cities in Aceh shows a fluctuating trend and tends to increase. The implementation of QHJ, with the increasing number of lashes, should be able to reduce the occurrence of violations. Why hasn't QHJ been able to reduce the number of violations? This study uses a political science approach to law with data collection techniques through observation, interviews with open-ended questionare and review of documentation. The results showed that the QHJ was not optimal in creating the legal culture of the Acehnese people. This is because (1) the legal politics of the Aceh Government are not serious in implementing QHJ, (2) there are still many Acehnese people who do not fully understand the contents of the QHJ. It can be concluded that in general the QHJ has not been maximally implemented by the Government of Aceh, especially Aceh Tamiang District and Sabang City due to several constraints including budget, human resource management and policy dissemination. This paper has implications for the change in the orientation of the Aceh Government's political and legal policies to be more comprehensive in implementing Islamic law in the future.Tulisan ini mendiskusikan pengaruh pelaksanaan syariat Islam terhadap budaya hukum masyarakat di Aceh. Pertanyaan ini muncul karena dalam beberapa tahun terakhir setelah diberlakukannya Qanun Hukum Jinayat (QHJ) tahun 2015 angka kasus-kasus pelanggaran syariat di beberapa Kabupaten/Kota di Aceh menunjukkan tren yang fluktuatif dan cenderung meningkat. Pemberlakuan QHJ, dengan semakin bertambahnya jumlah cambuk, seharusnya mampu menekan terjadinya pelanggaran. Mengapa QHJ belum mampu menekan angka pelanggaran tersebut? Penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu politik hukum dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dengan open-ended questionare dan telaah dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa QHJ tidak maksimal dalam menciptakan budaya hukum masyarakat Aceh. Hal ini karena (1) politik hukum Pemerintah Aceh tidak serius dalam menjalankan QHJ, (2) masih banyak masyarakat Aceh yang tidak memahami secara menyeluruh isi QHJ tersebut. Dapat disimpulkan bahwa secara umum QHJ belum secara maksimal diimplementasikan oleh Pemerintah Aceh khususnya Kabupaten Aceh Tamiang dan Kota Sabang karena beberapa kendala baik anggaran, manajemen SDM dan sosialisasi kebijakan. Tulisan ini berimplikasi terhadap perubahan orientasi kebijakan politik hukum Pemerintah Aceh untuk lebih komprehensif dalam pelaksanaan syariat Islam ke depan.
Kajian Yuridis Pernikahan Melalui Qadhi Liar (Studi Penelitian di Kabupaten Aceh Besar) Ratna Juita; Rusjdi Ali Muhammad; Imam Jauhari
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 2: Agustus 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.206 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i2.8476

Abstract

Berdasarkan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pernikahan harus dicatatkan dan menurut agama masing-masing. Dalam agama Islam pernikahan harus memenuhi syarat dan rukun nikah baru dikatakan sah. Praktiknya, di Kabupaten Aceh Besar pernikahan ada melalui jasa qadhi liar. Permasalahan pokok penelitian ini yaitu: sejauh mana terjadinya pernikahan melalui qadhi liar dan bagaimana akibat hukumnya dan yang menjadi faktor penyebab terjadinya pernikahan melalui qadhi liar. Hasil penelitian sejauh ini di wilayah hokum Kabupaten Aceh Besar terjadi pasangan menikah melalui qadhi liar, dan telah ke Mahkamah Syar’iyah untuk melakukan istbat dan ditolak. Akibat hukum pernikahan melalui qadhi liar tidak sah. Faktor penyebab pernikahan melalui qadhi liar di wilayah hokum Kabupaten Aceh Besar yaitu: faktor ekonomi, faktor hamil diluar nikah, kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pencatatan pernikahan, berselingkuh yang berkepanjangan, tidak mendapatkan izin untuk melakukan poligami, tidak memiliki wali, menghindari prosedur administrasi, untuk menghindari perzinahan, dan konflik Aceh. Kepada lembaga terkait untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan menindak tegas oknum-oknum yang memberikan jasa qadhi liar dan jangan memberikan celah hukum pelaku qadhi dan pasangan yang melakukan pernikahan menggunakan jasa qadhi liar. Pursuant to the Act Number 1, 1974 regarding Marriage, marriage must be recorded and conducted through its own religion. In Islamic law the marriage must fulfill requirements and conditions of marriage in order to be said valid. . In practice, in Aceh Besar District there are marriages conducted through the auspices of illegal marital authority. The problems of this research are to which extent the marriage through the illegal holder in Aceh Besar District region and how the legal consequence and what are the factors causing the marriage that is held by illegal holder. The research shows that nowadays in Aceh Besar District territories has been found the marriages conducted by illegal marriage register who are getting married through non-appointed officials, and there are cases which has been tried by MahkamahSyar’iyah (Special Court for Muslim in Aceh Province) to hold the remarriage as the previous one is not based on administrative procedures and it is rejected. The legal consequence from the marriage is not valid. Factors causing the marriage by illegal holders are in Aceh Besar are economy, pre marital pregnancy, lack of understanding and people awareness regarding marriage registration, long lasting infidelity, then has no license for polygamous marriage, has no guardian, avoid administrative procedures, avoid coverture and armed conflict area of Aceh. It is recommended that the related institutions to increase publications on the legal consequence of marriage conducted under the auspices of illegal holders and enforce law for them and no loop hole for them and for couples seeking the service as the aim of the marriage is mistaken by the law.