Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PROFIL PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI TIGA PUSKESMAS WILAYAH KERJA KABUPATEN PIDIE PROPINSI ACEH Zain Hadifah; Ulil Amri Manik; Andi Zulhaida; Veny Wilya
Sel Jurnal Penelitian Kesehatan Vol 4 No 1 (2017): SEL Jurnal Penelitian Kesehatan
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (467.361 KB) | DOI: 10.22435/sel.v4i1.1446

Abstract

Tuberkulosis adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang paling sering menginfeksi paru-paru. Kasus TB paru di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia. Hal ini disebabkan banyaknya kasus BTA positif sebagai sumber infeksi. Prevalensi kejadian TB paru di Kab. Pidie termasuk tertinggi di propinsi Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penderita tuberkulosis paru di Kabupaten Pidie. Penelitian dilakukan di tiga Puskesmas PRM dengan kejadian TB paru tertinggi di Kab. Pidie, secara observasional dengan desain potong lintang yang dilakukan pada bulan Oktober dan November 2013. Sampel penelitian merupakan penderita TB paru dengan BTA (+) yang datang berobat 1-3 bulan di puskesmas. Data diambil dengan melakukan wawancara dengan kuesioner, pengukuran kelembaban rumah dan pengamatan lingkungan rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita TB paru sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, usia produktif, menikah dan bekerja dengan pendidikan tertinggi SLTA. Rata-rata penghasilan <1,5 juta rupiah, jumlah anggota keluarga sebagian >4 orang. Kelembaban dalam ruangan sudah baik, tetapi 55 % lingkungan disekitar rumah tampak kumuh. Puskesmas dan tenaga kesehatan dapat meningkatkan promosi tentang TB paru pada masyarakat baik melalui penyuluhan, leaflet, poster dan media lainnya terutama bagi yang beresiko terhadap penularan TB agar masyarakat lebih menjaga kesehatan individu dan lingkungan rumah tinggal. Tuberculosis is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis and a threat to health. Prevalence of pulmonary TB in Pidie District is among the 5 regions with the highest in Aceh. This study aimed to know the profile of patients with pulmonary TB in Pidie District. The study was located the 3 public health center with the highest incident of pulmonary TB in Pidie District. The study used a cross sectional approach in October and November 2013. The sample is patient of BTA positif TB who came treatment for 1-3 months to the public health center. The collection of data was conducted with interview using questionnaire, the measurement of humidity and observation housing. The results showed that patients pulmonary TB were men, productive age, marital status and worker with the highest education was graduated from high school. Family income per month below 1,5 millions rupiah. The number of family members is mostly over 4 people. Humidity in the room is good, but 55% of the neighborhood around the house looks shabby. Community health centers and health workers can improve the promotion of pulmonary TB in the community through counseling, leaflets, posters and other media especially for those at risk of TB transmission in order to better protect the individual's health and the home environment.
MALARIA DAN PERAN MEDIA KOMUNIKASI TERHADAP PEMAHAMAN TENTANG MALARIA PADA MASYARAKAT DI KABUPATEN NAGAN RAYA, ACEH Veny Wilya; Andi Zulhaida; Yasir Yasir
Sel Jurnal Penelitian Kesehatan Vol 4 No 1 (2017): SEL Jurnal Penelitian Kesehatan
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (308.736 KB) | DOI: 10.22435/sel.v4i1.1447

Abstract

Promosi kesehatan merupakan proses pemberdayaan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan, melindungi dan mempengaruhi lingkungan, perilaku, serta kualitas kesehatan. Media sebagai alat bantu komunikasi diperlukan agar masyarakat mendapatkan informasi mengenai usaha pengendalian dan pencegahan malaria. Penelitian bertujuan untuk mengetahui peran media komunikasi dalam memahami konsep malaria. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain potong lintang. Pemilihan sampel dilakukan secara simple random sampling dengan besaran sampel menggunakan rumus lemeshow. Jumlah sampel pemeriksaan darah jari secara mikroskopis sebanyak 888 responden dan sampel wawancara sebanyak 232 responden dengan rincian Kecamatan Padang Panjang 82 responden, Beutong 75 responden, dan Alue Bilie 75 responden. Hasil pemeriksaan darah jari menunjukkan bahwa tidak ditemukan Plasmodium sp. pada responden di Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebanyak 94,7% responden di Kecamatan Beutong, 85,30% responden di Kecamatan Alue Bilie, dan 76,80% di Kecamatan Padang Panjang memahami dengan baik konsep malaria. Media komunikasi yang paling berperan dalam penyebarluasan informasi di Kecamatan Padang Panjang (74,4%), Kecamatan Alue Bilie (45,3%), dan Kecamatan Beutong (42,7%) adalah televisi. Media yang mempunyai peran paling kecil di Kecamatan Beutong (1,3%) dan Padang Panjang (1,2%) adalah majalah, sedangkan di Kecamatan Alue Bilie (2,7%) adalah radio. Promosi kesehatan melalui media televisi perlu ditingkatkan karena dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Health promotion is a process of society empowerment to maintain, improve, protect and influence environment, behavior, and health quality. Media as a communication tool is needed to get information of society about the effort of controlling and preventing malaria. The aim of this research was to know the role of communication media in understanding the concept of malaria. This research is descriptive with cross sectional design. The sample selection was done by simple random sampling with sample size using lemeshow formula. Number of samples of microscopic blood examination were 888 respondents and 232 respondents were interviewed with details (Padang Panjang Sub-district 82 respondents, Beutong 75 respondents, and Alue Bilie 75 respondents). The result of finger blood examination showed that Plasmodium sp. was non found in respondents at Nagan Raya District Aceh Province. The interview result shows that 94,7% of respondents in Beutong Sub-district, 85,30% of respondents in Alue Bilie Sub-district, and 76,80% in Padang Panjang sub-district understand well malaria concept. The most communication media role of disseminating information in Padang Panjang Sub-district (74.4%), Alue Bilie Sub-district (45.3%), and Beutong Sub-district (42.7%) were television. The smallest media role in Beutong Sub-district (1.3%) and Padang Panjang (1.2%) was magazine, while in Alue Bilie Sub-district (2.7%) was radio. Health promotion through television media needs to be improved because it can reach all levels of society.
DISTRIBUSI DAN AKTIVITAS MENGGIGIT NYAMUK GENUS MANSONIA YANG BERPOTENSI SEBAGAI VEKTOR FILARIASIS DI WILAYAH ENDEMIS FILARIASIS DESA LIGAN DAN LHOK BOUT ACEH JAYA Yulidar Yulidar; Yasir M.Diah; Veny Wilya; Andi Zulhaida
Sel Jurnal Penelitian Kesehatan Vol 5 No 2 (2018): SEL Jurnal Penelitian Kesehatan
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (467.599 KB) | DOI: 10.22435/sel.v5i2.1481

Abstract

Filariasis masih menjadi masalah pada masyarakat di desa Ligan dan desa Lhok Bout Kabupaten Aceh Jaya. Mansonia spp merupakan salah satu vektor filariasis di Indonesia. Penelitian ini bersifat cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Februari-Desember 2017 di desa Ligan dan Lhok Bout. Penangkapan nyamuk menggunakan metode umpan orang di dalam dan luar rumah. Umpan orang duduk dalam kelambu. Hasil penelitian didapatkan total jumlah nyamuk Mansonia spp tertangkap adalah 58 nyamuk terbagi atas 5 spesies yaitu 8 nyamuk Ma. bonnae, 5 Ma. uniformis, 38 Ma. annulata, 6 Ma. annulifera dan 1 Ma. indiana. Kepadatan masing-masing nyamuk hinggap dibadan orang perjam adalah Ma. bonnae 0,31, Ma. uniformis 0,25, Ma. annulata 1,94. Ma. annulifera 0,31 dan Ma. indiana 0,06. Sedangkan kepadatan nyamukhinggap dibadan orang permalam adalah Ma. bonnae 1,33, Ma. uniformis 0,83,Ma. annulata 6,33, Ma. annulifera 1,00 dan Ma. indiana 0,17. Kelimpahan nisbi masing-masing nyamuk tertangkap yaitu Ma. bonnae 1,60%, Ma. uniformis 1,00%,Ma. annulata 6,20%, Ma. annulifera 1,00% dan Ma. indiana 0,20%. Nyamuk Mansonia spp yang tertangkap bersifat endofagik. Berdasarkan kepadatan nyamuk tertinggi dan angka dominansi spesies mencapai 3,33% maka vektor filariasis potensial di desa Ligan dan Lhok Bout adalah Mansonia annulata Filariasis is still a problem for people in Ligan Village, Lhok Bout Village, Aceh Jaya District. Mansonia spp is one of the filariasis vectors in Indonesia. Research using a cross-sectional study conducted in February-December 2017 in Ligand and Lhok Bout Village. Catching mosquitoes using indoor and outdoor people bait. Methods people as a bait sitting in a net. The results showed that the total number of captured Mansonia spp mosquitoes was 58 mosquitoes divided into 5 species, The namely 8 Ma mosquitoes. bonnae, 5 Ma. uniformis, 38 Ma. annulata, 6 Ma. annulifera and 1 Ma. indiana. The density of each mosquito per person per hour was Ma. bonnae 0.31, Ma. uniformis 0.25, Ma. annulata 1.94. Ma. annulifera 0.31 and Ma. indiana 0.06. While the density of mosquitoes in the person of the night is Ma. bonnae 1.33, Ma. uniformis 0,83, Ma. annulata 6.33, Ma. annulifera 1.00 and Ma. indiana 0.17. The relative abundance of each mosquito caught was Ma. bonnae 1.60%, Ma. uniformis 1.00%, Ma. annulata 6.20%, Ma. annulifera 1.00% and Ma. indiana 0.20%. The captured Mansonia spp mosquito was endophagic. Based on the highest mosquito density and species dominance rate of 3.33%, the potential filariasis vectors in Ligan and Lhok Bout villages are Mansonia annulata.
EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN FILARIASIS DARI ASPEK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI KABUPATEN ACEH JAYA PROVINSI ACEH Yulidar Yulidar; Nelly Marissa; Veny Wilya; Rosdiana Rosdiana; Eka Fitria; Ulil Amri Manik; Eka Randiana; Ibnu Muhsi
Sel Jurnal Penelitian Kesehatan Vol 6 No 2 (2019): SEL Jurnal Penelitian Kesehatan
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.735 KB) | DOI: 10.22435/sel.v6i2.2460

Abstract

Filariasis atau penyakit kaki gajah merupakan penyakit tular vektor yang masih endemis di Kabupaten Aceh Jaya Provinsi Aceh. Program pengendalian filariasis merujuk pada kebijakan yang sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemberian obat pencegahan massal sudah dilakukan selama 5 putaran sampai tahun 2015. Pada tahun 2016 dilakukan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria (pre-TAS) dan hasilnya adalah Kabupaten Aceh Jaya tidak lulus survei tersebut. Penelitian ini merupakan studi kualitatif yang dilakukan pada bulan oktober 2017 dengan metode indepth interview. Jumlah responden yang diwawancara adalah 4 orang. Keberhasilan atau kegagalan eliminasi filariasis dipengaruhi oleh aspek epidemiologi dan manajemen. Aspek manajemen yang ditelusuri dalam penelitian ini yaitu bagaimana implementasi kebijakan pelaksanaan program pengendalian filariasis. Data dianalisis secara tematik. Hasil analisis data menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pelaksanaan program pengendalian filariasis yaitu pemberian obat massal pencegahan berjalan dengan baik. Keberhasilan ini ditunjukkan oleh data cakupan minum obat pada masyarakat setiap tahunnya selalu lebih dari standar nasional. Faktor kegagalan pre-TAS belum diketahui secara pasti. Berdasarkan hasil evaluasis program dari aspek implementasi maka ketersediaan sumber daya manusia dan anggaran belum maksimal untuk pengendalian filariasis. Filariasis or elephantiasis still an endemic vector borne disease in Aceh Jaya district Province Aceh. Prevention program of filariasis in Aceh jaya district is refers to the government policy. Mass drug administration was done during the fifth round of 2015. The survey prevalence of microfilaria (pre-TAS) in Aceh Jaya district 2016 and the result show is failed. This study is a qualitative research and conducted in oktober 2017 with indepth interview methode. The number of respondents interviewed was 4 respondents. The success or failure of filariasis elimination is influenced by epidemiological and management aspects. The management aspect traced is the implementation of the policy for prevention program of filariasis. Data were analyzed thematically. The result showed that the implementation of the policy for prevention program of filariasis is mass drug administration goes well. This success is shown by the annual data on taking medicine in community is always more than the national standard. Pre-TAS failure factor is not known for certain. Based on the evaluation of the program from the implementation aspect, the availability of human resources and the budget is not optimal for filariasis control.
PENGETAHUAN KADER DAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP FILARIASIS DI KABUPATEN ACEH JAYA Yulidar Yulidar; Asmaul Husna; Ulil Amri Manik; Veny Wilya
Sel Jurnal Penelitian Kesehatan Vol 7 No 2 (2020): SEL Jurnal Penelitian Kesehatan
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/sel.v7i2.4153

Abstract

Filariasis termasuk penyakit parasit tular vektor. Kabupaten Aceh Jaya merupakan satu dari beberapa kabupaten di Provinsi Aceh sebagai wilayah endemis filariasis. Pelaksanaan program pengendalian filariasis pemberian obat massal pencegahan sudah dilakukan dari tahun 2011. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pengetahuan kader dan tokoh masyarakat terhadap filariasis di Kabupaten Aceh Jaya. Penelitian ini bersifat cross sectional yang pengumpulan data dilakukan pada Bulan Juli-Oktober 2017. Data dianalasis secara tematik kualitatif dan diinterpretasikan dalam bentuk narasi. Berdasarkan hasil analisis dari 5 pertanyaan yang diajukan tidak semua informan mampu menjelaskan dengan tepat. Dari 6 informan yang terlibat, semua informan tidak mengetahui istilah filariasis namun mengerti penyakitnya yang disebut barah atau entoet. Empat informan berpendapat bahwa filariasis adalah penyakit akibat di gigit nyamuk namun bukan penyakit menular, sedangkan 2 informan lainnya menyatakan filariasis adalah penyakit menular dan dapat ditularkan secara keturunan. Untuk infromasi bahwa filariasis tidak dapat di sembuhkan, 5 informan menyatakan tidak tahu. Namun, untuk informasi apakah filariasis berbahaya, ke 6 informan menyatakan berbahaya karena tidak bisa beraktivitas. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa pengetahuan kader dan tokoh masyarakat kurang baik tentang filariasis. Oleh karena itu, kader dan tokoh masyarakat diharapkan dapat diberikan pelatihan atau penyuluhan tentang filariasis agar kader dan tokoh masyarakat dapat mendukung keberhasilan program filariasis. Filariasis is a vector-borne parasitic disease. Aceh Jaya District is one of several districts in Aceh Province as a filariasis endemic area. The implementation of the filariasis control program for the provision of preventive mass drugs has been carried out since 2011. The purpose of this study was to obtain an overview of the knowledge of cadres and community leaders about filariasis in Aceh Jaya Regency. This study is a cross sectional study with data collection conducted in July-October 2017. Data analyzed thematic qualitatively and interpreted in a narrative form. Based on the results of the analysis of the 5 questions asked, not all informants were able to comment properly. Of the 6 informants involved, all informants did not know about filariasis but did know about a large and swollen foot disease called barrah or entoet. Four informants argued that filariasis is a disease caused by mosquito bites but not a contagious disease, while 2 other informants stated that filariasis is a contagious disease and can be transmitted by generations. For information that filariasis cannot be cured, 5 informants stated that they did not know. However, for information on whether filariasis is dangerous, the 6 informants stated that it is dangerous because they cannot do activities. Based on the results of the analysis, it can be said that the knowledge of cadres and community leaders is not good about filariasis. Therefore, cadres and community leaders are expected to be given training or counseling on filariasis so that cadres and community leaders can support the success of the filariasis program.