This Author published in this journals
All Journal Borobudur
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

PEMANFAATAN GIS UNTUK PELESTARIAN SITUS-SITUS SEKITAR BOROBUDUR Yudi Suhartono
Borobudur Vol. 1 No. 1 (2007): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1268.317 KB) | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v1i1.46

Abstract

Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan dalam pemasukkan, pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat penting bagi pengambilan keputusan.
KORELASI SEBARAN SUMBER DAYA ARKEOLOGI TERHADAP DAERAH RAWAN BENCANA DI KAWASAN BOROBUDUR Yudi Suhartono
Borobudur Vol. 2 No. 1 (2008): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v2i1.56

Abstract

-
Pelestarian Sumber Daya Arkeologi dalam Konteks Keruangan di Kawasan Borobudur: (Studi Kasus Candi Borobudur, Mendut dan Pawon) Yudi Suhartono
Borobudur Vol. 3 No. 1 (2009): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v3i1.60

Abstract

-
Konservasi Keramik Bawah Air Leliek Agung Haldoko; Yudi Suhartono; Arif Gunawan
Borobudur Vol. 7 No. 1 (2013): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v7i1.104

Abstract

Keramik sebagai salah satu jenis tinggalan bawah air memiliki nilai penting bagi sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan sehingga dapat ditetapkan sebagai cagar budaya. Penanganan keramik bawah air yang ditemukan di laut merupakan yang paling sulit karena keramik akan terkena pengaruh dari garam terlarut maupun endapan karang yang dapat mempercepat kerusakan dan pelapukan. Selain itu keramik yang ditemukan tidak selalu dalam keadaan utuh, ada yang pecah menjadi fragmen-fragmen, maupun ada fragmen yang hilang. Karena itu diperlukan cara yang efektif untuk membersihkan endapan karang tanpa merusak keramik. Pada penelitian ini yang dipakai untuk pembersihan endapan karang adalah larutan jenuh CO2. Selanjutnya hasil pembersihan yang didapatkan dibandingkan dengan pembersihan endapan karang menggunakan dengan HCl 5 %, asam sitrat 5 % dan dengan cara direbus. Untuk penyambungan fragmen keramik digunakan animal glue dalam hal ini adalah gelatin dan anchor. Pembersihan endapan karang dengan larutan jenuh CO2 didapatkan hasil bahwa endapan karang yang lunak dapat terlepas sedangkan untuk endapan karang yang keras dapat menjadi lunak, tetapi noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang. HCl 5 % dan asam sitrat 5 % efektif untuk menghilangkan endapan karang sekaligus menghilangkan noda besi pada permukaan keramik, tetapi dampak negatif untuk pembersihan dengan HCl adalah glasir ikut mengelupas, sedangkan untuk pembersihan dengan asam sitrat adalah permukaan keramik menjadi berwarna kekuningan. Untuk pembersihan endapan karang dengan direbus, di beberapa bagian masih terdapat endapan karang yang keras. Selain itu noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang. Untuk penyambungan fragmen keramik dengan gelatin maupun anchor dapat merekat kuat. Untuk melepas sambungan, keramik hanya perlu direndam air dan dalam beberapa menit akan terlepas dengan sendirinya.
Survey dan Pemodelan 3D (Tiga Dimensi) untuk Dokumentasi Digital Candi Borobudur Deni Suwardhi; Muhammad Mukhlisin; Dendy Darmawan; Shafarina Wahyu Trisyanti; Brahmantara Brahmantara; Yudi Suhartono
Borobudur Vol. 10 No. 2 (2016): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v10i2.150

Abstract

Candi Borobudur merupakan salah satu warisan budaya masa lampau yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia. Upaya pelestarian Candi Borobudur sebagai salah satu Warisan Dunia (World Heritage) terus dilakukan oleh para pelestari, salah satunya adalah dengan melakukan perekaman secara digital dalam bentuk model 3D (tiga dimensi). Data - data yang disampaikan dalam kajian ini merupakan hasil survey yang terdiri dari (i) survey pemotretan udara menggunakan WUNA (wahana udara nir-awak), (ii) survey pemotretan terestris, (iii) survey terestris menggunakan sensor aktif laser scanner, dan (iv) survey GPS (Global Positioning System) teliti. Kamera yang digunakan dalam pemotretan udara maupun terestris adalah kamera digital format kecil non-metrik yang mempunyai karakteristik parameter orientasi dalam, seperti panjang fokus dan distorsi lensa, yang tidak stabil, sedangkan untuk pemotretan bagian candi yang sulit diambil dari udara seperti patung, relief dan stupa, digunakan teknik foto terestris rentang dekat yang mempunyai prinsip sama dengan teknik foto udara. Salah satu tantangan dalam pengolahan data hasil kajian ini adalah bagaimana teknik Fotogrametri Digital memungkinkan penggabungan keseluruhan foto yang diambil dengan data hasil survey GPS teliti sebagai titik kontrol dan memberi koordinat global pada model 3D yang dihasilkan. Penggabungan tersebut mempunyai tujuan untuk menghasilkan model 3D dengan ragam tingkat kedetilan (Multilevel of Detail). Beberapa objek dengan tingkat kedetilan tinggi, seperti patung, relief dan stupa, dibandingkan dengan model yang dihasilkan dari sensor aktif laser scanner. Setelah untuk analisis lebih lanjut. Kerangka kerja internasional untuk pemodelan kota 3D khususnya obyek Warisan.
Penggunaan Bahan Alami pada Bahan Restorasi Lukisan Gua Prasejarah Maros Pangkep (Sulawesi Selatan) Yudi Suhartono
Borobudur Vol. 9 No. 1 (2015): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v9i1.162

Abstract

Di kawasan pegunungan kapur (kars) Maros dan Pangkep terdapat gua-gua yang pada masa prasejarah dihuni oleh manusia. Selain sebagai tempat tinggal, dinding-dinding gua digunakan sebagai media untuk mengekspresikan pengalaman, perjuangan dan harapan hidup manusia dalam bentuk lukisan gua. Pada umumnya lukisan gua prasejarah di Maros dan Pangkep hanya memiliki dua warna yaitu merah dan hitam. Warna merah yang digunakan dalam pembuatan lukisan umumnya dapat dihasilkan dari oker (ochre) atau oksida besi (Fe2O3 (haematite) yang bersumber dari bahan batuan mineral, sedangkan warna hitam biasanya menggunakan bahan arang, Hasil analisis laboratorium terhadap sampel lukisan gua menunjukkan bahwa lapisan merah bahan lukisan menunjukan adanya senyawa CaCO3, Ca SO4, serta unsur Al, Fe. Unsur Pb juga terdapat pada sampel lukisan. Adanya unsur Pb yang teroksidasi dengan Oksigen menjadi Pb O pada sampel lapisan merah bahan lukisan, menunjukkan bahwa selain unsur Fe merupakan unsur utama dari bahan hematit memberikan dugaan bahwa senyawa Pb O ini juga memberikan peran dalam pembentukan warna merah pada bahan lukisan. Hasil kajian yang telah dilakukan, memberi hasil bahwa sumber lukisan gua berupa batuan merah saat ini masih banyak dijumpai di sekitar gua prasejarah di Maros dan Pangkep. Bahan untuk restorasi lukisan gua penting untuk segera dirumuskan mengingat selama ini restorasi lukisan gua prasejarah jarang dilakukan karena belum ditemukannya bahan pengganti yang efektif untuk diterapkan dalam lukisan dinding gua. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penggunaan bahan hematit dengan campuran bahan kimia untuk restorasi lukisan gua kurang efektif dan warna lukisan agak berbeda dengan aslinya. Untuk itu dilakukan uji pembuatan bahan rekontruksi dengan bahan utama batuan merah dengan campuran bahan alami. Bahan untuk restorasi lukisan gua ini diharapkan aman untuk lukisan gua dan bersifat reversible serta tidak berdampak pada lingkungan. Hasil pengujian menunjukkan dari beberapa bahan alami, campuran daun sirih dan getah nangka memperlihatkan hasil yang efektif dan warna yang dihasilkan hampir mendekati dengan warna lukisan yang ada di gua-gua prasejarah.
Pengembangan Perekat Alam untuk Penyambung Artefak Tahap II Leliek Agung Haldoko; Iskandar M Siregar; Yudi Suhartono; Linus Setyo Adhidhuto; Ajar Priyanto
Borobudur Vol. 11 No. 1 (2017): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v11i1.168

Abstract

Salah satu Cagar Budaya berbahan kayu adalah artefak. Faktor fisik maupun mekanik dapat menyebabkan artefak menjadi retak atau patah. Untuk menyambung fragmen-fragmen yang patah tentunya dibutuhkan perekat. Perekat yang diuji dalam kajian ini meliputi perekat dari bahan tanin dan gondorukem. Perekat dari tanin dan gondorukem dikombinasikan dengan berbagai macam pelarut. Untuk bahan tanin digunakan pelarut aceton, etanol dan formaldehyde, sedangkan untuk bahan gondorukem digunakan pelarut tiner, minyak cat dan toluol. Pengujian daya tahan perekat dilakukan dengan siklus yang terdiri dari 3 (tiga) perlakuan, yaitu menempatkan sampel kayu yang direkat pada suhu 50°C, pada kondisi kelembaban 95% dan pada suhu kamar. Untuk pengujian kekuatan perekat dilakukan dengan pengujian kualitatif kekuatan rekat dengan beban statis dan pengujian kuat geser. Pengujian daya tahan perekat diperoleh hasil bahwa perekat dengan bahan tanin-aceton dan tanin-etanol tidak tahan terhadap kondisi kelembaban udara yang tinggi dan memiliki daya rekat yang rendah. Hal ini diketahui setelah dilakukan pengujian kualitatif dengan menggunakan beban statis. Berdasarkan pengujian kuat geser diperoleh hasil bahwa perekat gondorukem-toluol memiliki daya rekat paling besar, yaitu 14,83 kg/cm2; berturut-turut selanjutnya tanin–formaldehyde 9,95 kg/cm2; gondorukem–tiner 9,52 kg/cm2; dan gondorukem-minyak cat 4,81 kg/cm2.
KAJIAN KONSERVASI GUA GAJAH DI GIANYAR BALI Yudi Suhartono; Marsis Sutopo; Liliek Agung Haldoko; Yudhi Atmaja Hendra Purnama; Basuki Rachmad
Borobudur Vol. 12 No. 2 (2018): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v12i2.187

Abstract

Pura Gua Gajah merupakan peninggalan dari masa kerajaan Bali Kuna pada rentang waktu abad IX – XIII Masehi. Gua Gajah merupakan salah satu salah satu obyek dan daya tarik wisata utama di Bali yang banyak dikunjungi wisatawan manca negara. Gua ini memiliki nilai penting yang tinggi dari sisi arkeologi, sejarah, estetika, ilmu pengetahuan dan ekonomi sehingga harus dijaga kelestariannya. Secara umum kondisi Gua Gajah yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh beberapa faktor, sehingga perlu dilakukan kajian konservasinya. Kajian ini menggunakan metode Induktif kualitatif dengan tahapan tahapan kajian yang digunakan meliputi tahapan pengumpulan data yang terdiri dari pengumpulan data pustaka dan pengumpulan data lapangan untuk mengetahui kondisi keterawatan situs gua Gajah serta pengujian laborotorum pada sampel yang dibawa dari lapangan, Tahap selanjutnya dilakukan pengolahan data hasil pengumpulan data lapangan dan data hasil analisis di laboratorium serta data pustaka untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Hasil pengolahan data ini kemudian dianalisis untuk menjawab permasalahan yang ada. Pada tahap ketiga ini diharapkan diperoleh suatu kesimpulan yang sesuai dengan tujuan kajian. Dari Hasil kajian dapat diketahui bahwa batuan penyusun Gua Gajah merupakan endapan hasil aktivitas vulkanikyang tersusun dari campuran abu vulkanik (atau tuf ketika mulai membatu) yang tersortasi sangat buruk bersama dengan batuapung lapili, yang umumnya memiliki fragmen litik yang tersebar. Batuan penyusun Gua Gajah merupakan endapan yang belum terkonsolidasi. Gua Gajah telah mengalami kerusakan dan pelapukan yang dapat mengacam keberadaan gua tersebut. Penyebab utama proses pelapukan batuan kemungkinan adalah proses fisis akibat kelembaban yang tinggi dan juga faktor biologis. Untuk mengurangi kelembaban giua, di bagian atas gua perlu dilapisi dengan lapisan kedap air. Ada dua alternatif yang ditawarkan, pertama melapisi dengan menggunakan mortar dan kedua menggunakan bahan kedap air Geokomposit dan pembuatan saluran air. Sedangkan untuk mengurangi kelembaban yang disebabkan oleh kapiler air tanah, bagian bawah tanah perlu dilapisi dengan bahan kedap air geomembran.