Dian Rosita
Universitas Muhammadiyah Kudus

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

KEDUDUKAN KEJAKSAAN SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN NEGARA DI BIDANG PENUNTUTAN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA Dian Rosita
Jurnal Ius Constituendum Vol 3, No 1 (2018): April
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (470.617 KB) | DOI: 10.26623/jic.v3i1.862

Abstract

ABSTRAK Selama ini pengaturan kedudukan Kejaksaan tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya disebut secara eksplisit dalam Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalan undang-undang.” Pasal 2 ayat (1) Undang –Undang Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menyebutkan bahwa Kejaksaan adalan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain yang berdasarkan undang-undang. Sehingga secara kelembagaan berada di bawah kekuasaan eksekutif namun dalam menjalankan tugas dan fungsinya  merupakan bagian dari kekuasaan yudikatif yang menjadikan ketidakjelasan kedudukan Kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yang bersifat preskriptis analitis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah kedudukan Kejaksaan yang secara kelembagaan berada di bawah kekuasaan eksekutif dan secara kewenangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya termasuk bagian dari kekuasaan yudikatif menyebabkan Kejaksaan rawan terhadap intervensi kekuasaan lainnya dalam melaksanakan  tugas dan fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang penuntutan. Serta untuk mewujudkan kekuasaan penuntutan yang independen maka perlu untuk melakukan reposisi kedudukan Kejaksaan Republik IndonesiaABSTRACT So far, the regulation of the Public Prosecutor's Office is not expressly stipulated in the 1945 Constitution of the State of the Republic of Indonesia. It is only mentioned explicitly in Article 24 Paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which states, "Other bodies whose functions relate to the judicial authority are regulated in legislation" Article 2 paragraph (1) of the Prosecutor's Law No. 16 of 2004 on the Prosecutor's Office. It states that the Attorney is a government institution that exercises state power in the field of prosecution and other authorities based on the law. So that institutionally, it is under the executive authority but in carrying out its duties and functions it is part of the judicial power that makes the ambiguity of the position of the Prosecutor in the structure of the state administration. This research used normative juridical method with analytic prescriptive research specification. The type of data used in this study is secondary data, data were secondary data which gained from primary, secondary and tertiary legal materials. The conclusion derived from the results of this study is the position of the Attorney which is institutionally under the authority of the executive. Further, its authority in carrying out its duties and functions includes part of the judicial power, it causes the Attorney is prone to other power intervention in carrying out its duties and functions as the executor of state power in the field of prosecution. To realize the power of independent prosecution, it is necessary to reposition the position of the Prosecutor of the Republic of Indonesia. 
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DOKTER TERHADAP PENGOBATAN PASIEN COVID-19 DI RUMAH SAKIT Dian Rosita
Legal Standing : Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 2 (2020): September
Publisher : Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24269/ls.v4i2.3101

Abstract

Dokter merupakan profesi yang berada di garis terdepan yang berhadapan langsung Covid-19. Berjibaku dalam membantu kesembuhan Pasien Covid-19. AdakalanyaDokter harus mengorbankan nyawanya demi melindungi masyarakat dari persebaranCovid-19. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yuridis normatifyang bersifat deskriptif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatankasus. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder, bahanhukum primer meliputi peraturan perundang-undangan dan dokumen medical recordpasien dengan gejala infeksi Covid-19 dan bahan hukum sekunder berupa jurnal-jurnalhukum yang berisi tentang referensi mengenai perlindungan hukum bagi Doktermaupun tentang virus corona. Hasil penelitian menyebutkan bahwa Standar ProsedurOperasional merupakan pedoman bagi Dokter yang harus dipegang dalam rangkamengemban tugas profesinya memenuhi unsur kehati-hatian, harus ditumbuhkan sikapsaling menghargai dan memanusiakan manusia melalui transparansi dalam Anamneseantara Dokter dan Pasien serta Medical Record sebagai media pencatatan riwayatkesehatan pasien Covid-19 merupakan dokumentasi yang penting sebagai obyek risetdan sebagai bahan referensi pengembangan ilmu kedokteran.
TINJAUAN YURIDIS PERNIKAHAN SIRI DARI SEGI HUKUM PERDATA DAN HUKUM PIDANA Arina Novitasari; Dian Rosita; Muhammad Ayub
JURNAL KEADILAN HUKUM Vol 4, No 1 (2023): JURNAL KEADILAN HUKUM
Publisher : JURNAL KEADILAN HUKUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Menikah siri atau sering dikenal dengan nikah siri di Indonesia bukanlah hal baru bahkan semakin mencuat dikalangan masyarakat. Nikah siri yang kerapkali terjadi diberbagai wilayah sering dijadikan sebagai alternatif mengantisipasi pergaulan bebas dan biasanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang ingin berpoligami atau ingin beristri lebih dari satu. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, hukum perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami, artinya adalah hanya memberikan peluang seorang pria untuk mempunyai seorang istri, begitu juga sebaliknya. Jika menganut asas terebut maka nikah siri adalah perkawinan yang dilakukan tanpaadanya pencatatan perkawinan dicatatan sipil bagi non muslim, sedangkan bagi muslim perkawinannya tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Fenomena pernikahan siri di Indonesia sendiri ternyata memiliki konsekuensi secara pidana maupun perdata. Oleh karenanya perlu adanya kajian secara spesifik tentang adanya perilaku pernikahan siri di masyarakat untuk membantu menyelesaiakan konflik tentang akibat hukum nikah siri dari kacamata hukum perdata maupun hukum pidana. Metode yang digunakan dalam kajian ini menggunakan metode yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa  seorang pria beristri melakukan poligami dengan cara nikah siri tanpa adanya restu dari istri pertama maka itu urusan hukum administrasi. Dalam hal ini, menilai nikah siri masuk dalam ranah hukum perdata karena pihak istri merasa dirugikan tanpa adanya persetujuan tersebut. Kemudian Pria yang sudah berumah tanggga dan melakukan perkawinan tanpa seijin istri pertamanya dapat dijerat dengan Pasal 279 KUHP. Namun Jika seorang Pria atau wanita melakukan hubungan seks bukan dengan pasangannya dapat dijerat Pasal 284 KUHP. Kemudian berdasarkan UU No. 22 Tahun 1946 sanksi pidana bukan hanya ditujukan bagi pelaku Nikah siri saja tetapi juga orang yang menikahkannya.Kata Kunci : Nikah Siri, Pidana Perdata
PERCERAIAN AKIBAT PERKAWINAN USIA MUDA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Dian Rosita; Abinzar Putra Fendito
JURNAL KEADILAN HUKUM Vol 4, No 1 (2023): JURNAL KEADILAN HUKUM
Publisher : JURNAL KEADILAN HUKUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini mengkaji tentang perceraian akibat perkawinan usia muda dalam perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (empiric library), yakni prosuder penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, dengan melakukan kajian normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis empiris (Statute Approach). Sedangkan metode penelitian yang digunakan penulis yaitu penelitian yuridis normative yang artinya permasalahan yang diteliti berdasarkan peraturan perundang-undnagan, literatur hukum, dan media. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontradiksi batas usia minimal perkawinan  berpotensi menimbulkan multitafsir sehingga dapat menimbulkan potensi pelanggaran hukum berupa terjadinya banyak kasus perkawinan dibawah umur, berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perceraian hanya sah jika dilakukan di hadapan pengadilan sementara berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, cerai gugat dan cerai talak hanya dapat dilakukan dan sah secara hukum jika melewati proses sidang Pengadilan Agama, kemudian faktor perceraian pasangan usia muda biasanya disebabkan karena masalah ekonomi, kurangnya pemahaman agama, selingkuh dan pendidikan.
UPAYA DIVERSI PADA TAHAP PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA ANAK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Dian Rosita
JURNAL KEADILAN HUKUM Vol 1, No 2 (2020): JURNAL KEADILAN HUKUM
Publisher : JURNAL KEADILAN HUKUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak mengakibatkan adanya upaya guna mencegah dan menanggulanginya, salah satunya adalah penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Criminal Justice System). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA) memberikan definisi berupa keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. UU-SPPA merumuskan diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana keproses diluar peradilan pidana. Penuntut Umum Anak sebagai aparat fungsional dari Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia merupakan salah satu bagian pelaksana sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa diversi di tingkat penuntutan dikatakan berhasil apabila para pihak mencapai kesepakatan, dan hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Namun diversi ditingkat penuntutan dikatakan gagal apabila tidak terjadi kesepakatan bersama antara pelaku dan korban. Implementasi Diversi Sebagai Suatu Perlindungan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Pada Tingkat Penuntutan dilakukan oleh Penuntut Umum Anak yang bertindak sebagai fasilitator dan dilakukan dengan memanggil para pihak yaitu terdakwa, orang tua terdakwa, para korban (keluarga korban yang meninggal serta korban yang mengalami luka berat), perwakilan dari BAPAS, Penasihat Hukum yang mendampingi terdakwa. Kendala dalam pelaksanaan upaya diversi pada tingkat penuntutan antara lain : Kurangnya keahlian yang dimiliki seorang jaksa untuk menjadi fasilitator, belum tersedianya Ruang Khusus Anak, kurangnya pemahaman para pihak tentang pelaksanaan diversi, serta pengiriman berkas perkara dari penyidik ke kejaksaan terlalu dekat dengan habisnya masa penahanan.
PENINGKATAN PEMAHAMAN MASYARAKAT DESA WONOSALAM KABUPATEN DEMAK MENGENAI DASAR HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA KOPERASI SYARIAH Dian Rosita; Endang Setyowati
Jurnal Padamu Negeri Vol. 1 No. 2 (2024): April : Jurnal Padamu Negeri (JPN)
Publisher : CV. Denasya Smart Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69714/rekryp02

Abstract

Sharia Cooperatives are a form of cooperative that has principles, objectives and business activities based on Islamic Sharia, namely the Al-Qur'an and Assunah. The legal basis for establishing a sharia cooperative itself includes the following: Law of the Republic of Indonesia No. 25 of 1992 concerning Cooperatives, PP No. 9 of 1995 concerning the Implementation of Savings and Loans Business Activities by Cooperatives, Minister of Cooperatives and SMEs Regulation No. 11/M.KUKM/XII/2017 concerning Implementation of Savings and Loans and Sharia Financing Business Activities by Cooperatives, Minister of Cooperatives and SMEs Regulation No. 35.2/Per/M.KUKM/X/2007 Concerning Guidelines. Cooperative Management Operational Standards. The problem that often arises in the practice of sharia cooperatives is the emergence of problematic financing or bad credit. Dispute resolution can be resolved in two ways, namely dispute resolution in court or outside court. Due to the negative impact of the emergence of problematic financing, it is necessary for the Community Service Team (PkM) to organize outreach and counseling with the theme "Increasing Community Understanding  Wonosalam Demak Regarding the Legal Basis and Sharia Cooperative Dispute Resolution”. This activity uses methods, namely, counseling, question and answer and discussion methods.
FENOMENA KASUS PERCERAIAN PADA USIA PERNIKAHAN DI BAWAH 5 (LIMA) TAHUN DI ERA POSTMODERNISNME (Studi di Pengadilan Agama Semarang) Dian Rosita; Naili Azizah
Smart Law Journal Vol. 2 No. 2 (2023): Agustus 2023
Publisher : Universitas Karya Husada Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34310/slj.v2i2.33

Abstract

Divorce cases is increasing and become a trend for the last three years in Indonesia. Divorce is much more socially acceptable in today's society. The hedonic, consumptive, informative and imaginary characteristics of a post-modernist society are indicators of factors that cause divorce.This study using a normative legal research method with a statutory and analytical approach. The purpose is to find out how the view of marriage in the postmodern era, factors that cause divorce at the age of marriage under five years, and the considerations of the Religious Courts judges decided the case referring to SEMA No. 1 Year 2022. The results state that the personal character in the postmodern era can be an illustration of how they view many things, especially about marriage. Couples who decide on marriage should have mental preparation, economy, and education first. Compromise also an understanding of lifestyle and behavior between partners also need to be discussed before and after marriage so the age of marriage does not stop when still under five years but can continue into old age together.
PERJANJIAN PRA NIKAH SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA BAWAAN DALAM PERKAWINAN Dian Rosita; Arina Novitasari; Muhammad Zainuddin
Smart Law Journal Vol. 1 No. 1 (2022): Februari 2022
Publisher : Universitas Karya Husada Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perjanjian Pra Nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dengan tujuan untuk melindungi hak dan kewajiban suami istri setelah menikah. Isi Perjanjian Pra Nikah biasanya meliputi pemisahan harta sebelum pernikahan, pemisahan hutang sebelum pernikahan, selama pernikahan, atau bahkan setelah perceraian. Melalui perjanjian ini, masing-masing pihak dapat menentukan harta bawaan masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang tidak ditentukan lain. Perjanjian Pra Nikah ini banyak dipilih untuk calon pasangan yang salah satu atau keduanya punya resiko tinggi dalam pengelolaan keuangan, misalnya calon pasangan  seorang politikus atau pengusaha. Metode yang digunakan dalam kajian ini menggunakan metode yuridis normatif. Perlindungan hukum terhadap harta bawaan dalam perjanjian Pra Nikah bertujuan untuk memproteksi terhadap harta masing-masing calon pasangan dimana para pihak dapat menentukan harta bawaan masing-masing, hutang yang dimiliki calon pasangan menjadi tanggung jawab masing-masing, menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga serta menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat. Akibat hukum dari Perjanjian Pra Nikah terhadap harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama perkawinan berada dalam penguasaan masing-masing kecuali ditentukan lain.