Wizar Putri Mellaratna
Departmen Dermatologi Dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KECAMATAN BAKTIYA ACEH UTARA Yuziani, Yuziani; Rahayu, Mulyati Sri; Mellaratna, Wizar Putri
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous Vol. 7 : No. 1 (Mei, 2021)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v7i1.4728

Abstract

Filariasis atau kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filarial, yang menimbukan pembengkakan pada tangan, kaki dan genital. Filariasis masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten Aceh Utara, salah satunya di Kecamatan Baktiya menjadi angka kejadian tertinggi. Salah satu strategi pemberantasan filariasis yang dilakukan dengan memutuskan mata rantai penularan dengan Pemberian Obat Masal Pencegahan (POMP) filariasis. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang filariasis terhadap kepatuhan pengobatan massal filariasis di Kecamatan Baktiya Aceh Utara. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan menggunakan pendekatan cross-sectional, sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 256 sample dan analisis data menggunkan uji Chi-Square dan Uji Kolmogorov Smirnov sebagai alternatif lain untuk pemenuhan syarat. Hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan massal filariasis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak didapatkan hubungan yang significan antara tingkat pengetahuan masyarakat di wilayah kecamatan Baktiya Aceh Utara terhadap kepatuhan pengobatan pencegahan massal filariasis yang telah dilaksanakan di wilayah tersebut.
PENEGAKAN DIAGNOSIS PEMFIGOID BULOSA PADA PENDERITA NON HODGKIN LYMPHOMA Mellaratna, Wizar Putri; Yuziani, Yuziani
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous Vol. 7 : No. 2 (November, 2021)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v7i2.5448

Abstract

Pendahuluan: Penyakit bulosa autoimun merupakan penyakit yang relatif jarang dijumpai, yang menyerang kulit dan mukosa dan bersifat fatal. Kasus: Pasien datang dengan keluhan muncul gelembung-gelembung berisi cairan yang sudah pecah dan mengering hampir di seluruh tubuh pasien yang terasa nyeri dan gatal sejak 4 hari yang lalu. Gelembung berisi cairan ini awalnya muncul pada kedua tangan pasien, menyebar ke badan, kaki dan wajah. Status dermatologis ditemukan erosi yang berkrusta, batas tegas, dengan ukuran lentikular sampai dengan numular, distribusi lesi diskret dan generalisata. Hasil pemeriksaan histopatologi didapatkan epidermis sebagian atrofik dengan vacuolated di area basal dan eksositosis limfosit. Sebagian epidermis dengan bula di area subepidermal dengan sel-sel akantolitik. Sebagian epitel tampak nekrotik dengan lumen berisi sel PMN dan debris seluler. Pada dermis tampak serbukan sel radang menahun di perivaskuler. Diskusi: Pemfigoid bulosa umumnya terjadi pada pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, insiden puncak pada umur 70 tahun. Pembentukan vesikel dan bula pada kulit normal atau eritematous biasanya tampak menyerupai urtikaria dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang, diameter 1-4 cm, berisi cairan bening dan dapat bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Hubungan antara keganasan dengan pemfigoid bulosa umumnya karena faktor usia yang relatif tua dari penderitanya dan sering meningkat pada kasus kanker saluran cerna, saluran urogenital, kanker paru, dan kelainan limfoproliferatif. Kesimpulan: Pemfigoid bulosa sering menyerang usia tua dan dapat terkait dengan keganasan. Pemeriksaan histopatologi diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit bulosa lainnya.Kata kunci: bulosa, pemfigoid, autoimun, limfoma
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KECAMATAN BAKTIYA ACEH UTARA Yuziani Yuziani; Mulyati Sri Rahayu; Wizar Putri Mellaratna
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous Vol. 7 : No. 1 (Mei, 2021)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v7i1.4728

Abstract

Filariasis atau kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filarial, yang menimbukan pembengkakan pada tangan, kaki dan genital. Filariasis masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten Aceh Utara, salah satunya di Kecamatan Baktiya menjadi angka kejadian tertinggi. Salah satu strategi pemberantasan filariasis yang dilakukan dengan memutuskan mata rantai penularan dengan Pemberian Obat Masal Pencegahan (POMP) filariasis. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang filariasis terhadap kepatuhan pengobatan massal filariasis di Kecamatan Baktiya Aceh Utara. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan menggunakan pendekatan cross-sectional, sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 256 sample dan analisis data menggunkan uji Chi-Square dan Uji Kolmogorov Smirnov sebagai alternatif lain untuk pemenuhan syarat. Hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan massal filariasis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak didapatkan hubungan yang significan antara tingkat pengetahuan masyarakat di wilayah kecamatan Baktiya Aceh Utara terhadap kepatuhan pengobatan pencegahan massal filariasis yang telah dilaksanakan di wilayah tersebut.
PENEGAKAN DIAGNOSIS PEMFIGOID BULOSA PADA PENDERITA NON HODGKIN LYMPHOMA Wizar Putri Mellaratna; Yuziani Yuziani
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous Vol. 7 : No. 2 (November, 2021)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v7i2.5448

Abstract

Pendahuluan: Penyakit bulosa autoimun merupakan penyakit yang relatif jarang dijumpai, yang menyerang kulit dan mukosa dan bersifat fatal. Kasus: Pasien datang dengan keluhan muncul gelembung-gelembung berisi cairan yang sudah pecah dan mengering hampir di seluruh tubuh pasien yang terasa nyeri dan gatal sejak 4 hari yang lalu. Gelembung berisi cairan ini awalnya muncul pada kedua tangan pasien, menyebar ke badan, kaki dan wajah. Status dermatologis ditemukan erosi yang berkrusta, batas tegas, dengan ukuran lentikular sampai dengan numular, distribusi lesi diskret dan generalisata. Hasil pemeriksaan histopatologi didapatkan epidermis sebagian atrofik dengan vacuolated di area basal dan eksositosis limfosit. Sebagian epidermis dengan bula di area subepidermal dengan sel-sel akantolitik. Sebagian epitel tampak nekrotik dengan lumen berisi sel PMN dan debris seluler. Pada dermis tampak serbukan sel radang menahun di perivaskuler. Diskusi: Pemfigoid bulosa umumnya terjadi pada pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, insiden puncak pada umur 70 tahun. Pembentukan vesikel dan bula pada kulit normal atau eritematous biasanya tampak menyerupai urtikaria dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang, diameter 1-4 cm, berisi cairan bening dan dapat bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Hubungan antara keganasan dengan pemfigoid bulosa umumnya karena faktor usia yang relatif tua dari penderitanya dan sering meningkat pada kasus kanker saluran cerna, saluran urogenital, kanker paru, dan kelainan limfoproliferatif. Kesimpulan: Pemfigoid bulosa sering menyerang usia tua dan dapat terkait dengan keganasan. Pemeriksaan histopatologi diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit bulosa lainnya.Kata kunci: bulosa, pemfigoid, autoimun, limfoma
GIANT KONDILOMA AKUMINATA ANAL PADA SEORANG PRIA HOMOSEKSUAL YANG MENDERITA HIV Wizar Putri Mellaratna; Kristina Nadeak; Yuziani Yuziani
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous, Vol.8 : No.1 (Mei 2022)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v8i1.7245

Abstract

Pendahuluan : Giant kondiloma akuminata sering dikaitkan dengan HPV tipe 6 dan 11, namun memiliki perbedaan dengan kondiloma anal pada umumnya, seperti papilomatosis yang berbatas tegas, akantosis, rete ridges yang memanjang, dan meningkatnya aktivitas mitosis. Kasus: Pria, umur 33 tahun, dengan keluhan muncul benjolan yang menyerupai kembang kol di sekitar lubang dubur yang terasa gatal sejak 1 tahun yang lalu.  Pemeriksaan status venereologis didapatkan nodul vegetasi, berukuran 8x5x1 cm3, multipel, berbentuk seperti kembang kol, permukaan verokosa, batas tegas, berkelompok, konsistensi padat, warna hiperpigmentasi, tidak dapat digerakkan dan nyeri jika ditekan pada area perianal. Lesi tersebut tidak mudah berdarah. Pasien sudah mendapatkan penotolan TCA (50%) sebanyak tujuh kali namun belum tampak perbaikan, sehingga selanjutnya dilakukan eksisi lesi oleh dokter bedah. Setelah dilakukan pembedahan tampak ada perbaikan lesi. Diskusi: giant kondiloma akuminata merupakan massa eksofitik yang berukuran besar, dapat disertai dengan keluhan gatal, nyeri, perdarahan dan fistel pada lesi. pemeriksaan histopatologi kondiloma akuminata dan giant kondiloma akuminata sangat sulit dibedakan. Mikroskopis giant kondiloma akuminata menunjukkan epitel skuamous berlapis yang mengalami hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis dan papilomatosis dengan sedikit sel-sel atypia. Pada epitel juga ditemukan koilositosis. Pada jaringan fibrokolagen didapatkan infiltrat inflamasi kronik. bedah eksisi merupakan terapi lini pertama untuk giant kondiloma akuminata, dengan tingkat kesuksesan mencapai (63-91%) diikuti tingkat relaps yang rendah. Kesimpulan : giant kondiloma akuminata (Buschke-Löwenstein) merupakan penyakit yang sering mengenai kelompok imunosupresif. Giant kondiloma akuminata dapat merupakan prekursor karsinoma sel skuamosa sehingga harus didiagnosis secara tepat dan segera diterapi. Terapi eksisi merupakan terapi lini pertama untuk giant kondiloma akuminata.
Correlation Between Serum 25 Hydroxy-vitamin D Levels and The Worst Pain Intensity in Postherpetic Neuralgia Mellaratna, Wizar Putri; Jusuf, Nelva K; Yosi, Ariyati
Journal of General - Procedural Dermatology & Venereology Indonesia Vol. 6, No. 2
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Postherpetic neuralgia (PHN) is persistent pain in the affected dermatome that occurs more than three months after the eruption of the herpes zoster has disappeared. Vitamin D has a role in Schwann cell regeneration and stimulates the release of nerve growth factors. Methods: Blood sampling was performed to test serum 25(OH)D levels. Patients filled out their worst pain intensity using the Zoster Brief Pain Inventory questionnaire. The score was reported in Likert score (0-10), 0 indicating no pain and 10 indicating the most severe pain. Spearman correlation test was used, and p 0.05) and PHN durations (p >0.05). However, there were significant differences in serum 25(OH)D levels between sex groups (p Conclusion: No correlation exists between serum 25(OH)D levels and the worst pain intensity in PHN patients. Further research with a control group, liver function tests, and the duration of sun exposure data is needed to conclude the role of 25(OH)D in PHN patients.
PENEGAKAN DIAGNOSIS KUSTA SECARA DINI UNTUK PENCEGAHAN KECACATAN YANG DITIMBULKAN Wizar Putri Mellaratna
Lentera : Jurnal Ilmiah Sains, Teknologi, Ekonomi, Sosial, dan Budaya Vol 6 No 2 (2022): LENTERA, MEI 2022
Publisher : LPPM Universitas Almuslim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kusta atau yang biasa dikenal dengan lepra atau Morbus Hansen merupakan penyakit menular menahun yang diakibatkan oleh Mycobacteriumleprae. Kuman ini menyerang terutama pada kulit dan saraf perifer yang apabila tidak ditangani dengan segera dapat menimbulkan masalah yang kompleks. Penyakit kusta umumnya dijumpai di negara berkembang karena berhubungan tingkat Pendidikan dan sosioekonomi yang masih rendah. Klasifikasi kusta menurut WHO yaitu tipe pausi basiler (PB) dan tipe multibasiler (MB). Diagnosis kusta dapat tegak bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal (cardinalsign) yaitu ada bercak putih yang mati rasa, terdapatnya penebalan saraf dab ditemukannya kuman BTA positif. Rekomendasi WHO untuk multidrug therapy (MDT) tipe multibasiler yaitu rifampicin 600 mg/bulan, dapson 100 mg/hari, dan klofazimin 300 mg/bulan yang diikuti dengan 50 mg/hari di rumah. Pemberian diberikan dalam jangka waktu 12 bulan. Sedangkan rekomendasi WHO untuk MDT tipe pausi basiler yaitu rifampicin 600 mg/bulan dan dapson 100 mg/hari. Penyakit kusta merupakan penyakit kronik yang menjadi masalah kesehatan yang serius bagi masyarakat akibat resiko kecacatan yang dapat ditimbulkannya. Penegakan diagnosis dini pada penyakit kusta sangat penting untuk memberikan terapi sedini mungkin sehingga dapat mencegah kecacatan yang timbul
DERMATITIS KONTAK IRITAN PADA IBU RUMAH TANGGA: LAPORAN KASUS Wizar Putri Mellaratna; Chataya Syah Dhafa Siregar
Lentera : Jurnal Ilmiah Sains, Teknologi, Ekonomi, Sosial, dan Budaya Vol 7 No 1 (2023): LENTERA, FEBRUARI 2023
Publisher : LPPM Universitas Almuslim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah peradangan pada kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor ekstrinsik dan/atau intrinsik langsung dengan tubuh. DKI dapat terjadi karena paparan bahan kimia yang menyebabkan kelainan berupa eritema multiforme (eritema, edema, papula, folikel, sisik, likenifikasi) dan pruritus. Dilaporkan kasus seorang wanita berusia 37 tahun, seorang ibu rumah tangga, didiagnosis sebagai DKI kronis. Pada pemeriksaan klinis, terdapat makula difus hiperpigmentasi multipel dengan bentuk tidak teratur, ukuran plak, likenifikasi, dan sisik putih pada kedua kaki. Kombinasi terapi topikal diberikan dexosimetasone 2,5% dan salep fusilex dua kali sehari. Cetrizin 2x10 mg per hari dan Metilprednisolone 8 mg 2 tablet pada pagi hari sebagai pengobatan sistemik. Komunikasi, informasi dan pendidikan diperlukan untuk mengobati DKI kronis.
IMPETIGO KRUSTOSA PADA ANAK USIA 18 BULAN Salsabilla Humaiya; Wizar Putri Mellaratna
Lentera : Jurnal Ilmiah Sains, Teknologi, Ekonomi, Sosial, dan Budaya Vol 7 No 1 (2023): LENTERA, FEBRUARI 2023
Publisher : LPPM Universitas Almuslim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan oleh infeksi piogenik oleh bakteri gram positif. Impetigo dibagi menjadi nonbulosa dan bulosa. Impetigo nonbulosa merupakan 70% kasus impetigo. Impetigo lebih sering terjadi pada usia anak-anak, tetapi dapat terjadi pada orang dewasa dari segala usia. Biasanya, impetigo nonbulosa muncul di wajah, dimulai sebagai papula eritematosa yang menjadi vesikel dan pustula yang pecah dan menyebabkan krusta berwarna madu pada dan menyebabkan dasar eritematosa. Diagnosis impetigo non bulosaberdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Impetigo non bulosa dapat diobati dengan antimikroba oral atau topikal dan dengan mengangkat krusta dengan membersihkannya. Prognosisnya baik dan dapat sembuh dengan atau tanpa bekas luka. Kata kunci : impetigo non bulosa, krusta, anak