Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : UNES Journal of Swara Justisia

PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DELIK OBSTRUCTION OF JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Arfiani Arfiani; Syofirman Syofyan; Sucy Delyarahmi
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.294

Abstract

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang memerlukan perhatian khusus di Indonesia. Tidak hanya merugikan keuangan negara, namun korupsi juga menghilangkan legitimasi penegakan hukum dengan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Tentu dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut tidak akan berjalan lancar jika masih terdapat pihak-pihak yang berupaya menciderai proses penegakan hukum berupa menghalangi dan merintangi proses penegakan hukum atau dikenal dengan istilah Obstruction of Justice. Namun dalam pengaturannya, Obstruction of Justice masih menyisakan masalah. Dimana, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) yang mengatur Obstruction of Justice memunculkan kerancuan dalam memahami maksud delik ini. Khususnya dalam frasa “sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung”. Menjawab persoalan tersebut, maka perlu diketahui bagaimana eksistensi pengaturan Obstruction of Justice dalam perkara tindak pidana korupsi berdasarkan UU PTPK dan bagaimana pula penegakan hukum dan kendala yang dihadapi untuk menindak Obstruction of Justice tersebut. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa eksistensi pengaturan Obstruction of Justice perlu ditata ulang sehingga dapat ditentukan apakah suatu perbuatan tersebut dianggap sengaja untuk menghalangi proses hukum berdasarkan parameteter yang telah ditentukan. Studi ini menyarankan perlunya merevisi UU PTPK, memperkuat sinergitas antar lembaga penegak hukum, memanfaatkan undang-undang terkait korupsi yang ada, meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum, dan meningkatkan kesadaran publik. Upaya ini penting dilakukan sebagai pendekatan di masa depan dalam melawan korupsi.
Prinsip Kemandirian Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Dinamika Ketatanegaraan Arfiani
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 3 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Oktober 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i3.430

Abstract

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan sistimatis sehingga diperlukan upaya yang luar biasa dalam memberantasnya. Oleh karenanya, KPK sejak awal memang didesain dengan kewenangan luarbiasa (superbody) agar mampu mengungkap praktik licik-kotor yang dilakukan oleh para koruptor. Sejak pembentukan KPK sebagai lembaga anti rasuah, negara telah memberikan prinsip independensi agar tidak ada campur tangan pihak manapun. Pasca pengesahan Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah memberikan diskursus pandangan negatif dari masyarakat untuk menurunkan fungsi kelembagaan KPK. Maka atas dasar tersebut penelitian ini memfokuskan analisis terhadap dua hal utama. Pertama, Bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjaga prinsip independensi pasca dikeluarkannya Revisi Undang-Undang KPK? Kedua, Apa yang menjadi solusi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk tetap menjaga prinsip independensi terhadap Stabilitas Negara? Untuk menjawab fokus kajian, penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, data yang dipakai dalam penelitian berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan studi kepustakaan dari berbagai literatur serta metode analisis data menggunakan yuridis-kualitatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sebelum revisi undang-undang KPK tersebut disahkan penegakan fungsi independensi KPK sudah berjalan dengan baik hal tersebut dapat dibuktikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Namun ketika pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 yang membuat kekuasaan KPK diartikan sama dengan kekuasaan eksekutif seperti halnya Kejaksaan dan Kepolisian. Maka atas dasar itu yang membuat revisi Undang-Undang KPK disahkan, didalam Undang-Undang aquo memposisikan KPK terhadap kelembagaan KPK. Antara lain pembentukan Dewan Pengawas, penempatan KPK pada rumpun kekuasaan eksekutif, status kepegawaian. Dengan implikasi tersebut tentunya KPK harus tunduk terhadap rezim pemerintah saat ini.
Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi dan Rekomendasi Penegakan Hukum pada Kasus Pemalsuan Putusan Arfiani; Ilhamdi Putra; Afdhal Fadhila
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 4 (2024): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2024)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i4.436

Abstract

Dalam usia 20 tahun, MK telah melalui banyak persoalan, misalnya kasus pelanggaran etik yang menunjukan tren peningkatan. Salah satu kasus etik tersebut adalah skandal pemalsuan Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 yang sangat mengguncang. Penelitian ini berfokus pada dua permasalahan, yakni fenomena penegakan hukum atas pelanggaran etik Hakim Konstitusi, dan rekomendasi penegakan kode etik yang ideal pada kasus pemalsuan putusan oleh Hakim Konstitusi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang sepenuhnya menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dekade kedua MK diwarnai dengan peningkatan kasus pelanggaran etik, bahwa dari 5 kasus, 3 di antaranya terjadi pada periode 2013-2023. Sedangkan pada skandal pemalsuan putusan, penelitian ini merekomendasikan dilakukannya pemecatan terhadap Hakim Konstitusi Terlapor karena pelanggaran etik yang dilakukannya berhubungan dengan konstitusionalitas pengangkatannya sebagai Hakim Konstitusi. Penelitian ini menyarankan agar alas hukum pembentukan Majelis Kehormatan MK harus diakomodir dalam UU MK, dan tidak dibentuk oleh Ketua MK untuk menjaga independensi penegakan kode etik
Menakar Transparansi Keuangan Partai Politik Pada Pelaksanaan Pemilihan Umum Arfiani; Syofiarti
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 4 (2024): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2024)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i4.437

Abstract

Untuk menunjang pelaksanaan penyelenggaran kegiatan partai politik tidak terlepas dengan adanya dukungan dana yang besar. Dalam proses perjalanan partai politik, dana partai politik berasal dari iuran para politisi partai, sumbangan yang sah sesuai dengan ketentuan hukum; serta bantuan keuangan dari APBN dan APBD dari pemerintah. Melalui dana yang dihasilkan maka diperlukan sebuah pelaporan yang akuntabel dan transparan kepada publik agar menciptakan kepastian hukum (legal certainly) dan mencegah tindakan korupsi yang berasal dari dana partai tersebut. Maka melalui penelitian ini penulis menggaris bawahi terhadap 2 (dua) rumusan masalah yang penting untuk dibahas. Pertama, apa yang menjadi urgensitas keterbukaan informasi keuangan partai politik dalam pencegahan praktik budaya korupsi di Indonesia? Dan Kedua, bagaimana pertanggungjawaban dana keuangan partai politik yang bersumber dari dana APBN dan APBD di Indonesia? Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif. Data yang dipakai dalam penelitian berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan studi kepustakaan dari berbagai literatur. Hasil penelitian ini mencatat bahwa bentuk pelaporan keuangan partai politik harus mencatat semua sumber penerimaan dana terhadap partai dan tidak hanya mempertanggungjawabkan terhadap dana yang bersumber dari APBN dan APBD saja, kemudian berkaitan dengan sanksi harus ada tindakan tegas dilakukan oleh pemerintah tidak hanya pemberian sanksi administratif yang dikenakan terhadap suatu partai.