Julius Sampekalo
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : AQUATIC SCIENCE

Physical evaluation on freshwater crayfish, Cherax quadricarinatus, feed using several gluten materials Khartiono, Lady D.; Sampekalo, Julius; Mingkid, Winda M.
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 2, No 1 (2014): April
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.2.1.2014.12410

Abstract

Title (Bahasa Indonesia): Uji fisik pakan lobster air tawar, Cherax quadricarinatus, yang menggunakan beberapa bahan perekat The objective of this study was to evaluate the physical parameters of feed for freshwater crayfish (Cherax quadricarinatus) using different glutens. This study used a completely randomized design with four treatments and three replications. Treatment A was feed with starch gluten, treatment B was feed with sago gluten, treatment C was feed with seaweed gluten and treatment D was a commercial feed (control). ANOVA showed that the treatments gave a significant effect (P <0.05) on the breaking rate in the water, sinking speed, homogeneity, and hardness. The results showed that feed using seaweed gluten is very good to use. Feed with starch gluten was also better than feed of sago gluten. However, for sinking speed, control diet and starch gluten-based feed were faster than that of seaweed gluten. The result for water quality analysis including temperature, pH, DO and ammonia during the study showed tolerable ranges for freshwater crayfish. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara fisik pakan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) yang menggunakan beberapa bahan perekat. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan A pakan dengan bahan perekat kanji, perlakuan B pakan dengan bahan perekat sagu, perlakuan C pakan dengan bahan perekat rumput laut dan perlakuan D adalah pakan komersil (kontrol). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa antara perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecepatan pecah pakan dalam air, dispersi pakan, kecepatan tenggelam, homogenitas, dan tingkat kekerasan. Pakan dengan bahan perekat rumput laut sangat baik untuk digunakan. Pakan dengan bahan perekat tepung kanji juga lebih baik dibandingkan pakan berbahan perekat sagu. Tetapi untuk kecepatan tenggelam pakan kontrol dan pakan berbahan perekat kanji lebih cepat dibandingkan pakan berbahan perekat rumput laut. Hasil analisis kualitas air meliputi suhu, pH, DO dan amonia selama penelitian menunjukkan masih dalam batas kisaran yang bisa ditoleransi lobster air tawar.
The role of Bakasang as immunostimulant on non-specific immune response in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Pangaribuan, Rosa D; Tumbol, Reiny A; Manoppo, Hengky; Sampekalo, Julius
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7280

Abstract

Bakasang produced from fermented fish’s offals contains some type of Lactic Acid Bacteria (LAB) and have potential as imunostimulant. LAB that can live and grow in the digestive tract of fish serve to suppress the growth of pathogenic bacteria, and produce metabolites that can stimulate the activity of the immune system. The purpose of this study was to examine the effect of bakasang as imunostimulant and to determine the optimal dose of bakasang for increasing non-specific immune response and growth in tilapia (Oreochronomis niloticus). This research was conducted using completely randomized design with four treatments and three replicates: B0 (0 ml/kg feed), B1 (50 ml/kg feed), B2 (100 ml/kg feed), and B3 (150 ml/kg feed). The treatment feed was given for 4 weeks at a dose of 3% /body weight/day with a frequency of twice a day (08:00 and 17:00). The data taken were immune parameters (total leukocytes and phagocytic activity) and growth. To evaluate the effect of bakasang, the observed parameters were subjected to analysis of variance performed to evaluate differences between the treatments. The results show that after 4 weeks of feeding, the total leukocyte of tilapia treated with bakasang B2 (100 ml/kg feed) on week three was significantly different compared to the total leukocytes in the other treatments with total leukocytes of 68% more than the control. Phagocytic activity in treated fish with 100 and 150 ml/kg (Treatment B2 and B3) were significantly different (p<0.05) from the other treatments. Nevertheless, the phagocytic activity in treatment B2 (100 ml/kg) was higher than B3 (150 ml/kg). Bakasang has an influence on growth during 4 weeks treatment in B1 and B2 which were significantly different to other treatments, but the difference between B1 and B2 treatment was not significantly different. The weight gain of tilapia in treatment B1 was 17.06 ± 3.17 g or 34.75% more than the control treatment, while the B2 body weight reached 17.72 ± 2.63 g or 39.96% greater than the control. In conclusion, the inclusion of bakasang in fish feed by using oral technique with a dose of 100 ml/kg could increase the nonspecific immune response and growth of tilapia. Bakasang yang dihasilkan dari fermentasi jeroan ikan mengandung beberapa jenis Bakteri Asam Laktat (BAL) dan mempunyai potensi sebagai immunostimulan. BAL, yang dapat hidup dan tumbuh di dalam saluran pencernaan, berfungsi menekan pertumbuhan bakteri patogen dan menghasilkan produk metabolit yang dapat merangsang aktivitas sistem kekebalan tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh bakasang sebagai imunostimulan serta menentukan  dosis yang optimal  dalam meningkatkan respon imun non spesifik dan pertumbuhan pada ikan nila (Oreochronomis niloticus). Penelitian dilaksanakan menggunakan  Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan B0 (0 ml/kg pakan), B1 (50 ml/kg pakan), B2 (100 ml/kg pakan), dan B3 (150 ml/kg pakan); masing-masing dengan tiga ulangan.  Pakan perlakuan diberikan selama 4 minggu dengan dosis sebanyak 3%/bb/hari dengan frekwensi pemberian 2x sehari pagi (08.00), dan sore (17.00). Data yang diamati terdiri dari parameter imun (total leukosit dan aktivitas fagositik) dan pertumbuhan. Untuk mengevaluasi pengaruh bakasang terhadap parameter yang diamati dilakukan analisis ragam, sedangkan untuk mengevaluasi perbedaan pengaruh antar perlakuan dilakukan Uji Duncan. Setelah diberikan selama  4 minggu, total leukosit ikan nila yang diberi perlakuan bakasang  B2 (100 ml/kg pakan) minggu ke-3 berbeda sangat nyata dibandingkan dengan total leukosit pada perlakuan lainnya dengan total leukosit mencapai 68% lebih banyak dari kontrol. Aktivitas fagositosis pada ikan yang diberi perlakuan 100 ml/kg dan 150 ml/kg (Perlakuan B2 dan B3 ) berbeda nyata (p< 0.05) dengan perlakuan lainnya. Meskipun demikian aktivitas fagositosis pada perlakuan B2 (100 ml/kg) lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan B3 (150 ml/kg). Pengaruh bakasang  terhadap pertumbuhan selama minggu ke 4 perlakuan B1 dan B2 berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun antar perlakuan B1 dan B2 tidak berbeda nyata. Perolehan berat ikan nila pada perlakuan  B1 sebesar 17,06 ± 3,17 g atau 34,75% lebih berat dari kontrol, sedangkan pada perlakuan B2 berat tubuh mencapai  17,72 ± 2,63 g atau 39,96% lebih besar dari kontrol. Sebagai kesimpulan, pemberian bakasang secara oral pada pakan ikan dapat menjadi imunostimulan dan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ikan dengan dosis 100 ml/ kg pakan.
Isolation, morphometry, and culture of Colurella sp. (Rotifera: Ploimida) Letsoin, Petrus P; Pangkey, Henneke; Sampekalo, Julius; Rumengan, Inneke F.M; Wullur, Stenly; Rimper, Joice R.S.T.L
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Graduate Program of Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7276

Abstract

The rotifer Brachionus rotundiformis (total body length 240.59±10.24 μm, lorica length 175.28±9.18 μm, and lorica width 124.28±7.76μm) is commonly used as starter food in the larval rearing of marine fish. But, larvae of some marine tropical fish species required starter food with body size smaller than B. rotundiformis. The present study was aimed to isolate minute rotifers from nature and to assess the possibility of culturing these rotifers. Sampling of rotifers was conducted in an estuary of Mangket (Kema-Minut), using plankton net (mesh size 40 µm). A trial of culturing the rotifers was conducted at salinities of 10, 20 and 30 ppt by using a microalga, Nannochloropsis oculata. A species of rotifer identified as Colurella sp. (family Lepadellidae) was successfully isolated from the sampling location. Body size of Colurella sp. was extremely small (Total length 123.22±5.45 μm, lorica length 95.96±3.81 μm, and lorica width 53.57±3.11 μm), which were smaller than Brachionus rotundiformis SS-type as a conventional starter food for marine fish larvae.  Results of culturing the minute rotifer Colurella sp. showed that the species grew well at salinities of 10, 20 and 30 ppt with no significant difference among treatments (ANOVA, p>0.05), indicating a potential use of minute rotifer Colurellasp. as starter food for marine fish larvae. Rotifera Branchionus rotundiformis (ukuran tubuh: panjang total 240,59±10,24 μm, panjang lorika 175,28±9,18 μm, dan lebar lorika 124,28±7,76μm) sering digunakan sebagai pakan awal pemeliharaan larva ikan laut. Namun, larva beberapa spesis ikan laut tropis membutuhkan pakan awal berukuran tubuh lebih kecil dari Branchionus rotundiformis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan minute rotifer dari alam (berukuran tubuh lebih kecil dari B. rotundiformis) dan menguji kemungkinan pemeliharaannya. Sampling rotifer dilakukan di perairan estuari Desa Mangket (Kema-Minut), menggunakan plankton net (ukuran mata jaring 40 µm). Uji coba pemeliharaan dilakukan pada salinitas (10, 20, dan 30 ppt) dengan menggunakan Nannochloropsis oculata. Satu spesies minute rotifer yang teridentifikasi sebagai Colurella sp. (family Lepadellidae) berhasil diisolasi dari lokasi sampling. Colurella sp. memiliki ukuran tubuh sangat kecil (panjang total [PT] 123,22±5,45 µm, panjang lorika [PL] 95,96±3,81 µm, dan lebar lorik [LL] 53,57±3,11 µm) yang mana lebih kecil dari Branchionus rotundiformis tipe-SS sebagai pakan awal larva ikan laut. Hasil uji coba pemeliharaan minute rotifer Colurella sp. menunjukkan bahwa spesis ini dapat tumbuh pada salinitas 10, 20, dan 30 ppt dengan perbedaan kepadatan populasi yang tidak signifikan antar perlakuan (Uji ANOVA, p > 0.05) mengindikasikan potensi pemanfaatan minute rotifer Colurella sp. sebagai pakan awal larva ikan laut.
Analysis of sago starch fermented with aerobic and anaerobic processes as alternative material for fish meal Wuniarto, Erwin; Sampekalo, Julius; Lumenta, Cyska
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 2, No 2 (2014): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.2.2.2014.12397

Abstract

Title (Bahasa Indonesia): Analisis pati sagu yang difermentasi dengan proses aerob dan anaerob sebagai bahan alternatif pengganti tepung ikan Fish meal is commonly used as the main ingredient in aqua feeds. In this study, sago (Metroxylon spp.) starch was fermented through aerobic and anaerobic processes using Rhizophus sp. The duration of fermentation was 10 days. Based on proximate analysis, the unfermented sago starch had protein content of 1.11%, while the fermented one showed five to eight times increased protein level. The carbohydrate, lipid, and ash contents were found to decline in both aerobic and anaerobic fermentation. On the other hand, water content and crude fiber increased in both aerobic and anaerobic processes. Tepung ikan umumnya digunakan sebagai bahan baku utama dalam pakan organisme budidaya. Dalam penelitian ini, bahan pati sagu (Metroxylon spp.) difermentasi secara aerob maupun anaerob dengan menggunakan Rhizopus sp. Lamanya fermentasi adalah 10 hari. Berdasarkan hasil uji proksimat, kandungan protein pati sagu tanpa fermentasi adalah 1,11 %, sedangkan bahan pati sagu yang difermentasi memperlihatkan peningkatan kandungan nilai proteinnya sebanyak lima sampai delapan kali. Kandungan karbohidrat, lemak, dan kadar abu berkurang pada kedua fermentasi aerob dan anaerob. Sebaliknya, kadar air dan serat kasar meningkat pada kedua proses aerob dan anaerob.