Agustinus Sutanto
Program Studi S1 Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara

Published : 27 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

PERPUSTAKAAN UMUM Tjandra Huann; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 2, No 1 (2020): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v2i1.6735

Abstract

An open space is a need needed by many people. These open space acts as a refreshment space for people whose life is monotone, who does the 8 – 5 work hours. This type of lifestyle could make people have a need for a refreshment for their tired minds. So much people don’t have a place to to go after work, a place where they can refresh and relax at the same time which could lead to stress. These kind of stresses could become physical and psychic problems. Physical problems could relate to heart problems, diabetic problems, and many more. While psychic problems could involve depression, chronic stress, and many more. These kind of stresses could be managed well by getting enough entertainment or an emotional support by socializing with families and friends. But things are a bit different about shift workers, where shift workers don’t have time to socialize with them. For that, a public library with a recreation purpose idea is proposed. This public library applies the concept of Third Place, where this place would be free and open to everybody and anybody. This kind of openness is expected to persuade people to come and interact with each other. AbstrakSebuah ruang terbuka sangatlah dibutuhkan oleh berbagai macam orang. Keterbukaan dari ruang tersebut berfungsi juga sebagai ruang “refreshment” bagi para orang – orang yang memiliki hidup yang monoton seperti pekerja. Dimana pekerja pergi bekerja pada pukul 8 pagi dan pulang pada 5 sore. Kehidupan seperti itu membuat seseorang membutuhkan sebuah ruang dimana ia dapat menyegarkan pikirannya yang Lelah. Banyaknya orang – orang yang tidak memiliki tempat untuk bersantai juga dapat membuat seseorang menjadi stres. Stres ini dapat menjalar kepada berbagai macam penyakit fisik maupun psikis. Penyakit fisik yang disebutkan ini menyangkut berbagai macam hal seperti jantung, berat badan (obesitas), dan lain – lain. Sedangkan dalam segi psikis, berbagai macam efek seperti depresi, stres kronis, dan berbagai macam gangguan psikis lainnya. Stres seperti ini dapat dikelola dengan baik saat seseorang bisa mendapatkan hiburan ataupun dukungan emosional saat bertemu dengan sanak saudara ataupun dengan teman – temannya. Tetapi, hal ini berbeda dengan para shift workers, dimana para pekerja malam tidak memiliki waktu yang cukup untuk bersosialisasi. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah perpustakaan umum dengan tujuan rekreasi dan juga dengan konsep Third Place. Rekreasi disini memiliki artian dimana orang – orang dapat bersantai setelah bekerja dan bersantai membaca buku ataupun bersantai di taman. Dengan menerapkan konsep Third Place, tempat ini bersifat gratis dan juga terbuka kepada semua orang. Keterbukaan ini diharapkan mengundang orang – orang untuk datang dan masuk ke dalam dan terjadi berbagai macam interaksi sosial.
UPAYA PENINGKATAN KEGIATAN SOSIAL DAN INTERAKSI SESAMA MAKHLUK HIDUP PADA MASYARAKAT DAN HEWAN DI KELURAHAN SETIABUDI Angel Carveling; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 2, No 2 (2020): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v2i2.8483

Abstract

In the era of globalization, capitalism, especially in urban areas is developing rapidly. The population is dominated by millennial. In the progression of the technology, people especially in urban areas become individualism, selfish and easily depressed. Relationships between humans and the environment are getting worst. One of the things that can rehabilitate human depression is interaction with animals. Interactions that occur between humans and animals can produce endorphins which make them happy when interacting. However, human and animal relations are increasingly damaged. Animals often be the victim from human selfishness and ignorance. The level of human concern for animals is diminishing. Humans and animals must coexist and help one another to protect the world's ecosystem. With narrative architectural methods, the sharing space "When Humans Meet Pets" in the Setiabudi Subdistrict is trying to set various programs that are mutually beneficial relations for both humans and animals. The program and design in the third space reinforces the narrative of the animal's house that can be felt visually by humans and human buildings that can be inhabited and provides benefits to animals and the two can co-exist together in it. So the design of this building is trying to provide a third space in the Setiabudi Subdistrict so that humans can interact with animals to reduce depression and animals can live peacefully in the building. Keywords:  Animals; Co-Exist; People; Third Place AbstrakPada era globalisasi, kapitalisme  terutama pada daerah perkotaan berkembang pesat. Populasi masyarakat didominasi oleh kaum milenial. Teknologi semakin berkembang membuat masyarakat terutama di perkotaan menjadi individualisme, egois dan mudah depresi. Hubungan antar manusia maupun dengan lingkungan semakin rusak. Salah satu hal yang dapat memperbaiki depresi manusia adalah dengan interaksinya bersama binatang. Interaksi yang terjadi antara manusia dan hewan dapat menghasilkan hormon endorfin yang membuat keduanya saling bahagia saat berinteraksi. Namun, hubungan manusia dan hewan semakin rusak. Hewan sering menjadi korban dari tingkah egois dan kebodohan manusia. Tingkat kepedulian manusia terhadap hewan semakin berkurang. Manusia dan hewan harus hidup berdampingan serta saling membantu untuk menjaga ekosistem dunia. Dengan metode arsitektur naratif, ruang berbagi “Ketika manusia bertemu dengann binatang peliharaan” di Kelurahan Setiabudi berusaha menuangkan berbagai program yang saling menguntungkan hubungan baik untuk manusia maupun binatang. Program dan desain pada ruang ketiga ini memperkuat narasi rumah hewan yang dapat dirasakan secara ruang dan visual oleh manusia dan bangunan manusia yang dapat dihuni dan memberikan keuntungan kepada hewan serta keduanya dapat saling hidup berdampingan di dalamnya. Sehingga desain bangunan ini berusaha untuk memberikan ruang ketiga pada Kelurahan Setiabudi agar manusia dapat berinteraksi dengan hewan untuk menghilangkan depresi dan hewan dapat hidup dengan damai di bangunan tersebut.
KABONG KAENG: TIPOLOGI BARU HUNIAN EKOLOGIS SUKU ASMAT Stenlie Dharma Putra; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 3, No 2 (2021): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v3i2.12310

Abstract

Climate change is a global phenomenon that has recently become a common concern, which has an impact on increasing air temperatures. The Jayawijaya Mountains, which are known for their eternal snow, have changed and have an impact on the drastic increase in humidity in the area. This unique phenomenon in Papua, especially the Asmat tribe, which is rich in natural products, but on the one hand is experiencing a clean water crisis. Many diseases are caused by poor water conditions, because some people use river water without being treated first. The problem of water crisis is a major problem because the Asmat tribe is very dependent on nature, starting from their food needs, toilets, to their traditions and arts. If nature is getting more and more damaged, how will the Asmat tribe survive and adapt in the future? The architectural approach taken is the typology method, which analyzes the characteristics of the life of the Asmat Tribe, to then be applied to the project. In addition to overcoming existing problems, this project also raises the way of life of the Asmat Tribe which is closely related to sculpture and traditions in the realm of their ancestors. Through various research, it is possible to use humidity and rainwater as a source of water in the future. In terms of energy, it is said to be sustainable because of the high rainfall in Papua. The impact on the ecosystem is not negative because it comes from nature. This water source can be used by the Asmat tribe to adapt to their way of life and utilize this water source for the sustainability and preservation of their civilization in the future. Keywords: Ecohydrology Architecture; Dwelling; Clean Water Crisis; Asmat Tribe; Typology AbstrakPerubahan iklim merupakan fenomena global yang belakangan ini menjadi perhatian bersama, dimana berdampak terhadap peningkatan suhu udara. Pegunungan Jayawijaya yang dikenal dengan salju abadinya menjadi berubah dan berdampak terhadap peningkatan kelembaban udara drastis di kawasan tersebut. Fenomena unik di Papua, khususnya Suku Asmat yang kaya dengan hasil alamnya namun disatu sisi mengalami krisis air bersih. Banyak penyakit yang diakibatkan oleh kondisi air yang buruk, karena sebagian masyarakat menggunakan air sungai tanpa diolah terlebih dahulu. Masalah krisis air menjadi permasalahan pokok karena Suku Asmat sangat bergantung dengan alam, mulai dari kebutuhan pangan, MCK, hingga tradisi dan keseniannya. Jika alam semakin rusak, bagaimana cara Suku Asmat bertahan hidup dan beradaptasi kedepannya? Pendekatan arsitektur yang dilakukan adalah metode tipologi, dimana menganalisis karakteristik kehidupan Suku Asmat, untuk kemudian diterapkan terhadap proyek. Selain mengatasi permasalahan yang ada, proyek ini juga mengangkat cara hidup Suku Asmat yang erat dengan kesenian pahat dan tradisi di alam nenek moyangnya. Melalui berbagai riset, bahwa memungkinkan untuk memanfaatkan kelembaban dan air hujan sebagai sumber air di masa depan. Dari sisi energi, dikatakan sustainable karena curah hujan tinggi di alam Papua. Dampaknya terhadap ekosistem tidak negatif karena berasal dari alam. Sumber air ini dapat dimanfaatkan Suku Asmat untuk beradaptasi cara hidup dan memanfaatkan sumber air tersebut untuk keberlanjutan dan pelestarian peradaban mereka di masa mendatang.
TAMAN VERTIKAL DI MATRAMAN Octaviani Morgalita; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 2, No 1 (2020): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v2i1.6850

Abstract

With the rising of number of population and its business, transportation and mobility also rises. Jakarta has the highest number of vehicles and the most polluted metropolitan , as the main problem for Jakarta is the degradation of the environment quality caused by air pollution. Beside poor air quality also affects the physical quality and the population’s psychic which are lung problems, and chronic stress. So, an in-between space is needed as a neutralizer with the purpose of balancing the thinking patters and human health. This neutralizer could be achieved with Matraman Vertical Park. With a total area of about 5.000 m², this place gives humans to “Stop” and “Think” and react positively about the surrounding environment. The site is located between the borders of Jakarta Pusat and Jakarta Timur, specifically, at the intersection of Jl. Salemba Raya and Jl. Pramuka Raya. Matraman Vertical Park is an botanical–garden-integrated public and social space which reacts to the degradation of environment quality in Jakarta. Matraman Vertical Park applies the concept of Third Place which gives human the space to socialize and provide an entertainment that contribute positively to the city environment. The program of this building is open to public and with a purpose for the development of human and the environment. An Interaction space is presented with the concept of morphosis environment to the building’s spaction for visitors. Abstrak Aktivitas transportasi dan mobilitas terus bertambah seiring dengan meningkatnya kesibukan dan pertumbuhan penduduk di kota Jakarta. Kota Jakarta merupakan kota metropolitan dengan jumlah kendaraan dan polusi udara yang tinggi, sehingga permasalahan utama yang timbul adalah penurunan degradasi kualitas lingkungan akibat pencemaran udara. Selain kualitas udara yang buruk juga berdampak pada kualitas fisik dan psikis penduduk yaitu berdampak pada gangguan paru – paru dan chronic stress. Maka dibutuhkannya sebuah ruang antara yang menjadi penetralisir dengan tujuan menyeimbangkan pola pikir dan kesehatan jasmani bagi manusia. Hal tersebut direalisasikan dengan dibuatnya bangunan “Matraman Vertical Park”, dengan luas ± 5.000 m² yang memberikan wadah bagi manusia untuk “Stop” dan “Think”, serta memberikan reaksi positif terhadap lingkungan sekitar. Lokasi bangunan berada di perbatasan antara Jakarta Pusat dan Jakarta Timur yang terletak di persimpangan Jalan Salemba Raya dan Jalan Pramuka Raya. Matraman Vertical Park merupakan ruang publik dan sosial berintegrasi dengan botanical garden yang menjawab dan memperbaiki isu penuruan kualitas lingkungan di kota Jakarta. Matraman Vertical Park menggunakan konsep Third Place yang menyediakan ruang bagi manusia untuk bersosialisasi dan memberikan penghiburan yang berkontribusi positif terhadap lingkungan perkotaan. Di dalam bangunan ini terdapat program yang cenderung ditujukan untuk public dan perkembangan bagi manusia maupun lingkungan, dengan konsep morphosis environment pada tata ruang yang menghadirkan interaction space bagi pengunjung kepada lingkungan sekitar.
Pusat Kegiatan Digital Muhammad Nadhif; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 1, No 2 (2019): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v1i2.4521

Abstract

In such a modern and complex era like today, urban millennials are used to growing up with digital era that works as a new (arus ruang gerak) in their lives as an individual and social being. The digital era grows slowly as a part of work, culture, and process that can not be separated from human lives. Nevertheless, in fulfilling their social needs, digital technology is usually used only as a media component which in the process is done secondarily where it tends to create a moral change towards individualistic. Therefore, a place that can accommodate social activities without letting the digital flow to stream free and unrestrained, and offers education on how to control the digital flow instead, is needed to fulfill social needs in this digital era. Architecture discusses how to fulfill the digital community needs as an existential tool, because despite everything, human still needs face-to-face communication as a primary means of communication. Digital Hub is presented as a place where interaction can happen primarily in a digital era. Specifically, this project also aims to build digital communities where individuals are not isolated from social life, and receives an existential from the balance between primary interaction needs and digital needs. This becomes relevant in a developing society, where changes in life necessity is happening continously, replacing old ways with new techniques. AbstrakPada era yang serba modern dan kompleks seperti saat ini, generasi milenial perkotaan sudah terbiasa untuk tumbuh sebagai era digital yang berperan untuk menjadi arus ruang gerak baru di dalam kehidupannya sebagai makhluk individu dan sosial. Era digital pun secara perlahan tumbuh sebagai bagian dari karya, budaya, dan proses yang tidak dapat terlepas dari perjalanan kehidupan manusia. Namun, dalam pemenuhan kebutuhan sosialnya, teknologi digital sering kali hanya dimanfaatkan sebagai komponen media yang dalam prosesnya dilakukan secara sekunder di mana memiliki kecenderungan untuk memancing perubahan moral ke arah individualistis. Dalam pemenuhan kebutuhan sosial di era digital tersebut, maka dibutuhkan wadah sosial sebagai wadah yang tidak membiarkan arus era digital mengalir begitu saja, tetapi berbicara mengenai bagaimana cara mengontrol arus digital itu sendiri. Dari hal tersebut, arsitektur berbicara tentang cara untuk memenuhi kebutuhan komunitas digital sebagai sarana eksistensi mereka. Karena bagaimanapun juga manusia tetap membutuhkan sifat komunikasi face-to-face yang melalui proses secara primer. Digital Hub hadir sebagai ruang interaksi secara primer pada era digital. Secara lebih spesifik, kehadiran proyek juga dimaksudkan untuk menghadirkan komunitas-komunitas digital di mana individu tidak terisolasi dari kehidupan sosial, melainkan memperoleh nilai eksistensi dari adanya keseimbangan antara kebutuhan interaksi primernya dengan kebutuhan digital yang bertumbuh di dalamnya. Hal tersebut menjadi relevan seiring dengan masyarakat yang sedang terus berkembang, di mana terdapat perubahan kebutuhan secara terus-menerus untuk mengganti cara-cara lama dengan teknik yang baru.
RUMAH ABU MUARA KARANG Oscarius Lufti; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 2, No 2 (2020): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v2i2.8501

Abstract

Starting from the issue where there is a physical boundary that separates the world of life and the world of death which gives a bad impression of death. Living humans can perform rituals to interact spiritually with the world of the dead. From this it can be said that there are still opportunities for interaction between the living world and the world of death. Utilization of technology is applied in the design of projects to create architecture that becomes a container where interactions occur between the living world and the world of death. The world of death will mingle with visitors and vice versa so that interaction occurs. Carrying the theme ‘Third Place” in the proposed project design concept, the design of the columbarium will not be closed. Columbarium can be used as an architectural space that can be enjoyed by the community without exception. Interaction not only occurs with fellow human beings who are still alive, but also can occur with those who have died with the help of existing technology. With this view of the closed columbarium  can be removed. Keywords:  Columbarium; Death; Interaction; Life Abstrak Berawal dari isu dimana terdapat sebuah batasan secara fisik yang memisahkan antara dunia kehidupan dan dunia kematian yang menimbulkan kesan yang tidak baik terhadap kematian. Manusia yang masih hidup dapat melakukan ritual untuk berinteraksi secara rohani dengan dunia kematian. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa masih terdapat peluang untuk terjadinya interaksi antara dunia kehidupan dan dunia kematian. Pemanfaatan teknologi diterapkan dalam perancangan proyek untuk menciptakan arsitektur yang menjadi wadah dimana terjadi interaksi antara dunia kehidupan dan dunia kematian. Dunia kematian akan berbaur dengan pengunjung dan sebaliknya sehingga terjadi interaksi. Membawa tema “Third Place” dalam konsep perancangan proyek yang diusulkan, perancangan rumah abu tidak akan bersifat tertutup. Rumah abu dapat dijadikan sebagai ruang arsitektur yang dapat dinikmati oleh masyarakat tanpa terkecuali. Interaksi tidak hanya terjadi dengan sesama manusia yang masih hidup, tetapi juga dapat terjadi dengan mereka yang sudah meninggal dengan bantuan teknologi yang ada. Dengan ini pandangan terhadap rumah abu yang bersifat tertutup dapat dihilangkan.
PASAR BERKONSEP “TOUCH AND GO” DI TEPI SUNGAI CISADANE Febriana Febriana; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 1, No 2 (2019): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v1i2.4417

Abstract

Millennials determine Indonesia's face in the future. According to data from the National Development Planning Agency (Bappenas) there are 63 million millennials or people aged 20 - 35 years. They are in productive age. What needs to be considered is the need to encourage them to become the driving force of the Indonesian economy.The Old City of Tangerang is the name for a Chinatown which is the forerunner of the development of the City of Tangerang. But because of the intense development in this region and its surroundings, this region has lost its historical side. Tangerang City Government is trying to establish this area as a cultural tourism area. The existence of traditional markets in this region is not solely for economic affairs, but includes the contents of space and social relations, heritage and culture. The current condition of the Traditional Market Kisamaun is very concerning in terms of cleanliness and comfort, as well as facilities and infrastructure that are already very improper, and take areas that are not supposed to (in front of buildings that should be protected). Nevertheless, the interest of the surrounding community still does not diminish even though the market situation is not possible to visit. The price of cheap and competitive goods offered in the traditional market environment is the choice of some people. Because the existence of the Kisamaun Traditional Market is very important in the economic development of this city and historical region, it is necessary to do this Kisamaun Traditional Market Redesign. By not eliminating the parts that characterize this Chinatown, with the theme Vernacular Architecture of China. The vernacular approach of Chinatown is used in the design of this tourist market, with the aim of exploring the exoticism of cultural locality combined with contemporary contemporary tastes, so that this market can become a tourist destination. Abstrak Milenial menentukan wajah Indonesia ke depan. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ada 63 juta milenial atau penduduk usia 20 – 35 tahun. Mereka ada di usia produktif. Yang perlu diperhatikan adalah perlunya mendorong mereka agar menjadi roda penggerak ekonomi Indonesia. Kota Lama Tangerang adalah sebutan untuk sebuah kawasan pecinan yang merupakan cikal bakal berkembangnya Kota Tangerang. Namun karena gencarnya pembangunan di kawasan ini dan sekitarnya membuat kawasan ini kehilangan sisi historisnya. Pemkot Tangerang sedang berusaha menetapkan kawasan ini menjadi kawasan wisata budaya. Keberadaan pasar tradisional di kawasan ini bukan semata untuk urusan ekonomi, namun mencakup isi ruang dan relasi sosial, warisan dan budaya. Kondisi Pasar Tradisional Kisamaun saat ini sangat memprihatinkan dalam hal kebersihan dan kenyamanan, serta sarana dan prasarana yang sudah sangat tidak layak, dan mengambil kawasan yang tidak seharusnya (didepan bangunan yang seharusnya dilindungi). Walaupun demikian, minat masyarakat sekitar tetap tidak berkurang meskipun keadaan pasar sudah tidak memungkinkan untuk dikunjungi. Harga barang yang murah dan bersaing yang ditawarkan dalam lingkup pasar tradisional menjadi pilihan dari sebagian masyarakat. Oleh karena keberadaan Pasar Tradisional Kisamaun ini sangat penting dalam perkembangan perekonomian kota dan kawasan historis ini, maka perlu dilakukan Redesain Pasar Tradisional Kisamaun ini. Dengan tidak menghilangkan bagian – bagian yang menjadi ciri khas daerah pecinan ini, dengan tema Arsitektur Vernakular China. Pendekatan vernakular pecinan digunakan dalam desain pasar wisata ini, dengan tujuan menggali eksotisme lokalitas budaya yang digabung dengan selera kontemporer masa kini, sehingga pasar ini dapat menjadi destinasi wisata.
URBAN TERABITHIA, RUANG RETREAT KAWASAN TAMBORA Edrik Tasbun; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 2, No 2 (2020): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v2i2.8618

Abstract

Tambora District, which is the most densely populated region in Southeast Asia, is one of the informal sectors in the city of Jakarta. The development of an increasingly capitalist city, so that there are imbalances in the formal and informal sectors, causing social, mental, and other problems. Tambora Retreat Spaces with the Urban Accupunchture architecture approach becomes a forum by creating a new environmental reality for the informal sector to help them strengthen their role in the inner city. This project presents Urban zen garden and biophilic design as a passive media retreat and technology retreat for active media retreats. This place also plays a role in replacing the role of open space and third-places facilities for those who are lost are replaced by residential settlements that are increasingly congested every year. The project also focuses on creating a media for community growth space of all ages and social status in community life, based on the Ville Spatiale concept of Yona Friedman to become a forum for interaction, rehabilitation, and inspirationKeywords: Growth Spaces; Nature; Rehabilitation; Technology AbstrakKecamatan Tambora yang menjadi kawasan dengan tingkat penduduk paling padat se-Asia Tenggara ini, merupakan salah satu area yang didominasi permukiman informal di kota Jakarta. Perkembangan kota yang semakin kapitalis membuat adanya ketimpangan pada sektor formal dan informal, sehingga menimbulkan permasalahan sosial, mental, dan lainnya. Tambora Retreat Spaces dengan pendekatan arsitektur Urban Accupuncture  menjadi  wadah dengan menciptakan sebuah realita lingkungan baru bagi informalitas untuk membantu mereka memperkuat perannya pada bagian di dalam kota. Proyek ini menghadirkan Urban zen garden dan biophilic design sebagai media retreat pasif dan technology retreatment untuk media retreat aktif. Tempat ini juga berperan dalam menggantikan peran ruang terbuka serta fasilitas ruang ketiga bagi mereka yang hilang digantikan oleh permukiman warga yang semakin padat setiap tahunnya. Proyek ini juga berfokus untuk menciptakan sebuah media  ruang tumbuh masyarakat dari segala umur dan status sosialnya dalam kehidupan masyarakat, dengan berlandaskan konsep Ville Spatiale dari Yona Friedman untuk menjadi wadah interaksi, rehabilitasi, dan terinspirasi.
GENERASI ALPHA : TINGGAL DIANTARA Raymond Arnold Manuel; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 3, No 1 (2021): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v3i1.10468

Abstract

The current Alpha generation is the youngest generation born in 2011 with an increasingly advanced technological approach, its familiarity with the world of technology is inseparable, but the Alpha generation classification does not materialize because there is no equitable distribution of education, facilities, and systems that are left behind. The urban village community experiences gaps so that some have to adapt to their abilities. This study uses an experimental material method using nails and magnets to create a unique spatial space. The resulting reaction becomes a metaphor for the movement of the Kampung Kota community in Jakarta which interacts with each other as a value for information exchange and the closeness that occurs. This is the basic concept of the experiment that has succeeded in making organic spaces for urban villagers, especially the Alpha generation who have adapted to the times.The experience that the author shares is a thought of planning for the future as an answer to "The future of living based on today". Typology of buildings designed and using material for design becomes learning material for future Living Architecture. Where technological advances create new problems about the disorder behind the modern city.  Keywords:  Alpha; Experiment; Urban Village AbstrakGenerasi Alpha saat ini merupakan generasi termuda lahir di tahun 2011 dengan pendekatan teknologi yang sudah semakin maju, kebiasaanya yang lekat dengan dunia teknologi sudah tidak bisa dipisahkan, namun klasifikasi generasi Alpha tidak terwujud karena tidak adanya pemerataan pendidikan, fasilitas, serta sistem yang tertinggal. Masyarakat kampung kota mengalami kesenjangan sehingga sebagian harus beradaptasi dengan kemampuannya. Penelitian ini menggunakan metode experiment material menggunakan paku dan magnet sehingga membuat spatial ruang yang unik. Reaksi yang dihasilkan menjadi metafor pergerakan masyarakat Kampung Kota di Jakarta yang saling berinteraksi sebagai nilai tukar informasi serta kedekatan yang terjadi. Hal ini sebagai konsep dasar experiment yang berhasil membuat ruang organik untuk masyarakat kampung kota khususnya generasi Alpha yang telah beradaptasi dengan perkembangan jaman. Pengalaman yang penulis bagikan merupakan sebuah pemikiran perencanaan dimasa mendatang sebagai jawaban dari “Masa depan berhuni berbasis hari ini”. Tipologi bangunan yang dirancang dan penggunaan material terhadap perancangan menjadi bahan pembelajaran terhadap Arsitektur Berhuni dimasa depan. Dimana kemajuan teknologi menimbulkan masalah baru tentang disorder (kekacauan) dibalik kota modern.
ARSITEKTUR PANGGUNG DAN PERMAKULTUR DEKAT KAMPUNG MARLINA Nicholaus Stefanus; Agustinus Sutanto
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 3, No 1 (2021): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v3i1.10898

Abstract

In 2050, several areas in Jakarta are predicted to sink, especially in the Northern, that have experienced significant subsidence in the ground level. One of the inhabited areas that need to be considered in the future is Kampung Kota in a coastal area. Most of the Kampung Kota currently have a high building density and minimal green space. Here, the place to face the overflowing water from the sea, Kampung Marlina. Marlina is an extension of the residential area for people working in the Sunda Kelapa and Kota Tua areas (1980). In the past, the residents' houses were the Stilt Houses, residents can preserve fish under the house and it became the habit of the residents there, then it dissapear by time. Stilt Architecture is designed to accommodate the activities of the citizens of Jakarta in facing the phenomenon of the Jakarta Sinking in 2050 with the issue of tidal flooding from the sea. Using permaculture design theory, the site pattern was studied and then placed the waterways to adjust to the drainage in Kampung Marlina. Then using the Urbanism Landscape Method, Program Method and raising the habits of the residents, the building is designed like a stage by presenting the concept of a pond below, so that it serves to anticipate flooding from the sea, as well as a means for residents to cultivate seagrass beds and small fish and shrimp. In areas equipped with permaculture gardens on the edges of these airways. The garden is planted with plants with high water absorption. In the area there is a research building and lodging for researchers or students.Keywords:  coastal; kampung kota residents; kampung marlina; permaculture; rob floodAbstrakPada tahun 2050, beberapa daerah di Jakarta diprediksi akan tenggelam, khususnya pada bagian Utara. Hal ini ditandai oleh daerah-daerah yang telah mengalami turunnya permukaan tanah secara signifikan. Salah satu kawasan berhuni yang perlu diperhatikan di masa depan adalah Kampung Kota di daerah pesisir. Sebagian besar Kampung Kota saat ini memiliki kepadatan bangunan yang tinggi serta minim ruang hijau. Di sini, tempat yang pertama kali akan menghadapi luapan air dari arah laut, Kampung Marlina. Kampung Marlina merupakan perluasan daerah bermukim untuk masyarakat yang bekerja di daerah Sunda Kelapa dan Kota Tua (1980). Dahulu rumah-rumah warga merupakan Rumah Panggung, yang di bawah rumah tersebut warga dapat memelihara ikan dan menjadi suatu kebiasaan warga di sana, kemudian ditinggalkan seiring berjalannya waktu. Arsitektur Panggung ini dirancang demi tujuan mewadahi aktivitas warga Jakarta dalam menghadapi fenomena Tenggelamnya Jakarta di tahun 2050 dengan isu luapan air/banjir rob dari arah laut. Menggunakan teori desain permakultur, pola tapak distudi dan kemudian menempatkan jalur-jalur air menyesuaikan dengan drainase pada Kampung Marlina. Kemudian menggunakan metode Landscape Urbanism, metode Program dan mengangkat kebiasaan dahulu warga, bangunan dirancang seperti panggung dengan menghadirkan konsep kolam di bawahnya, sehingga selain berfungsi mengantisipasi banjir rob dari laut, juga sebagai sarana warga membudidayakan padang lamun serta ikan kecil dan udang. Pada kawasan dilengkapi dengan kebun permakultur pada tepi jalur-jalur air tersebut. Kebun tersebut ditanami tanaman dengan penyerapan air yang tinggi. Pada kawasan terdapat bangunan riset serta tempat penginapan untuk para periset ataupun pelajar.