Mohamad Shohibuddin
Department Of Communication And Community Development Sciences, Faculty Of Human Ecology, Bogor Agricultural University

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

MANAGING LAND RE/DIS-POSSESSION FROM BELOW: HISTORY OF BIOPOLITICS COUNTERMOVEMENT IN TWO JAVANESE RURAL COMMUNITIES Shohibuddin, Mohamad
Paramita: Historical Studies Journal Vol 24, No 2 (2014): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/par.v24i2.3119

Abstract

The long debate on whether rural community in Java is more characterised as egalitarian or differentiated one has underrated the agency of the local people. This paper tries to propose the agency of local people through a comparative account upon history of two communities, namely Ngandagan in Central Java and Wangunwati in West Java. Mobilizing the collective action toward land struggle, both communities involved in a broad spectrum of property relations reform which ranged from struggles over material things, revenue, to political power. As those struggles reflect interventions for “making live” and “not letting die” of the local population, this paper argues that both communities engaged in biopolitics countermovement directed to market and political forces threatening their means of livelihoods and even their life. However, while two communities succeeded in transforming inter-groups property relations within community, their political future would eventually necessitate the broader transformation of property relations between the state and the society.Keywords: history of rural community, agrarian crises, the agency of local people, land struggle, property relations reform, biopolitics, Java, Indonesia.Perdebatan panjang mengenai apakah komunitas pedesaan di Jawa lebih bercorak egalitarian atau terdiferensiasi telah menyebabkan agensi penduduk lokal kurang diperhatikan. Paper ini mencoba mengedepankan agensi komunitas lokal melalui uraian komparatif atas sejarah dua komunitas, yakni Ngandagan di Jawa Tengah dan Wangunwati di Jawa Barat. Memobilisasikan aksi kolektif seputar perjuangan atas tanah, kedua komunitas ini terlibat dalam pembaruan relasi-relasi kepemilikan dalam spektrum yang luas, yang terentang dari perjuangan atas kepemilikan menyangkut benda material, pendapatan, hingga kekuasaan politik. Mengingat perjuangan demikian mencerminkan intervensi untuk “membuat hidup” dan “tidak membiarkan mati” atas penduduk lokal, paper ini berargumen bahwa kedua komunitas tersebut menjalankan gerakan perlawanan biopolitics yang ditujukan pada kekuatan pasar dan politik yang mengancam sarana penghidupan dan bahkan jiwa mereka. Namun, sementara keduanya berhasil dalam mentransformasikan relasi-relasi kepemilikan di dalam komunitas, masa depan politik mereka pada akhirnya akan menuntut transformasi lebih luas dalam relasi-relasi kepemilikan antara negara dan masyarakat.Kata kunci: sejarah komunitas pedesaan, krisis agraria, agensi masyarakat lokal, perjuangan atas tanah, pembaruan relasi-relasi kepemilikan, biopolitics, Jawa, Indonesia. 
Relations of Household Socio-Economic Condition with the Interest of Rural Youth in Agricultural Sector Sari, Melia; Soetarto, Endriatmo; Shohibuddin, Muhammad
Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] Vol 1, No 4 (2017)
Publisher : Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3927.954 KB) | DOI: 10.29244/jskpm.1.4.523-536

Abstract

Agricultural activities work must be able to fulfill the economic needs and approved by the community as a decent job, so many people enthusiast. Nowadays, interested of youth from the family farmers is decreasing to work in agriculture. It shows from the socio-economic conditions of farm households. The purpose of this study is to analyze the relationship of land ownership, income, housing conditions and education to the interests of village youth in agriculture. This research uses quantitative data approach with survey method supported by qualitative data in the form of in-depth interview. Respondents consist of 54 youths of children of farmers and aged 16-30 years. The respondents selected by random sampling method. The results of this study indicate that there is a significant relationship between income and housing conditions with the interests of village youth in agriculture.Keywords: agricultural, youth interest, socio-economic conditions================================================ABSTRAKPekerjaan di bidang pertanian harus mampu memenuhi kebutuhan ekonomi dan diakui oleh masyarakat sebagai pekerjaan yang layak sehingga banyak peminatnya. Saat ini minat pemuda desa untuk dapat bekerja di bidang pertanian semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat dari keadaan kondisi-sosial ekonomi rumah tangga petani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kepemilikan lahan, pendapatan, status-kondisi rumah tempat tinggal dan pendidikan dengan minat pemuda desa di bidang pertanian. Penelitian ini menggunakan pendekatan data kuantitatif dengan metode survei yang didukung data kualitatif berupa wawancara mendalam. Responden terdiri dari 54 orang pemuda yang merupakan anak dari petani dan berumur 16-30 tahun. Pemilahan responden melalui metode pengambilan sampel acak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dan status-kondisi rumah tempat tinggal dengan minat pemuda desa di bidang pertanian.Kata kunci: pertanian, minat pemuda, kondisi sosial-ekonomi
MANAGING LAND RE/DIS-POSSESSION FROM BELOW: HISTORY OF BIOPOLITICS COUNTERMOVEMENT IN TWO JAVANESE RURAL COMMUNITIES Shohibuddin, Mohamad
Paramita: Historical Studies Journal Vol 24, No 2 (2014): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/par.v24i2.3119

Abstract

The long debate on whether rural community in Java is more characterised as egalitarian or differentiated one has underrated the agency of the local people. This paper tries to propose the agency of local people through a comparative account upon history of two communities, namely Ngandagan in Central Java and Wangunwati in West Java. Mobilizing the collective action toward land struggle, both communities involved in a broad spectrum of property relations reform which ranged from struggles over material things, revenue, to political power. As those struggles reflect interventions for “making live” and “not letting die” of the local population, this paper argues that both communities engaged in biopolitics countermovement directed to market and political forces threatening their means of livelihoods and even their life. However, while two communities succeeded in transforming inter-groups property relations within community, their political future would eventually necessitate the broader transformation of property relations between the state and the society.Keywords: history of rural community, agrarian crises, the agency of local people, land struggle, property relations reform, biopolitics, Java, Indonesia.Perdebatan panjang mengenai apakah komunitas pedesaan di Jawa lebih bercorak egalitarian atau terdiferensiasi telah menyebabkan agensi penduduk lokal kurang diperhatikan. Paper ini mencoba mengedepankan agensi komunitas lokal melalui uraian komparatif atas sejarah dua komunitas, yakni Ngandagan di Jawa Tengah dan Wangunwati di Jawa Barat. Memobilisasikan aksi kolektif seputar perjuangan atas tanah, kedua komunitas ini terlibat dalam pembaruan relasi-relasi kepemilikan dalam spektrum yang luas, yang terentang dari perjuangan atas kepemilikan menyangkut benda material, pendapatan, hingga kekuasaan politik. Mengingat perjuangan demikian mencerminkan intervensi untuk “membuat hidup” dan “tidak membiarkan mati” atas penduduk lokal, paper ini berargumen bahwa kedua komunitas tersebut menjalankan gerakan perlawanan biopolitics yang ditujukan pada kekuatan pasar dan politik yang mengancam sarana penghidupan dan bahkan jiwa mereka. Namun, sementara keduanya berhasil dalam mentransformasikan relasi-relasi kepemilikan di dalam komunitas, masa depan politik mereka pada akhirnya akan menuntut transformasi lebih luas dalam relasi-relasi kepemilikan antara negara dan masyarakat.Kata kunci: sejarah komunitas pedesaan, krisis agraria, agensi masyarakat lokal, perjuangan atas tanah, pembaruan relasi-relasi kepemilikan, biopolitics, Jawa, Indonesia. 
Peran Organisasi Pembelajar dalam Gerakan Petani Iswari, Fani Dwi; Soetarto, Endriatmo; Shohibuddin, Mohammad
Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] Vol 2, No 4 (2018)
Publisher : Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1153.024 KB) | DOI: 10.29244/jskpm.2.4.485-494

Abstract

Medalsari community had been enduring the casualties after the access of their arable lands disturbed. The access-losing caused by land deprivation as a result of Perum Perhutani’s officers moving the land boundaries. By that, peasants start self-organized and build collective acts to facing the conflict. The peasant's need in collecting the knowledge brings them to involved in a learning process that transformed the movement as a learning organization. This thesis aimed to analyze structure changing of land occupying that turns into an object of conflict and identify learning organization in the peasant’s movement. The research using the quantitative approach supported by qualitative data. Snowball method is used as the sampling method and taken by purpose. The result of the research shows that facilitating factors such as the open climate of openness and continuous education than learning orientation in the form of skill development have a strong relationship with the peasant movement dimension.Keywords: agrarian movement, collective awareness, organizational learning system ABSTRAK Masyarakat Desa Medalsari mengalami kerugian pasca terganggunya akses terhadap lahan garapan. Hilangnya lahan tersebut disebabkan oleh penyerobotan lahan yang dilakukan oleh oknum Perum Perhutani dengan cara memindahkan tapal batas lahan. Petani mulai mengorganisasikan diri dan membangun aksi kolektif dalam menghadapi sengketa. Kebutuhan petani akan peningkatan wawasan membawa mereka aktif mengikuti kegiatan pembelajaran yang mentransformasikan gerakan petani sebagai organisasi pembelajar. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisa perubahan struktur penguasaan lahan yang menjadi objek sengketa dan mengidentifikasi organisasi pembelajar dalam gerakan petani. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Metode penarikan sampel yang digunakan adalah metode snowball sedangkan pemilihan terhadap informan dilakukan secara sengaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor fasilitas berupa iklim terbuka dan pendidikan berkelanjutan serta orientasi belajar berupa pengembangan keterampilan memiliki hubungan yang kuat dengan dimensi gerakan petani.Kata kunci: gerakan agraria, kesadaran kolektif, sistem belajar organisasi
Peluang dan Tantangan Undang-undang Desa dalam Upaya Demokratisasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa: Perspektif Agraria Kritis Mohamad Shohibuddin
MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi Vol 21, No 1 (2016)
Publisher : LabSosio FISIP UI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa)-terlepas dari terobosan politiknya dalam menggulirkan demokratisasi relasi negara-desa-memiliki keterbatasan mendasar terkait isu sumber daya alam di desa mengingat krisis agraria dan krisis ekologi yang terjadi di pedesaan. Selain tidak banyak mengelaborasi aspek-aspek penting dari isu sumber daya alam, UU Desa juga hanya memberikan kewenangan yang minim terhadap swakelola sumber daya alam desa oleh pemerintah desa serta tidak menyentuh ketimpangan akses warga desa terhadap sumber daya alam setempat. Dihadapkan pada tantangan struktural demikian, perjuangan "otonomi desa" akan sulit mendorong transformasi sosial yang berarti tanpa melibatkan upaya penataan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pada saat yang sama, perjuangan "keadilan sosial-ekologis" akan sulit tampil sebagai agenda kolektif desa tanpa mengupayakan demokratisasi yang lebih dalam di internal desa sendiri. Tulisan ini menawarkan kerangka perjuangan "demokratisasi tata kelola sumber daya alam desa" sebagai konvergensi strategis dari dua perjuangan sebelumnya: "otonomi desa" dan "keadilan sosial-ekologis". Hal ini diupayakan melalui tiga agenda konkret yang saling terkait: penguatan kewenangan desa atas sumber daya alam setempat, demokratisasi relasi-relasi sosio-agraria di desa, dan pembalikan krisis pedesaan untuk merevitalisasi basis-basis produksi desa.Law Number 6 of 2014 on Village-apart from its political contribution in democratizing state-village relation-has a fundamental limitation on natural resource issues in the village in the light of agrarian and ecological crises. This Law offers a minor elaboration on natural resource issues and provides limited authority to the village on this field, while no reference is made to the problem of inequality in community's access to local natural resources. Confronted with such structural challenges, it is argued that "struggle for village autonomy" will hardly lead to significant social transformation without involving attempts to establish just and sustainable natural resource regime. At the same time, "the struggle for social-ecological justice" will never emerge as village's collective agenda without attempts to deepen democracy within the village. Accordingly, this article offers "democratization of rural natural resource governance" as a strategic convergence between two previous struggles: "village autonomy" and "social-ecological justice". It is pursued through three inter-related agenda: strengthening village's authority concerning natural resource issues, democratizing socio-agrarian relations in the village, and addressing rural crises in order to revitalize productive forces in the village.
Pengantar Dewan Redaksi untuk Edisi Khusus Jurnal Sodality: “Tribute to Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro” Mohamad Shohibuddin
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 9 No. 1 (2021): Sodality Edisi Khusus Tribute to Prof. Dr. SMP. Tjondronegoro
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22500/9202137956

Abstract

Pada 3 Juni 2020 salah satu ilmuwan sosial Indonesia yang terkemuka, Prof. Dr. Sediono Mommy Poerwodo Tjondronegoro, wafat dalam usia 92 tahun. Kepergian beliau menimbulkan rasa kehilangan yang sangat mendalam pada banyak pihak, khususnya kalangan ilmuwan sosial, dan lebih khusus lagi mereka yang menekuni isu-isu pedesaan, agraria dan ekologi manusia. Beliau dikenal luas berkat konsep “sodality” yang beliau konstruksikan ulang berdasarkan realitas sosial di pedesaan Indonesia untuk merujuk basis otonomi, kerja sama dan partisipasi komunitas pedesaan yang genuine dari bawah. Berdasarkan temuan studi beliau di dua desa di Jawa, perwujudan sodality dalam pengertian demikian ternyata ditemukan pada tingkat dukuh, yakni unit teritori yang berada di bawah desa di mana hubungan informal dan ikatan solidaritas masih berlangsung dengan cukup kuat di antara sesama warga. Selain itu, Prof. Tjondronegoro juga dikenal sebagai sosok intelektual yang memiliki kepedulian besar pada bidang agraria dan ekologi manusia. Oleh karena itu, konsep sodality dalam pengertian seperti beliau maksudkan sebenarnya juga dapat dimaknai secara lebih luas dan tidak terbatas pada unit teritori semata. Misalnya saja, dengan mengidentifikasi perwujudan sodality pada berbagai basis ikatan solidaritas sosial yang ditentukan bukan terutama oleh ikatan ketetanggaan dan teritori seperti di Jawa, melainkan oleh unit ekologis tertentu beserta sistem produksi yang dikembangkan di atasnya. Dalam edisi khusus Jurnal Sodality ini, yang diterbitkan dalam rangka mengenang dan mengapresiasi warisan pemikiran dan jasa almarhum, terdapat enam artikel yang dengan penekanan berbeda-beda berusaha menelaah dan mengontekstualisasikan pemikiran Prof. Tjondronegoro pada realitas sosial di Indonesia dewasa ini.
Relations of Household Socio-Economic Condition with the Interest of Rural Youth in Agricultural Sector Melia Sari; Endriatmo Soetarto; Muhammad Shohibuddin
Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] Vol. 1 No. 4 (2017)
Publisher : Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/jskpm.1.4.523-536

Abstract

Agricultural activities work must be able to fulfill the economic needs and approved by the community as a decent job, so many people enthusiast. Nowadays, interested of youth from the family farmers is decreasing to work in agriculture. It shows from the socio-economic conditions of farm households. The purpose of this study is to analyze the relationship of land ownership, income, housing conditions and education to the interests of village youth in agriculture. This research uses quantitative data approach with survey method supported by qualitative data in the form of in-depth interview. Respondents consist of 54 youths of children of farmers and aged 16-30 years. The respondents selected by random sampling method. The results of this study indicate that there is a significant relationship between income and housing conditions with the interests of village youth in agriculture.Keywords: agricultural, youth interest, socio-economic conditions================================================ABSTRAKPekerjaan di bidang pertanian harus mampu memenuhi kebutuhan ekonomi dan diakui oleh masyarakat sebagai pekerjaan yang layak sehingga banyak peminatnya. Saat ini minat pemuda desa untuk dapat bekerja di bidang pertanian semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat dari keadaan kondisi-sosial ekonomi rumah tangga petani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kepemilikan lahan, pendapatan, status-kondisi rumah tempat tinggal dan pendidikan dengan minat pemuda desa di bidang pertanian. Penelitian ini menggunakan pendekatan data kuantitatif dengan metode survei yang didukung data kualitatif berupa wawancara mendalam. Responden terdiri dari 54 orang pemuda yang merupakan anak dari petani dan berumur 16-30 tahun. Pemilahan responden melalui metode pengambilan sampel acak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dan status-kondisi rumah tempat tinggal dengan minat pemuda desa di bidang pertanian.Kata kunci: pertanian, minat pemuda, kondisi sosial-ekonomi
Peran Organisasi Pembelajar dalam Gerakan Petani Fani Dwi Iswari; Endriatmo Soetarto; Mohammad Shohibuddin
Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] Vol. 2 No. 4 (2018)
Publisher : Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/jskpm.2.4.485-494

Abstract

Medalsari community had been enduring the casualties after the access of their arable lands disturbed. The access-losing caused by land deprivation as a result of Perum Perhutani’s officers moving the land boundaries. By that, peasants start self-organized and build collective acts to facing the conflict. The peasant's need in collecting the knowledge brings them to involved in a learning process that transformed the movement as a learning organization. This thesis aimed to analyze structure changing of land occupying that turns into an object of conflict and identify learning organization in the peasant’s movement. The research using the quantitative approach supported by qualitative data. Snowball method is used as the sampling method and taken by purpose. The result of the research shows that facilitating factors such as the open climate of openness and continuous education than learning orientation in the form of skill development have a strong relationship with the peasant movement dimension.Keywords: agrarian movement, collective awareness, organizational learning system ABSTRAK Masyarakat Desa Medalsari mengalami kerugian pasca terganggunya akses terhadap lahan garapan. Hilangnya lahan tersebut disebabkan oleh penyerobotan lahan yang dilakukan oleh oknum Perum Perhutani dengan cara memindahkan tapal batas lahan. Petani mulai mengorganisasikan diri dan membangun aksi kolektif dalam menghadapi sengketa. Kebutuhan petani akan peningkatan wawasan membawa mereka aktif mengikuti kegiatan pembelajaran yang mentransformasikan gerakan petani sebagai organisasi pembelajar. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisa perubahan struktur penguasaan lahan yang menjadi objek sengketa dan mengidentifikasi organisasi pembelajar dalam gerakan petani. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Metode penarikan sampel yang digunakan adalah metode snowball sedangkan pemilihan terhadap informan dilakukan secara sengaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor fasilitas berupa iklim terbuka dan pendidikan berkelanjutan serta orientasi belajar berupa pengembangan keterampilan memiliki hubungan yang kuat dengan dimensi gerakan petani.Kata kunci: gerakan agraria, kesadaran kolektif, sistem belajar organisasi
Inequality and transaction costs in a community-based water supply in rural area adjacent to national park Ambar Istiyani; Mohamad Shohibuddin
JOURNAL OF SOCIOECONOMICS AND DEVELOPMENT Vol 4, No 1 (2021): April
Publisher : Publisher of Widyagama University of Malang (UWG Press)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31328/jsed.v4i1.1866

Abstract

National parks can be sensitive state-property areas since the surrounding communities generally need the parks' resources for their livelihood. This paper focuses on inequality and transaction costs in PAMSIMAS (Community-Based Water Supply and Sanitation), a water sector program in Indonesia’s rural and peri-urban areas. The method used is a case study of PAMSIMAS in Tajuk, a village adjacent to Mount Merbabu National Park in Semarang Regency, Central Java. The data were gathered from documentary studies, in-depth interviews, and observations, and were analyzed using transaction cost economics and institutional analysis. This study found that the rules of PAMSIMAS, especially water pricing mechanisms, enhanced water availability but could not diminish the uncertainty of water access and transaction costs born by water users. Inequalities of endowment, power, and information among the hamlets affected how PAMSIMAS was run. Mobilization of water resources is related to property rights, which should be well-defined. Still, there was an overlapping property institution of Mount Merbabu National Park forest and its water resources; thus, the water user groups had to bear different transaction costs. The study provides suggestions for providing broader 'rules of the game' in rural water management, recognizing local conditions and prospects, acknowledging community rights to resources, and developing inclusive community participation.JEL Classification D23; P48; Q15
Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan Agraria (1) M Shohibuddin
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 (2019): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (845.08 KB) | DOI: 10.31292/jb.v5i1.315

Abstract

Abstract: This article offers two contribution to literature on agrarian inequality in Indonesia, namely a conceptual approach for understanding this phenomenon and its implication on policy formulation. The first contribution includes a synthesis of some literature on various aspects of agrarian inequality. In addition, two types of agrarian inequality are distinguished according to its locus of existence, i.e. inequality of distribution which refers to unequal land tenure among different classes within smallholding agricultural sector, and inequality of allocation which refers to unequal allocation of land and other natural resources between small (family) farms and large (corporate) enterprises. The second contribution is formulation of a policy framework to resolve these two types of agrarian inequality. First of all, the politics of agrarian resources allocation should be based on the principle of positive discrimination which favors smallholders’ interests. Furthermore, to ensure this principle comes into reality, five schemes of tenure reform have to be fully integrated, namely: (re)distribution, registration, recognition, devolution and restitution. This article divided into two parts. Part 1 will focus on the first contribution (conceptual approach); meanwhile, the second contribution (policy formulation) will be further elaborated in Part 2.Keywords: agrarian inequality, land reform, politics of agrarian resources allocation, Indonesia.Intisari: Dua kontribusi diajukan artikel ini pada kepustakaan mengenai ketimpangan agraria di Indonesia, yaitu pendekatan konseptual untuk memahami gejala ketimpangan agraria ini dan implikasinya pada penyusunan kebijakan. Kontribusi pertama mencakup sintesis atas sejumlah literatur mengenai berbagai aspek ketimpangan agraria. Selain itu, dua jenis ketimpangan agraria juga dibedakan berdasarkan locus keberadaanya, yaitu ketimpangan distribusi yang berarti kesenjangan penguasaan tanah di antara berbagai kelas dalam sektor pertanian rakyat, dan ketimpangan alokasi yang berarti kesenjangan peruntukan tanah dan sumber daya alam lain antara usaha tani skala kecil (keluarga) dengan usaha skala besar (korporasi). Kontribusi yang kedua adalah formulasi suatu kerangka kebijakan untuk menanggulangi dua jenis ketimpangan agraria di atas. Pertama-tama, politik alokasi sumber-sumber agraria harus didasarkan pada prinsip diskriminasi positif yang memihak kepentingan produsen kecil. Lalu, agar prinsip ini bisa terwujud di dunia nyata, lima skema pembaruan tenurial berikut ini mesti diintegrasikan secara menyeluruh, yaitu: (re)distribusi, registrasi, rekognisi, devolusi dan restitusi. Artikel ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian 1 akan membahas kontribusi yang pertama (pendekatan konseptual), sementara kontribusi yang kedua (formulasi kebijakan) akan dielaborasi lebih lanjut pada Bagian 2.Kata Kunci: ketimpangan agraria, land reform, politik alokasi sumber-sumber agraria, Indonesia.