Mohamad Shohibuddin
Department Of Communication And Community Development Sciences, Faculty Of Human Ecology, Bogor Agricultural University

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Pemanfaatan Data Sensus Pertanian untuk Mendukung Program Land Reform: Kasus Kabupaten Blitar dan Luwu Utara Mohamad Shohibuddin; Anisa Dwi Utami; Dina Nurdinawati
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 7 No. 1 (2021): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: The success of land reform depends, among others, on complete and accurate data on land tenure. Such data are still lacking since land registration has not been completed yet, while the completed ones are difficult to access. Actually, agriculture census data contain some information concerning farm landholding, although the last concept refers to “effective landholding” rather than “formal landholding” (legal ownership) as frequently used in land reform program. Using literary study, this article aims to analyse the 2013 Agricultural Census with special focus on Blitar in East Java and Luwu Utara in South Sulawesi to represents two types of ecosystems in Geertz’s conception, namely “Inner Indonesia” and “Outer Indonesia” respectively. The analysis resulted in detailed descriptions on the distribution of farm households, farmland use, and inequality of landholding which can be traced until the village level. For preparing land reform, it is important to combine this information with existed data on land ownership and to use it as a basis for further field-based inventories on farmland holding, ownership, use and utilization. This article concludes that the benefit of agricultural census data should be optimized. Some policy recommendations are also provided, emphasizing the urgency for more contextual way to implement land reform. Keywords: Agricultural Census, Land Reform, Farm Household, Inequality of Landholding, Blitar, Luwu Utara   Intisari: Keberhasilan program land reform bergantung antara lain pada data penguasaan tanah yang lengkap dan akurat. Data semacam ini masih belum memadai karena pendaftaran tanah di seluruh Indonesia belum tuntas, sementara data yang sudah tersedia sulit diakses. Sebenarnya, Sensus Pertanian mengandung banyak informasi mengenai penguasaan lahan pertanian, sekalipun konsep “penguasaan” ini mengacu pada “penguasaan efektif” dan bukan “penguasaan formal” (alias kepemilikan legal) yang sering dimanfaatkan dalam program land reform. Menggunakan studi pustaka, artikel ini bertujuan untuk menganalisis data mentah Sensus Pertanian 2013 dengan fokus di Kabupaten Blitar, Jawa Timur dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Dua kabupaten ini dipilih secara purposive untuk mewakili dua tipe ekosistem yang berbeda dalam konsepsi Geertz, yakni berturut-turut “Indonesia Dalam” dan “Indonesia Luar”. Hasil analisis menyajikan deskripsi detail mengenai sebaran rumah tangga petani, penggunaan lahan pertanian, dan ketimpangan penguasaan lahan yang bisa ditelusuri hingga ke level desa. Untuk perencanaan land reform, sangat penting untuk memadukan informasi ini dengan data kepemilikan tanah yang ada dan menjadikannya sebagai pijakan bagi inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah di lapangan. Artikel ini menyimpulkan bahwa manfaat data Sensus Pertanian perlu lebih dioptimalkan. Beberapa rekomendasi kebijakan juga disajikan yang menekankan urgensi pelaksanaan land reform secara lebih kontekstual. Kata Kunci: Sensus Pertanian, Land Reform, Rumah Tangga Petani, Ketimpangan Penguasaan Lahan, Blitar, Luwu Utara
Perubahan Peran Perempuan Setelah Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Yogyakarta International Airport: Kasus Kalurahan Kebonrejo di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta Fairuz Nabila; Mohamad Shohibuddin; Endriatmo Soetarto
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 7 No. 2 (2021): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31292/bhumi.v7i2.494

Abstract

Abstract: Women are one of the parties being affected by the process of land acquisition for the construction of public infrastructure. This article aims to analyse the change of women role after the implementation of land acquisition for the construction of Yogyakarta International Airport in Kulonprogo regency, Special Region of Yogyakarta. The research is carried out in Kebonrejo village, Temon district using quantitative approach supported by qualitative approach. Quantitative data are collected through a survey among 30 female respondents in the households selected by a simple random sampling and analysed through Rank Spearman test, while qualitative data are obtainded through documents review, participant observation and depth interview with key informants. The research findings demonstrate that there is a weak relationship between the participation of women throughout the implementation of land acquisition and the change of women role after the completion of land acquisition. This is due to the fact that despite there is a strong emphasize of public consultation and participation in the regulation of land acquisition, the will and power of the government is very strong and could not be influenced by the whole affected community. In addition, the process of land acquisition itself often put aside women’s specific aspiration and intereset. Consequently, a relative equal gender relation within the household during land acquisition process didn’t have any effect throughout the process and afterward. Keywords: women participation, the roles of women,  land acquisition, development of public infrastucture.   Intisari: Perempuan adalah salah satu pihak yang terimbas oleh pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur publik. Artikel ini bermaksud untuk menganalisis ,perubahan peran perempuan setelah pengadaan tanah untuk pembangunan Yogyakarta International Airport di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian lapangan dilakukan di Kalurahan Kebonrejo, Kapanewon Temon dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari survei atas 30 responden perempuan dalam rumah tangga yang dipilih secara simple random sampling dan diolah dengan uji Rank Spearman, sementara data kualitatif diperoleh melalui studi dokumen, pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dengan para informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara keterlibatan perempuan selama proses pengadaan tanah untuk pembangunan Yogyakarta International Airport dengan peran perempuan setelah pengadaan tanah. Ssekalipun keharusan konsultasi dan partisipasi publik sangat ditekankan dalam regulasi pengadaan tanah, namun kehendak dan kekuasaan yang kuat dari pemerintah membuat proses pengadaan tanah tidak dapat dipengaruhi oleh masyarakat terdampak secara keseluruhan. Selain itu, proses pengadaan tanah itu sendiri abai terhadap aspirasi dan kepentingan spesifik kaum perempuan. Akibatnya, relasi gender yang relatif setara di level rumah tangga selama proses pengadaan tanah tidak memiliki hubungan apa pun sepanjang proses tersebut maupun setelahnya.  Kata Kunci: keterlibatan perempuan, peran perempuan, pengadaan tanah, pembangunan infrastruktur publik.
Pendekatan Partisipatif dalam Program Sosialisasi Lingkungan (Bank Sampah, Zero Waste, Eco Enzyme, Ecobrick) Afiya Hashina Muhamnu; Dellia Tri Septiani; Finda Dwina Saskia Putri; Hana Indriana; Mohamad Shohibuddin
E-Dimas: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol 15, No 2 (2024): E-DIMAS
Publisher : Universitas PGRI Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26877/e-dimas.v15i2.15898

Abstract

Desa Sebatu Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia memiliki sembilan (9) Banjar Dinas yang terdiri dari Banjar Dinas Apuh, Banjar Dinas Tegalsuci, Banjar Dinas Jasan, Banjar Dinas Jati, Banjar Dinas Bonjaka, Banjar Dinas Pujung Kaja, Banjar Dinas Pujung Kelod, Banjar Dinas Sebatu dan Banjar Dinas Tumbakasa dengan luas wilayah 1090 ha, jumlah penduduk 8055 jiwa dalam 1932 kepala keluarga. Permasalahan lingkungan yang dihadapi di Desa Sebatu salah satunya ialah kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga atau organik maupun sampah kemasan produk atau anorganik yang menimbulkan berbagai persoalan, seperti estetika lingkungan dan masalah sosial yang apabila dibiarkan akan menjadi masalah yang serius. Tujuan dilakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat desa mengenai bank sampah, zero waste, eco enzyme, dan ecobrick ini, yaitu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sampah serta upaya melestarikan lingkungan. Kegiatan sosialisasi mengenai bank sampah, zero waste, eco enzyme, dan ecobrick cukup berhasil untuk mengubah perilaku masyarakat dalam mencintai lingkungan, setiap rumah tangga dapat menerapkan pemilahan sampah organik dan anorganik.
Peluang dan Tantangan Undang-undang Desa dalam Upaya Demokratisasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa: Perspektif Agraria Kritis Shohibuddin, Mohamad
Masyarakat: Jurnal Sosiologi Vol. 21, No. 1
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Law Number 6 of 2014 on Village—apart from its political contribution in democratizing statevillage relation—has a fundamental limitation on natural resource issues in the village in the light of agrarian and ecological crises. This Law offers a minor elaboration on natural resource issues and provides limited authority to the village on this field, while no reference is made to the problem of inequality in community’s access to local natural resources. Confronted with such structural challenges, it is argued that “struggle for village autonomy” will hardly lead to significant social transformation without involving attempts to establish just and sustainable natural resource regime. At the same time, “the struggle for social-ecological justice” will never emerge as village’s collective agenda without attempts to deepen democracy within the village. Accordingly, this article offers “democratization of rural natural resource governance” as a strategic convergence between two previous struggles: “village autonomy” and “social-ecological justice”. It is pursued through three inter-related agenda: strengthening village’s authority concerning natural resource issues, democratizing socio-agrarian relations in the village, and addressing rural crises in order to revitalize productive forces in the village.