Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

EKSISTENSI TANAH PECATU DESA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA (Studi Di Desa Apitaik Kabupaten Lombok Timur) Riska Siskawati; Arba Arba; Sahnan Sahnan
MEDIA BINA ILMIAH Vol 13, No 6: Januari 2019
Publisher : BINA PATRIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (339.857 KB) | DOI: 10.33758/mbi.v13i6.276

Abstract

Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) pada tanggal 15 Januari 2014, memiliki arti bahwa desa-desa di Indonesia sudah memasuki implementasi babak konstruksi penggabungan fungsi self-governing community dengan local-self government dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia yang telah berjalan hampir dua dekade. Perlindungan terhadap tanah pecatu desa yang merupakan hak tradisional masyarakat adat sangat penting mengingat bahwa selama ratusan tahun masyarakat hukum sudah terbentuk dan mendiami wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan sebelum NKRI terbentuk. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah studi lapangan dan kepustakaan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis deskriptif kualitatif. Hasil yang didapatkan adalah eksistensi tanah pecatu masih ada setelah berlakunya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Eksistensi ini tercermin dalam pasal 76 Ayat (1) yang menyebutkan tanah ulayat merupakan aset desa. Tanah pecatu merupakan tanah ulayat sehingga memiliki arti bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengakui kebaradaan tanah pecatu. Bentuk pengalihan tanah pecatu desa setelah berlakunya tanah undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa yakni berdasarkan Peraturan menteri dalam negeri nomor 1 tahun 2016 tentang pengelolaan aset desa adalah tukar menukar dan penyertaan modal. Setiap aturan hukum yang diterapkan pasti memiliki masalah tersendiri dalam pelaksanaannya, terlebih apabila berkaitan dengan aspek hukum adat. Masalah yang mengikuti tanah pecatu desa setelah berlakunya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa ialah dimana terlambat dilakukannya inventarisasi terhadap aset desa khususnya tanah pecatu sebab sebelumnya inventarisasi dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Lombok timur. Masalah lainnya yakni dimana ketika desa pemekaran meminta untuk mendapatkan tanah pecatu, sebab pemerintah daerah kabupaten Lombok timur akan mengembalikan tanah pecatu kepada desa induk. Saran dari penelitian ini adalah bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota harus meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan tanah pecatu desa khususnya dalam hal inventaris aset desa di Desa Apitaik.
ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2011 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2019 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MATARAM TAHUN 2011-2031 Safrudin Safrudin; Arba Arba; Sahnan Sahnan
MEDIA BINA ILMIAH Vol 13, No 12: Juli 2019
Publisher : BINA PATRIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (389.152 KB) | DOI: 10.33758/mbi.v13i12.263

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimanakedudukan dan perlindungan hukum serta penyelesaian permasalahan yang timbul setelah berlakunya PerdaNomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Mataram Tahun 2011-2031 (Perda RTRW Kota MataramTahun 2011-2031). Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan sosiologis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustkaan dan studi lapangan dengan menggunakan teknik wawancara. Setelah data-data tersebut diperoleh, maka dianalisis dengan kajian deskriptif kualitatif yang menggunakan logika berfikir induktif atau berangkat dari hal-hal yang khusus untuk mendapatkan kesimpulan yang umum. Kedudukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)tidak memiliki kekuatan hukumapabila belum adanya penyesuaian dengan Perda tersebut walaupun pemanfaatan ruang yang sah menurut rencana tata ruang dandapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar. Bentuk perlindungan hukum terhadap pemilik bangunan yang berdiri sebelum berlakunya Perda RTRW Kota Mataram Tahun 2011-2031 yaitu berupa pemberian masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian dan kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak berdasarkan amanat Pasal 77 Undang-Undang Tentang Pemanfaatan Ruang.Ada 2 cara yang dilakukan dalam penyelesaian terhadap pelanggaran Perda RTRW Kota Mataram Tahun 2011-2031 yaitudengan cara non litigasi melalui proses negosiasi dan cara litigasi
Eksistensi Pranata Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Adat Di Desa Bayan Kabupaten Lombok Utara Arief Rahman; Arba Arba
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 1 No. 2 (2020): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (266.063 KB) | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v1i2.5

Abstract

Desa Bayan adalah salah satu desa yang terletak di Kabupaten Lombok Utara yang masih kental dengan nuansa hukum adatnya. Di Desa Bayan terdapat wilayah hutan yang dikuasi dan dikelola oleh persekutuan masyarakat hukum adat Bayan secara tradisional dan diatur dengan pranata lokal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis eksistensi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adat, pola pengelolaannya, dan prinsip-prinsip hukum adat Sasak di Bayan dalam mempertahankan, mengelola dan melestarikan hutan. Penelitian ini penelitian hukum empiris, dengan menggunakan metode pendekatan hukum normatif dan sociolegal. Hasil penelitian menunjukan: 1. Hutan adat desa Bayan masih tetap eksis dan dikelola berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal di desa Bayan yang telah diformalkan dengan Perdes No. 1 Tahun 2016 tentang Awiq-awiq Hutan Adat Desa Bayan. 2. Pola pengelolaan hutan adat di desa Bayan berdasarkan prinsip kemanfaatan, lestari, kebersamaan, keterbukaan, dan berkelanjutan (Sustainable forest). Prinsip-prinsi ini juga tertuang di dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Hubungan Hukum Antara Manusia Dengan Tanah, Air Dan Lingkungan Alam Menurut Konsepsi Hukum Islam Dan Hukum Agraria Nasional (UUPA) Arba Arba; Israfil Israfil
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 2 No. 1 (2021): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.996 KB) | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v2i1.23

Abstract

Kajian ini bertujuan untuk mendiskripsikan konsepsi hubungan hukum antara manusia dengan tanah, air, dan lingkungan alam menurut Hukum Agraria Nasional dan Hukum Islam. Kedua hukum ini memandang bahwa antara manusia dan tanah, air, dan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan, karenamanusia dalam hidupnya butuh tanah, air dan kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, manusia sesuai dengan hakekat penciptaannya sebagai khalifah fil-ardi mempunyai peran sebagai pemimpin di muka bumi, yakni mengatur dan melindungi tanah, air danlingkungan alam seisinya.
Penegakan Hukum Terhadap Penelantaran Hak Guna Bangunann (HGB) Oleh Pemegang Hak: (Studi Kasus Dikecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat) Muhammad Erwandi; Arba Arba; Widodo Dwi Putro
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 4 No. 1 (2023): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v4i1.95

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis pelaksanaan penegakan hukum terhadap penelantaran tanah hak guna bangunan/HGB oleh pemegang hak, Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum Normatif-empiris. Hasil penelitian menunjukkan pertama; penegakan hukum terhadap penelantaran tanah hak guna bangunan/HGB oleh pemegang hak pada intinya melalui beberapa tahapan yaitu a) melakukan inventarisasi terhadap tanah Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha yang terindikasi terlantar, b) Kepala Kantor ATR/BPN Wilayah Membentuk Panitia C yang bertugas melakukan Evaluasi tanah terindikasi terlantar, dan c) Penetapan Tanah Terlantar ditetapkan dalam Keputusan oleh Menteri berdasarkan usulan dari Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi. Kedua; larangan menelantarkan tanah dinyatakan dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban bagi, pemegang hak atas tanah (Pasal 6, 7,10, 15,19,40 UUPA). Itu semua adalah asas-asas yang ada dalam UUPA. Sehingga pelaksanaan hak yang tidak sesuai dengan tujuan haknya atau peruntukannya yang dilakukan oleh PT.Lingga Permata Utama maka kepada pemegang hak akan dijatuhi sanksi yaitu hak atas tanah itu akan dibatalkan dan berakibat berakhirnya hak atas tanah. Ketiga; dalam mencapai tujuan menekan terjadinya ketimpangan dalam kepemilikan dan penguasaan tanah serta penanganan sengketa dan konflik pertanahan di Indonesia, Hal ini dimaksud langsung dalam konstitusi negara kita, Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Sehingga konsep Keadilan Sosial harus diterjemahkan sebagai memberikan landasan bagi setiap orang untuk mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menerima bagian manfaat tanah baik bagi diri sendiri maupun keluarganya sehingga dapat memperoleh kehidupan yang layak.