Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Alternatif Model Usahatani Konservasi Tanaman Sayuran di Hulu Sub-DAS Cikapundung Sutrisna, Nana; Sitorus, Santun RP; Pramudya, B; Harianto, Harianto
Jurnal Hortikultura Vol 20, No 3 (2010): September 2010
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Hulu Sub-DAS Cikapundung merupakan lahan kering dataran tinggi. Penggunaan lahan yang tidaksesuai dengan kesesuaian, menyebabkan lahan mengalami degradasi. Tujuan utama penelitian ini adalah merancangalternatif model usahatani konservasi tanaman sayuran di hulu Sub-DAS Cikapundung, sedangkan tujuan antara ialah(1) mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan existing sesuai dengan kesesuaian lahannya, (2) mengarakterisasiusahatani existing, dan (3) menganalisis komponen yang paling berpengaruh pada subsistem usahatani konservasi.Penelitian menggunakan metode survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas kesesuaian penggunaan lahanexisting di hulu Sub-DAS Cikapundung tergolong sesuai marginal (S3) dengan faktor pembatas pH, KB, KTK,ketersediaan oksigen, dan lereng. Kegiatan usahatani yang dilakukan petani di hulu Sub-DAS Cikapundung sudahberorientasi agribisnis, sehingga penggunaannya sangat intensif, namun belum sepenuhnya menerapkan teknologikonservasi. Komponen yang paling berpengaruh pada subsistem usahatani adalah jenis tanaman, sistem penanaman, danpenggunaan bahan amelioran, sedangkan pada subsistem konservasi adalah konservasi mekanik dan penggunaan mulsa.Lima alternatif model usahatani konservasi tanaman sayuran di hulu Sub-DAS Cikapundung yang diperoleh, yaitu (1)model A: sistem usahatani konservasi teras bangku, bedengan memotong lereng, menggunakan pupuk kandang+kapur,sistem penanaman sayuran tumpangsari/tumpang gilir kelompok I+III atau II+III, (2) model B: sistem usahatanikonservasi teras bangku, bedengan memotong lereng, menggunakan pupuk kandang, dipasang mulsa plastik, sistempenanaman sayuran tumpangsari/tumpang gilir kelompok I+III atau II+III, (3) model C: sistem usahatani konservasiteras bangku, bedengan memotong lereng, menggunakan pupuk kandang+kapur, dipasang mulsa plastik, sistempenanaman sayuran tumpangsari/tumpang gilir kelompok I+III atau II+III, (4) model D: sistem usahatani konservasiteras gulud, bedengan searah lereng, menggunakan pupuk kandang+kapur, sistem penanaman sayuran tumpangsari/tumpang gilir kelompok I+III atau II+III, dan (5) model E: sistem usahatani konservasi teras gulud, bedengan searahlereng, menggunakan pupuk kandang+kapur, dipasang mulsa plastik, sistem penanaman sayuran tumpangsari/tumpang gilir kelompok I+III atau II+III. Model A, B, dan C diarahkan untuk dapat diterapkan pada lahan dengankemiringan 16-25%, sedangkan model D dan E diarahkan pada lahan dengan kemiringan 8-15%. Untuk mempercepatpenerapan model usahatani konservasi oleh petani diperlukan kelembagaan penunjang usahatani konservasi.ABSTRACT. Sutrisna, N., Santun R.P. Sitorus, B. Pramudya, and Harianto. 2010. The Alternative ConservationFarming System Model on Vegetable Plants in Upstream Areas of Subwatershed Cikapundung. The upstreamarea of Subwatershed Cikapundung are located in the dry highland. Inappropriate land usage that doesn’t utilize itsland suitability causes land degradation. The main objective of this research was to design the alternative conservationfarming system model on vegetable plants in upstream areas of subwatershed Cikapundung. The other objectives were(1) to analyze suitability of existing land utilization, (2) to characterize existing farming system, and (3) to analyzethe most effective component of the conservation farming system. This research was conducted by using a surveymethod. The results showed that the category in accordant to existing land use was belong to marginally suitable(S3). The limited factors were pH, base saturation, CEC, drainage, and slope. The most influence component of theconservation farming system were kinds of vegetation, cropping system, ameliorant, conservation techniques, andplastic mulch. There were five alternative models of conservation farming system that can be used in upstream areas ofsubwatershed Cikapundung. Those were (1) model A: conservation farming system bench terraces, the embankmentcrosses the slope, uses of organic matter and lime, and planting of vegetables cropping system with categoriesI+III or II +III, (2) model B: conservation farming system bench terraces, the embankment crosses the slope, usesorganic matter, uses mulch, and planting of vegetables cropping system with categories I+III or II+III, (3) model C:conservation farming system bench terraces, the embankment one-way the slope, use organic matter and lime, usesmulch, and planting of vegetables cropping system with categories I+III or II+III, (4) model D: conservation farmingsystem gulud terraces, the embankment one-way the slope, uses organic matter and lime, and planting of vegetablescropping system with categories I+III or II+III, and (5) model E: conservation farming system gulud terraces, theembankment one-way the slope, uses organic matter and lime, uses mulch, and planting of vegetables cropping systemwith categories I+III or II+III. The alternative models A, B, and C can be used at sloping land 16-25%, meanwhilethe alternative models D and E at sloping land 8-15%. To accelerate the implementation of farming system modelby farmers, the supporting institution of conservation farming system is required.
Uji Kelayakan Teknis dan Finansial Penggunaan Pupuk NPK Anorganik pada Tanaman Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat Sutrisna, Nana; Suwalan, S; Ishaq, I
Jurnal Hortikultura Vol 13, No 1 (2003): Maret 2003
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung pada musim kemarau 2001. Lokasi penelitian termasuk lahan dataran tinggi dengan ketinggian 1.400 m dari permukaan laut dengan jenis tanah andosol. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kandungan unsur hara beberapa jenis pupuk alternatif NPK anorganik dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, produksi, dan pendapatan usahatani kentang sebagai dasar penyusunan  rekomendasi teknologi penggunaan  pupuk  alternatif. Percobaan  menggunakan  rancangan  acak kelompok dengan delapan perlakuan dan empat ulangan. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian memiliki ketersediaan unsur N rendah, namun P2O5 dan K2O tinggi, serta pH tanah agak rendah (5,2). Hasil analisis hara dari beberapa jenis pupuk alternatif NPK anorganik menunjukkan bahwa kandungan unsur N, P2O5, dan K2O yang tertera pada label/kemasan tidak sesuai dengan hasil analisis di laboratorium. Dari 10 jenis pupuk yang diuji hanya 30% yang unsur N-nya sesuai, 40% unsur P2O5  sesuai,  dan 50% unsur K2O-nya yang sesuai. Pengaruh penggunaan pupuk NPK anorganik terhadap tinggi tanaman dan jumlah tunas tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun pupuk NPK 20-9-9 dapat meningkatkan produksi  umbi sebesar 13,34% dari rata-rata produksi di tingkat petani. Pupuk NPK 20-9-9 pada tanaman kentang memberikan tingkat pengembalian marginal tertinggi, yaitu 1,74 (174%), sehingga paling menguntungkan dibandingkan perlakuan lainnya dan layak untuk direkomendasikan. Kata kunci : Solanum tuberosum; Pupuk anorganik; Kentang; Lahan dataran tinggi; Pertumbuhan; Hasil. ABSTRACT. The research of NPK fertilizers usage was carried out on dry season of 2001 in Alamendah village, Rancabali, Bandung. The experimental location was 1,400 meters above sea level and of andosol soils. The objective of the study was to investigate the composition of several NPK anorganic fer- tilizers and the effects on growth, yield, and profit for potato farming as the basis for technical recommendations re- garding the usage. The experimental was randomized block design with eight treatments and four replications. The soil analysis results showed that the plots were low in nitrogen availability while P2O5 and K2O levels were quite high. The investigation revealed that the stated compositions of nitrogen, phosphorus, and potassium on the respective la- bels were not in accordance with the results of laboratory analysis. Among ten fertilizers tested, the number actually containing the stated levels of nitrogen, phosphorus, and potassium were 30, 20, and 40% respectively. Plant height and number of shoots/plant were not significantly different from the control for any of the alternative fertilizers NPK anorganic used. The use of fertilizer NPK 20-9-9 showed an average yield increase of 13.34% over typical farmer pro- duction methods. The increase in yield was one of the main factors resulting in a marginal return of 174% for fertilizer NPK 20-9-9 as well. Form these results it appears the fertilizer NPK 20-9-9 may be recommended for potato farming in West Java.
KAJIAN RAKITAN TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG DAUN (Allium fistulosum L) PADA LAHAN DATARAN TINGGI DI BANDUNG, JAWA BARAT Sutrisna, Nana; Ishaq, Iskandar; Suwalan, S.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol 6, No 1 (2003): Januari 2003
Publisher : Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Welsh onion is prosperous to grow intensively to its increasing demand for either domestic or exportmarkets. Productivity at farm level, however, is still low due to unavailable appropriate cultural practice. Thisstudy aimed to know the technical and finacila performances of application of improved cultural practice ofwelsh onion carried in Alamendah village, Rancabali subdistrict, Bandung district with elevation of 1,400 mabove sea level on 2001 dry season (April-June 2001). The method used was “On-Farm Client OrientedAdaptive Research” (OFCOAR). Experimental plots were divide into two treatments, i.e., improved culturalpractice of welsh onion (T1) and local cultural practice (T2) with replications of 8 farmers. The results showedthat improved cultural practice significantly affected crops’ height, total shoots, and yields. The yield increasedby 6.6 tons/ha or 78.6 percents, and net profits increased by Rp 3,865,525 or more than 129 percents withparticipating farmers’ B/C ratio of 1.34 and that of non participating farmers of 0.80. The value of IBCR of 2.73indicated that addition of one unit of input could increase wells onion farm business by 2.73 times.Key words : cultural practice, welsh onion, highland farmingBawang daun memiliki prospek yang cukup baik seiring dengan peningkatan kebutuhan permintaankonsumen domestik maupun untuk tujuan ekspor. Namun demikian, pada saat ini produktivitas rata-rata ditingkat petani masih relatif rendah akibat belum tersedianya rakitan budidaya yang optimal. Pengkajian inibertujuan mengetahui keragaan teknis dan finansial penerapan perbaikan rakitan teknologi budidaya bawangdaun yang dilaksanakan di desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, dengan tinggi tempat1.400 m dari permukaan laut (dpl) pada MK 2001 (April-Juni 2001). Pendekatan dilakukan berdasarkan “On-Farm Client Oriented Adaptive Research” (OFCOAR). Rancangan percobaan petak dibagi menjadi duaperlakuan, yaitu (T1) perbaikan rakitan teknologi budidaya bawang daun dan (T2) teknologi petani setempatyang diulang pada 8 orang petani. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan perbaikan teknologibudidaya memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata pada tinggi tanaman, jumlah tunas, dan hasil bawangdaun. Hasil panen meningkat 6,6 ton/ha atau 78,6 persen dan pendapatan bersih meningkat sebesar Rp.3.865.525,00 atau lebih dari 129 persen dengan BC ratio 1,34 pada petani kooperator dan 0,80 pada petani nonkooperator.Nilai IBCR 2,73 berarti bahwa penambahan satu satuan input dapat meningkatkan pendapatanusahatani bawang daun sebesar 2,73 kali.Kata kunci : teknologi budidaya, bawang daun, usahatani dataran tinggi
KAJIAN SISTEM PENANAMAN TUMPANGSARI KENTANG (Solanum tuberosum L.) DI LAHAN DATARAN TINGGI RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG Sutrisna, Nana; Sastraatmadja, Suwalan; Ishaq, Iskandar
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol 8, No 1 (2005): Maret 2005
Publisher : Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Assessment on intercropping system of potato was conducted during the dry season (May-September) in2001 in Alamendah village, Rancabali district, Bandung regency, with the altitude of 1,400 m above sea level.Randomized block design was used with three replications of five cropping system treatments, namely (1) potato; (2)potato + celery; (3) potato + welsh onion; (4) welsh onion; and (5) celery. The tested varieties were Granola forpotato, Papak Kuningan for welsh onion, and Bamby for celery. The plant spacing used for the two potato systemswere as follows: 70 cm x 30 cm monoculture, 70 cm x 50 cm for intercropping. The plant spacing of celery and welshonion both planted in intercropping and monoculture methods were each of 20 cm x 20 cm. The areas of all treatmentswere each of 60 m2 . Results of assessment showed that: (1) average plant heights of potato were not significantlydifferent between those intercropping systems of potato-celery and potato-welsh onion; (2) average number of shootsper plant and visually observed plant vigor of welsh onion and celery were greater for monoculture system than that ofintercropping; (3) yields of both potato intercropped with celery and welsh onion were lower than those ofmonoculture, but when yield of the intercropping was made equivalent to potato, the land productivity would begreater if intercropped with potato-celery or potato-welsh onion with highest land equivalent ratio (NKL) of more thanone and the highest land equivalent ratio obtained by potato + celery intercropping was 1.19; (4) intercropping systemof potato + celery was able to lessen attack intensity of thrips (44%) and Myzus persicae (55,6%); and (5)intercropping potato-celery was the most profitable with marginal return level of 81,45 percent.Key words: solanum tuberosum L., intercropping, highland, income, Bandung Pengkajian sistem penanaman tumpangsari kentang pada lahan dataran tinggi telah dilaksanakan di DusunCibodas, Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Bandung pada musim kemarau (MK) 2001, mulai bulan Mei-September 2001. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut. Penelitian menggunakanRancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima perlakuan sistem penanaman dan tiga ulangan. Kelima perlakuantersebut terdiri dari: (1) kentang monokoltur, (2) tumpangsari kentang + seledri, (3) kentang + bawang daun, (4)bawang daun monokultur, dan (5) seledri monokultur. Varietas kentang yang digunakan adalah Granola, bawang daunvarietas Papak Kuningan, sedangkan seledri varietas Bemby. Jarak tanam kentang monokultur 70 x 30 cm, kentangtumpangsari 70 x 50 cm, sedangkan seledri dan bawang dan baik yang ditanam tumpangsari maupun monokultur 20 x20 cm. Luas plot masing-masing perlakuan 60 m2 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tinggi tanaman kentangyang ditanam secara tumpangsari dengan bawang daun lebih tingi dari pada yang ditumpangsarikan dengan seledrinamun hampir sama dengan yang ditanam monokultur, (2) Jumlah tunas tanaman bawang daun maupun seledri lebihbanyak pada sistem monokultur dibandingkan dengan sistem tumpangsari, (3) Hasil kentang sistem penanamantumpangsari baik dengan seledri maupun bawang daun lebih rendah dari pada secara monokultur, namun jika hasiltanaman yang ditumpangsarikan disetarakan dengan kentang, maka produktivitas lahan lebih tinggi diperoleh dengansistem penanaman tumpangsari kentang seledri atau bawang daun di mana nilai kesetaraan lahan (NKL) > 1. NKLtertinggi diperoleh pada tumpangsari kentang + seledri, yaitu 1,19, (4) Tumpangsari kentang + seledri dapatmenurunkan serangan hama daun Trips sebesar 44 persen dan hama kutu daun Myzus persicae sebesar 55,6 persenpada tanaman kentang, dan (5) Sistem penananam tumpangsari kentang + seledri secara finansial palingmenguntungkan, dengan tingkat pengembalian marginal 81,45 persen.Kata kunci: kentang, tumpangsari, dataran tinggi, pendapatan, Bandung
Land Characteristics Study as Halal Tourism Destination Supporting Factors at Benang Kelambu Waterfall in Central Lombok Regency of West Nusa Tenggara Province Febriani, Trina; Dasrizal, Dasrizal; Sutrisna, Nana
Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education Vol 2 No 1 (2018): Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education Volume 2 Number 1
Publisher : Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (510.38 KB) | DOI: 10.24036/sjdgge.v2i1.111

Abstract

Land is one of supporting factors of Halal Tourism Destination at Benang Kelambu Waterfall in Central Lombok Regency. This research was aimed to collect, process, analyse the data and discuss about land characteristics as supporting factors of Benang Kelambu Waterfall Halal. This study used a descriptive analysis method. This study was focus on 1) Describing the land characteristics in supporting the development of Benang Kelambu Waterfall tourism destination. 2) Describing the concept of land use related to supporting factors of Benang Kelambu Waterfall Halal Tourism Destination. The land characteristics include the topography, region, soil type and climate. In this research, factors in developing concept of tourism were tourism potential, tourist attraction, tourism land resources, accessibility, facility and infrastructure, and land use management. After processing and analyzing collected data, Benang Kelambu Waterfall was rated as 83-101 or classified as cultivation and forest area so that it could be managed and used for tourism area.
PENGARUH SISTEM IRIGASI BERSELANG DAN JARAK TANAM LEGOWO TERHADAP PRODUKTIVITAS PADI DAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) Sutrisna, Nana; Ruswandi, Agus; Surdianto, Yanto
Creative Research Journal Vol 4, No 01 (2018)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP2D) Provinsi Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (341.093 KB)

Abstract

Sistem irigasi berselang dan jarak tanam legowo 2:1 diduga dapat meningkatkan produktivitas padi dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh sistem irigasi berselang dan jarak tanam legowo 2:1 terhadap produktivitas padi  dan  emisi GRK gas CH4 (metan).  Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah  dengan tiga ulangan. Petak utama adalah sistem irigasi berselang (I) meliput: I1 = Irigasi berselang 3 hari digenangi; 3 hari dikeringkan (3:3); I2 = Irigasi berselang 5 hari digenangi; 3 hari dikeringkan (5:3); I3 = Irigasi berselang 7 hari digenangi; 3 hari dikeringkan (7:3). Anak petak adalah jarak tanam legowo 2:1 terdiri atas: L1 = Legowo 2:1 (25 x 15 x 50 cm); L2 = Legowo 2:1 (25 x 12,5 x 50 cm); L3 = Legowo 2:1 (25 x 15 x 40 cm); dan L4 = Legowo 2:1 (25 x 12,5 x 40 cm). Pengumpulan data meliputi: emisi gas CH4; pertumbuhan tanaman; bobot 1.000 butir; hasil padi. Data dianalisis dengan Analysis of Varians, uji nilai tengah Duncan. Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi interaksi antara irigasi berselang dengan jarak tanam legowo 2:1 terhadap emisi gas metan. Irigasi berselang 5 hari digenangi; 3 hari dikeringkan (5:3) dapat menurunkan emisi gas metan dan meningkatkan produktivitas padi 17,2% dari 5,88 menjadi 6,89 t/ha. Jarak tanam legowo 2:1 yang dapat menurunkan emisi gas metan adalah 25 x 15 x 40 Cm, sedangkan yang dapat meningkatkan produktivitas padi adalah 25 x 12,5 x 40 cm, yaitu sebesar 13,6% dari 6,04 menjadi 6,86 t/ha Gabah Kering Giling (GKG). 
Conservation Farming System of Vegetable Crops in Upstream Areas of Subwatershed Cikapundung Sutrisna, Nana; Oktorie, Olivia
Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education Vol 3 No 1 (2019): Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education (SJDGGE)
Publisher : Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.282 KB) | DOI: 10.24036/sjdgge.v3i1.193

Abstract

The function change of land in upstream areas of subwatershed Cikapundung is very difficult to control. Most of the land has been turned into residential areas and vegetable crops. Land is currently a source of life, so it is exploited to get maximum results and income. If it is not managed properly, the land will be degraded and eventually become critical. In order for the land to be sustainable it needs an environmentally friendly farming farming system for vegetable conservation The results showed that there were two technologies for specific vegetable crop conservation systems in upstream areas of subwatershed Cikapungdung that were environmentally friendly, namely (1) Conservation farming system of bench terrace conservation, beds cutting slopes, using manure + lime, plastic mulch installed, planting system of intercropping/ overlapping rotating vegetables on land with slope of 15-25%. The conservation farming system is able to control erosion from 69.93 to 7.18 t/ha/year or by 89.73% and (2) a farming system for conservation of ridge terraces, beds cutting slopes, using manure + lime, installed plastic mulch, system for planting intercropping/overlapping vegetables on land with a slope of 8-15%. The conservation farming system is able to reduce erosion from 37.41 to 15.27 t/ha / year or 59.18%. The two conservative farming systems above are financially profitable as indicated by the value of BC Ratio> 1, NVP> 0, and IRR> The prevailing Social Discount Rate or Bank interest, which is around 12% indicated by the value of BC Ratio> 1, NVP > 0, and IRR> Current Social Discount Rate or Bank interest, which is around 12%.
Evaluation of Land Suitability and Financial Feasibility analysis For Land Use Planning in Riau Province Sutrisna, Nana; Istina, Ida Nur; Nurhayati, Nurhayati; Wibisono, M. Giiri
Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education Vol 3 No 2 (2019): Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education (SJDGGE)
Publisher : Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (793.793 KB) | DOI: 10.24036/sjdgge.v3i2.214

Abstract

Land suitability evaluation and financial feasibility analysis are very important and necessary in land use planning, including which will develop plantation crops on peatlands. The purpose of these activities are to evaluate the suitability of the land and analyze the financial feasibility of agricultural commodities that will be developed namely coconut, sugar palm, areca nut, fragrant lemongrass and sugar cane. Land evaluation uses a survey method to collect data and information in the field and soil samples to be analyzed in the laboratory. Field data and the results of soil analysis obtained were analyzed using the Matching method (comparing the requirements for land use of commodities to be developed vs. Land quality). To facilitate reading the suitability of commodities to be developed, a land suitability map is made using Arc-GIS software. Financial feasibility analysis using investment valuation in financial aspects is assessed by the following criteria: Net Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR) and Net Present Value (NPV). The results showed that the commodities of sugar palm, coconut, areca nut, lemongrass, and sugarcane were in S3 land suitability classes (according to marginal) with limiting factors for root media, nutrient retention, and nutrient availability. The area for the development of sugar palm and coconut is 1,952 ha or around 27.1% of the PT. Uniseraya land, while areca nut, lemongrass and sugar cane are 1,466 ha or around 20.4%. If the planting system is carried out in monoculture, the commodity that provides the greatest benefits is Aren, then followed by Serai Wangi, Sugar Cane, Coconut, and Areca Palm. If the most beneficial polyculture is planted, Aren + Serai Wangi polyculture; then followed by Coconut + Aren; Kelapa + Lemongrass + Coffee; and Pinang + Lemongrass fragrant.
PENGARUH PENAMBAHAN BIOCHAR PADA KOMPONEN TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG DI LAHAN KERING MAJALENGKA Sutrisna, Nana
Creative Research Journal Vol 5, No 02 (2019)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP2D) Provinsi Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (366.013 KB) | DOI: 10.34147/crj.v5i02.219

Abstract

Penggunaan biochar pada tanaman jagung di lahan kering merupakan salah satu inovasi untuk meningkatkan produktivitas, namun sebelum dikembangkan perlu dilakukan pengkajian. Tujuan pengkajian: (1) mengetahui pengaruh penambahan biochar pada komponen teknologi budidaya jagung terhadap pertumbuhan dan produktivitas jagung dan (2) mengetahui persepsi petani terhadap penambahan biochar pada komponen teknologi budidaya jagung. Pengkajian dilaksanakan di sentra produksi jagung Majalengka, yaitu di Kelompok Tani Sindang Makmur, Desa Cihaur, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka. Percobaan menggunakan rancangan penelitian adaptif, yaitu mengadaptasikan paket teknologi budidaya jagung yang ditambah biochar, dibandingkan dengan teknologi yang biasa dilakukan oleh petani. Varietas yang digunakan adalah BISI 18 dan penanaman dilakukan dengan cara ditugal, jarak tanam 70 x 40 cm. Variabel data yang diamati/dikumpulkan terdiri atas: (1) tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 30, 60, dan 90 Hari Setelah Tanam (HST), (2) bobot tongkol kering dengan kelobot, (3) bobot tonggkol kering tanpa kelobot, (4) produktivitas per petak atau ubinan kemudian dikonversi kedalam satuan hektar, (5) Penggunaan tenaga kerja dan sarana produksi (pupuk dll.)., dan (6) persepsi petani. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kinerja teknologi budidaya jagung dengan penambahan biochar sangat baik, ditunjukkan dengan pertumbuhan jagung yang lebih baik dan n produktivitas meningkat 35,7% dari 6,72 t/ha menjadi 9,12 t/ha pipilan kering. Secara finansial juga menuntungkan dengan BC Ratio sebesar 1,40 dan MBCR sebesar 3,75. Persepsi petani terhadap penambahan biochar pada komponen teknologi budidaya jagung positif, diharapkan akan memberikan respons yang positif dan selanjutnya melakukan tindakan positif dengan mengadopsi penggunaan biochar meskipun tidak ada program atau bantuan dari pemerintah.
Urban Agricultural Development For Food Security at the Time of Covid-19 Pandemies in Indonesia Sutrisna, Nana
Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education Vol 4 No 2 (2020): Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education ( Desember Edition
Publisher : Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (285.322 KB) | DOI: 10.24036/sjdgge.v4i2.344

Abstract

Corona virus pandemic (Covid-19) threatens the lives of people in the world and has an impact on the economy of society, including in Indonesia, both in the industrial, trade and agriculture sectors. In the agricultural sector, food security is the main thing that must receive attention from the government because it can disrupt national stability. One effort that can be done is the development of urban agriculture. Urban agriculture can improve local food security and quality of agricultural products. The combination of innovative urban agriculture such as vertical garden, hydroponic, and vertiminaponic cultivation systems at various scales (small, medium, and commercial) is able to support three dimensions of food security, namely food availability, food access, and food utilization. On a small and medium scale urban agriculture is able to produce a number of vegetables for the local market. On a medium and commercial scale it can be developed to complement national or even global needs. Urban innovative agriculture also has the potential to contribute to food stability, namely reducing dependence on long and poorly developed food value chains, from rural producers to urban consumers. On that basis, innovative urban agriculture has paved the way to the second green revolution, ensuring availability and maintaining food security during the COVID-19 pandemic in Indonesia. However, in its development requires cooperation from all parties, including farmers, government, surrounding communities, entrepreneurs, educational institutions, and other parties for sustainability.