Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Development of Aceh's Adat Judicial System [Perkembangan Sistem Hukum Peradilan Adat Aceh] Sitti Mawar
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 1 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10522

Abstract

Abstract: Aceh’s customary court is a peace court that are intended to resolve such cases as disputes or customary violations that occur in the community. Several terms are used to refer to customary courts, including gampong courts and peace courts. Settlement of disputes in customary law communities is based on the view of life held by the Acehnese community. Acehnese community have a democratic nature in which common interests is in the top priority, without neglecting individual interests. A democratic and social justice life atmosphere goes hand in hand with a communal spirit and cooperation. in customary law communities. Democratic behavior is inspired by the principle of customary law which has universal value. This value is in the form of general power, the principle of deliberation, and representation in the customary government system. The research questions in this study are what the concept of mediation as an alternative to customary courts is applied in Aceh. What principles are contained in the implementation of customary justice in Aceh? The research method uses empirical sociological research, using a statutory and customary law cases approach. The research finding is in the Acehnese community the implementation of customary justice is supported by several laws and regulations. In these various laws and regulations, it is expressly stated that the strengthening of customary law and customary courts must start from the Gampong and Mukim. The official institutions that administer customary justice are the Gampong Institution and the Mukim Institution. Abstrak: Peradilan adat Aceh adalah peradilan perdamaian yang dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara (sengketa atau pelanggaran adat) yang terjadi dalam masyarakat, beberapa istilah yang digunakan dalam menyebutkan peradilan adat, diantaranya peradilan gampong dan peradilan damai. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Masyarakat adat memiliki sifat demokratis yang mana kepentingan bersama lebih diutamakan, tanpa mengabaikan atau merugikan kepentingan perorangan. Suasana hidup demokratis dan berkeadilan sosial berjalan bersama dengan semangat komunal dan gotong royong dalam masyarakat hukum adat. Prilaku demokratis dijiwai oleh asas hukum adat yang bernilai universal. Nilai ini berupa kekuasaan umum, asas musyawarah, dan perwakilan dalam sistem pemerintahan adat. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; Bagaimana Konsep Mediasi Sebagai Sebuah Alternatif Peradilan Adat. Bagaimana Sistem Hukum Peradilan Adat. Asas-asas apa saja yang termuat dalam pelaksanaan peradilan adat di Aceh. Metode penelitian menggunakan jenis penelitian sosiologi empiris, dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus adat yang mendapatkan penyelesaian. Hasil penelitian yang ditemukan di masyarakat lembaga adat aceh bahwa Pelaksanaan peradilan adat didukung oleh sejumlah peraturan perundang-undangan. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan secara tegas bahwa penguatan hukum adat dan peradilan adat harus dimulai dari Gampong dan Mukim. Adapun badan-badan resmi yang menyelenggarakan peradilan adat yaitu Lembaga Gampong dan Lembaga Mukim.
Implementasi Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat dalam Kasus Pidana Anak-Anak Sitti Mawar; Azwir Azwir
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v7i2.3977

Abstract

Pada Qanun Jinayat Aceh Nomor 6 Tahun 2014 pasal 67 menyebutkan bahwa apabila anak yang telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah melakukan jarimah, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan ‘uqubat paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari ‘uqubat yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orangtuanya atau walinya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten atau kota, namun pelaksanaannya belum maksimal. Tujuan penelitian dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kedudukan Mahkamah Syar’iah di kota Langsa dalam menangani perkara anak yang melanggar ketentuan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat dan penyelesaian perkara anak yang melakukan kejahatan yang telah diatur dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Dengan menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari peraturan perundang-undangan  dan literatur lainnya yang ada hubungan dengan masalah yang diteliti, penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer dengan cara mewawancarai responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, belum ada peradilan khusus untuk anak di Mahkamah Syar’iah Langsa dalam mengadili perkara  pidana anak, sebelum adanya ketetapan khusus terhadap pelaku anak-anak dalam qanun jinayah maka harus mengikuti ketentuan perundang-undangan nasional, penyelesaian perkara anak yang melakukan pelanggaran hukum jinayah di selesaikan secara diversi pada kepolisian tanpa melalui jalur pengadilan. Disarankan kepada pemerintah daerah Aceh agar membuat peraturan khusus dan mengesahkan tentang peradilan khusus anak pada Mahkamah Syar’iah dan disarankan kepada pihak kepolisan agar menggunakan qanun jinayah dalam menyelesaikan perkara anak yang melanggar ketentuan hukum jinayah supaya qanun jinayah yang diterapkan dapat maksimal.
IMPLEMENTATION OF CRIMINAL SANCTIONS OF NARCOTICS ABUSE AGAINST TNI OFFICERS (Military Court Decision on Case Registration Number: 49-K/PM.I-01/AD/IV/2019) Sitti Mawar; Nelis Sa'adah
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 11, No 2 (2021): JURNAL DUSTURIAH
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v11i2.11808

Abstract

Narcotics abuse is a crime that violates the rule of law, which can threaten the safety of both the physical and the soul of the user. As we know, narcotics abuse is not only for civilians, but in reality, TNI personnel are also involved in narcotics abuse. The TNI is a state apparatus whose duty is to guard, protect, maintain security and safeguard the sovereignty of the State. The imposition of basic criminal sanctions for TNI personnel for narcotics abuse refers to Law Number 35 of 2009 Article 127 paragraph 1 which states that people who abuse narcotics class I for themselves are sentenced to a maximum imprisonment of 4 years. However, Article 6 of the Military Criminal Law (KUHPM) provides additional types of punishment, namely dismissal from military service, demotion and revocation of certain rights. In this thesis, the formulation of the problem is how the judge's consideration in imposing a relatively light sentence for narcotics abuse on TNI personnel (Military Court Decision Case Number 49-K/PM.I-01/AD/IV/2019) and how the author's analysis is based on ( Military Court Decision Case Number 49-K/PM.I-01/AD/IV/2019). The research method used in this thesis is normative sourced from legislation. Based on the decision of the Military Court Judge I-01 Banda Aceh that narcotics abuse against TNI personnel is punishable by 2 years in prison. In addition, additional criminal sanctions were imposed, namely dismissal from the Military Service. The basis of the judge's consideration in reducing the defendant's sanctions on the basis of the defendant's level of guilt, the defendant admits his actions openly, the defendant is the breadwinner of the family, has never been sentenced or is a recidivist, is polite in front of the trial, has regrets and promises not to repeat it. For law enforcers, especially military judges, in imposing imprisonment sanctions, they must be in accordance with the law.
FASAKH NIKAH DENGAN ALASAN SUAMI MISKIN (Studi Perbandingan antara Ulama Syafi’iyyah dan Hukum Positif di Indonesia) Muhammad Habibi; Syahrizal Abbas; Sitti Mawar
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 8, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v8i2.4358

Abstract

In a family sometimes painful actions arise from involuntary causes (not intentionally), not on the wishes of the husband, such as because the husband is poor or poor so he does not have a living to fulfill his wife's rights in the form of food, clothing and home at a certain time, which makes the wife ask to part with her husband through the divorce (fasakh) path. Regarding the problem of the wife asking for fasakh (carrying out divorce) by reason of a poor husband there are differences of opinion between the Syafi'iyyah Ulama and Positive Law in Indonesia concerning the provisions that must be fulfilled by both. This study wants to answer the question of how the provisions of fasakh marriage are based on the reasons of poor husbands according to Syafi'iyyah Ulama and Positive Law in Indonesia. To get answers, the author uses primary data sources and secondary data. The research method that I use is Descriptive Comparative method that is research by analyzing and comparing opinions, reasons and interpretations of the arguments used as the opinions of the two groups. The results of the study indicate that the fasakh of marriage on the grounds of a poor husband according to the Shafi'iyyah Ulama is permissible and validly carried out on condition; 1) A wife who is married between being patient and divorced, 2) Judge's decision, in the form of; a. determination of poor status according to the provisions, b. giving an opportunity to a husband to work for a living, c. Fasakh implementation period three days after the wife reported. 3) Separated by reciting fasakh instead of divorce, and still having three times the right of divorce if in the future you want to remarry with a new contract. Whereas according to Positive Law in Indonesia fasakh marriage by reason of poor and permissible husband with conditions, 1) occur shikak between wife and husband, 2) wife make a divorce letter, 3) Decision judge namely proof of poor husband in a literal manner, 4) Court decision drop one bain sughra talak. From the explanation above, it can be concluded that the provisions of the fasakh of marriage by reason of poor husbands in the opinion of the Syafi'iyyah clerics are better and fair because they are supported by a strong foundation and are most in accordance with the soul, basis and principles of Islamic law. Therefore in Indonesia requires more explicit rules about fasakh (divorce) with the excuse of poor husbands. 
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A BANDA ACEH Egar Sabara; Sitti Mawar
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.562 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v3i2.5934

Abstract

Pelaksanaan hubungan industrial di perusahaan selalu dipengaruhi oleh dinamika masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya selalu menghadapi tantangan dan rintangan dan berpengaruh pada kondisi hubungan kerja yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Secara garis besar, permasalahan yang terjadi dalam hubungan kerja berpengaruh kepada hubungan industrial, antara lain meliputi pemahaman teknis undang-undang bidang hubungan industrial tentang hakekat hubungan kerja, mengenai permasalahan perjanjian kerja yang menjadi dasar terbitnya hubungan kerja yang diatur tentang hak dan kewajiban para pihak, penggunaan perjanjian kerja waktu tertentu untuk semua jenis pekerjaan dan kecenderungan menggunakan pekerja outsourcing, dan upaya-upaya perbaikan syarat kerja yang diatur dalam ketentuan normatif. Perikatan yang timbul karena perbuatan orang terdiri atas perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Dalam praktek dunia bisnis yang berlaku sekarang, sudah ada suatu standar kontrak yang baku, karenanya para pihak tinggal mempelajarinya, apakah ia setuju atau tidak terhadap syarat-syarat yang tercantum dalam kontrak tersebut. Biasanya dalam standar kontrak dicantumkan suatu klausul bahwa apabila terjadi suatu perselisihan atau perbedaan penafsiran tentang isi perjanjian, akan diselesaikan oleh lembaga arbitrase (badan perwasitan). Hal ini berarti sejak para pihak menyetujui dan menandatangani kontrak tersebut, sudah menyatakan diri bahwa perselisihan yang mungkin akan terjadi diselesaikan oleh lembaga arbitrase. Adapun tugas lembaga arbitrase adalah menyelesaikan persengketaan yang diserahkan kepadanya berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
FUNGSI KEBIJAKAN EKONOMI PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MENURUT IBNU KALDUM Sitti Mawar; Tadjus Subqi
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v2i2.2651

Abstract

Kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah Kota Banda Aceh berperan penting dalam mengalokasikan serta mendistribusikan sumber daya yang langka secara merata kepada masyarakat. Pasar sering kali gagal mengakomodasi kepentingan semua bagian masyarakat sehingga muncul pasar yang tidak stabil. Bagaimanapun juga, pemerintah memiliki pengaruh yang besar melalui mekanisme yang dimiliknya. Ketika terjadi kenaikan harga maka Pemerintah Kota Banda Aceh memiliki wewenang untuk mengeluarkan kebijakan. Hasil penelitian ditemukan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah Kota Banda Aceh terhadap kesejahteraan masyarakat khususnya terhadap mekanisme pasar dan produksi menggunakan sistem pengamatan harga yang dilakukan dengan pencatatan dan pelatihan untuk kebijakan produksinya. Pencatatan dilakukan setiap hari oleh pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Pasar yang dipantau adalah pasar Peunayong, Ulee Kareng, dan Lambaro. Peran pemerintah Kota Banda Aceh dalam menstabilkan harga di pasar hanya sebatas memantau harga saja tetapi tidak melakukan intervensi harga. Apabila sudah mendapatkan keadaan pasar tidak stabil dan harga makanan pokok sangat mahal, maka Dinas Perindustrian dan Perdagangan langsung melakukan antisipasi berupa pasar murah dengan mensubsidi harganya. Kemudian untuk menigkatkan produksi maka dinas perindustrian dan perdagangan Kota Banda Aceh mengadakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat. Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa, kebijakan ekonomi pemerintah Kota Banda Aceh terhadap kesejahteraan masyarakat sudah sesuai dengan pemikiran Ibnu Khaldun, di mana Pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi pasar ini tidak membolehkan pemerintah untuk melakukan intervensi harga kecuali dalam hal pengawasan. Berkaitan dengan produksi ia mengatakan tenaga kerja manusia dan keahlian menjadi faktor utamanya.
Mekanisme Perubahan Apbk Kota Subulussalam Tahun 2018 Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Rispalman Rispalman; Sitti Mawar
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.809 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v5i1.7267

Abstract

Sebagai Negara yang berdaulat Indonesia adalah Negara kesatuan yang dimana pemerintah pusat menyerahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. Aceh sebagai daerah istimewa melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 42 Ayat (1) Butir D tertulis “menyusun dan mengajukan rancangan qanun tentang APBA kepada DPRA dan APBK kepada DPRK untuk dibahas, disetujui, dan ditetapkan bersama” hal ini menjadi suatu permasalahan di kota subulussalam karena pengimplementasian Pasal 42 Ayat (1) Butir D tersebut tidak ada dilaksanakan di kota subulussalam. Terkait dengan kasus yang terjadi dalam tahun anggaran 2018 yaitu Perubahan APBK yang terjadi tiga kali dalam satu tahun. Penelitian ini di format untuk menjawab permasalahan sebagai tujuan penelitiannya yaitu bagaimana perubahan APBK kota subulussalam yang dilaksanakan oleh Walikota. Bagaimana perubahan APBK kota subulussalam di tinjau dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis menggunakan metode Normatif Yuridis. Dari hasil penelitian yang penulis teliti bahwa proses Penganggaran APBK kota Subulussalam sudah sesuai dengan proses penganggaran dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang merujuk kepada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Namun setelah sidang paripurna bersama DPRK, tiba-tiba Walikota kembali mengeluarkan perubahan APBK tampa sepengetahuan dan persetujuan DPRK. hal tersebut tentu menyalahi aturan, sehingga mengakibatkan keputusan perubahan APBK tersebut tidak sah.
SEMIOTIKA HUKUM SEBAGAI PENDEKATAN KRITIS Sitti Mawar
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v2i1.2647

Abstract

Suatu perspektif semiotika dalam hukum saat ini berada pada tahap kematangannya. Berkembang pada akhir tahun 1980-an dan kemudian mendapatkan pijakan kuat (mengakar) dalam sosiologi hukum, focus kajian bidang ini mempunyai banyak bentuk, yang dapatnnual dilihat pada 1980-an, yaitu diselenggarakannya pelaksanaan dua konferensi besar tahunan, yang satu di amerika, The Annual Rounndtable on law an semiotics, dilaksankan di Reading Pensylvania, dan satunya lagi The Internasional association for The semiotics of law, dengan basis (umumnya melaksanakan) konfrensinya di Eropa, dikedua konferensi itu banyak karya ahli yang ditampilkan.
Metode Penemuan Hukum (Interpretasi Dan Konstruksi) Dalam Rangka Harmonisasi Hukum Sitti Mawar
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v1i1.2558

Abstract

Tujuan hukum sejatinya mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Pertentangan antara sisi keadilan dan sisi kepastian hukum sering kali menjadi dilema bagi para penegak hukum. Sisi kepastian hukum menjadi lebih mudah diterapkan sehingga kadang-kadang mengabaikan keadilan. Asas-asas hukum tidak mengenal hierarki karena tidak ada satu asas yang lebih superior sehingga dapat mengesampingkan asas hukum lainnya. Relevansi penerapan asas-asas hukum tersebut didasarkan pada situasi dalam permasalahan hukum yang terjadi. Menjawab tantangan tersebut berkembang paradigma hukum progresif yang menempatkan hukum bukanlah satu skema yang final, namun hukum terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang hidup pada ruang hampa. Hukum lahir dari ketentuan yang hidup dalam masyarakat (ibi societas ibi ius). Atas dasar itu, hukum harus terus dibedah dan digali melalu upaya-upaya yang progresif untuk menggapai kebenaran hakiki demi tegaknya keadilan. Kata Kunci: Metode Penemuan Hukum, Interprestasi, Konstruksi, Harmonisasi Hukum.
STANDAR EFEKTIF PENERAPAN RUBBER SPEED BUMP TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN KEMENHUB NO. 3 TAHUN 1994 (Study Kajian Pada Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh). Dalilah Miranti Faat; Sitti Mawar Sitti Mawar
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (400.305 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v3i1.5085

Abstract