Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

Perbedaan Rasio Kolesterol Total/ HDL Kelompok Kontrol dan Kelompok Diet Tinggi Minyak Sawit pada Tikus Wistar Yelsa Yulanda Putri; Ellyza Nasrul; Susila Sastri
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 3, No 3 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v3i3.185

Abstract

AbstrakRasio kolesterol total/ HDL merupakan variabel lipoprotein terbaik dalam memprediksi risiko penyakit kardiovaskular. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dapat disebabkan oleh tingginya kadar kolesterol serum. Minyak sawit mengandung 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan rasio kolesterol total/ HDL antara kelompok kontrol dengan kelompok diet tinggi minyak sawit pada tikus. Penelitian ini adalah eksperimental dengan pendekatan post test only control group design. Sampel penelitian terdiri dari 10 ekor tikus Wistar jantan yang dibagi menjadi kelompok kontrol (K) dan kelompok perlakuan (P). Diet tinggi minyak sawit (minyak sawit 42.5%, 3ml/hari) diberikan pada kelompok P selama empat minggu. Analisis data menggunakan uji t independent. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan peningkatan yang tidak bermakna antara kelompok P dan kelompok K pada rerata kolesterol, yaitu 63.66±9.9(P) 57.39±3.28(K) (p>0.05), rerata HDL 19.44±3.99(P) 17.64±2.00(K) (p>0.05), dan rerata rasio kolesterol total/ HDL 3.26±0.24 (P) 3.31±0.32 (K) (p>0.05). Kesimpulan penelitian ini adalah kadar kolesterol total, HDL, dan rasio kolesterol total/ HDL pada kelompok kontrol dan kelompok diet tinggi minyak sawit tidak berbeda.Kata kunci: diet tinggi minyak sawit, kolesterol, HDL, rasio kolesterol/ HDLAbstractThe ratio of total cholesterol/ HDL is the lipoprotein variables best predict the risk of cardiovascular disease . The increased risk of cardiovascular disease can be caused by high levels of cholesterol exciting. Palm oil contains 50% saturated fatty acids and 50% unsaturated fatty acids. The purpose of this study was to know the differences ratio of total cholesterol/ HDL between the control group and high palm oil diet group in rats. This research was experimental with post-test only control group. The study sample consisted of 10 male Wistar rats were divided into control group (K) and treated group (P). High-palm oil diet (50% palm oil, 3ml/day) was given to the group P for four weeks. Analysis of data using independent t test. The results showed there were no significant differences in improvement between groups P and groups K in mean cholesterol, 63.66 ± 9.9 (P) 57.39 ± 3.28 (K) in (p> 0.05), mean HDL 19.44 ± 3.99 (P) 17.64 ± 2.00 (K) in (p> 0.05), and the mean ratio of total cholesterol/ HDL 3.26 ± 0.24 (P) 3.31 ± 0.32 (K) in (p>0.05). The conclusion of this study is total cholesterol, HDL, and the ratio of total cholesterol/ HDL in the control group and the high palm oil diet group did not differ.Keywords: high palm oil diet, cholesterol, HDL, ratio of cholesterol/HDL
Hubungan Derajat Obesitas dengan Kadar Gula Darah Puasa pada Masyarakat di Kelurahan Batung Taba dan Kelurahan Korong Gadang, Kota Padang Andi Fadilah Yusran Putri; Eva Decroli; Ellyza Nasrul
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v4i3.351

Abstract

Abstrak Derajat obesitas sebanding dengan tingkat akumulasi lemak tubuh. Peningkatan akumulasi lemak tubuh akan meningkatkan kadar gula darah puasa. Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan antara derajat obesitas dengan kadar gula darah puasa pada masyarakat di Kelurahan Batung Taba dan Kelurahan Korong Gadang, Kota Padang. Jenis penelitian ini ialah observasional dengan pendekatan cross sectional study terhadap 32 orang masyarakat yang berumur 35-60 tahun di Kelurahan Batung Taba dan Korong Gadang dengan teknik pengambilan sampel berupa purposive sampling. Derajat obesitas diukur dengan metode antropometrik, berupa Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut kriteria Asia-Pasifik, yaitu obese I (IMT ≥25 kg/m2) dan obese II (IMT ≥30 kg/m2). Kadar gula darah puasa diukur secara enzimatik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat obese di Kelurahan Batung Taba dan Kelurahan Korong Gadang adalah berjenis kelamin perempuan dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Sebagian besar masyarakat memiliki berat badan dengan kriteria obese I dan kadar gula darah puasa dengan kriteria DM ≥100 mg/dl. Hasil analisis dengan uji chi-square didapatkan nilai p  = 1,000 (p>0,05), berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara derajat obesitas dengan kadar gula darah puasa.  Kesimpulan penelitian ini adalah tidak berbeda antara kadar gula darah puasa pada obese I dan obese II pada masyarakat diKelurahan Batung Taba dan Kelurahan Korong Gadang.Kata kunci: obesitas, kadar gula darah puasa, indeks massa tubuhAbstract The degree of obesity is equal to the rate of body fat accumulation.  Accumulation of body fat increases fasting blood glucose.  The objective of this study was to determine the relationship of the degree of obesity and fasting blood glucose of people who live in Kelurahan Batung Taba and Kelurahan Korong Gadang, Padang City. This was an observational cross-sectional study to 32 residents of 35 to 60 years old in Batung Taba and Korong Gadang. The subjects were taken by purposive sampling method.  The degree of obesity was determined by Body Mass Index (BMI)from Asian-Pacific criteria, an anthropometric method, obese I (BMI ≥25 kg/m2) and obese II (BMI ≥30 kg/m2). Fasting blood glucose were determined enzimatically.  The result of this study showed that mostly obese population in Batung Taba and Korong Gadang is female, as represented by housewifes.  The majority of the population is obese I and has fasting blood glucose with DM criteria ≥100 mg/dl.  As estimated by chi -square analysis, the p value = 1.000 (p>0.05) and there was no significant relationship is found between the degree of obesity and fasting blood glucose. The conclusion from this study shows there is no different between fasting blood glucose levels in obese I and obese II among the residents of Kelurahan Batung Taba and Kelurahan Korong Gadang.Keywords: obesity, fasting blood glucose, body mass index
Gambaran Hitung Jenis Leukosit pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang Dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang Revi Sofiana Martantya; Ellyza Nasrul; Masrul Basyar
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v3i2.94

Abstract

AbstrakPenyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ditandai oleh adanya hambatan aliran udara yang irreversibel dan bersifat progresif. Asap rokok, polusi udara, dan infeksi berulang pada saluran napas akan mengaktivasi makrofag alveolus dan melepaskan mediator inflamasi yang merangsang progenitor granulositik dan monositik di sumsum tulang sehingga mempengaruhi hitung jenis leukosit pada darah tepi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi hitung jenis leukosit pada pasien PPOK adalah adanya penyakit penyerta. Desain penelitian ini adalah retrospektif deskriptif terhadap data rekam medik 69 orang yang dirawat di bagian paru dan penyakit dalam RSUP dr. M. Djamil Padang. Hasil penelitian menunjukkan pasien PPOK tanpa penyakit penyerta (n=9) memiliki nilai rata-rata hitung jenis basofil 0±0%, eosinofil 1,22±1,2%, neutrofil batang 3,33±2,5%, neutrofil segmen 79,56±9,26%, limfosit 13,67±6,55%, dan monosit 2,22±2,44%. Pada pasien PPOK dengan penyakit penyerta infeksi (n=41) didapatkan nilai rata-rata hitung jenis basofil 0±0%, eosinofil 1,02±1,59%, neutrofil batang 1,98±2,63%, neutrofil segmen 81,07±8,44%, limfosit 12,83±6,68%, dan monosit 3,1±2,71%. Pada pasien PPOK dengan penyakit penyerta non infeksi (n=19) didapatkan nilai rata-rata hitung jenis basofil 0±0%, eosinofil 2,16±5,65%, neutrofil batang 2,16±1,77%, neutrofil segmen 79,0±10,44%, limfosit 14,16±8,03%, dan monosit 2,53±1,87%. Penelitian ini memperlihatkan pasien PPOK tanpa penyakit penyerta, dengan penyakit penyerta infeksi, dan dengan penyakit penyerta non infeksi mengalami neutrofilia dan limfositopenia.Kata kunci: PPOK, hitung jenis leukositAbstractChronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) characterized by airflow obstruction that is irreversible and progressive. Cigarette smoke, air pollution, and recurrent infections in the respiratory tract can activates alveolar macrophages to release inflammatory mediators that stimulate granulocytic and monocytic progenitors in the bone marrow that can affect leukocyte counts in peripheral blood. Other factors that can also affect leukocyte count in COPD patients is the presence of comorbidities. The design of this study was descriptive retrospective from medical record of 69 people with COPD who were treated at the lungs and internal medicine department of dr. M. Djamil Hospital Padang. The result of this study show in COPD patients without comorbidities (n=9) average value of basophil counts 0±0%, eosinophils 1.22±1.2%, neutrophils rod 3.33±2.5%, neutrophils segment 79.56±9.26%, lymphocytes 13.67±6.55%, and monocytes 2.22±2.44%. COPD patients with infectious comorbidities (n=41) obtained average value of basophil counts 0±0%, eosinophils 1.02±1.59%, neutrophils rod 1.98±2.63%, neutrophils segment 81.07±8.44%, lymphocytes 12.83±6.68%, and monocytes 3.1±2.71%. In COPD patients with non-infectious comorbidities (n=19) obtained average value of basophil counts 0±0%, eosinophils 2.16±5.65%, neutrophils rod 2.16±1.77%, neutrophils segment 79.0±10.44%, lymphocytes 14.16±8.03%, and monocytes 2.53±1.87%. This study shows that COPD patients without comorbidities, with infectious, and with non-infectious comorbidities obtained neutrophilia and lymphocytopenia.Keywords:COPD, differential leukocyte count
Pengaruh Hemodialisis terhadap Urea Reduction Ratio pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium V di RSUP Dr. M. Djamil Padang Wahyuni Armezya; Ellyza Nasrul; Elizabet Bahar
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v5i2.512

Abstract

Abstrak Pravelensi pasien penyakit ginjal kronik stadium V yang mendapat terapi hemodialisis terus meningkat di dunia. Dosis hemodialisis yang diberikan kepada pasien harus mencukupi kebutuhan tubuh agar tujuan terapi dapat tercapai dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh hemodialisis terhadap Urea Reduction Ratio (URR). Penelitian secara eksperimental kuasi dilakukan pada 55 pasien hemodialisis sejak Agustus 2013 sampai Maret 2014. Data dikumpulkan dari rekam medik dan hasil pemeriksaan ureum sebelum dan sesudah hemodialisis. Analisis bivariat menggunakan uji t berpasangan dan korelasi Pearson untuk mengetahui perbedaan ureum sebelum dan sesudah hemodialisis serta pengaruh hemodialisis terhadap URR. Berdasarkan data penelitian didapatkan hasil rerata ureum sebelum hemodialisis sebesar 100,27 mg/dl, rerata ureum sesudah hemodialisis 31,17 mg/dl dan rerata URR sebesar 68,80%. Sebanyak 62% pasien mendapatkan hemodialisis yang adekuat dan 38% pasien mendapatkan hemodialisis tidak adekuat. Uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan signifikan ureum sebelum dan sesudah hemodialisis (p = 0,0001) dan terdapat pengaruh signifikan hemodialisis terhadap URR (p = 0,0001).Kata kunci: hemodialisis, ureum, URR AbstractThe prevalence of chronic kidney diseases stage V that receive hemodialysis therapy rise in the world. Hemodialysis doses are given to the patient must meet the body’s needs in order to make the therapeutic goals can be achieved well. The objective of this study was to determine the adequacy of hemodialysis measured by URR in hemodialysis patients in the M Djamil hospital Padang. Quasi-experimental studies performed on 55 hemodialysis patients from August 2013 to March 2014. Data were collected from medical records and the results of urea before and after hemodialysis. Bivariate analysis using a paired t test and Pearson correlation urea to know the difference between before and after hemodialysis and hemodialysis influence on the URR. The results showed that the mean of urea levels before hemodialysis is 100.27 mg/dl, the mean of urea levels after hemodialysis is 31.17 mg/dl and the mean of URR is 68,80%. The 62% patients got adequate hemodialysis and 32% patients got inadequate hemodialysis. Based on statistics, obtained p value is 0.0001 showed there are siginificants difference in urea before and after hemodialysis and there are the influence of hemodialysis to URR (p value: 0.0001). Keywords: hemodialysis, urea, URR
Hiperurisemia pada Pra Diabetes Ellyza Nasrul; Sofitri Sofitri
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v1i2.49

Abstract

AbstrakAsam urat (AU) merupakan produk akhir dari katabolisme adenin dan guanin yang berasal dari pemecahannukleotida purin. Urat dihasilkan oleh sel yang mengandung xanthine oxidase, terutama hepar dan usus kecil.Hiperurisemia adalah keadaan kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,0 mg/dL.Pra diabetes adalah subjek yangmempunyai kadar glukosa plasma meningkat akan tetapi peningkatannya masih belum mencapai nilai minimaluntuk kriteria diagnosis diabetes melitus (DM). Glukosa darah puasa terganggu merupakan keadaan dimanapeningkatan kadar FPG≥100 mg/dL dan <126 mg/dL. Toleransi glukosa terganggu merupakan peningkatanglukosa plasma 2 jam setelah pembebanan 75 gram glukosa oral (≥140 mg/dL dan <200mg/dL) dengan FPG<126 mg/dL.Insulin juga berperan dalam meningkatkan reabsorpsi asam urat di tubuli proksimal ginjal. Sehinggapada keadaan hiperinsulinemia pada pra diabetes terjadi peningkatan reabsorpsi yang akan menyebabkanhiperurisemia. Transporter urat yang berada di membran apikal tubuli renal dikenal sebagai URAT-1 berperandalam reabsorpsi urat.Kata kunci: Hiperurisemia, Pra DiabetesAbstractUric acid (AU) is the end product of the catabolism of adenine and guanine nucleotides derived from thebreakdown of purines. Veins produced by cells containing xanthine oxidase, especially the liver and small intestine.Hyperuricemia is a state in the blood uric acid levels over 7.0 mg / dL.Pre-diabetes is a subject which has a plasmaglucose level will rise but the increase is still not reached the minimum value for the diagnostic criteria for diabetesmellitus (DM). Impaired fasting blood glucose is a condition in which increased levels of FPG ≥ 100 mg / dL and<126 mg / dL. Impaired glucose tolerance is an increase in plasma glucose 2 hours after 75 gram oral glucose load(≥ 140 mg / dL and <200mg/dl) with FPG <126 mg / dL.Insulin also plays a role in increasing the reabsorption ofuric acid in renal proximal tubule. So that the hyperinsulinemia in the pre-diabetic condition increases thereabsorption of which will lead to hyperuricemia. Urate transporter in the apical membrane of renal tubule known asURAT-1 plays a role in urate reabsorption.Keywords: Hyperuricemia, Pre-diabetes
Efek Pengurangan Durasi Tidur terhadap Jumlah dan Hitung Jenis Leukosit pada Tikus Wistar Wahyu Tri Novriansyah; Ellyza Nasrul; Rosfita Rasyid
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v5i3.607

Abstract

AbstrakSleep Deprivation (SD) adalah hilangnya waktu tidur komplit  untuk periode tertentu ataupun durasi tidur yang lebih pendek dari waktu optimal yang dibutuhkan. Sleep deprivation mempengaruhi sistem kekebalan tubuh sebagaimana terganggunya irama sirkadian. Tujuan peneltian ini adalah menentukan efek dari sleep deprivation terhadap jumlah dan hitung jenis leukosit pada tikus wistar. Penelitian ini adalah studi eksperimental  terhadap 24 ekor tikus yang dibagi menjadi empat kelompok, terdiri dari kelompok kontrol (K0), kelompok perlakuan P1 (SD 48 jam), P2 (SD 72 jam) dan P3 (SD 96 jam).  Jumlah leukosit, eosinofil, neutrofil, limfosit dan monosit diperiksa dengan Blood Analyzer Impedant Pentra 60. Analisis data menggunakan one way Anova dengan signifikansi p<0,05. Hasil yang didapat ialah jumlah leukosit pada kelompok perlakuan P1, P2 dan P3 tidak menunjukkan perbedaan signifikan (12091±4712,3). Hitung eosinofil menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada kelompok P1 (0,93±0,7) dan P2 (1,75±1,5) dibandingkan K0 (0,13±0,08). Pada P3 (0,32±0,35) terlihat penurunan hitung eosinofil yang signifikan dibandingkan dengan kelompok P2. Hitung neutrofil menurun pada kelompok P3 (6,5±8,1) dibandingkan dengan kelompok K0 (10,9±3,7) dan P2 (13,5±4,2). Hitung limfosit menurun pada P2 (78,1 ±7,3) dibanding K0 (86,3±3,9), dan meningkat pada P3 (87,4 ±6,5) dibanding P2. Monosit pada kelompok perlakuan P1, P2 dan P3 tidak menunjukkan perbedaan signifikan (2,0 ±0,5).                            Kata kunci: sleep deprivation, leukosit, eosinofil, neutrofil, limfosit, monosit AbstractSleep Deprivation (SD) is a complete loss of sleep for a certain period or a shorter sleep duration than the optimal time required. Sleep deprivation affects the immune system as well as the disruption of circadian rhythms. The objective of this study was to determine the effect of sleep deprivation on total and differential counting of leukocytes. This was an experimental study on 24 rats which divided into four groups, consisting of the control group (K0), the treatment group P1 (SD 48 hours), P2 (SD 72 hours), and P3 (SD 96 hours). After treatment, total number leukocytes, eosinophils, neutrophils, lymphocytes and monocytes were calculated using a blood analyzer impedant pentra 60. Analysis of the data using a one way ANOVA with significance p <0.05. The number of leukocytes in the treated group P1, P2 and P3 showed no significant difference (12091 ± 4712.3). Eosinophil count results showed a significant increase in the P1 group (0.93 ± 0.7) and P2 (1.75 ± 1.5) compared to K0 (0.13 ± 0.08).  The P3 (0.32 ± 0.35) showed a significant reduction in eosinophil count compared with the P2 group. Neutrophil count decreased in the P3 group (6.5 ± 8.1) compared with the group K0 (10.9 ± 3.7) and P2 (13.5 ± 4.2). Lymphocyte count decreased in P2 (78.1 ± 7.3) compared to K0 (86.3 ± 3.9), and increases in P3 (87.4 ± 6.5) compared to P2. Monocytes in  P1, P2 and P3 showed no significant difference (2.0 ± 0.5).                             Keywords: sleep deprivation, leukocytes, eosinophil, neutrophil, limfosit, monocyte
Hubungan Derajat Merokok Berdasarkan Indeks Brinkman dengan Kadar Hemoglobin Rizky Amelia; Ellyza Nasrul; Masrul Basyar
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v5i3.587

Abstract

AbstrakSalah satu zat yang terdapat dalam asap rokok adalah karbon monoksida yang sangat mudah berikatan dengan hemoglobin, sehingga tubuh mengalami hipoksia dan berusaha meningkatkan kadar hemoglobin. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan hubungan derajat merokok berdasarkan Indeks Brinkman dengan kadar hemoglobin. Desain penelitian ini adalah cross-sectional study yang dilakukan terhadap pendonor darah di Palang Merah Indonesia cabang Padang. Jumlah subjek sebanyak 65 orang yang diambil secara accidental sampling dengan kriteria inklusi adalah perokok dan berjenis kelamin laki-laki. Data derajat merokok diperoleh melalui wawancara dan kadar hemoglobin diperiksa dengan menggunakan metode sianomethemoglobin. Hubungan antara derajat merokok dengan kadar hemoglobin digunakan uji statistik Anova, dengan nilai p<0,05. Hasil penelitian diperoleh rerata lama merokok responden 19,65 ± 10,95 tahun dan jumlah rokok yang dihisap perhari 19,28 ± 11,88 batang. Derajat perokok terbanyak adalah perokok ringan sebanyak 27 orang (41,5%). Rerata kadar hemoglobin responden adalah 15,47±1,41 gr/dl. Kesimpulan hasil studi ini ialah tidak didapatkan hubungan antara derajat merokok berdasarkan Indeks Brinkman dengan kadar hemoglobin.Kata kunci: derajat merokok, indeks Brinkman, kadar hemoglobin AbstractOne of the substances contained in cigarette smoke is carbon monoxide which is very easy to bind on hemoglobin, so the body gets hypoxia and strive to increase the levels hemoglobin. The objetive of this study was to determine the relationship between the degree of smoking based of Brinkman Index and hemoglobin levels.The design of this research was cross sectional study. Population were blood donors in Indonesian Red Cross Padang. The total samples of 65 people taken by accidental sampling with inclusion criteria was smoker and a male. The data degree of smoking got by interview and hemoglobin levels checked by using cyanmethemoglobin method. The relationship between the degree of smoking and hemoglobin levels used Anova statistical test, with p value <0.05.The result show that average smoking duration is 19.65 ± 10.95 years and the average of cigarrete that they smoke in a day was 19.28 ± 11.88 stems. Highest degree was mild smokers by 27 people (41.5%). The mean hemoglobin level was 15.47±1.41 gr/dl. The conclusion is no relationship between the degree of smoking by Brinkman Index and hemoglobin levels.Keywords:  degree of smoking, Brinkman index, hemoglobin levels
Pengaruh Kurang Tidur terhadap Berat Badan pada Tikus Wistar Jantan Deby Nelsya Eka Putri; Ellyza Nasrul; Machdawaty Masri
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v4i1.196

Abstract

AbstrakPengurangan durasi tidur menurunkan kadar leptin dan meningkatkan kadar ghrelin sehingga merangsang nafsu makan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya obesitas pada manusia. Pada tikus akan menyebabkan peningkatan asupan makanan tetapi terjadi penurunan berat badan yang disebabkan karena aktivitas yang tinggi pada tikus. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh kurang tidur 24 jam, 48 jam dan 72 jam terhadap berat badan pada tikus Wistar jantan. Jenis penelitian adalah true experimental research dengan rancangan randomized post control group terhadap 14 ekor tikus Wistar yang dibagi atas kelompok kontrol, kelompok perlakuan 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Tikus dikondisikan mengalami paradoxycal sleep deprivation dengan metode modified multiple platform. Asupan makanan diberikan ad libitum dan berat badan diukur setelah pengurangan durasi tidur selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.Analisis data menggunakan uji Saphiro-Wilk Test dan One-Way ANOVA. Rerata berat badan setelah pengurangan durasi tidur 24 jam adalah 193,6±17,9 gram; setelah 48 jam 179,6±17,3 gram; dan setelah 72 jam 176,7±15,9 gram dibandingkan dengan kontrol 219.6±11,3 gram. Pengurangan durasi tidur 48 jam dan 72 jam dibandingkan dengan kontrol bermakna (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan berat badan pada pengurangan durasi tidur selama 48 jam dan 72 jam.Kata kunci: kurang tidur, berat badan, tikus wistarAbstractSleep deprivation lowers level of leptin and increases level of ghrelin which stimulates appetite and increases the likelihood of obesity in humans. In mice will increases food intake, but decreases the body weight due to high activity in mice. The objective of this study was to examine the effect of sleep deprivation 24 hours, 48 hours and 72 hours on body weight in male Wistar rats. This type of research was a true experimental design research with post randomized control group on 14 Wistar rats were divided into control group, treatment group 24 hours, 48 hours, and 72 hours. Rats conditioned paradoxycal sleep deprivation experienced by the modified multiple platform method. Given ad libitum food intake and body weight were measured after sleep deprivation for 24 hours, 48 hours, and 72 hours. Analysis of the data using the Shapiro-Wilk Test and One-Way ANOVA. The mean of body weight after 24 hour sleep deprivation was 193.6±17.9 g, after 48 hours was 179.6±17.3 g, and after 72 hours was 176.7±15.9 g compared with control was 219.6±11.3 g. Sleep deprivation 48 hours and 72 hours compared with controls was significant (p<0.05). It can be concluded there was reduction of body weight on sleep deprivation for 48 hours and 72 hours.Keywords: sleep deprivation, weight, rats
Hubungan Hiperglikemia dengan Prothrombin Time pada Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Aloksan Muhammad Ibnu Malik; Ellyza Nasrul; Asterina Asterina
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v4i1.219

Abstract

AbstrakDiabetes mellitus mempunyai dua macam komplikasi yaitu komplikasi akut dan kronik. Komplikasi kronik DM (mikroangiopati dan makroangiopati) terjadi akibat disfungsi endotel yang disebabkan oleh berbagai proses pathogenesis yaitu hiperglikemia, stres oksidatif, peningkatan jumlah asam lemak bebas, Protein Kinase C β dan defek sekresi insulin. Kerusakan pembuluh darah (disfungsi endotel) tersebut dapat dideteksi melalui pemeriksaan activated partial prothrombin time (APTT) dan prothrombin time (PT) yang berperan dalam mekanisme homeostasis padatubuh.Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan hiperglikemia dengan prothrombin time pada mencit putih (Musmusculus) yang diinduksi aloksan. Desain penelitian ini adalah post test only control group design yang dilaksanakan dari Oktober 2013 hingga Februari 2014 di Laboratorium Sentral RS. Dr. M. Djamil Padang. Subjek penelitian adalah mencit putih (Musmusculus) yang telah memenuhi criteria inklusi dan eksklusi, kemudian dibagi menjadi kelompok hiperglikemia (diinjeksikan aloksan) dan kelompok kontrol. Setelah adaptasi selama tujuh hari, dilakukan injeksi aloksan serta pemeriksaan glukosa darah dan berat badan tiap empat hari sekali. Pada hari ke 30 dilakukan terminasi untuk mengukur PT mencit. Hasil menunjukkan terdapat pemendekan PT pada kedua kelompok penelitian dengan rerata PT kelompok control adalah 7,96 detik dan kelompok hiperglikemia adalah 8,12 detik. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan antara hiperglikemia dan prothrombin time (p > 0,05).Kata kunci: hiperglikemia, diabetes mellitus, prothrombin time, aloksan.AbstractDiabetes mellitus have two complication, they are acute and chronic complication. Chronic complication of DM (microangiopathy and macroangiopathy) accured because endotel dysfunction which caused by various pathogenesis, such as hyperglycemia, oxydative stress, upregulation of free fatty acid, Protein Kinase C β and insulin secretion defect. Endothelial disfungtion can be detected by activated partial thromboplastin time (APTT) and prothrombin time (PT). The objective of this studi was to determine the correlation between hyperglycemia and prothrombin time in mice (Mus musculus) induced with aloxan. The design of this research was a post test only control group design conducted in October 2013 until February 2014 in Central Laboratory RS Dr. M. Djamil Padang. The subject were white mice (Mus musculus) who have met the inclusion and exclusion criteria. The subject were divided as hyperglycemia group (induced with aloxan) and control group. After seven days of adaptation, the aloxan was injected and measurenment of blood glucose and body weight had been done, one time in every four days. Then in day 30th the termination of mice had been done to meassure the prothrombin time. The result showed the prothrombin time between group was shortened with the average prothrombin time of the control group was 7,96 second and the hiperglicemia group was 8,12 second. The result showing no correlation between hyperglycemia and prothrombin time with the degree of signification is (p) 0,7 (p > 0,05).Keywords: hyperglycemia, diabetes mellitus, prothrombin time,
Hubungan Nilai Hematokrit Terhadap Jumlah Trombosit pada Penderita Demam Berdarah Dengue Amrina Rasyada; Ellyza Nasrul; Zulkarnain Edward
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 3, No 3 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v3i3.115

Abstract

AbstrakDemam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.Pemeriksaan nilai hematokrit dan jumlah trombosit menjadi indikator diagnosis DBD. Nilai hematokrit akan meningkat (hemokonsentrasi) karena penurunan volume plasma darah, sedangkan jumlah trombosit akan menurun (trombositopenia) akibat supresi sum-sum tulang dan munculnya antibodi terhadap trombosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai hematokrit terhadap jumlah trombosit pada penderita demam berdarah dengue. Telah dilakukan penelitian retrospektif terhadap 112 pasien DBD di RSUP DR. M. Djamil Padang periode Juli 2012-Juni 2013. Data yang diambil dari Instalasi Rekam Medis adalah nilai hematokrit dan jumlah trombosit yang diperiksa dengan menggunakan alat otomatis Pentra-60. Data dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil dari penelitian ini didapatkan rata-rata jumlah trombosit saat masuk rumah sakit adalah 49.627±38.141 sel/mm3, sedangkan rata-rata nilai hematokrit saat masuk rumah sakit adalah 45,1±6,1%. Analisis data untuk mencari hubungan nilai hematokrit terhadap jumlah trombosit saat masuk rumah sakit, didapatkan nilai koefisien korelasi Spearman (r) sebesar -0,115 dan nilai signifikasi p>0,05. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah terdapat peningkatan nilai hematokrit dan penurunan jumlah trombosit.Kata kunci: demam berdarah dengue, nilai hematokrit, jumlah trombositAbstractDengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a major public health problem in Indonesia. Examination of hematocrit values and platelet counts as indicators of dengue diagnosis. Hematocrit value will increase (hemoconcentration) due to a decrease in volume of blood plasma, while the platelet count will decrease (thrombocytopenia) due to bone marrow suppression and the appearance of antibodies against platelets. The objective of this study was to determine the relationship of hematocrit value on platelet counts in patients with dengue hemorrhagic fever. A retrospective study of 112 patients of dengue in the RSUP Dr. M. Djamil Padang period July 2012-June 2013. Data was taken from the Installation of Medical Record is the value of hematocrit and platelet, then data were examined using automated tools Pentra-60. Then the data were analyzed using the Spearman correlation test. The results of this study found the average platelet count on admission was 49.627±38.141 cells/mm3, while the average hematocrit value on admission was 45,1±6,1%. Data analysis was then performed to find the relationship of hematocrit value of the platelet count on admission, obtained Spearman correlation coefficient (r) of -0,115 and a significance value of p>0,05. It can be concluded that there is an increase in hematocrit and decrease of platelet counts.Keywords: dengue hemorrhagic fever, hematocrit value, platelet counts