I Wayan Suryanto Dusak
Departemen Orthopaedi Dan Traumatologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Gambaran Karakteristik Fraktur Intertrokanter Femur di RSUP Sanglah Denpasar Periode 1 Januari 2019 - 31 Desember 2019 Made Priska Arya Agustini; I Ketut Suyasa; I Wayan Suryanto Dusak; Anak Agung Gde Yuda Asmara
E-Jurnal Medika Udayana Vol 10 No 9 (2021): Vol 10 No 09(2021): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2021.V10.i9.P17

Abstract

Fraktur intertrokanter merupakan fraktur yang terjadi di antara trokanter mayor dan trokanter minor. Diperkirakan angka kejadian fraktur intertrokanter meningkat setiap tahunnya. Namun, data mengenai fraktur intertokanter di Indonesia khususnya di Denpasar masih sulit ditemukan. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik fraktur intertrokanter femur di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dan teknik penentuan sampel adalah total sampling. Data yang didapat sesuai kriteria inklusi dan eksklusi adalah 60 data yang kemudian dianalisis dengan SPSS versi 25. Penelitian ini menujukkan 66,7% pasien adalah perempuan. Sebagian besar pasien berusia di atas 65 tahun (73,3%). Mekanisme trauma terbanyak adalah low energy trauma (86,7%). Jenis fraktur intertrokanter yang banyak ditemukan adalah Boyd dan Griffin (BG) Tipe II (61,7%). Semua pasien dilakukan pembedahan dengan jenis prosedur terbanyak adalah proximal femoral nail anti rotation atau PFNA (45%). Mayoritas pasien menunggu lebih dari dua hari untuk operasi (90%). Sebagian besar karakteristik pasien fraktur intertrokanter di RSUP Sanglah adalah perempuan, usia > 65 tahun, mekanisme penyebab cedera adalah low energy trauma, jenis fraktur BG Tipe II, pembedahan dilakukan dengan prosedur PFNA, dan waktu tunggu operasi > 2 hari.
GAMBARAN TATA LAKSANA TERAPI PASIEN OSTEOMIELITIS DI RSUP SANGLAH APRIL 2015 - OKTOBER 2016 : SEBUAH STUDI DESKRIPTIF Anak Agung Gde Bagus Adidharma; Anak Agung Gde Yuda Asmara; I Wayan Suryanto Dusak
E-Jurnal Medika Udayana Vol 9 No 5 (2020): Vol 9 No 05(2020): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2020.V09.i5.P15

Abstract

ABSTRAK Osteomielitis yakni suatu kondisi peradangan pada tulang yang melibatkan beberapa organisme. Organisme yang dapat terlibat adalah mikobakteri dan bakteri pyogenik. Osteomielitis merupakan suatu kasus gawat darurat bidang orthopaedi. Sehingga, penatalaksanaannya harus segera dilakukan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui penatalaksanaan pasien osteomielitis di RSUP Sanglah April 2015-Oktober 2016. Desain yang digunakan yakni deskriptif retrospektif. Populasi yang digunakan adalah semua pasien dengan osteomielitis di RSUP Sanglah, Denpasar April 2015-Oktober 2016 dengan menggunakan metode random sampling dan didapatkan 15 sampel. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medis. Hasil dari analisis rekam medis didapatkan sebagian besar kasus ditemukan pada laki-laki (66,7%), sedangkan lebih sedikit pada perempuan (33,3%). Jumlah terbanyak kelompok usia pada penelitian ini yakni kelompok usia <18 tahun dan 40-49 tahun (26,7%). Onset terbanyak yang ditemukan yakni osteomielitis kronis (53,3%) dengan sebaran organisme terbanyak yakni Staphylococcus aureus (50%) dan 4 pasien osteomielitis (26,7%) memiliki riwayat pasca operatif dengan lokasi terbanyak yang terpapar yaitu pada cruris (26,7%) sedangkan tata laksana yang umum dilakukan yakni adanya kombinasi antara antibiotik, antipiretik serta tindakan operatif (66,7%). Diperlukan pemahaman yang baik terkait apa itu osteomielitis, faktor risiko serta gejala yang dapat terjadi bagi masyarakat umum. Disamping hal tersebut perlu disertakan edukasi mengenai apa saja bahaya yang dapat timbul dari penyakit osteomielitis. Serta secara digital diperlukan pembuatan arsip yang lengkap, sehingga diharapkan pencarian data rekam medis menjadi lebih mudah dan mengurangi insiden kehilangan. Kata Kunci: Osteomielitis, Tata Laksana, Operatif dan Non-Operatif.
EVALUASI STATUS STRUKTURAL, STATUS FUNGSIONAL, DAN KOMPLIKASI PASCA INTERVENSI FRAKTUR ANKLE BIMALLEOLAR: A SYSTEMATIC REVIEW Made Ratna Savitri Indraswari; I Wayan Subawa; I Gusti Lanang Ngurah Agung Artha Wiguna; I Wayan Suryanto Dusak
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 4 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i4.P05

Abstract

Fraktur ankle bimalleolar merupakan jenis fraktur yang menyebabkan ketidakstabilan pada struktur anatomis sendi ankleatau sendi talokrural. Fraktur ini berpotensi menimbulkan gejala sisa pada pasien sehingga diperlukan manajemen intervensi adekuat untuk mengembalikan kondisi struktur maupun fungsi optimal. Systematic review ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi status struktural, status fungsional, dan komplikasi pasca intervensi fraktur ankle bimalleolar. Protokol PRISMA digunakan untuk menentukan langkah sistematis dan kriteria eligibility (kelayakan) sebagai pedoman menyeleksi artikelpenelitian. Rentangan tahun publikasi artikel penelitian adalah 2015-2020. Penilaian kualitas dan risiko bias dilakukan dengan kriteria OCEBM dan Cochrane. Sejumlah 7 artikel penelitian dari 249 artikel yang berpotensi diinklusi. Total subjek 496 (14-91 tahun) melaporkan hasil evaluasi intervensi operatif dan 1 studi melakukan perbandingan konservatif. Sebanyak 99,6% (n=494) subjek mencapai union, sedangkan non-union ditemukan pada 2 subjek dengan tindakan konservatif. Instabilitas struktural ditemukan pada 6 subjek dengan medial clear space > 4mm. Status fungsional dengan AOFAS, OMA, dan Biard and Jackson didapatkan 98,9% pada rentang sedang-baik, 5 subjek melaporkan skor buruk, dan tidak ada subjek melaporkan restriksi fungsional. Untuk komplikasi, kondisi yang ditemukan paling umum yaitu nyeri sedang 43,1%, osteoarhtitis ankle grade 1, serta infeksi superfisial dan dalam yang sembuh dengan intervensi antibiotik. Capaian status struktural union sangat tinggi (99,6%), namun 2 subjek mengalami non-union pada kelompok intervensi konservatif. Status fungsional pasien tercapai pada kategori sedang-sangat baik (98,9%) dan tanpa adanya restriksi fungsional meskipun terdapat 5 subjek dengan skor buruk. Komplikasi yang muncul pada pasien umumnya adalah nyeri sedang (43,1%), osteoarthritis ankle grade 1, serta infeksi superfisial dan dalam. Kata kunci : evaluasi pasca intervensi, fraktur ankle bimalleolar
Flushing intramedular dengan epinefrin pada prosedur Cemented Hip Arthroplasty menstabilkan mean arterial pressure tanpa mempengaruhi profil lipid Aakash Aakash; Ketut Siki Kawiyana; I Wayan Suryanto Dusak; Ketut Gede Mulyadi Ridia; I Ketut Suyasa; I Gusti Ngurah Wien Aryana; I Gede Eka Wiratnaya; Anak Agung Wiradewi Lestari
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 1 (2020): (Available online: 1 April 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.644 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i1.554

Abstract

Background: Cemented Hip Arthroplasty is the first choice of surgical treatment in fractures of neck femur and advanced hip osteoarthritis. Nevertheless, the complication, Bone Cement Implantation Syndrome can produce intra/postoperative mortality. The systemic effects of bone cement uses is hemodynamic disturbance and pulmonary embolism. These complications are thought due to the entry of semen particles into the systemic circulation caused by increased intramedullary pressure and local vasodilation. Intramedullary flushing with epinephrine after cement implantation is one of the interventions that is expected to reduce this impact. This study aims to determine the difference in hemodynamic effects and lipid profile in patients undergone flushing with epinephrine versus NaCl 0.9%.Methods: A cross-sectional study involving 30 patients who underwent Cemented Hip Arthroplasty, randomly divided into 2 groups. Surgical procedures differ only in the components used for intramedullary flushing, namely NaCl 0.9% (control) and epinephrine 1: 50000 (intervention). Vital signs are observed and recorded at minute 2,4,6,8, and 10 after cementation. Serial data were analyzed with repeated measures ANOVA. Lipid profile examination was performed before and 12 hours postoperatively and the results were analyzed with Wilcoxon-test.Results: The study observed a decreased of mean arterial pressure (MAP) in the control group after two minutes of cementation, and reached its lowest point in the sixth minute (p <0.05). In the intervention group, the decrease occurred in second to sixth minutes, but the decrease was more stable and there was no significant difference between time-point (p> 0.05). There were no significant differences of triglyceride and cholesterol level before and 12 hours after the procedure (p> 0.05).Conclusion: Intramedullary flushing with epinephrine after semen implantation in the Cemented Hip Arthroplasty procedure results in a minimal reduction of MAP compared to flushing without epinephrine. However, there were no difference in preoperative and postoperative cholesterol and triglyceride levels.Latar Belakang: Cemented Hip Arthroplasty menjadi pilihan utama terapi pembedahan pada fraktur collum femoris (Neck of Femur) serta osteoarthritis sendi panggul stadium lanjut. Meskipun demikian, komplikasi Bone cement implantation syndrome dapat menghasilkan morbiditas dan mortalitas intra/pasca operasi. Efek sistemik dari penggunaan semen tulang adalah gangguan hemodinamik dan emboli paru yang diduga akibat masuknya dari partikel semen ke sirkulasi sistemik akibat peningkatan tekanan intrameduler dan vasodilatasi lokal. Flushing intramedula dengan epinefrin paska implantasi semen merupakan salah satu intervensi yang diharapkan mengurangi dampak tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan dampak hemodinamik dan profil lipid pada pasien dengan flushing epinefrine dan NaCl 0,9%.Metode: Penelitian potong lintang dengan melibatkan 30 pasien yang menjalani cemented arthroplasty, dibagi rata menjadi 2 kelompok secara acak. Prosedur pembedahan hanya berbeda pada komponen yang digunakan untuk flushing intramedula, yakni NaCl 0,9% (kontrol) dan epinefirn 1:50.000 (intervensi). Tanda vital diamati dan dicatat pada menit ke-2,4,6,8, dan 10 setelah sementasi. Data serial dianalisis dengan repeated measure Anova. Pemeriksaan profil lipid dilakukan sebelum dan 12 jam pasca operasi dan hasil dianalisis dengan Wilcoxon-test. Hasil: Penurunan mean arterial pressure (MAP) pada kelompok kontrol sejak menit ke 2 setelah sementasi, dan mencapai titik terendah pada menit ke 6 (p<0,05). Pada kelompok intervensi didapatkan penurunan terjadi pada menit ke 2 hingga ke 6, tetapi penurunan lebih stabil dan tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0.05). Pada profil lipid (trigliserida dan kolesterol), tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kadar sebelum operasi dan 12 jam setelah tindakan operatif (p>0,05).Kesimpulan: Flushing epinefrin paska implantasi semen pada prosedur Cemented Hip Arthroplasty menghasilkan penurunan MAP yang minimal dibandingkan flushing tanpa epinefrin. Akan tetapi, flushing epinefrin tidak memberikan perbedaan pada kadar kolesterol dan trigliserida paska operasi.
Hubungan dan titik potong skor Caprini terhadap D-dimer sebagai parameter resiko trombosis vena dalam pada pasien paska fiksasi internal fraktur tulang panjang ekstremitas bawah Made Wirabhawa; Ketut Siki Kawiyana; I Ketut Suyasa; Putu Astawa; Ketut Gede Mulyadi Ridia; I Wayan Suryanto Dusak; I Gede Eka Wiratnaya; Anak Agung Wiradewi Lestari
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 1 (2020): (Available online: 1 April 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (265.291 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i1.555

Abstract

Background: Fractures contribute to a substantial proportion of the emergency department cases. Surgical procedures such as internal fixation of lower limb fractures posed a risk to develop deep vein thrombosis (DVT). The current diagnosis of DVT is still a challenge, as the current main parameter, the D-dimer, requires additional laboratory time and cost. Threrefore, an easier and faster alternative should be used in clinical decision making. Caprini score is among a simple method to assess the risk of a DVT, but validation is still needed before it can be implemented.Methods: This is an cross-sectional analytic study aimed to determine the relationship between Caprini scores and D-dimer level in patients with post-internal fixation of long bone fractures in lower extrimities at Sanglah Hospital Denpasar. Caprini scores were determined before surgery then D-dimer measurements were taken postoperatively. Statistical analysis was performed using the Pearson correlation method and ROC curve were generated to determine the cut-off point of Caprini Score equivalent of high risk DVT with the D-dimer as the predictor.Result: The average Caprini score was 9.37 (7-13). Mean preoperative D-dimer was 6.59 µg/ml (2.50-13.20 µg/ml), postoperatively 11.50 µg / ml (3.71-19.89 µg/ml) and mean delta D -Dimer 5.23 µg/ml (0.56-12.28 µg/ml). Pearson correlation test obtained a strong positive relationship (r = 0.726 and p≤0,0001). Analysis of the ROC curve to determine the cut-off point for Caprini score which equivalent to the high risk of DVT from D-dimer prediction (> 7.2 µg / ml) resulted in AUC of 0.824 (95% CI 0.669-0.979, p= 0.024) with the optimal cut-off point for Caprini score was 8.Conclusion: Caprini and D-dimer scores show a strong positive correlation.  Caprini scores can be considered to estimate the risk of DVT in post-internal fixation patients of lower extremities long bone fractures. Latar Belakang. Kejadian fraktur memiliki proporsi yang substansial dari total pasien yang datang ke unit gawat darurat rumah sakit. Prosedur operasi seperti pemasangan fiksasi internal pada fraktur ekstremitas bawah memiliki resiko untuk terjadinya trombosis vena dalam (DVT). Penegakan diagnosis DVT saat ini masih merupakan suatu tantangan salah satunya karena pemeriksaan laboratorium D-dimer membutuhkan waktu dan biaya tambahan, sehingga dibutuhkan alternatif yang lebih mudah dan cepat digunakan dalam pengambilan keputusan klinis. Skor Caprini merupakan salah satu cara untuk menilai resiko terjadinya suatu DVT, akan tetapi masih diperlukan validasi sebelum dapat diimplementasikan. Metode: Penelitian cross-sectional analitik dilakukan untuk mengetahui hubungan Skor Caprini dengan kadar D-dimer pada pasien paska operasi fiksasi internal fraktur tulang panjang ekstremitas bawah di RSUP Sanglah Denpasar. Skor Caprini ditentuakan sebelum operasi kemudian pengukuran D-dimer dilakukan paska operasi. Analisis statistik dilakukan dengan metode korelasi Pearson dan penentan titik potong risiko DVT dengan prediktor D-dimer menggunakan metode kurva ROC.Hasil: Rerata Skor Caprini adalah 9,37 dengan rentang skor 7-13. Rerata D-dimer sebelum operasi sebesar 6,59 µg/ml (2,50-13,20 µg/ml), paska operasi 11,50 µg/ml (3,71-19,89 µg/ml) dan rerata delta D-Dimer 5,23µg/ml (0,56-12,28 µg/ml). Uji korelasi Pearson diperoleh hubungan positif kuat antara Skor Caprini dengan kadar D-dimer (nilai r=0,726 dan nilai p≤0,0001). Analisis kurva ROC untuk menentukan itik potong  Skor Caprini yang setara dengan resiko tinggi terjadinya DVT dari prediksi D-dimer (>7,2 µg/ml) memperoleh Area Under Curve 0,824 (95% CI 0,669-0,979, p = 0,024) dengan titik potong optimal skor Caprini 8.Kesimpulan: Skor Caprini dan D-dimer menunjukkan korelasi positif yang kuat pada pasien paska fiksasi internal fraktur tulang panjang ekstremitas bawah. Skor Caprini dapat dipertimbangkan sebagai acuan dalam menentukan resiko terjadinya  DVT.
Hemiartroplasti Bipolar menghasilkan luaran C-Reactive Protein dan Harris Hip Score yang lebih tinggi dibandingkan Cephalomedulary Nailing Komang Septian Sandiwidayat; Putu Astawa; Ketut Gede Mulyadi Ridia; Ketut Siki Kawiyana; I Wayan Suryanto Dusak; I Ketut Suyasa; I Gede Eka Wiratnaya; Anak Agung Wiradewi Lestari
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 1 (2020): (Available online: 1 April 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.283 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i1.556

Abstract

Background: Bipolar Hemiarthroplasty and Cephalomedullary Nailing (PFNA) are operative procedures for the management of proximal femoral fractures. Both of these surgical techniques have their respective advantages and disadvantages. This study aims to determine the differences in biological and functional outcomes. C-Reactive Protein (CRP) used to measure inflammation due to tissue damage and Harris Hip Score (HHS) used to measure functional output. This study hoped to facilitate the selection of appropriate techniques for the treatment of proximal femoral fractures.Methods: Prospective cohort study conducted among patient with proximal femoral fractures who underwent Bipolar Hemiarthroplasty and PFNA surgery. CRP levels were examined before surgery and 12 hours postoperatively. The HHS assessment was performed at weeks 4, 6, and 8 postoperatively.Results: In general, the preoperative CRP levels of the groups undergoing Bipolar Hemiarthroplasty and PFNA were not significantly different (32.4±16.7 and 33.7±17.1; p> 0.05), whereas postoperatively, Bipolar Hemiarthroplasty shown significantly higher CRP (76.5±27.3 and 42.6±17.6; p <0.0001). Similar results were also shown from the ∆CRP analysis (45.1±22.1 and 8.9±3.2; p<0.0001). The mean HHS score was higher in the Bipolar Hemiarthroplasty group than in PFNA group at each measurement. At the 4th week, the mean HHS score did not show a significant difference (52.3±4.2 vs 52.2±5.4; p>0.05). The 6th week evaluation showed Bipolar Hemiarthroplasty had a mean HHS of 76.5±4.6 while PFNA 61.4±5.4 (p <0.0001). At week 8, HHS in Bipolar Hemiarthroplasty was consistently higher than PFNA (89.43±4.5 and 74.95±4.9; p <0.0001). The Bipolar Hemiarthroplasty group was hospitalized 56% longer (6.1±1.3 and 3.9±1.3 days; p<0.0001) and the Bipolar Hemiarthroplasty had an average bleeding volume of 4.5 times more (407.4±122.8 and 90±13 ml; p <0.0001).Conclusion: Bipolar Hemiarthroplasty and PFNA procedures have significantly different functional and biological outcomes. The postoperative HHS score in Bipolar Hemiarthroplasty is better but with a higher delta CRP. Latar Belakang: Hemiarthroplasti bipolar dan Cephalomedullary Nailing (PFNA) merupakan prosedur operatif penatalaksanaan fraktur proksimal femur. Kedua prosedur tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda utamanya pada upaya preservasi bagian proksimal femur. Kedua teknik bedah ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan luaran biologis dan fungsional kedua teknik tersebut. C-Reactive Protein (CRP) digunakan sebagai parameter terkait inflamasi akibat kerusakan jaringan dan Harris Hip Score (HHS) digunakan mengukur luaran fungsional. Studi ini diharapkan dapat mempermudah pemilihan teknik yang tepat untuk penanganan fraktur proksimal femur.Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif pada pasien dengan fraktur proksimal femur yang menjalani operasi Hemiartroplasti Bipolar dan PFNA. Kadar CRP diperiksa sebelum operasi dan 12 jam paska operasi. Penilaian HHS dilakukan pada minggu ke-4, 6, dan 8 paska operasi.Hasil: Secara umum kadar CRP preoperasi kelompok yang menjalani Hemiarthroplasti Bipolar dan PFNA tidak berbeda signifikan (32,4±16,7 dan 33,7±17,1; p>0,05), sedangkan pada paska operasi kadar CRP Hemiarthroplasti Bipolar secara signifikan lebih tinggi (76,5±27,3 dan 42,6±17,6; p<0,0001). Hasil yang sama juga ditunjukan dari analisis ∆CRP (45,1±22,1 dan 8,9±3,2; p < 0,0001). Rerata skor HHS lebih tinggi pada kelompok Hemiarthroplasti Bipolar daripada PFNA pada setiap kali pengukuran. Pada minggu ke-4 nilai rerata HHS tidak menunjukan perbedaan yang signifikan (52,3±4,2 vs 52,2±5,4, p>0,05). Evaluasi minggu ke-6 menunjukan Hemiarthroplasti Bipolar memiliki rerata HHS 76,5±4,6 sementara PFNA 61,4±5,4 (p<0,0001). Pada minggu ke-8, HHS pada Hemiarthroplasti Bipolar konsisten lebih tinggi daripada PFNA (89,43±4,5 dan 74,95±4,9; p<0,0001). Kelompok Hemiarthroplasti Bipolar menjalani rawat inap 56% lebih lama (6,1±1,3 dan 3,9±1,3 hari; p < 0,0001) serta Hemiarthroplasti Bipolar memiliki rerata volume perdarahan 4,5 kali lebih banyak (407,4±122,8 dan 90±13 ml; p < 0,0001).Kesimpulan: Prosedur Hemiarthroplasti Bipolar dan PFNA memiliki luaran fungsional dan biologis yang berbeda secara signifikan. Skor HHS pada Hemiarthroplasti Bipolar lebih baik tetapi selisih CRP yang lebih tinggi.
Skor Patient Rated Wrist Examination (PRWE) dan Radius Union Scoring System (RUSS) lebih baik dengan pemberian Platelet Rich Plasma pada kasus fraktur distal radius dengan terapi konservatif I Gusti Ngurah Pramartha Wijaya Putra; I Ketut Siki Kawiyana; I Wayan Suryanto Dusak; Putu Astawa; I Ketut Suyasa; Ketut Gede Mulyadi Ridia; I Gede Eka Wiratnaya
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 3 (2020): (Available online: 1 December 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (272.553 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i3.776

Abstract

Introduction: Platelet Rich Plasma (PRP) is one of the supporting therapies that can increase the rate of tissue regeneration. In orthopedics, PRP is generally considered a therapy to accelerate bone regeneration, especially when combined with bone allografts. This study was conducted to determine whether the administration of platelet rich plasma (PRP) in conservative therapy of distal radius fractures resulted in a functional outcome (Patient Related Wrist Examination / PRWE score) and increased callus formation (Radius Union Scoring System / RUSS score) was better when compared to conservative therapy without PRP administration.Methods: A total of 22 patients with distal radius fracture were divided into two groups, the intervention group who underwent closed reduction, immobilization with short arm cast and PRP injection at the fracture site, and the control group who received a placebo injection of 0.9% NaCl. After 8 weeks, the evaluation was carried out with the PRWE form and radiologic examination to assess RUSS. The research data were then analyzed to determine the difference in mean scores between groups.Results: The mean PRWE score was lower in the conservative + PRP treatment group (73.18 ± 5.96) than in the control group (79.55 ± 3.30), p value = 0.007. In addition, the mean RUSS score was higher in the conservative + PRP treatment group (5.27 ± 1.10) than in the control group (4.00 ± 1.18),  p value = 0.017.Conclusion: Administration of PRP in conservative therapy of distal radius fractures resulted in a lower PRWE score and a higher RUSS score at 8 weeks. It can be used as a basis for administering PRP in adjunct therapy to conservative therapy of distal radius fractures. Pendahuluan: Platelet Rich Plasma (PRP) merupakan salah satu terapi penunjang yang dapat meningkatkan kecepatan regenerasi jaringan. Dalam bidang orthopaedi, PRP umumnya dianggap sebagai terapi untuk mempercepat regenerasi tulang, terutama ketika dikombinasikan dengan allografts tulang. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan apakah pemberian platelet rich plasma (PRP) pada terapi konservatif fraktur distal radius menghasilkan luaran fungsional (skor Patient Related Wrist Examination / PRWE) dan peningkatan pembentukan kalus (skor Radius Union Scoring System / RUSS) yang lebih baik apabila dibandingkan dengan terapi konservaif tanpa pemberian PRP.Metode:  Sebanyak total 22 pasien dengan fraktur distal radius dibagi ke dalam dua kelompok, yakni kelompok intervensi yang menjalani reduksi tertutup, imobilisasi dengan short arm cast dan injeksi PRP di lokasi fraktur, serta kelompok kontrol yang mendapat injeksi plasebo berupa NaCl 0,9%. Setelah 8 minggu, evaluasi dilakukan dengan formulir PRWE dan pemeriksaan radiologik untuk menilai RUSS. Data penelitian kemudian dianalisis untuk mengetahui perbedaan rerata skor antar kelompok.Hasil: Didapatkan rerata skor PRWE yang lebih rendah pada kelompok perlakuan konservatif + PRP (73,18 ± 5,96) dibanding pada kelompok kontrol (79,55 ± 3,30) dengan nilai p < 0,05. Selain itu, didapatkan pula rerata skor RUSS yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan konservatif + PRP (5,27 ± 1,10) dibanding pada kelompok kontrol (4,00 ± 1,18) dengan nilai p < 0,05.Simpulan: Pemberian PRP pada terapi konservatif fraktur distal radius menghasilkan skor PRWE yang lebih rendah dan skor RUSS yang lebih tinggi dalam waktu 8 minggu. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar pemberian PRP dalam terapi tambahan pada terapi konservatif fraktur distal radius. 
Faktor risiko untuk fungsi hip yang buruk pada pasien dengan patah tulang kolum femur pasca hemiarthroplasti bipolar tiga bulan pasca operasi Soehartono Hadi Pranata; Putu Astawa; I Wayan Suryanto Dusak
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 3 (2020): (Available online: 1 December 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.172 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i3.777

Abstract

Introduction. As one of the frequent problems globally, fractures of the column femur may cause morbidity and mortality if not well-treated. The most common treatment for hip fracture is bipolar hemiarthroplasty. Hemiarthroplasty generally has good results, but with increasing patient age, implant function deteriorates. Through this research, the authors were interested in investigating the factors that may contribute to the functional outcome of bipolar hemiarthroplasty procedure, including Leg Length Discrepancy (LLD), osteoporosis, the diameter of the femoral head, stem malposition, and implant loosening.Methods. This is a case-control study. The case group was patients with Harris Hip Score (HHS) < 70 (poor hip function), while the control group was patients with HHS > 70. X-ray examination was performed to evaluate for the LLD, stem malposition, osteoporosis, femoral head diameter, and implant loosening three months after surgery. The result was tabulated in 2x2 tables, then descriptive and inferential analysis was conducted.Results. Chi-square tests for LLD, osteoporosis and femoral head diameter yielded p = 0.012, p = 0.026, and p = 0.002 respectively, showing significant differences in HHS at three months after bipolar hemiarthroplasty surgery (p <0.05). While the chi-square test for implant loosening and stem malposition resulted in p = 0.469 and p = 0.115, neither of these showed significant differences between groups (p> 0.05).Conclusion. Differences in leg length (LLD), osteoporosis, and diameter of the femoral head were risk factors for the poor functional outcome (HHS <70) at three months after surgery in patients who underwent bipolar hemiarthroplasty due to fracture of the femoral column. Meanwhile, the stem malposition and loosening of the implant have not been shown any association with HHS <70. Pendahuluan. Sebagai salah satu masalah yang sering terjadi secara global, patah tulang kolum femur dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas jika tidak diobati dengan baik. Pengobatan yang paling umum untuk patah tulang panggul adalah hemiarthroplasti bipolar (bipolar hemiarthroplasty). Hemiarthroplasti umumnya memiliki hasil yang baik, tetapi dengan bertambahnya usia pasien, fungsi implan memburuk. Melalui penelitian ini, penulis tertarik untuk menyelidiki berbagai faktor yang dapat berkontribusi terhadap hasil fungsional setelah prosedur hemiarthroplasti bipolar, termasuk perbedaan panjang tungkai (leg length discrepancy / LLD), osteoporosis, besar diameter kepala femur, malposisi stem, dan pelonggaran implan.Metode. Studi menggunakan desain kasus-kontrol. Kelompok kasus adalah pasien dengan Harris Hip Score (HHS) < 70 (luaran fungsional buruk), sedangkan kelompok kontrol adalah pasien dengan HHS > 70. Pemeriksaan foto polos dilakukan untuk melihat LLD, malposisi stem, osteoporosis, diameter kepala femur, dan pelonggaran implan. Data disusun dalam bentuk tabulasi silang kemudian analisis deskriptif dan inferensial.Hasil. Uji chi-square untuk LLD, osteoporosis dan diameter kepala femur menghasilkan nilai p = 0,012, p = 0,026, dan p = 0,002 berturut-turut, menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam hal HHS pada tiga bulan pasca operasi pada pasien dengan fraktur kolum femur setelah hemiarthroplasti bipolar (p < 0,05). Sementara uji chi-square untuk pelonggaran dari implan dan malposisi stem menghasilkan nilai p = 0,469 dan p = 0,115, keduanya tidak menunjukan perbedaan bermakna antar kelompok (p > 0,05).Simpulan. Perbedaan panjang tungkai (LLD), osteoporosis, dan besar diameter kepala dari tulang femur merupakan faktor risiko untuk luaran fungsional yang buruk (HHS < 70) setelah hemiarthroplasti bipolar setidaknya tiga bulan setelah pembedahan pada pasien dengan fraktur kolum dari tulang femur. Faktor malposisi stem dan pelonggaran dari implant belum terbukti menjadi faktor risiko.
Maltracking Patella, Pseudo Patella Baja, dan Patellar Tilt sebagai faktor risiko terjadinya nyeri patellofemoral pasca total knee arthroplasty tanpa mengganti komponen patella di RSUP Sanglah, Bali, Indonesia Gusti Ngurah Putra Stanu; Putu Astawa; I Wayan Suryanto Dusak; Elysanti Dwi Martadiani; I Gede Eka Wiratnaya; I Gusti Ngurah Wien Aryana
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 3 (2020): (Available online: 1 December 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.743 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i3.782

Abstract

Background: Total Knee Artrhoplasty (TKA) is the final therapeutic choice for osteoarthritis (OA) if conservative therapy fails. However, some studies show that about 50% of patients undergoing TKA complain on anterior knee pain postoperatively. One of the most common causes of knee pain comes from the patellofemoral components. Some interesting potential risk factors needing investigations include patellar maltracking, pseudo patella baja, and patellar tilt. By knowing the relationship between these potential risk factors and patellofemoral pain after TKA, it is hoped that further modifications can be made intraoperatively to maximalize the functional outcomes of these patients.Methods: This is a Case Control study to investigate the factors affecting patellofemoral pain after TKA without patellar resurfacing, including patellar maltracking, pseudopatella baja, and patellar tilt, compared to those who don’t experience patellofemoral pain. The study was conducted at Sanglah Hospital, Denpasar, Bali in September-December 2019. Clinical and radiographic data were obtained secondarily from patient medical records.Results: Chi Square Test for Maltracking patella test showed a value of P = 0,000 (P <0.05), indicating a significant difference between the group with patellofemoral pain and those without. Chi Square Test for Pseudopatella Baja showed a value of P = 1,000 (P> 0.05), indicating no significant difference. While the Chi Square Test for Patellar Tilt showed a value of P = 0.045 (P <0.05), indicating a significant difference.Conclusion: Patellar maltracking and patellar tilt are proven to be risk factors for higher NRS values compared to those without, in post-TKA patients patellar resurfacing. Whereas Pseudopatella Baja was not proven to be a risk factor for higher NRS values. Latar Belakang: Total Knee Artrhoplasty (TKA) merupakan pilihan terapi tahap akhir dari osteoartritis (OA) lutut bila manajemen konservatif gagal. Walaupun demikian, beberapa studi menunjukan bahwa pasca operasi TKA, sekitar 50% pasien justru mengeluhkan nyeri pada bagian depan lutut. Salah satu penyebab tersering nyeri lutut pada pasien-pasien OA pasca TKA berasal dari komponen patellofemoral. Beberapa faktor risiko yang menarik untuk diteliti sebagai peyebab nyeri patellofemoral pasca TKA antara lain maltracking patella, pseudo patella baja, dan patellar tilt. Dengan mengetahui keterkaitan antara faktor-faktor risiko potensial tersebut dengan nyeri patellofemoral pasca TKA, diharapkan lebih lanjut dapat dilakukan modifikasi saat operasi guna mengurangi insiden nyeri patellofemoral pada pasien-pasien pasca TKA, sehingga dapat meningkatkan keluaran fungsional pasien-pasien tersebut.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian Case Control untuk mengetahui faktor risiko terjadinya nyeri patellofemoral pasca TKA tanpa mengganti komponen patella pasien-pasien dengan OA lutut, terkait dengan yang memiliki faktor maltracking patella, pseudopatella baja, dan patellar tilt, dibandingkan dengan yang tidak memiliki faktor tersebut. Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah, Denpasar, Bali selama bulan September-Desember 2019. Data klinis dan radiografis didapat dari data sekunder dari rekam medis penderita.Hasil: Uji Chi Square Maltracking patella menunjukkan nilai P = 0,000 ( P < 0,05), menandakan perbedaan yang signifikan antara kelompok yang nyeri dan tidak nyeri. Uji Chi Square Pseudopatella Baja menunjukkan nilai P = 1,000 ( P > 0,05), menandakan tidak adanya perbedaan yang signifikan. Sedangkan Uji Chi-square Patellar Tilt menunjukkan nilai P = 0,045 ( P < 0,05), menandakan perbedaan yang signifikan.Simpulan: Maltracking patella dan patellar tilt merupakan faktor risiko terhadap nilai NRS yang lebih tinggi dibandingkan tanpa maltracking patella pada pasien-pasien pasca-TKA tanpa mengganti komponen patella. Sedangkan Pseudopatella Baja tidak terbukti sebagai faktor risiko terhadap nilai NRS yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pseudopatella Baja pada pasien-pasien pasca-TKA tanpa mengganti komponen patella.
Konfigurasi fraktur Schatzker VI dan malalignment merupakan faktor risiko terjadinya joint narrowing pada fraktur tibia plateau di RSUP Sanglah, Bali, Indonesia Herryanto Agustriadi Simanjuntak; Ketut Siki Kawiyana; I Ketut Suyasa; Putu Astawa; Ketut Gede Mulyadi Ridia; I Wayan Suryanto Dusak; I Gede Eka Wiratnaya; I Wayan Subawa
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 3 (2020): (Available online: 1 December 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (322.672 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i3.783

Abstract

Background: Tibia plateau fracture is a fracture that involves the joint surface and dramatically contributes to the early development of knee osteoarthritis, which can lead to disability. The joint narrowing is one of the most initial signs of knee osteoarthritis. Until now, the mechanism of joint narrowing is not known with certainty but is thought to be related to the configuration of the patient's fracture, malalignment, and BMI. This study aims to determine and analyze the effect of Schatzker VI fracture configuration, malalignment, and BMI > 25 kg/m2 on joint narrowing in post-operative tibia plateau fracture patients.Methods: This research is an observational study with a case-control design. Thirty-eight patients with tibia plateau fractures who had surgery with acceptable reduction were followed-up within 12-15 months post-operatively. The control group consisted of patients who did not experience joint narrowing post-operatively, while the case group are patients with joint narrowing. Schatzker classification, malalignment, and BMI were compared and statistically analyzed for significance. Data were analyzed using SPSS version 21 for Windows.Results: Sixteen patients (84,0%) had Schatzker VI with a risk of 11.56 times to experience joint narrowing (p=0.003). Malalignment were 18 samples (47,0%), with a risk of 11,56 times becoming joint narrowing (p=0.003); and 8 samples with BMI > 25 kg/m2 had a risk of 0.802 times to develop joint narrowing (p=1.000).Conclusion: Schatzker VI configuration and malalignment are risk factors for joint narrowing in patients following tibial plateau surgery, while a BMI is not a risk factor for joint narrowing. Latar Belakang: Fraktur tibia plateau merupakan fraktur yang melibatkan permukaan sendi dan sangat berkontribusi terhadap perkembangan dini osteoartritis lutut yang dapat berujung pada timbulnya disabilitas. Joint narrowing merupakan salah satu tanda awal terjadinya osteoartritis lutut. Sampai saat ini mekanisme terjadinya joint narrowing belum diketahui secara pasti namun diduga terkait dengan konfigurasi fraktur, malalignment, dan BMI pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konfigurasi fraktur Schatzker VI, malalignment, dan BMI > 25 kg/m2 terhadap terjadinya joint narrowing pada pasien pasca operasi fraktur tibia plateau.Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain case control. Tiga puluh delapan pasien yang menjalani operasi fraktur tibia plateau diamati dalam 12-15 bulan pasca operasi. Kelompok kontrol terdiri dari pasien yang tidak mengalami joint narrowing pasca operasi sedangkan kelompok kasus terdiri dari pasien yang mengalami joint narrowing. Klasifikasi Schatzker, malalignment, dan BMI dibandingkan dan dianalisis secara statistik untuk signifikansi.Hasil: Enam belas pasien (84,0%) memiliki konfigurasi fraktur Schatzker VI berisiko 11,56 kali mengalami joint narrowing (p=0,003); malalignment dengan 18 sampel (47%), berisiko 11,56 kali menjadi joint narrowing (p=0,003); dan sampel dengan BMI> 25 kg/m2 adalah 8 sampel dan berisiko 0,802 kali untuk mengalami joint narrowing (p=1.000). Simpulan: Konfigurasi Schatzker VI fraktur tibia plateau dan malalignment adalah faktor risiko untuk terjadinya joint narrowing pada pasien yang pasca operasi fraktur tibia plateau, sementara BMI > 25kg/m2 bukan merupakan faktor risiko terjadinya joint narrowing.