Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

PENAMBAHAN CORE STABILITY PADA STAR EXCURSION BALANCE EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS DAN MENURUNKAN FUNGSIONAL ANKLE INSTABILITAS DARIPADA STAR EXCURSION BALANCE EXERCISE PADA BELA DIRI TAEKWONDO Anak Agung Gede Eka Septian Utama; Putu Astawa; Muh. Ali Imron; Tjokorda Gde Bagus Mahadewa; Bagus Komang Satriyasa; Desak Made Wihandani
Sport and Fitness Journal Vol 8 No 3 (2020): Volume 8, No. 3, September 2020
Publisher : Program Studi Magister Fisiologi Keolahragaan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/spj.2020.v08.i03.p09

Abstract

Latar belakang: Taekwondo merupakan bela diri yang banyak menggunakan anggota gerak bawah terutama pergelangan kaki sehingga sering terjadi fungsional ankle instabilitas (FAI). FAI terjadi akibat adanya gangguan dari postural kontrol, keseimbangan dinamis dan fungsi otot. Salah satu latihan yang dapat dipergunakan adalah star excursion balance exercise, namun masih ada kekurangan dalam kontrol postural akibat tidak terjadi aktivasi otot core untuk pembentukan postural stabilisasi. Tujuan: Untuk membuktikan penambahan core stability pada star excursion balance exercise lebih meningkatkan keseimbangan dinamis dan menurunkan fungsional ankle instabilitas daripada star excursion balance exercise pada bela diri taekwondo. Metode: Rancangan penelitian ini adalah randomized pretest-postest control group design, Kelompok 1 mendapatkan star excursion balance exercise dan Kelompok 2 mendapatkan core stability dan star excursion balance exercise. Fungsional ankle instabilitas diukur menggunakan cumberland ankle instability tool (CAIT) dan keseimbangan dinamis menggunakan star excursion balance test (SEBT). Dilakukan 3 kali seminggu selama 6 minggu. Hasil: Peningkatan SEBT sebelum pelatihan pada Kelompok 1 sebesar 86,4±6,3 cm, setelah pelatihan sebesar 92,3±6,7cm dan pada Kelompok 2 sebelum sebesar 86,2±6,1 cm, setelah pelatihan sebesar 96,7±7,9 cm. Penurunan fungsional ankle instabilitas dari peningkatan nilai CAIT sebelum pelatihan pada Kelompok 1 sebesar 20,4±1,8, setelah pelatihan sebesar 23,4±2,1 dan pada Kelompok 2 sebelum sebesar 20,3±2,8, setelah pelatihan sebesar 25,0±1,9. Perbedaan peningkatan keseimbangan dinamis pada Kelompok 1 dan 2 bermakna (p<0,05). Perbedaan penurunan FAI pada Kelompok 1 dan 2 bermakna (p<0,05). Kesimpulan: Penambahan core stability pada star excursion balance exercise lebih meningkatkan keseimbangan dinamis dan menurunkan fungsional ankle instabilitas daripada star excursion balance exercise pada bela diri taekwondo. Kata kunci: fungsional ankle instabilitas, keseimbangan dinamis, star excursion balance exercise, core stability.
PELATIHAN MODEL BEEF CONCEPT DISERTAI PUSH UP DAN JOGGING LEBIH MENINGKATKAN KETEPATAN SHOOTING FREETHROW BOLA BASKET DARI PADA PELATIHAN MODEL BEEF CONCEPT DISERTAI DUMBEL DAN JOGGING I Kadek Arya Gangga Permana; Putu Astawa; Desak Made Wihandani; Ketut Tirtayasa; I Made Jawi; Bagus Komang Satriyasa
Sport and Fitness Journal Volume 6, No.3, September 2018
Publisher : Program Studi Magister Fisiologi Keolahragaan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (527.016 KB) | DOI: 10.24843/spj.2018.v06.i03.p08

Abstract

ABSTRACTIntroduction: The objective of a basketball game is to insert the ball into the opponent's basket and keep our basket alone so as not to concede the ball. This becomes important because it determines points to improve the ability and maximize points in the game so this needs to be trained. Free throw shots can be done using one hand or two hands. Whereas a free throw is a shot given to a player for committing an offense. This shot is done in the exact position behind the line of free shots in accordance with the rules. Purpose:This study aims to compare training model 1 (beef concept with push up and jogging) and training model 2 (beef concept with dumble and jogging) to improve the accuracy of free throw shooting.This research was conducted on 40 students of SMP Negeri 1 Kuta Selatan who were chosen in simple random which has fulfilled inclusion and exclusion criteria. The sample was divided into two groups so that each group was 20 people and given different treatment for six weeks. Group 1 was given model 1 training and Group 2 was given a model 2 training. Methods:The data obtained were analyzed by paired t- test to find the difference between before and after training in both groups and t-independent test to find the difference of shooting free throw accuracy between groups both before and after the training. The meaning limit is 0.05. The research design used is experimental design Randomized Pre and Post test Group Design. According to Pocock's (2008) theory, each group consisted of 20 groups of 1 and group 2. All groups were given preliminary tests, between treatment one and two treatment were given concurrent training, then each treatment was observed.Results:The result showed that the accuracy of free throw shooting between groups after training was 3.85 ± 1.09 in group 1 and in group 2 was 2.90 ± 1.12. The average accuracy of free throw shooting in training model 1 was higher than with model 2 training which was statistically significantly different with p = 0,010 (p <0,05).Conclution:From the results of this study it is concluded that the training of model 1 further improves the accuracy of free throw shooting rather than training model 2, Suggestion: in practice it is suggested to use training model 1 to improve the accuracy of free throw shooting. Keywords: beef concept, push up, jogging, dumble, free throw shooting
UPPER LIMB NEURODYNAMIC BILATERAL LEBIH MENURUNKAN SKOR NYERI DAN TENSION NERVUS MEDIANUS DIBANDINGKAN DENGAN UPPER LIMB NEURODYNAMIC IPSILATERAL PADA PENDERITA CERVICAL RADICULOPATHY Gede Parta Kinandana; I Ketut Suyasa; Wahyuddin Wahyuddin; Putu Astawa; I Made Ady Wirawan; Nyoman Mangku Karmaya
Sport and Fitness Journal Vol 8 No 3 (2020): Volume 8, No. 3, September 2020
Publisher : Program Studi Magister Fisiologi Keolahragaan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/spj.2020.v08.i03.p10

Abstract

Pendahuluan: Cervical radiculopathy merupakan suatu kondisi klinis dimana terjadinya kompresi pada akar saraf yang menyebabkan perubahan fisiologis pada jaringan saraf. Tujuan Penelitian: membuktikan upper limb neurodynamic bilateral lebih menurunkan nyeri, meningkatkan range of motion (ROM) cervical, dan ekstensi elbow pada penderita cervical radiculopathy jika dibandingkan dengan neurodynamic ipsilateral. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan pre dan post-test control group design menggunakan 24 orang sampel yang dibagi ke dalam 2 kelompok. Pada Kelompok 1 diberikan upper limb neurodynamic ipsilateral sedangkan Kelompok 2 diberikan intervensi upper limb neurodynamic bilateral. Intervensi diberikan sebanyak 12 kali. Pengukuran skor nyeri menggunakan numerical pain rating scale (NPRS) dan ROM cervical menggunakan goniometer dan tension nervus medianus diukur melalui ROM ekstensi elbow. Hasil: Perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok didapatkan pada pengukuran skor nyeri dengan nilai p = 0,000 (p<0,05) pada pengukuran nyeri diam dan saat neurodynamic testing. Perbedaan yang bermakna juga ditemukan pada pengukuran ekstensi elbow dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Perbedaan yang tidak bermakna ditemukan pada pengukuran ROM cervical (ekstensi, rotasi, dan lateral fleksi ipsilateral) dengan nilai p = 0,377; 0,110; dan 0,342 secara berurutan (p > 0,05). Kesimpulan: upper limb neurodynamic bilateral lebih menurunkan skor nyeri dan menurunkan tension nervus medianus dibandingkan dengan upper limb neurodynamic ipsilateral dan tidak lebih meningkatkan ROM cervical pada penderita cervical radiculopathy. Kata kunci: nyeri, ROM cervical, ROM ekstensi elbow, neurodynamic ipsilateral, neurodynamic bilateral, cervical radiculopathy
PELATIHAN TAI CHI DAN PELATIHAN AI CHI SAMA-SAMA MENINGKATKAN PERFORMA DUAL TASK PADA LANSIA Andy Sirada; I Putu Gede Adiatmika; Muhammad Ali Imron; I Putu Adiartha Griadi; I Made Muliarta; Putu Astawa
Sport and Fitness Journal Vol 8 No 1 (2020): Volume 8, No. 1, Januari 2020
Publisher : Program Studi Magister Fisiologi Keolahragaan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (540.241 KB) | DOI: 10.24843/spj.2020.v08.i01.p01

Abstract

Pendahuluan: Aktifitas yang dilakukan seseorang dalam kesehariannya tidak lepas dari aktifitas multitasking dimana pada aktifitas tersebut minimal seseorang harus mampu melakukan dua aktifitas sekaligus (dualtask), lansia dengan gangguan kognitif atau tidak mampu melakukan aktifitas ganda atau dualtask mempunyai resiko jatuh yang tinggi. Salah satu tindakan untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan dualtask pada lansia adalah dengan latihan Tai Chi. Tai Chi dan Ai Chi merupakan dua metode latihan yang terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup lansia dimana mengurangi resiko jatuh salah satunya. Tujuan penelitian untuk membuktikan apakah ada perbedaan pelatihan Tai Chi dan pelatihan Ai Chi dalam meningkatkan performa dual task pada lansia. Metode: Penelitian dilakukan selama 6 minggu di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram Lombok dimana sampel penelitian adalah pasien poliklinik fisioterapi yang berusia 60-80 tahun. Penelitian menggunakan rancangan two group pre and post test design dengan jumlah sampel 34 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu Kelompok Ai Chi (n = 17) dan Kelompok Tai Chi (n =17). Performa dual task diukur menggunakan time up and go test (TUG) dual task. Hasil: Nilai performa dualtask pelatihan Tai Chi dan pelatihan Ai Chi meningkat bermakna dengan nilai p<0,05. Nilai performa dual task setelah pelatihan Tai Chi dan pelatihan Ai Chi tidak berbeda bermakna dengan nilai performa dual task p>0,05. Simpulan: Pelatihan Tai Chi dan Pelatihan Ai Chi mempunyai efek yang sama dalam meningkatkan performa dual task pada lansia.
PELATIHAN LUNGES LEBIH BAIK DARIPADA PELATHAN SQUAT DALAM MENINGKATKAN KEKUATAN OTOT TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN ATLET PUTRA PESERAT EKSTRAKURIKULER PENCAK SILAT SMA DWIJENDRA DENPASAR Putu Satriya Yudha Permadi; I Nyoman Adiputra; I Putu Adiartha Griadhi; Putu Astawa; Susy Purnawati; I Dewa Ayu Inten Dwi Primayanti
Sport and Fitness Journal Vol 9 No 1 (2021): Volume 9, No. 1, Januari 2021
Publisher : Program Studi Magister Fisiologi Keolahragaan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/spj.2021.v09.i01.p10

Abstract

Kekuatan otot tungkai dan keseimbangan merupakan faktor yang menentukan kualitas tendangan dalam pencak silat, maka diperlukan metode pelatihan tentang kekuatan otot tungkai dan keseimbangan melalui gerakan-gerakan yang lebih efektif. Latihan lunges dan squat merupakan latihan untuk meningkatkan kekuatan otot tungkai dan keseimbangan. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan pelatihan lunges lebih baik dari squat dalam meningkatkan kekuatan otot tungkai dan keseimbangan atlet putra peserta ekstrakurikuler pencak silat SMA Dwijendra Denpasar. Jenis penelitian true eksperimental dengan rancangan penelitian randomized pre test and post test with control groups design. Subyek dari penelitian ini atlet putra peserta ekstrakurikuler pencak silat SMA Dwijendra Denpasar yang berjumlah 18 orang yang dibagi dalam dua kelompok yang berbeda. Kelompok 1 latihan lunges sedangkan Kelompok 2 latihan squat, latihan diberikan selama 6 minggu dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu. Pengukuran menggunakan alat leg dynamometer untuk mengetahui kekuatan otot tungkai dan standing stork test untuk mengetahui keseimbangan. Hasil rerata pengukuran kekuatan otot tungkai sebelum latihan lunges 177,44±7,69 kg sedangkan setelah latihan lunges 205,44±9,50 kg. Hasil rerata pengukuran kekuatan otot tungkai sebelum latihan squat 172,33±7,84 kg sedangkan setelah latihan squat 187,22±7,32 kg. Hasil rerata pengukuran keseimbangan sebelum latihan lunges 18,11±1,61 detik sedangkan setelah latihan lunges 27,22±1,98 detik. Hasil rerata pengukuran keseimbangan sebelum latihan squat 18,44±1,87detik sedangkan setelah latihan squat 23,11±1,36 detik. Uji beda rerata kekuatan otot tungkai dan keseimbangan pada Kelompok 1 dan Kelompok 2 dengan uji independent pada post test didapat hasil nilai p=0,00 (p<0,05). Kelompok 1 dan Kelompok 2 sama-sama memberikan peningkatan terhadap kekuatan otot tungkai dan keseimbangan pada atlet putra peserta ekstrakurikuler pencak silat SMA Dwijendra Denpasar, tetapi Kelompok 1 lebih baik dari pada Kelompok 2 dilihat dari rerata post test. Saran dalam penelitian ini diharapkan kepada para pelatih dapat memberikan latihan dengan tepat dan sesuai dengan metode dan prinsip dalam pelatihan agar mampu meningkatkan prestasi atlet. Kata Kunci: Kekuatan Otot Tungkai, Keseimbangan, Lunges, Squat, Pencak Silat
Spondilitis Tuberkulosis I Gede Epi Paramarta; Putu Siadi Purniti; Ida Bagus Subanada; Putu Astawa
Sari Pediatri Vol 10, No 3 (2008)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (212.417 KB) | DOI: 10.14238/sp10.3.2008.177-83

Abstract

Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sejak obat anti tuberkulosis dikembangkan dan peningkatan kesehatan masyarakat, tuberkulosis tulang belakang menjadi menurun di daerah negara industri, meskipun tetap menjadi penyebab yang bermakna di negara berkembang. Gejala yang ditimbulkan antara lain demam, keringat terutama malam hari, penurunan berat badan dan nafsu makan, terdapat masa di tulang belakang, kiposis, kadang-kadang berhubungan dengan kelemahan dari tungkai dan paraplegi. Spondilitis tuberkulosis dapat menjadi sangat destruktif. Berkembangnya tuberkulosis di tulang belakang berpotensi meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologi yang permanen dan deformitas yang berat. Pengobatan medikamentosa atau kombinasi antara medis dan bedah dapat mengendalikan penyakit spondilitis tuberkulosis pada beberapa pasien
Peranan Sosial Media dalam Menentukan Daerah Tujuan Wisata Nyoman Indah Kusuma Dewi; I Putu Astawa; I Wayan Siwantara; I Gusti Agung Bagus Mataram
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Vol 15 No 3 (2019): JBK - Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan
Publisher : P3M Politeknik Negeri Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.856 KB) | DOI: 10.31940/jbk.v15i3.1462

Abstract

Tourism marketers are currently using technology to approach their target markets. The tourism sector not only using the internet but also started using other applications such as social media. The most important thing to change since the use of information technology is the existence of direct communication between service providers or products with buyers through channels that focus on information and data. Changes in consumer behavior also occur. Consumers are paying more attention to the importance of information and services. The use of the internet and various means of information and communication (ICT) in tourism marketing can increase the competitive power of tourism sector companies. The purpose of this study is to determine the role of social media in providing consideration for tourists, especially among young people as users of social media in making the decision to travel. The study was conducted by survey and data were analyzed with descriptive statistics. The informant stopped when interviewing reaching 30 tourists. Informants were taken by purposive sampling technique. From this study, it was concluded that teenagers, now millennials, seek information on Regional Destinations through the Internet on their cellphones and through friends and relatives. Applications used to search for information on the Internet are Facebook, Video Sharing Sites (Youtube) and Photo sharing sites such as Instagram and Flicker. They will share information and photos before and after they travel. Further research suggestion would be exploration of digital marketing.
Perbandingan Latihan Otot Inti dengan Latihan Pergelangan Kaki dalam Meningkatkan Kelincahan Pemain Sepak Bola Dimas Agusta; I Made Jawi; Wahyuddin Wahyuddin; Putu Astawa; I Nyoman Adiputra; Susy Purnawati
Jurnal Health Sains Vol. 2 No. 6 (2021): Jurnal Health Sains
Publisher : Syntax Corporation Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46799/jhs.v2i6.186

Abstract

Sport is a needs for human being, sport that early introduced in a young people giving a good effect for physical condition, psychology, and social. Along the growth and development of young soccer player, makes some transformation to their physical condition and to have an impact to their body proportional and decreasing of coordination and agility. To support dribbling skill, a soccer player need to have a good agility. The stability of your core muscle and your ankle affected the agility. The objective of this research is to explain the effect of core muscle stability exercise and ankle stability exercise for dribbling agility, and to compare both of exercises for dribbling agility on soccer player age 14-17 years old. This research used quasi-experimental methods. Subject divided into 2 group, that is Group 1 with core stability exercise intervention and Group 2 with ankle stability exercise intervention. The research will be done in 6 weeks, and 3 times a week. The dribbling agility measurement in this study used Dribbling Agility Test (DAT). From 14 subject, was obtained the difference average of dribbling agility value from the group with core muscle stability exercise was 1.8 ± 1.3 second (p-value=0.010, p<0.05), and the difference average of dribbling agility value from the group with ankle stability exercise was 2.29 ± 1.37 second (p-value=0.005, p<0.5). There is no difference between the group in increasing dribbling agility with p-value=0.477 (p>0.05). Both exercises shown improvement in each group in increasing dribbling agility with no difference between the group.
Hubungan dan titik potong skor Caprini terhadap D-dimer sebagai parameter resiko trombosis vena dalam pada pasien paska fiksasi internal fraktur tulang panjang ekstremitas bawah Made Wirabhawa; Ketut Siki Kawiyana; I Ketut Suyasa; Putu Astawa; Ketut Gede Mulyadi Ridia; I Wayan Suryanto Dusak; I Gede Eka Wiratnaya; Anak Agung Wiradewi Lestari
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 1 (2020): (Available online: 1 April 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (265.291 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i1.555

Abstract

Background: Fractures contribute to a substantial proportion of the emergency department cases. Surgical procedures such as internal fixation of lower limb fractures posed a risk to develop deep vein thrombosis (DVT). The current diagnosis of DVT is still a challenge, as the current main parameter, the D-dimer, requires additional laboratory time and cost. Threrefore, an easier and faster alternative should be used in clinical decision making. Caprini score is among a simple method to assess the risk of a DVT, but validation is still needed before it can be implemented.Methods: This is an cross-sectional analytic study aimed to determine the relationship between Caprini scores and D-dimer level in patients with post-internal fixation of long bone fractures in lower extrimities at Sanglah Hospital Denpasar. Caprini scores were determined before surgery then D-dimer measurements were taken postoperatively. Statistical analysis was performed using the Pearson correlation method and ROC curve were generated to determine the cut-off point of Caprini Score equivalent of high risk DVT with the D-dimer as the predictor.Result: The average Caprini score was 9.37 (7-13). Mean preoperative D-dimer was 6.59 µg/ml (2.50-13.20 µg/ml), postoperatively 11.50 µg / ml (3.71-19.89 µg/ml) and mean delta D -Dimer 5.23 µg/ml (0.56-12.28 µg/ml). Pearson correlation test obtained a strong positive relationship (r = 0.726 and p≤0,0001). Analysis of the ROC curve to determine the cut-off point for Caprini score which equivalent to the high risk of DVT from D-dimer prediction (> 7.2 µg / ml) resulted in AUC of 0.824 (95% CI 0.669-0.979, p= 0.024) with the optimal cut-off point for Caprini score was 8.Conclusion: Caprini and D-dimer scores show a strong positive correlation.  Caprini scores can be considered to estimate the risk of DVT in post-internal fixation patients of lower extremities long bone fractures. Latar Belakang. Kejadian fraktur memiliki proporsi yang substansial dari total pasien yang datang ke unit gawat darurat rumah sakit. Prosedur operasi seperti pemasangan fiksasi internal pada fraktur ekstremitas bawah memiliki resiko untuk terjadinya trombosis vena dalam (DVT). Penegakan diagnosis DVT saat ini masih merupakan suatu tantangan salah satunya karena pemeriksaan laboratorium D-dimer membutuhkan waktu dan biaya tambahan, sehingga dibutuhkan alternatif yang lebih mudah dan cepat digunakan dalam pengambilan keputusan klinis. Skor Caprini merupakan salah satu cara untuk menilai resiko terjadinya suatu DVT, akan tetapi masih diperlukan validasi sebelum dapat diimplementasikan. Metode: Penelitian cross-sectional analitik dilakukan untuk mengetahui hubungan Skor Caprini dengan kadar D-dimer pada pasien paska operasi fiksasi internal fraktur tulang panjang ekstremitas bawah di RSUP Sanglah Denpasar. Skor Caprini ditentuakan sebelum operasi kemudian pengukuran D-dimer dilakukan paska operasi. Analisis statistik dilakukan dengan metode korelasi Pearson dan penentan titik potong risiko DVT dengan prediktor D-dimer menggunakan metode kurva ROC.Hasil: Rerata Skor Caprini adalah 9,37 dengan rentang skor 7-13. Rerata D-dimer sebelum operasi sebesar 6,59 µg/ml (2,50-13,20 µg/ml), paska operasi 11,50 µg/ml (3,71-19,89 µg/ml) dan rerata delta D-Dimer 5,23µg/ml (0,56-12,28 µg/ml). Uji korelasi Pearson diperoleh hubungan positif kuat antara Skor Caprini dengan kadar D-dimer (nilai r=0,726 dan nilai p≤0,0001). Analisis kurva ROC untuk menentukan itik potong  Skor Caprini yang setara dengan resiko tinggi terjadinya DVT dari prediksi D-dimer (>7,2 µg/ml) memperoleh Area Under Curve 0,824 (95% CI 0,669-0,979, p = 0,024) dengan titik potong optimal skor Caprini 8.Kesimpulan: Skor Caprini dan D-dimer menunjukkan korelasi positif yang kuat pada pasien paska fiksasi internal fraktur tulang panjang ekstremitas bawah. Skor Caprini dapat dipertimbangkan sebagai acuan dalam menentukan resiko terjadinya  DVT.
Hemiartroplasti Bipolar menghasilkan luaran C-Reactive Protein dan Harris Hip Score yang lebih tinggi dibandingkan Cephalomedulary Nailing Komang Septian Sandiwidayat; Putu Astawa; Ketut Gede Mulyadi Ridia; Ketut Siki Kawiyana; I Wayan Suryanto Dusak; I Ketut Suyasa; I Gede Eka Wiratnaya; Anak Agung Wiradewi Lestari
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 1 (2020): (Available online: 1 April 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.283 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i1.556

Abstract

Background: Bipolar Hemiarthroplasty and Cephalomedullary Nailing (PFNA) are operative procedures for the management of proximal femoral fractures. Both of these surgical techniques have their respective advantages and disadvantages. This study aims to determine the differences in biological and functional outcomes. C-Reactive Protein (CRP) used to measure inflammation due to tissue damage and Harris Hip Score (HHS) used to measure functional output. This study hoped to facilitate the selection of appropriate techniques for the treatment of proximal femoral fractures.Methods: Prospective cohort study conducted among patient with proximal femoral fractures who underwent Bipolar Hemiarthroplasty and PFNA surgery. CRP levels were examined before surgery and 12 hours postoperatively. The HHS assessment was performed at weeks 4, 6, and 8 postoperatively.Results: In general, the preoperative CRP levels of the groups undergoing Bipolar Hemiarthroplasty and PFNA were not significantly different (32.4±16.7 and 33.7±17.1; p> 0.05), whereas postoperatively, Bipolar Hemiarthroplasty shown significantly higher CRP (76.5±27.3 and 42.6±17.6; p <0.0001). Similar results were also shown from the ∆CRP analysis (45.1±22.1 and 8.9±3.2; p<0.0001). The mean HHS score was higher in the Bipolar Hemiarthroplasty group than in PFNA group at each measurement. At the 4th week, the mean HHS score did not show a significant difference (52.3±4.2 vs 52.2±5.4; p>0.05). The 6th week evaluation showed Bipolar Hemiarthroplasty had a mean HHS of 76.5±4.6 while PFNA 61.4±5.4 (p <0.0001). At week 8, HHS in Bipolar Hemiarthroplasty was consistently higher than PFNA (89.43±4.5 and 74.95±4.9; p <0.0001). The Bipolar Hemiarthroplasty group was hospitalized 56% longer (6.1±1.3 and 3.9±1.3 days; p<0.0001) and the Bipolar Hemiarthroplasty had an average bleeding volume of 4.5 times more (407.4±122.8 and 90±13 ml; p <0.0001).Conclusion: Bipolar Hemiarthroplasty and PFNA procedures have significantly different functional and biological outcomes. The postoperative HHS score in Bipolar Hemiarthroplasty is better but with a higher delta CRP. Latar Belakang: Hemiarthroplasti bipolar dan Cephalomedullary Nailing (PFNA) merupakan prosedur operatif penatalaksanaan fraktur proksimal femur. Kedua prosedur tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda utamanya pada upaya preservasi bagian proksimal femur. Kedua teknik bedah ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan luaran biologis dan fungsional kedua teknik tersebut. C-Reactive Protein (CRP) digunakan sebagai parameter terkait inflamasi akibat kerusakan jaringan dan Harris Hip Score (HHS) digunakan mengukur luaran fungsional. Studi ini diharapkan dapat mempermudah pemilihan teknik yang tepat untuk penanganan fraktur proksimal femur.Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif pada pasien dengan fraktur proksimal femur yang menjalani operasi Hemiartroplasti Bipolar dan PFNA. Kadar CRP diperiksa sebelum operasi dan 12 jam paska operasi. Penilaian HHS dilakukan pada minggu ke-4, 6, dan 8 paska operasi.Hasil: Secara umum kadar CRP preoperasi kelompok yang menjalani Hemiarthroplasti Bipolar dan PFNA tidak berbeda signifikan (32,4±16,7 dan 33,7±17,1; p>0,05), sedangkan pada paska operasi kadar CRP Hemiarthroplasti Bipolar secara signifikan lebih tinggi (76,5±27,3 dan 42,6±17,6; p<0,0001). Hasil yang sama juga ditunjukan dari analisis ∆CRP (45,1±22,1 dan 8,9±3,2; p < 0,0001). Rerata skor HHS lebih tinggi pada kelompok Hemiarthroplasti Bipolar daripada PFNA pada setiap kali pengukuran. Pada minggu ke-4 nilai rerata HHS tidak menunjukan perbedaan yang signifikan (52,3±4,2 vs 52,2±5,4, p>0,05). Evaluasi minggu ke-6 menunjukan Hemiarthroplasti Bipolar memiliki rerata HHS 76,5±4,6 sementara PFNA 61,4±5,4 (p<0,0001). Pada minggu ke-8, HHS pada Hemiarthroplasti Bipolar konsisten lebih tinggi daripada PFNA (89,43±4,5 dan 74,95±4,9; p<0,0001). Kelompok Hemiarthroplasti Bipolar menjalani rawat inap 56% lebih lama (6,1±1,3 dan 3,9±1,3 hari; p < 0,0001) serta Hemiarthroplasti Bipolar memiliki rerata volume perdarahan 4,5 kali lebih banyak (407,4±122,8 dan 90±13 ml; p < 0,0001).Kesimpulan: Prosedur Hemiarthroplasti Bipolar dan PFNA memiliki luaran fungsional dan biologis yang berbeda secara signifikan. Skor HHS pada Hemiarthroplasti Bipolar lebih baik tetapi selisih CRP yang lebih tinggi.