Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search
Journal : Jurnal Yustitia

JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENEGAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 12 No 1 (2018): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Justice collaborator adalah pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi, sebagai apresiasi terhadap kesaksian tersebut, maka justice collaborator mendapatkan perlindungan dan penghargaan. Dasar hukum keberadaan justice collaborator adalah United Nation Convention against Transnasional Organized Crime, United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor : M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-045/A/JA/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (selanjutnya disebut Peraturan Bersama) dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators). Kedudukan justice collaborator sebagai saksi pelaku dalam proses peradilan pidana tindak pidana korupsi. Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan perlindungan fisik dan psikis; perlindungan hukum; penanganan secara khusus; dan penghargaan.
KEDUDUKAN WHISTLEBLOWER PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 13 No 1 (2019): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang membutuhkan cara yang strategis untuk mengungkapkannya. Dalam perkembangan hukum pidana, pengungkapan kasus korupsi dapat dilakukan oleh informasi yang diberikan oleh whistleblower yakni orang yang memberikan informasi mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang ada di lingkungannya. Dalam penelitian ini akan dibahas dua rumusan masalah yakni whistleblower dalam konteks sistem peradilan pidana dan peran whistleblower dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Keberadaan whistleblower sangat penting dalam penanggulangan tindak pidana korupsi sebagaimana tujuan dari sistem peradilan pidana. Peran whistleblower dalam pembuktian tindak pidana korupsi adalah sebagai pelapor, saksi, dan bahkan petunjuk dalam pembuktian pidana guna mencari kebenaran materiil.
PERLINDUNGAN WHISTLEBLOWER DALAM KEBIJAKAN HUKUM DI BERBAGAI NEGARA I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 13 No 2 (2019): YUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The existence of whistleblowers in the criminal law system in various countries can be seen from the role of whistleblowers in uncovering corruption cases. Some countries define the practice of corruption only in the public sector, but some other countries expand the practice of corruption, namely in the public sector and private sector. These provisions have implications for whistleblower protection. Each country has different policies for the protection of whistleblowers. However, basically, countries provide protection for the security of whistleblowers, both against personal safety, from lawsuits and from discrimination at the career level. Whistleblower protection is regulated by law. The protection system includes physical protection against whistleblowers or non-physical.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMALSUAN SURAT KETERANGAN NEGATIF COVID-19 I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 14 No 1 (2020): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The criminal policy on COVID-19 negative health certificates stating conditions that are not true or falsified are very important in efforts to accelerate the response to the COVID-19 pandemic. In the context of counterfeiting COVID-19 negative statements, the intended criminal law policy is the policy in applying the law. The penalties policy in the falsification of COVID-19 negative letter of statements must see who is the legal subject who is the perpetrator. Perpetrators other than doctors are convicted under the provisions of Article 268 of the Indonesian Criminal Code, whereas if the perpetrators are doctors, they are convicted according to Article 267 of the Indonesian Criminal Code.
KEKERASAN SEKSUAL ANAK DALAM PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 14 No 2 (2020): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Kekerasan seksual terhadap anak merupakan masalah yang masih ditangani oleh dunia internasional. Anak menjadi objek kekerasan seksual karena dianggap sebagai individu yang lemah. Pelaku kekerasan seksual bahkan adalah orang-orang yang berada di lingkungan keluarga terdekat, seperti ayah dan saudara laki-laki korban. Penelitian ini akan membahas tentang viktimisasi dan re-viktimisasi anak korban kekerasan seksual dan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual cenderung membuat anak merasa bersalah, malu, memiliki citra diri yang buruk, merasa berbeda dengan orang lain, dan menjadi marah dengan tubuhnya sendiri. Apalagi jika diikuti dengan bullying dari lingkungan sosial. Perlindungan anak korban kekerasan seksual meliputi perlindungan hak-hak korban, penegakan hukum dan pemulihan kondisi korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kata Kunci: Kekerasan Seksual, Anak, Viktimologi.
Penerapan Sanksi Dratikrama (memperkosa) dalam Hukum Hindu dan KUHP I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 15 No 1 (2021): YUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract Rape is an act that is prohibited both in Hindu law and in Indonesian criminal law. These acts not only violate the law, but also violate human rights and contain elements of violence. This research will discuss about the application of rape sanctions with a comparative study between comparative arrangements in Hindu law and in the National Law in Indonesia. Viewed from the aspect of Hindu law, witness dratikrama is regulated in the book Sarasamuscaya Sloka 153 and and Article 364 Astamo'dyayah Manava Dharmasastra. Based on this provision, the perpetrator of rape will be punished with direct physical punishment. From the aspect of Indonesian criminal law, rape is regulated in the provisions of Article 285 to Article 290 of the Criminal Code. The penalty for the perpetrator of rape is imprisonment. Rape is prohibited in Hindu law as well as in the Criminal Code, so that whoever commits this act is subject to sanctions in the form of physical punishment or corporal punishment. Keywords: Rape, in Hindu law and in Indonesian criminal law. Abstrak Pemerkosaan adalah tindakan yang dilarang baik dalam hukum Hindu maupun hukum pidana Indonesia. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar hak asasi manusia dan mengandung unsur kekerasan. Penelitian ini akan membahas tentang penerapan sanksi perkosaan dengan studi banding antara pengaturan komparatif dalam hukum Hindu dan hukum nasional di Indonesia. Dilihat dari aspek hukum Hindu, dratikrama saksi diatur dalam kitab Sarasamuscaya Sloka 153 dan Pasal 364 Astamo'dyayah Manava Dharmasastra. Berdasarkan ketentuan ini, pelaku pemerkosaan akan dihukum dengan hukuman fisik langsung. Dari aspek hukum pidana Indonesia, pemerkosaan diatur dalam ketentuan Pasal 285 hingga Pasal 290 KUHP. Hukuman bagi pelaku pemerkosaan adalah penjara. Pemerkosaan dilarang baik dalam hukum Hindu maupun dalam KUHP, sehingga siapapun yang melakukan perbuatan tersebut dikenakan sanksi berupa hukuman fisik atau hukuman fisik. Kata kunci: Pemerkosaan, hukum Hindu dan hukum pidana Indonesia.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERLINDUNGAN HUTAN I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 15 No 2 (2021): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Forests are an environment that must be protected. Forest protection is carried out by establishing laws and regulations and programs made by the government, non-governmental organizations and the community. The rate of forest destruction is something that cannot be avoided, both in the form of forest fires, illegal logging and others. In this study, the criminal law policy in forest protection will be discussed. Regulations on forest protection are regulated in The Law Number 41 of 1999 concerning Forestry and The Law Number 18 of 2013 concerning Prevention and Eradication of Forest Destruction. These provisions regulate prohibited acts. Criminal liability can be held against people who can be legally responsible.
TINJAUAN RELASI KUASA PADA KEKERASAN SEKSUAL DALAM HUBUNGAN PERSONAL I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 16 No 1 (2022): YUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk dalam hubungan personal. Kekerasan seksual yang dilakukan dalam hubungan personal dapat ditinjau dari relasi kuasa. Dalam penelitian ini akan membahas mengenai relasi kuasa antara pelaku dengan korban serta perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual dalam hubungan personal. Dalam konteks relasi kuasa, korban adalah kelompok rentan yakni perempuan dan anak. Pelaku memiliki power yang lebih tinggi sehingga dapat menindas korban. Kekerasan seksual dalam hubungan personal, mencakup pula kekerasan yang dilakukan oleh pacar. Perlindungan hukum merupakan kewajiban negara untuk melindungi korban. Ketentuan terbaru yang dimiliki oleh Indonesia adalah Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Ruang lingkup kekerasan seksual yakni pelecehan seksual;eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan/atau penyiksaan seksual.
REKONTSRUKSI BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DALAM MENANGGULAGI INVESTASI ILLEGAL Dewi Bunga; Ida Bagus Sudarma Putra; I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 16 No 2 (2022): JURNAL YUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62279/yustitia.v16i2.981

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yaitu menganalisisbudaya hukum masyarakat yang melakukan investasi ilegal dan menganalisis serta menemukanpenegakan hukum terhadap investasi ilegal. Kebebasan finansial (financial free) dapat dicapaidengan berinvestasi. Berbagai bentuk investasi dalam masyarakat ditawarkan oleh para pelakuusaha. Ekspektasi untung besar justru memicu tumbuhnya investasi ilegal. Padahal, ada hal yangsangat mudah yang bisa membedakan investasi aman dengan investasi ilegal, yaitu investasiilegal, keuntungan yang dijanjikan di luar kewajaran. Namun, keuntungan besar tersebut justrumembuat banyak orang tergiur untuk menginvestasikan dananya. Investasi ilegal menggunakanskema money game atau skema Ponzi yaitu dengan menggunakan dana yang didapat dari nasabahbaru untuk membayar bonus kepada nasabah lama. Kerugian yang ditimbulkan dari praktekinvestasi ilegal tidak hanya kerugian materiil tetapi juga kerugian immateriil.
JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENEGAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I Wayan Putu Sucana Aryana
Jurnal Yustitia Vol 12 No 1 (2018): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62279/yustitia.v12i1.174

Abstract

Justice collaborator adalah pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi, sebagai apresiasi terhadap kesaksian tersebut, maka justice collaborator mendapatkan perlindungan dan penghargaan. Dasar hukum keberadaan justice collaborator adalah United Nation Convention against Transnasional Organized Crime, United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor : M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-045/A/JA/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (selanjutnya disebut Peraturan Bersama) dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators). Kedudukan justice collaborator sebagai saksi pelaku dalam proses peradilan pidana tindak pidana korupsi. Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan perlindungan fisik dan psikis; perlindungan hukum; penanganan secara khusus; dan penghargaan.