Agung Basuki Prasetyo
Faculty Of Law, Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang, Indonesia 50275

Published : 54 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ANTARA PETANI DENGAN PT.MACKENZIE MELALUI MEDIASI (Studi Penyelesaian Sengketa Tanah PT.Mackenzie di Kabupaten Pemalang) Ana Silviana, Triyono, Ova Maerakaca Rayiatmaja*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (593.451 KB)

Abstract

Tanah memiliki arti penting bagi manusia, berbagai kepentingan terhadap tanah sering menimbulkan persengketaan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan lama kelamaan menjadi tidak efektif. Penyelesaian sengketa tanah dapat pula ditempuh dengan upaya di luar pengadilan. Salah satunya dengan cara penyelesaian sengketa pertanahan melalui alternatif penyelesaian sengketa yaitu mediasi.Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian penulisan hukum ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi, fungsi Kantor Pertanahan dalam menangani sengketa tanah PT.Mackenzie di Kabupaten Pemalang, dan akibat hukum bagi kedua belah pihak dari hasil mediasi tersebut.Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah pendekatan yuridis empiris. Yuridis empiris, yaitu suatu penelitian disamping melihat aspek hukum positif juga melihat pada penerapannya atau praktek di lapangan. Spesifikasi penelitian deskriptif analitis, dengan menggunakan metode analisa kualitatif.Hasil penelitian dapat diketahui bahwa penyelesaiannya sengketa tanah antara petani dengan PT.Mackenzie melalui mediasi, dilakukan menjadi 2 (dua) proses yaitu mediasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pemalang sebagai mediatornya dan mediasi yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Jawa Tengah, dimana Komnas HAM ditunjuk sebagai mediatornya. Kantor Pertanahan Kabupaten Pemalang dalam proses penyelesaian sengketa tanah PT.Mackenzie ini berfungsi sebagai mediator dan fasilitator. Akibat hukum bagi PT.Mackenzie yaitu HGU tidak dapat diteruskan karena permohonan pembaharuan HGU nya tidak dikabulkan, dan akibat hukum bagi petani penggarap tidak dapat mensertifikatkan tanah eks HGU PT.Mackenzie tersebut.Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan hasil mediasi penyelesaian sengketa tanah eks HGU PT.Mackenzie antara bekas pemegang hak dan petani penggarap, keduanya tidak menghasilkan kata sepakat. Para pihak dapat menempuh upaya lain atau upaya hukum lain yaitu melalui Pengadilan hukum perdata.
PENENTUAN HAK DAN PEMANFAATAN TANAH TIMBUL (AANSLIBBING) DI DESA CIMRUTU, KECAMATAN PATIMUAN, KABUPATEN CILACAP Sri Sudaryatmi, Agung Basuki Prasetyo, Rizki Amalia Zulaikha*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (747.517 KB)

Abstract

Tanah timbul yang berada di Segara Anakan tepatnya di Desa Cimrutu Kecamatan Patimuan Kabupaten Cilacap terbentuk karena proses alami pengendapan yang terjadi di tepi pantai. Selain itu desa Cimrutu merupakan sebuah kawasan hutan payau tak bertuan yang dikuasai oleh Perum Perhutani yang terletak di petak 5, 6, 7 Resort Cikujang dan masuk dalam wilayah pangkuan hutan KRPH Banyumas Barat dengan luas 1428 Ha. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penduduk desa cimrutu untuk menguasai tanah timbul tersebut serta menentukan hak atas tanah timbul yang kini dikenal dengan nama desa Cimrutu. Kemudian penelitian ini akan dianalisis dengan teori-teori hukum yang berlaku di Indonesia, baik itu menurut hukum adat maupun hukum nasional berupa perundang-undangan serta teori-teori lain yang relevan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris (sosiologis) dengan data yang dianalisis menggunakan metode kualitatif dan dilakukan pengolahan data sehingga akan dirumuskan suatu kesimpulan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada pasal 24 ayat (1) dan (2) PP tersebut ditegaskan bahwa jika tidak tersedia secara lengkap alat pembuktian yang ada seperti bukti-bukti tertulis dan keterangan saksi maka berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang telah dilakukan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut dapat dilakukan pendaftaran tanah dengan syarat itikad baik dan tidak dalam sengketa. Tetapi, karena pihak Perum Perhutani mengacu pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang disebutkan bahwa kawasan hutan tidak boleh beralih fungsi, maka tanah timbul yang berada di desa Cimrutu tidak dapat memperoleh sertipikat Hak Atas Tanah karena kawasan desa Cimrutu termasuk ke dalam peta kawasan hutan.
PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK YANG MENGANDUNG CACAT FORMALITAS DALAM PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor: 335/Pdt/2013/PT.Smg) Ana Silviana, Triyono, Muhammad Ali Akbar Hadiyono Loekito*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (591.992 KB)

Abstract

Sertipikat adalah sebagai alat pembuktian yang kuat, namun apabila terdapat ketidakbenaran dari hak atas tanah tersebut, maka sertipikat dapat dibatalkan oleh Pengadilan dan Kepala BPN dapat memerintahkan hal tersebut. Salah satu contoh kasusnya terjadi pada sertipikat Hak milik No. 386 di Desa Purwokerto, Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal atas nama Basuki. Sertipikat tersebut dibatalkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor  49/Pdt.G/2012/PN.Kdl yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilam Tinggi Nomor 335/Pdt/2013/PT.SMG.  Pada saat dilaksanakan Pendaftaran  tanah pertama kali dari tanah yasan ke Hak Milik terdapat cacat formalitas berupa Surat Keterangan Pembagian Waris antara Kaminah binti Wakidjan dan Tarni.Hasil penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris dengan spesifikasi penulisan deskriptif analitis. Penelitian mengenai pengaturan Pembatalan sertipikat hak milik yang disebabkan kecacatan formalitas dalam pendaftaran tanah pertama kali yang kemudian kebenaran sertipikat itu dibatalakan oleh pengadilan serta peran kantor pertanahan Kabupaten Kendal dalam pembatalan sertipikat hak milik. Pengaturan tentang pembatalan sertipikat hak milik diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016. Pembatalan sertipikat hak milik dapat dibatalkan melalui Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemudian ditindak lanjuti oleh Kantor Pertanahan yang berwenang, kasus ini dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Kendal.
PENITIPAN UANG GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH (Studi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Proyek Waduk Logung di Kudus) Ana Silviana, Triyono, Florentina Rosalin Kusumarini*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.952 KB)

Abstract

Penulisan hukum ini dilakukan untuk menganalisis Penetapan Nomor : 48/Pdt. Kons/2014/PN.Kds.Penulisan hukum ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran dan membantu perkembangan ilmu pengetahuan dibidang Hukum Perdata dan Hukum Tanah Nasional, serta diharapkan dapat membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan pengadaan tanah demi kepentingan umum yang akhirnya tanpa menggunakan proses konsinyasi.Hasil penelitian yang diperoleh, Pemerintah Daerah Kudus mengajukan beberapa penetapan konsinyasi di Pengadilan Negeri Kudusyang menyatakan bahwa pengajuan penetapan telah sah dilakukan, konsinyasi dilakukan hanya dalam keadaan memaksa bila dalam pengadaan tanah, dapat berupa penolakan kesepakatan mengenai penawaran pembayaran yang ditawarkan dan penerima ganti kerugian tidak mengajukan keberatan yang merupakan haknya. Perlunya aturan baru dalam penggunaan lembaga konsinyasi pada proses pengadaan tanah. Kesimpulan yang diperoleh, pengadaan tanah dalam rangka proyek pembangunan Waduk Logung di Kudus sebagian dilakukan dengan penitipan uang di Pengadilan Negeri Kudus. Konsinyasi ditinjau dari hukum perdata barat dan hukum tanah nasional sangat berbeda konsepnya. Penitipan uang di pengadilan negeri sesungguhnya banyak menciderai asas-asas yang terkandung dalam pengadaan tanah.
JAMINAN KEBENARAN DATA FISIK DAN DATA YURIDIS DALAM SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH (Studi Kasus terhadap Setipikat Hak Milik yang Objek Fisiknya “Tidak Ada”) Ana Silviana, Triyono, Anjasmara Candra Dewa*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (429.517 KB)

Abstract

               Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum terhadap pemilik Hak Atas Tanah yang bersertipikat,  tetapi obyek fisiknya tidak ada dan menganalisis tanggung jawab Kantor Pertanahan sebegai Lembaga yang menerbitkan sertipikat jika antara Data Fisik di dalam sertipikat tidak cocok atau bahkan tidak ada obyeknya di lapangan.                Hasil penelitian menunjukkan perlindungan hukum yang diberikan Kantor Pertanahan bagi pemegang sertipikat Hak Milik yaitu tidak ada, sebab seharusnya Kantor Pertanahan lebih mengutamakan Ibu Meylan sebagai pemegang sertipikat Hak Milik dimana Indonesia menggunakan sistem publikasi negatif mengandung sistem publikasi positif yang berarti sertipikat sebagai alat bukti yang kuat dibandingkan pihak swasta yang hanya mempunyai letter C. Namun begitu, Kantor Pertanahan telah melakukan penyelesaian melalui jalur non litigasi dengan cara mediasi serta di dapat hasil bahwa pemilik sertipikat Hak Milik mengaku pasrah dengan kasus ini sehingga kepemilikan tanah berada pada pihak swasta yang hanya mempunyai surat letter C.                Pemegang sertipikat Hak Milik seharusnya melaksanakan kewajiban memasang tanda batas sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor  24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kewajiban memasang atau memelihara tanda batas yang telah ada dimaksudkan menghindari terjadinya perselisihan atau sengketa mengenai batas tanah dengan para pemilik tanah yang berbatasan.
PENGAKUAN HAK MASYARAKAT ADAT TUNGKAL ULU SUMATRA SELATAN DALAM MENGELOLA HUTAN ADAT SETELAH PUTUSAN MK NOMOR 35/PUU-X/2012 TENTANG HUTAN ADAT Agung Basuki Prasetyo, Triyono, Devi Anita Aritonang*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (411.783 KB)

Abstract

Keberadaan hukum adat di Indonesia menimbulkan pengakuan hak ulayat bagi masyarakat hukum adat untuk mengelola tanah tempat tinggal mereka. Namun sesudah Indonesia merdeka, eksistensi masyarakat adat mulai dipertanyakan di dalam sistem perundangan-undangan nasional. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dikeluarkan dengan tujuan dapat dijadikan landasan bagi masyarakat adat dalam mempertahankan hak-haknya. Penelitian ini mengangkat permasalahan yaitu bagaimana pengakuan hak masyarakat hukum adat Tungkalulu Sumatra Selatan dalam mengelola hutan adat dan apakah putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dapat memberikan perlindungan hukum bagi  Masyarakat Adat Tungkalulu di Sumatra Selatan dalam mengelola hutan adatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengakuan hak masyarakat hukum adat Tungkalulu Sumatra Selatan dalam mengelola hutan adat semakin lama semakin hilang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 belum juga dapat memberikan perlindungan hukum bagi  Masyarakat Adat Tungkalulu di Sumatra Selatan dalam mengelola hutan adatnya. Hal tersebut dikarenakan belum adanya peraturan perundangan di Indonesia yang mengatur secara jelas mengenai hak masyarakat adat. 
Mengenal Karateristik Pengaturan Tanah Bengkok Di Indonesia Agung Basuki Prasetyo
Law, Development and Justice Review Vol 1, No 1 (2018): Law, Development & Justice Review
Publisher : Faculty of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/ldjr.v1i1.3821

Abstract

Research Aims to find out the characteristics of crooked land regulation in Indonesia. The research method is legal research. the results of the study indicate that the Characteristics of Crooked Land Regulations in Indonesia can be explained through three bases, among them are about crooked land according to customary law, bent land according to Law number 5 of 1960 and crooked land according to Crooked Land according to Indonesian Law No. 6 of 2014. Crooked land has various forms, can be in the form of rice fields, dry land or in the form of fish ponds or ponds. The surrender of land is crooked to the village head and his device, but this will again be the village's right if the Village Head and his apparatus no longer hold office, so that the crooked land will be handed back to the Village Head and Village Equipment who replaced himPenelitian Bertujuan untuk mengetahui mengenal karateristik pengaturan tanah bengkok di Indonesia. Metode penelitian merupakan penelitian hukum. hasil penelitian menujukan bahwa Karateristik Pengaturan Tanah Bengkok Di Indonesia dapat dijelaskan melalui tiga dasar, diantaranya adalah tentang tanah bengkok menurut hukum adat, tanah bengkok menurut UU nomor 5 tahun 1960 dan Tanah bengkok menurut Tanah Bengkok Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Tanah bengkok memiliki bentuk yang bermacam-macam, dapat berupa tanah persawahan, tanah tegalan maupun berupa kolam ikan atau tambak. Penyerahan tanah bengkok kepada kepala desa dan perangkatnya, namun hal tersebut akan kembali menjadi hak desa jika Kepala Desa dan perangkatnya tidak menjabat lagi, sehingga tanah bengkok akan diserahkan kembali kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa yang menggantikannya.  
Penyelesaian Sengketa Tanah Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Di Desa Cigugur Kuningan Melalui Lembaga Peradilan Agung Basuki Prasetyo
Law, Development and Justice Review Vol 2, No 1 (2019): Law, Development & Justice Review
Publisher : Faculty of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/ldjr.v2i1.5003

Abstract

ABSTRACDispute resolution through judicial institutions on land in the Karuhun Urang (AKUR) Indigenous Community of Cigugur Village, Kuningan Regency has won the Plaintiffs based on inheritance law, while land according to the AKUR customary law cannot be inherited. Such rights in the legislation are referred to as communal rights. This writing is about fulfilling the principle of justice in the court ruling. The judgment of the judge in his decision considers the object of the dispute as inheritance, and does not consider the testimony of witnesses who are not sworn, because the religion column in the KTP is empty. So that the Plaintiff wins. The judge based his legal considerations more on the Positivism paradigm, which is based solely on written rules such as in legislation, by putting aside the values that live in society.Based on the structural, cultural and substantive components identified there is no principle of justice for the AKUR Community. There are philosophical, historical, and socio-cultural reasons for defending disputed objects for the preservation of AKUR Community customs.Keywords: land disputes, indigenous peoples, customary rights. ABSTRAKPenyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan terhadap  tanah yang berada di lingkungan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan telah memenangkan pihak Penggugat berdasarkan pada hukum waris, sedangkan tanah menurut hukum adat Masyarakat AKUR tidak dapat diwariskan. Hak semacam itu dalam Peraturan Perundang-undangan disebut dengan hak ulayat. Penulisan ini mengenai pemenuhan asas keadilan dalam putusan peradilan tersebut. Pertimbangan hakim dalam putusannya menganggap objek sengketa sebagai harta warisan, dan tidak mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak disumpah, karena kolom agama di KTP kosong. Sehingga Penggugat menang. Hakim lebih mendasarkan pertimbangan hukumnya pada paradigma Positivisme, yang hanya dilandasi aturan tertulis seperti dalam perundang-undangan, dengan mengesampingkan  nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.Berdasarkan komponen struktural, kultural, dan substantif teridentifikasi tidak terdapat asas keadilan bagi Masyarakat AKUR. Terdapat alasan filosofis, historis, dan sosial budaya dalam mempertahankan objek sengketa guna pelestarian adat istiadat Masyarakat AKUR.Kata Kunci: sengketa tanah, masyarakat adat, hak ulayat.
PENGAKUAN PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN HUKUM ADAT DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2007 Agung Basuki Prasetyo
Diponegoro Private Law Review Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThe majority of the public still considers the descendant (son) is a very essential element for a family that wishes to remain intact. So the importance of the descendants in the family, it can be potentially polygamous or occurrence of a divorce. Therefore, adoption is an alternative that can be done, in order that the purpose of marriage is to form a happy and eternal family come true. The implementation of the adoption on the basis of custom or customary law still do in order the life of indigenous peoples, since the custom is an expression of the belief that so long embedded, hereditary, thus leading adherence to customary law on any of their citizens. With regard to the recognition of adoption is done based on customary law in the Government Regulation Number 54 of the year 2007, there are clauses that are not singkron associated with recognition of the adoption is carried out on the basis of customary law . I.e. in article 1 point 1 asserted that the adopted child is recognized when it is done on the basis of a decision or determination of the Court. However, in article 8, there is a recognition of how adoption in customs. Next up in article 9 paragraph (1), still contains provisions related to the recognition of the institution of adoption is done based on custom.
Pentingnya Literasi Budaya di Desa Seni Jurang Blimbing Triyono Triyono
Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi Vol 3, No 1 (2019): Maret
Publisher : Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337.134 KB) | DOI: 10.14710/anuva.3.1.77-85

Abstract

Desa Jurang Blimbing teretak di Kelurahan Tembalang, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Di desa  ini terdapat beberapa kesenian seperti Ketoprak, Kuda Lumping, dan Kaligrafi. Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian-kesenian tersebut harus dilestarikan agar tidak punah dan identitas bangsa tetap terjaga. Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Budaya sudah memiliki program literasi budaya yang mendukung tujuan pelestarian tersebut  yaitu Gerakan Literasi Nasional. Hal tersebut akhirnya melatarbelakangi penelitian ini untuk mencari tahu sudahkah gerakan literasi budaya  dilakukan di desa Jurang Blimbing. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan pengambilan data melalui observasi langsung di desa Jurang Blimbing dan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat, seniman dan masyarakat umum. Dari penelitian yang dilakukan kemudian didapatkan hasil bahwa seluruh masyarakat di desa Jurang Blimbing tidak mengetahui program pemerintah tersebut. Namun beberapa upaya pelestarian sudah dilakukan dan jika dilihat dengan seksama upaya tersebut merupakan salah satu bentuk dari literasi budaya. Masyarakat desa Jurang Blimbing sudah memiiki kesadaran untuk melestarikan tetapi upaya yang dilakukan kurang maksimal dan tidak tepat sasaran. Dari hasil tersebut, sosialisasi gerakan literasi budaya dari pemerintah sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat mengetahui apa yang harus dilakukan untuk lebih mengenal dan melestarikan seni budaya setempat. Selain itu, dukungan dari pustakawan atau pegiat literasi dibutuhkan untuk mendukung keberjalanan program tersebut. Dengan dukungan dan arahan yang telah dilakukan tersebut, diharapkan masyarakat dapat memahami dan berperan aktif dalam pelaksanaan literasi budaya.