Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Bondres Clekontong Mas sebagai Media Pendidikan Etis dan Estetis di Masyarakat I Wayan Dana; Ni Wayan Rizka Arisanti; I Made Agus Tresna Tanaya
PANGGUNG Vol 33, No 1 (2023): Nilai-Nilai Seni Indonesia: Rekonstruksi, Implementasi, dan Inovasi
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v33i1.2472

Abstract

Bondres digunakan sebagai sebutan tokoh-tokoh rakyat jelata, yang karakternya mempresentsikan masyarakat pada umumnya. Tokoh ini hadir sebagai simbol kehidupan masyarakat dalam pertunjukan dramatari topeng di Bali. Pemainnya dilalukan oleh pemeran yang mampu mengekspresikan berbagai karakter melalui ungkapan tata rias-busana, gerak, tembang, humor, vokal-dialog sesama Bondres maupun berkomunikasi langsung dengan penonton. Ungkapan para pemeran melalui tindakan kocak dan menghibur itu, mampu menjadi media pendidikan etis dan estetis bagi masyarakat pentontonnya. Pendidikan etis berhubungan dengan etika, diungkap melalui penilaian sifat kebenaran atau kebaikan dari tindakan sosial berdasarkan tradisi budaya yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Pendidikan estetis, mengenai penilaian terhadap keindahan, kenikmatan melalui ekspresi karya seni. Percakapan-percakapan etis dan estetis itu selalu digaungkan di setiap sajian Trio Bondres Clekontong Mas, sehingga masyarakat penonton mendapat tontonan segar yang menghibur dan mengedukasi. Dalam nilai hiburan itu dibingkai dan dibumbui lawakan yang memuat nilai-nilai moral sebagai tuntunan instrospektif dalam tatanan hidup, kehidupan dan berpenghidupan di masyarakat. Kata Kunci: Clekontong Mas, Pendidikan etis, Estetis, di masyarakat
Conservation and Development Model of Mamaca in Pamekasan Madura I Wayan Dana; St. Hanggar Budi Prasetya; Agustin Anggraeni
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan Vol 24, No 1 (2023): April 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v24i1.8200

Abstract

ABSTRACTMamaca traditional performing art is an essential intangible asset for the people of Madura and Indonesia. Mamaca in Madurese language means reading. Contextually, it means reading verses from particular texts. Its diversity and uniqueness are not only known by Indonesian, but also worldwide people. Its paramount role in the life of Mamaca-supporting community is undeniable as the songs and notations generated while performing is not only functioned as performing, but also efforts to establish Madurese moral values. Unfortunately, the local people, especially younger generation currently have started to abandon this traditional art. It leads to a worrisome position of Mamaca existing in Pamekasan Regency, Madura Island. Considering that this traditional performing art emphasizes the nobility of values and norms in its form and implementation and its capability of strengthening the Indonesian character and the harmony of social life, Mamaca is urgently required to be preserved and developed in accordance to the fervor of nowadays era. The performers take turns reading and singing the verses containing some epics of Mahabharata, Ramayana, stories of Islamic Prophets, and values of benevolence regarding wisdom teachings. This research is a model for the conservation and development of noble cultural values that involves active supporting elements of Mamaca, relevant government, academics, industries or sponsors, and the role of the media.ABSTRAKModel Konservasi dan Pengembangan Mamaca di Pamekasan Madura. Seni pertunjukan tradisi Mamaca merupakan aset non bendawi yang penting bagi masyarakat di Madura dan bangsa Indonesia. Mamaca dalam bahasa Madura berarti membaca. Dalam penelitian ini, Mamaca yang dimaksud adalah tradisi membaca syair-syair dari naskah tertentu. Keanekaragaman dan keunikannya tidak hanya dikenal oleh bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga sudah secara luas. Peran pentingnya Mamaca di dalam kehidupan masyarakat penyelenggaranya tidak dapat terbantahkan karena lagu-lagu yang dilantunkan serta notasi yang dimainkan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, namun sebuah upaya untuk menanamkan nilai moral. Sayangnya, Mamaca kini mulai ditinggalkan, terutama oleh generasi muda setempat. Oleh karena itu, seni Mamaca yang hidup di wilayah Kabupaten Pamekasan Pulau Madura dipandang penting dilestarikan dan dikembangkan sesuai zamannya. Mengingat bahwa seni pertunjukan tradisi yang berdasarkan pada pemanfaatan musik internal ini mengutamakan keluhuran nilai dan norma di dalam wujud dan penyelenggaraannya, Mamaca dipandang mampu menguatkan karakter bangsa dan harmoni kehidupan sosial. Para pelakunya secara bergantian membaca dan melagukan syair-syair yang memuat sebagian wiracarita Mahabharata, Ramayana, dan kisah para Nabi dalam agama Islam serta menyampaikan norma dan nilai kebaikan mengenai ajaran kebijaksanaan. Kajian ini merupakan model pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya adiluhur yang melibatkan unsur penyangga aktif Mamaca, pemerintah terkait, akademisi, pihak industri atau sponsor, dan peran media.
Kuratorial Solo International Performing Arts (SIPA) 2021 sebagai Bentuk Inovasi dan Konsistensi Festival Berskala International I Wayan Dana; Rika Amalia Putri
Dance and Theatre Review: Jurnal Tari, Teater, dan Wayang Vol 5, No 2: November 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v5i2.9538

Abstract

Solo International Performing Arts (SIPA) 2021 Curatorial as a Form of Innovation and Consistency on an International Scale Festival This research focuses on the curatorial process in Performing Arts practice by taking a case study at the largest annual Performing Arts event in the city of Solo, SIPA (Solo International Performing Arts) in 2021. SIPA Festival has a curatorial concept that is detailed and mature and relevant to the circumstances of the times. Curatorial at the SIPA Festival focuses on the selection of event themes, mascots, and the selection of performers. The research method used is a qualitative method, which will focus on observation, documentation, and structured interviews. The main source of data is from the description of the source, and the memory of the source. The results of this study are about the explanation of the curatorial process in the series of SIPA 2021 events,- and the identification of the concept of curatorial thinking. Each SIPA 2021 performer has their own reasons why they were chosen to perform on the magnificent stage of SIPA 2021, this reason is in the description of the curators. The standards applied by SIPA Festival for its performers are absolute requirements that must be met by performers in order to be able to display their works on the SIPA 2021 stage.Keywords: Solo International Performing Arts, Festival, Performance Art, Curatorship, Curator
Kajian Hasil Rekonstruksi Tari Opak Abang di Kabupaten Kendal Anggun Ida Mawadda; I Wayan Dana
Dance and Theatre Review Vol 6, No 1: May 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v6i1.9337

Abstract

Tari Opak Abang merupakan tarian resmi Kabupaten Kendal, diresmikannya tari Opak Abang menyebabkan dirubahnya penampilan kemasan pertunjukannya. Pemerintah Kendal melakukan rekonstruksi dengan kegiatan penggalian, reinterpretasi, dan reaktualisasi. Penelitian ini mengulas sejauh mana hasil rekonstruksi tari Opak Abang sebagai identitas kesenian Kabupaten Kendal. Keberhasilan dikenalnya tari Opak Abang membutuhkan kolaborasi peran penta-helix, diantaranya pemerintah, pelaku seni, masyarakat penyangganya, budayawan atau seniman, media, dan pebisnis. Pemerintah Kabupaten Kendal sudah melakukan upaya untuk mengenalkan tarian ini dengan melibatkannya dalam berbagai festival dan acara. Namun kenyataannya tarian ini belum cukup dikenal secara merata, bahkan oleh masyarakat Kendal itu sendiri. Nampaknya ketidakseimbangan para peran penta-helix membuat tarian ini belum dikenal menjadi identitas kesenian Kabupaten KendalKata kunci: rekonstruksi, tari Opak Abang, pentahelix
Ilmu Pengetahuan sebagai Pondasi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Berkesenian I Wayan Dana
JURNAL TATA KELOLA SENI Vol 9, No 1 (2023): Juni 2023
Publisher : Program Pascasarjana ISI Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jtks.v9i1.9715

Abstract

Kini, memasuki zaman jet, roket, satelit, yang ditandai pesatnya perkembangan dan penggunaan cyber physical system, artificial intelligent (AI), big data, dan internet of things (IoT). Komputer juga semakin kecil sehingga bisa menjadi sebesar kepalan tangan manusia, seperti smartphone, mudah penggunaannya dan bisa dibawa ke mana perlunya, termasuk menyaksikan serta mengikuti berbagai perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan secara sekala (tampak) maupun niskala (maya/tidak tampak), seperti di era digital ini. Cara memperoleh tuntunan ilmu pengetahuan dapat dilakukan oleh setiap orang melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah dan di luar sekolah. Perpaduan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan sekolah dan pengetahuan yang diperoleh dari ketajaman pengalaman sendiri, itu yang dinamakan Samkya (pengetahuan yang sejati, berenergi intuisi dan suara hati nurani). Saluran untuk memperolehnya dapat melalui lingkungan alam keluarga, sekolah atau perguruan, dan di lingkungan alam masyarakat luas atau alam jagat raya ini. Kecerdasan buatan (artificial intelligence) hadir atas hasil dari buah pemupukan ilmu pengetahuan, olah-pikir yang mampu menggugat salah satu kualitas hakiki manusia yang sering digunakan sebagai bukti keunggulan manusia. Memang ilmu pengetahuan bukan sebagai tujuan akhir, tetapi ilmu pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dapat sebagai pondasi peningkatan kualitas SDM untuk melahirkan ‘kesadaran’ dalam berkesenian dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Science as the Foundation for Quality Improvement Human Resources in the Arts ABSTRACT With the rapid advancement and use of cyber-physical systems, artificial intelligence (AI), big data, and the Internet of Things (IoT), we are now entering the era of planes, rockets, and satellites. Additionally, computers are getting smaller until they can match the size of a human fist, much like a smartphone. They are simple to use and portable, making them ideal for observing and monitoring various advancements in science in the digital age, both at a sekala (visible) and niskala (virtual/invisible). Everyone can learn how to acquire scientific counsel through education and learning processes at school and outside of school. Samkya (real knowledge, energized by intuition and conscience) is the confluence of knowledge gained from formal education and knowledge gained from the sharpness of one's own experience. It can be obtained through a channel that operates in the natural surroundings of a family, school, or university and in the natural surroundings of a larger community or the universe. Because of the advancement of science, artificial intelligence (AI) exists today and can fulfill one of the fundamental human needs that are frequently cited as proof of humanity's superiority. Research is not the end aim, but research and knowledge can serve as a foundation for raising the standard of human resources, which will help people live better lives and generate "awareness" of the arts.
The philosophical values of Rejang Dayung as an ancient dance inherited from Pura Luhur Batukau, Tabanan, Bali I Wayan Dana; Raja Alfirafindra; Agustin Anggraeni
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol. 21 No. 2 (2023)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/glr.v21i2.5355

Abstract

Rejang Dayung is an ancient dance inherited from the ancestors, serving a ritualistic function at Pura Luhur Batukau. It is exclusively performed in Jaba Tengah or the media mandala (living room) during the Sinineban (closing) ceremony at Pura Luhur Batukau. Noteworthy for its straightforward expressions in movements, floor patterns, costumes, and accompaniment, this dance merits scholarly investigation. The objectives of this study are to elucidate the philosophical value of Rejang Dayung performance as an ancient dance inherited from Pura Luhur Batukau, examine the correlation between the philosophical value of Rejang Dayung and the societal beliefs of Pura Luhur Batukau, and expound upon the significance of Rejang Dayung's philosophical value based on the concepts of Satyam (truth), Shivam (holiness), and Sundaram (beauty). The authors employed a qualitative method, incorporating field observation and interview techniques to gather data and ascertain the initial presentation of Rejang Dayung. The study's findings unequivocally reveal the philosophical values of Rejang Dayung and the embodiment of the Tri Hita Karana teachings (Balinese concepts for creating harmony), which encompass harmonious relationships between humans and God, humans and fellow humans, and humans and the universe. The philosophical value of Rejang Dayung signifies a profound surrender to the magnificence of Ida Sanghyang Widhi Wasa, God the Greatest, manifested through the collective choreography in pairs, symbolizing the convergence of Shiva-Parwati energy. This convergence, perceived by the people of Pura Luhur Batukau as the guardian of harmony in the universe and its constituents, underscores the dance's cultural and spiritual significance.