Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

HIBAH YANG BATAL DISEBABKAN MELEBIHI SEPERTIGA HARTA (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor 18/Pdt.G/2018/Ms.Ttn) Rahul Vishkar; Yefrizawati; Zamakhsyari; Suprayitno
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 1 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Januari
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i1.75

Abstract

Faktor utama yang sering menjadi masalah adalah ketentuan mengenai batasan hibah yang hanya boleh diberikan maksimal 1/3 (sepertiga) dari keseluruhan harta. Penelitian ini memiliki permasalahan yang hendak dikaji, yakni pertama, bagaimana pengaturan mengenai pembatalan hibah yang melebihi sepertiga harta? Kedua, bagaimana akibat hukum terhadap Notaris/PPAT dalam pembatalan akta hibah? Ketiga, bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam putusan nomor: 18/Pdt.G/2018/Ms.Ttn?. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif. Sumber data yang digunakan yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research), dan alat pengumpulan data menggunakan studi dokumen. Data dianalisa dengan cara metode penelitian secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hibah hanya boleh diberikan 1/3 harta saja hanya diatur dalam KHI, tidak ditemukan dalam fiqh namun ketentuan tersebut dianalogikan dengan wasiat. Akibat hukum terhadap Notaris/PPAT yang terkait dengan pembatalan akta hibah dapat dikenai sanksi administratif, sanksi perdata berdasarkan KUHPerdata, bahkan sanksi yang diatur dalam KUHPidana. Pertimbangan hukum hakim dalam putusan nomor: 18/Pdt.G/2018/Ms.Ttn sesuai dengan Hukum Islam yaitu hibah yang sah hanya 1/3 saja sedangkan sisa nya sah sebagai warisan dan berhak menjadi milik ahli waris dengan bagian 2/6 untuk laki-laki dan 1/6 untuk perempuan.
KAJIAN HUKUM PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN HIBAH WASIAT TANAH DAN BANGUNAN Inas Amanta; Yefrizawati; Bastari Mathon; T. Keizerina Devi Azwar
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 1 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Januari
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i1.84

Abstract

Pajak merupakan sumber pendapatan bagi negara yang penting dalam membiayai berbagai kegiatan pembangunan dan pelayanan publik. Dalam konteks perolehan hak atas tanah dan bangunan, BPHTB merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan. Dua aspek penting yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah saat terutangnya BPHTB atas hibah wasiat tanah dan bangunan serta besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) dalam konteks hibah wasiat tertentu. Dalam Undang-Undang Hak Pergunakan dan Pajak atas Tanah dan Bangunan (UU HKPP), terdapat ketentuan yang mengatur kapan BPHTB terutang atas hibah wasiat tanah dan bangunan. Selain itu, terdapat juga ketentuan mengenai besarnya NPOPTKP yang dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan. Penelitian ini memiliki tiga permasalahan yaitu bagaimana kepastian hukum ketentuan tentang saat terutang BPHTB atas hibah wasiat tanah dan bangunan, bagaimana kepastian hukum ketentuan tentang besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) atas perolehan hak atas tanah dan bangunan pada hibah wasiat tertentu berdasarkan Pasal 46 ayat (7) UU HKPP dan bagaimana keadilan ketentuan tentang besarnya NPOPTKP atas perolehan hak atas tanah dan bangunan hibah wasiat tertentu berdasarkan Pasal 46 ayat (7) UU HKPP. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif analitis. Sumber daya yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder yang diumpulan dengan teknik studi pustaka (library research). Ketentuan Pasal 49 huruf b) UU HKPP pada saat ditandatangani akta hibah wasiat, padahal objek pajak BPHTB belum ada. Penerima hibah wasiat akan memperoleh hak atas tanah dan bangunan sebagai objek BPHTB adalah pada saat/sesudah pemberi hibah wasiat meninggal dunia, hal ini sesuai ini sesuai dengan pasal 958 KUH Perdata. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam menentukan besarnya pengurangan NPOPTKP dapat menghasilkan perbedaan nilai yang signifikan. Dalam hal ini, terdapat ketidaksesuaian dan potensi ketidakadilan dalam besarnya pengenaan pajak terkait hibah wasiat tertentu. Pasal 46 ayat (7) UU HKPP adalah tidak memenuhi prinsip keadilan karena horizontal dan vertikal. Orang yang mempunyai kemampuan ekonomi yang sama berupa NPOPTKP objek pajak yang sama, karena diberikan NPOPTKP yang berbeda akan menghasilkan besarnya hutang pajak BPHTB yang berbeda ini melandaskan bahwa wajib pajak dengan kemampuan yang sama dikenakan pajak dengan jumlah yang berbeda.
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN METODE "MAROSOK” DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI HEWAN TERNAK DI NAGARI CAMPAGO SELATAN KECAMATAN V KOTO KAMPUNG DALAM KABUPATEN PADANG PARIAMAN Karina Lukman Hakim; Rosnidar Sembiring; Idha Aprilyana Sembiring; Yefrizawati
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 1 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Januari
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i1.88

Abstract

Pelaksanaan jual beli hewan ternak dengan metode Marosok ini merupakan suatu tradisi dari masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Jual beli hewan ternak ini dilaksanakan dengan cara berjabatan tangan antara penjual dan pembeli yang ditandai dengan gerakan jari antara keduanya yang ditutup oleh media penutup seperti kain sarung, handuk atau topi. keabsahan dari jual beli hewan ternak dengan Marosok ini ditandai dengan adanya anggukan atau gelengan kepala apabila menyetujui harga jual yang ditawarkan si pembeli kepada penjual. Penelitian ini memiliki permasalahan yang dikaji, yakni yang pertama Bagaimana mekanisme “marosok” Dalam pelaksanaan jual beli hewan ternak di Nagari Campago Selatan Kecamatan V Koto Kampung Dalam Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat? Kedua, Bagaimana upaya penyelesaian sengketa dalam jual beli hewan ternak dengan metode “marosok”? Ketiga, Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pelaksanaan metode “marosok” dalam pelaksanaan jual beli hewan ternak di Nagari Campago Selatan Kecamatan V Koto Kampung Dalam Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat?. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian Yuridis Empiris yang bersifat deskriptif analitis. Sumber data menggunakan sumber data data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan sedangkan data sekunder dengan menggunakan bahan hukum yaitu Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan penggunaan teknik pengumpulan data penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan atau (Field Research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis dengan mengangkat data yang ada dilapangan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan jual beli hewan ternak dengan cara marosok ini dilakukan dengan cara berjabatan tangan yang mana setiap jari memiliki arti nominal angka yang berbeda, berjabat tangan ini dilaksanakan penjual dengan pembeli yang ditutupi oleh media penutup berupa kain sarung, handuk atau topi. Upaya penyelesaian sengketa yang ditempuh pada proses jual beli hewan ternak dengan tradisi marosok ini dilakukan secara damai (kekeluargaan), apabila mengalami kendala dalam penyelesaian sengketa tersebut maka dapat diselesaikan dengan cara menghadirkan orang ketiga yaitu ninik dan mamak. Pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan jual beli hewan ternak dengan metode marosok menurut hukum Islam memenuhi syarat sah jual beli dalam hukum Islam yang tidak mengandung unsur keterpaksaan didalamnya dan sesuai dengan syariat hukum Islam yang berlaku.
PERJANJIAN JUAL-BELI DENGAN SISTEM TAKSIR MENURUT HUKUM ISLAM Razika Azmila; Utary Maharani Barus; Idha Aprilyana Sembiring; Yefrizawati
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 3 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Maret
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i3.217

Abstract

Keabsahan Jual-beli dilakukan dengan membuat suatu perjajian yang dibuat oleh kedua belah pihak sebagai bukti terlaksanaya jual-beli. Perjanjian dalam jual-beli mempunyai tatacara dan pelaksanaan yang bermacam-macam. salah satunya adalah perjanjian jual beli dengan sistem taksir atau dalam Hukum Islam disebut jual beli jizaf. Jual beli jizaf merupakan kebiasaan masyarakat Kecamatan Tanah Putih dalam melakukan transaksi jual beli tanah yang belum diketahui secara pasti ukuran tanah yang akan menjadi penentu harga jual tanah. Rumusan masalah dalam penelitian ini: Bagaimana praktek perjanjian jual-beli dengan sistem taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. ditinjau dari Hukum Islam. Bagaimana akibat hukum dari perjanjian jual beli dengan system taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir,Provinsi Riau serta Bagaimana upaya penyelesaian sengketa yang ditimbukan dari perjanjian jual beli dengan sistem taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dimana sumber datanya diperoleh dari data primer dan data skunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum, yaitu : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan studi lapangan dengan melakukan wawancara dan kuesioner kepada responden. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif Hasil dari penelitian Praktek perjanjian jual beli dengan sistem taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau merupakan suatu kebiasaan masyarakat adat setempat dalam bertransaksi jual beli tanah. Adapun perjanjian jual beli dengan sistem taksir ini ditinjau dari keabsahan rukun dan syarat akad jual beli yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat belum sesuai dengan Hukum Islam, dikarenakan tidak terpenuhinya syarat taksir dalam pandangan Hukum Islam. Akibat hukum dari perjanjian jual beli yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau pada saat berlangsungnya akad yang sudah dikendaki dan disepakati oleh kedua belah pihak secara sukarela, namun tanah yang menjadi obyek jual beli dengan sistem taksir mengandung kecacatatan sehingga menimbulkan kekeliruan pada sifat akad. Akad semacam ini dalam Hukum Islam dapat dibatalkan. Upaya penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian jual beli dengan sistem taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau dilakukan dengan musyawarah. Pihak penjual dan pembeli melakukan mediasi yang dihadiri oleh kepala desa atau ninik mamak sebagai hakim yang memberikan pemahaman sehingga kedua belah pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian baru atau membatalkan perjanjian jual beli.