Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK YANG MENYEBABKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN NASAB DENGAN ORANG TUA KANDUNG DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK (STUDI DI DESA TANJUNG MEDAN, KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN) Darnedy Kurnia Santi; T.Keizerina Devi A; Idha Aprilyana Sembiring; Yefrizawati -
Ilmu Hukum Prima (IHP) Vol. 5 No. 2 (2022): JURNAL ILMU HUKUM PRIMA
Publisher : jurnal.unprimdn.ac.id

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34012/jihp.v5i2.2766

Abstract

Adoption of a child is the transfer of a child from biological parents to adoptive parents, where the responsibility of the biological parents also shifts to the person who adopted him. However, there are discrepancies in the adoption process as happened in the Tanjung Medan Village area, South Labuhanbatu Regency, in this case there are people who adopt as many as 14 families, there are 5 families who take action to terminate the kinship relationship between the child's biological parents. with his son. This is of course not in accordance with Government Regulation Number 54 of 2007 concerning the Implementation of Child Adoption. The purpose of this study was to determine whether the process of implementing child adoption in Tanjung Medan Village, South Labuhanbatu Regency was in accordance with PP Number 54 of 2007, to determine the cause of the termination of kinship relations with biological parents during the adoption process that occurred in Tanjung Medan Village, Kabupaten Tanjung Medan. Labuhanbatu Selatan, and to find out that the legal protection for adopted children is not in accordance with the adoption process as regulated in PP number 54 of 2007. This research method uses a normative juridical approach and an empirical juridical approach. The data used are primary data and secondary data. All data were analyzed by qualitative data analysis method. Based on research, the implementation of child adoption in Tanjung Medan Village is currently not in accordance with Government Regulation Number 54 of 2007 concerning the Implementation of Child Adoption, therefore there is a need for cooperation between the village head and parents who want to adopt children to be given counseling about the implementation adoption of children in accordance with statutory regulations.
AKIBAT HUKUM PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN TERHADAP HARTAPENCAHARIAN ISTRI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 145 K/Pdt/2021) Natasha Karina Sianturi; Hasim Purba; Rosnidar Sembiring; Idha Aprilyana Sembiring
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 1 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Januari
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i1.78

Abstract

Perkawinan adalah sebuah perbuatan hukum yang akan menimbulkan hak dan kewajibannya sebagai sepasang suami dan istri. Akibat hukum yang timbul dalam suatu perkawinan adalah antara suami/istri, anak dan harta perkawinan. Permasalahan yang ada saat ini adalah terkait dengan akibat hukum perkawinan yang tidak didaftarkan terhadap harta perncaharian istri dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 145 K/Pdt/2021. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai kedudukan hukum harta yang diperoleh selama perkawinan dalam suatu hubungan perkawinan yang tidak didaftarkan menurut Undang-Undang Perkawinan, akibat hukum perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan, dan pertimbangan hukum hakim terhadap harta pencaharian istri dalam perkawinan yang tidak didaftarkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 145 K/Pdt/2021. Metode Penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif, penelitian ini bersifat deskriptif, sumber data terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data kepustakaan, analisis data menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kedudukan hukum harta yang diperoleh selama perkawinan dalam suatu hubungan perkawinan yang tidak didaftarkan menurut Undang-Undang Perkawinan adalah tidak ada harta bersama, yang ada hanyalah harta sepihak yaitu suami ataupun istri yang artinya harta yang didapat masing-masing sebelum dan sesudah perkawinan sirri dikuasai oleh masing-masing suami atau istri tersebut. Akibat hukum perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan adalah perkawinan yang tidak didaftakan menyebabkan tidak adanya akibat hukum yang timbul apabila terjadi suatu perceraian maka harta yang diperoleh selama perkawinan yang tidak didaftarkan tidak akan dibagi secara adil atau setara antara kedua pasangan apabila terjadi suatu perceraian. Pertimbangan hukum hakim terhadap harta pencaharian istri dalam perkawinan yang tidak didaftarkan dengan memberikan keadilan kepada pengugat sesuai dengan asas kepatutan dan keadilan bagi penguggat. Masyarakat harus paham mendaftarkan suatu perkawinan adalah hal wajib yang harus dilakukan. Hal ini akan mempermudah masyarakat dalam menentukan suatu kedudukan harta perkawinan dan menimbulkan akibat hukum terhadap harta perkawinan apabila bersengketa harta perkawinan dalam suatu perceraian. Pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan suatu putusan haruslah secara Ex aequo et bono yaitu putusan yang mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dan kepatutan.
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN TERHADAP ISTRI YANG MENGALAMI GANGGUAN KEJIWAAN (Studi Putusan MA No. 114 K/Ag/2022) Retno Amelia; Hasim Purba; Rosnidar Sembiring; Idha Aprilyana Sembiring
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 1 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Januari
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i1.79

Abstract

Ibu mengalami gangguan kejiwaan yang signifikan dan tidak mampu merawat anak, hak asuh dapat diberikan kepada keluarga ayah atau bahkan kepada keluarga ibu yang lain. Namun, dalam kasus gangguan kejiwaan yang lebih ringan, pengadilan mungkin memberikan hak asuh dengan syarat bahwa ibu mengikuti pengobatan atau terapi untuk mengatasi masalah kejiwaannya. Permasalahan dalam penelitian gangguan kejiwaan dapat dijadikan alasan untuk mencabut hak asuh anak menurut hukum positif dan Undang-Undang Perkawinan. Perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur akibat perceraian kedua orang tuanya. Bentuk kepastian hukum terhadap hak asuh anak yang ibunya mengalami gangguan kejiwaan (analisis putusan Mahkamah Agung No.114 K/Ag/2022). Jenis penelitian yang digunakan yuridis normatif, penelitian deskriptif analitis. Sumber data dalam penelitian yaitu data sekunder. Pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan dan wawancara, alat pengumpul data studi dokumen. Analisis data menggunakan metode kualitatif. Gangguan kejiwaan dapat dijadikan alasan untuk mencabut hak asuh anak menurut hukum positif dan Undang-Undang Perkawinan. Gangguan kejiwaan seseorang dapat menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam kasus penentuan hak asuh anak, terutama jika kondisi tersebut mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memberikan perawatan yang aman dan stabil bagi anak. Namun, ini biasanya tidak berarti secara otomatis akan mencabut hak asuh anak sepenuhnya dari orang tua yang memiliki gangguan kejiwaan. Proses hukum dalam penentuan hak asuh anak melibatkan pengumpulan bukti dan pendapat dari berbagai pihak, termasuk ahli medis atau psikolog. Perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur akibat perceraian kedua orang tuanya. Setelah terjadinya perceraian, kedua orang tua masih mempunyai kewajiban untuk menanggung biaya hidup dan pendidikan anak. Hak nafkah: Orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh tetap harus memberikan nafkah kepada anak. Undang-undang memberikan perlindungan hukum kepada anak korban perceraian, seperti terhadap kelangsungan hidup, pendidikan, dan Kesehatan.  Bentuk kepastian hukum terhadap hak asuh anak yang ibunya mengalami gangguan kejiwaan (analisis putusan Mahkamah Agung No.114 K/Ag/2022). Majelis hakim menyatakan bahwa hak asuh anak jatuh ke tangan ibu secara normatif. Namun, jika ibu mengalami gangguan kejiwaan yang dapat membahayakan anak, maka hak asuh dapat diberikan kepada ayah atau pihak lain yang dianggap lebih mampu memberikan perlindungan dan pengasuhan yang baik bagi anak. Majelis hakim juga mempertimbangkan kesejahteraan anak sebagai faktor utama dalam menentukan hak asuh. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung memutuskan bahwa hak asuh anak diberikan kepada ayah karena ibu mengalami gangguan kejiwaan yang dapat membahayakan anak.
HARTA PUSAKA TINGGI OLEH PERSEORANGAN DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU (Studi Putusan Nomor 26/Pdt.G/2013/PN.BS) Faridz Afdillah; Yefrizwati; Idha Aprilyana Sembiring; Marianne Magda Ketaren
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 1 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Januari
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i1.85

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya penguasaan harta pusaka tinggi oleh salah satu anggota kaum dengan cara mensertifikatkannya ke BPN. Sedangkan menurut peraturan adat Minangkabau, harta pusaka tinggi tidak dapat dikuasai secara perseorangan, sehingga peristiwa tersebut menimbulkan keberatan bagi anggota kaum yang lainnya. Penelitian ini adalah termasuk jenis penelitian yuridis empiris. Adapun sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis. Sumber data penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Analisis data yang menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan dan pengelolaan harta pusaka tinggi dalam adat Minangkabau yaitu kedudukannya sangat kuat karena tidak bisa dialihkan menjadi milik pribadi dan dimiliki secara komunal serta telah diakui kedudukannya dalam sistem hukum nasional melalui Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, sedangkan pengelolaannya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengelolaan oleh anggota kaum pemilik harta pusaka tinggi itu sendiri atau pengelolaan oleh orang lain selain anggota kaum dengan cara perjanjian bagi hasil maupun melalui gadai. Penguasaan harta pusaka tinggi oleh perseorangan menurut hukum waris adat Mingangkabau adalah tidak diperbolehkan kecuali adanya kesepakatan oleh seluruh anggota kaum yang memperbolehkannya. Pada prinsipnya harta pusaka tinggi tidak bisa dialihkan kepemilikannya kepada orang lain melainkan harta tersebut tetap menjadi utuh milik anggota kaum secara komunal yang pengawasan pengelolaannya dalam kewenangn mamak kepala waris suatu kaum. Pertimbangan hukum hakim dalam putusan nomor 26/Pdt.G/2013/PN.BS. terdiri dari pertimbangan tentang asal usul atau sejarah tanah objek terperkara, majelis hakim menyimpulkan bahwa tanah sebagai objek perkara benar merupakan harta pusaka tinggi kaum penggugat suku Singkuang, kemudian pertimbangan tentang apa hubungan Penggugat dengan Tergugat yang menurut majelis hakim penggugat dan tergugat memiliki hubungan satu kaum (seharta pusaka), kemudian pertimbangan apakah objek perkara merupakan pusaka tinggi kaum Penggugat atau tidak yang menurut majelis hakim berdasarkan bukti surat dan keterangan saksi benar tanah objek perkara merupakan harta pusaka tinggi penggugat, kemudian tentang proses penerbitan sertifikat atas tanah objek terperkara majelis hakim menyimpulkan bahwa penerbitan sertifikat yang dilakukan oleh BPN Tanah Datar kurang hati-hati yaitu tidak menggunakan surat jual beli tanah antara Suid (mamak ninik penggugat) dengan Syarif (Mamak tergugat) sebagai alas hak penerbitan sertifikat tersebut.
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN METODE "MAROSOK” DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI HEWAN TERNAK DI NAGARI CAMPAGO SELATAN KECAMATAN V KOTO KAMPUNG DALAM KABUPATEN PADANG PARIAMAN Karina Lukman Hakim; Rosnidar Sembiring; Idha Aprilyana Sembiring; Yefrizawati
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 1 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Januari
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i1.88

Abstract

Pelaksanaan jual beli hewan ternak dengan metode Marosok ini merupakan suatu tradisi dari masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Jual beli hewan ternak ini dilaksanakan dengan cara berjabatan tangan antara penjual dan pembeli yang ditandai dengan gerakan jari antara keduanya yang ditutup oleh media penutup seperti kain sarung, handuk atau topi. keabsahan dari jual beli hewan ternak dengan Marosok ini ditandai dengan adanya anggukan atau gelengan kepala apabila menyetujui harga jual yang ditawarkan si pembeli kepada penjual. Penelitian ini memiliki permasalahan yang dikaji, yakni yang pertama Bagaimana mekanisme “marosok” Dalam pelaksanaan jual beli hewan ternak di Nagari Campago Selatan Kecamatan V Koto Kampung Dalam Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat? Kedua, Bagaimana upaya penyelesaian sengketa dalam jual beli hewan ternak dengan metode “marosok”? Ketiga, Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pelaksanaan metode “marosok” dalam pelaksanaan jual beli hewan ternak di Nagari Campago Selatan Kecamatan V Koto Kampung Dalam Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat?. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian Yuridis Empiris yang bersifat deskriptif analitis. Sumber data menggunakan sumber data data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan sedangkan data sekunder dengan menggunakan bahan hukum yaitu Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan penggunaan teknik pengumpulan data penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan atau (Field Research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis dengan mengangkat data yang ada dilapangan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan jual beli hewan ternak dengan cara marosok ini dilakukan dengan cara berjabatan tangan yang mana setiap jari memiliki arti nominal angka yang berbeda, berjabat tangan ini dilaksanakan penjual dengan pembeli yang ditutupi oleh media penutup berupa kain sarung, handuk atau topi. Upaya penyelesaian sengketa yang ditempuh pada proses jual beli hewan ternak dengan tradisi marosok ini dilakukan secara damai (kekeluargaan), apabila mengalami kendala dalam penyelesaian sengketa tersebut maka dapat diselesaikan dengan cara menghadirkan orang ketiga yaitu ninik dan mamak. Pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan jual beli hewan ternak dengan metode marosok menurut hukum Islam memenuhi syarat sah jual beli dalam hukum Islam yang tidak mengandung unsur keterpaksaan didalamnya dan sesuai dengan syariat hukum Islam yang berlaku.
PERJANJIAN JUAL-BELI DENGAN SISTEM TAKSIR MENURUT HUKUM ISLAM Razika Azmila; Utary Maharani Barus; Idha Aprilyana Sembiring; Yefrizawati
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 3 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi Maret
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i3.217

Abstract

Keabsahan Jual-beli dilakukan dengan membuat suatu perjajian yang dibuat oleh kedua belah pihak sebagai bukti terlaksanaya jual-beli. Perjanjian dalam jual-beli mempunyai tatacara dan pelaksanaan yang bermacam-macam. salah satunya adalah perjanjian jual beli dengan sistem taksir atau dalam Hukum Islam disebut jual beli jizaf. Jual beli jizaf merupakan kebiasaan masyarakat Kecamatan Tanah Putih dalam melakukan transaksi jual beli tanah yang belum diketahui secara pasti ukuran tanah yang akan menjadi penentu harga jual tanah. Rumusan masalah dalam penelitian ini: Bagaimana praktek perjanjian jual-beli dengan sistem taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. ditinjau dari Hukum Islam. Bagaimana akibat hukum dari perjanjian jual beli dengan system taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir,Provinsi Riau serta Bagaimana upaya penyelesaian sengketa yang ditimbukan dari perjanjian jual beli dengan sistem taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dimana sumber datanya diperoleh dari data primer dan data skunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum, yaitu : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan studi lapangan dengan melakukan wawancara dan kuesioner kepada responden. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif Hasil dari penelitian Praktek perjanjian jual beli dengan sistem taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau merupakan suatu kebiasaan masyarakat adat setempat dalam bertransaksi jual beli tanah. Adapun perjanjian jual beli dengan sistem taksir ini ditinjau dari keabsahan rukun dan syarat akad jual beli yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat belum sesuai dengan Hukum Islam, dikarenakan tidak terpenuhinya syarat taksir dalam pandangan Hukum Islam. Akibat hukum dari perjanjian jual beli yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau pada saat berlangsungnya akad yang sudah dikendaki dan disepakati oleh kedua belah pihak secara sukarela, namun tanah yang menjadi obyek jual beli dengan sistem taksir mengandung kecacatatan sehingga menimbulkan kekeliruan pada sifat akad. Akad semacam ini dalam Hukum Islam dapat dibatalkan. Upaya penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian jual beli dengan sistem taksir di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau dilakukan dengan musyawarah. Pihak penjual dan pembeli melakukan mediasi yang dihadiri oleh kepala desa atau ninik mamak sebagai hakim yang memberikan pemahaman sehingga kedua belah pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian baru atau membatalkan perjanjian jual beli.
KAJIAN YURIDIS ATAS KEABSAHAN STATUS PERKAWINAN SIPEMENA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA: Studi Kasus Desa Marike, Kecamatan Kutambaru, Kabupaten Langkat Marissa Gabriela Hutabarat; Rosnidar Sembiring; Idha Aprilyana Sembiring; Maria Kaban
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 4 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi April
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i4.266

Abstract

Di Indonesia ditemukan aliran-aliran kepercayaan yang sedang berperan dan juga memiliki partisan yang aktif, misalnya Aliran Kepercayaan Buhun (Jawa Barat), Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Parmalim (Batak), Kaharingan (Kalimantan) dan sebagainya. Masyarakat Karo mempunyai keyakinan tradisional tersendiri yang disebut dengan Pemena. Permasalahan terjadi disebabkan keyakinan mereka tidak diterima oleh negara dalam Undang-Undang Perkawinan. Tesis ini membahas beberapa permasalahan yaitu keabsahan perkawinan aliran kepercayaan ditinjau berdasarkan syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang perkawinan no. 1 tahun 1974, permasalahan yang terjadi di Desa Marike dalam melakukan pencatatan perkawinan Sipemena, dan Akibat Hukum pada Aliran Kepercayaan Sipemana tidak mememiliki catatan perkawinan di Desa Marike. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian Yuridis Empiris yang sifat Deskriptif Analitis. Teori yang digunakan dalam penulisan tesis yaitu Teori Kepastian Hukum dan Teori Perlindungan Hukum. Tesis ini menggunakan pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan Kasus. Sumber data penelitian yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, wawancara dan studi lapangan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Dari penelitian yang dilakukan, maka disimpulkan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Perkawinan adat Karo menganut hukum eksogamie (perkawinan di luar kelompok suku tertentu) yang mana pernikahannya memiliki tahapan-tahapan yang tidak dapat dilakukan secara sembarangan karena harus berdasarkan kesepakatan keluarga kedua calon pengantin. Karena bagi masyarakat Karo, secara sosial pernikahan adalah mengawinkan kedua keluarga besar beserta leluhurnya. Kedua, Pamena merupakan sebuah paham kepercayaan bersifat Animisme yang lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat suku Karo, dimana negara masih menganggap bahwa aliran kepercayaan ini bukan merupakan agama yang diakui mengakibatkan para penganut aliran kepercayaan tidak memiliki kepastian hukum yang baik. Ketiga, Status Hukum Perkawinan bagi Penganut Kepercayaan Sipemena pada Masyarakat Suku Karo sejatinya diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang belum melindungi hak Penganut atau penghayat kepercayaan terutama dalam adminisitrasi negara, Keempat, Akibat hukum yang diterima oleh para Penghayat kepercayaan Sipemena yang melangsungkan perkawinan, memiliki dampak dimana status perkawinan yang tidak sah secara administrasi yang diatur oleh Negara, status anak, serta harta yang dihasilkan selama perkawinan tersebut berlangsung.
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA YANG TIDAK BERIMBANG ANTARA SUAMI DAN ISTERI PASCA PERCERAIAN: Studi Putusan Nomor 1910/Pdt.G/2020/PA.Gs Stanley Alvin; Rosdinar Sembiring; Idha Aprilyana Sembiring; Tony
Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 9 (2024): JURNAL MEDIA AKADEMIK Edisi September
Publisher : PT. Media Akademik Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62281/v2i9.778

Abstract

Sebuah perkawinan dapat berakhir dengan perceraian, apabila terjadi perceraian tentu akan membawa akibat hukum sebagai konsekuensi dari perceraian tersebut, salah satunya adalah harta bersama yang diperoleh sepanjang perkawinan. Salah satu perkara perceraian yang mempermasalahkan pembagian harta bersama terdapat pada Putusan Nomor 1910/Pdt.G/2020/PA.Gs, dimana dalam perkara tersebut pembagian harta bersama diputus secara tidak berimbang antara suami dan isteri. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pembagian harta bersama pasca perceraian ditinjau berdasarkan hukum positif di Indonesia, perlindungan hukum bagi isteri atas pembagian harta bersama yang tidak berimbang dikaitkan dengan nilai keadilan dan analisis pertimbangan hukum hakim dalam memutus pembagian harta bersama pada Putusan No. 1910/Pdt. G/2020/PA.Gs. Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik dan alat pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pertimbangan hakim dalam memutus pembagian harta secara tidak berimbang bersama pada Putusan No. 1910/Pdt. G/2020/PA.Gs merujuk pada fakta persidangan, untuk bagian harta yang dibagi secara berimbang merujuk kepada Pasal 97 KHI. Kesimpulan penelitian ini adalah pembagian harta bersama pasca perceraian ditinjau berdasarkan hukum positif di Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu terdapat pada Pasal 37 dan Kompilasi Hukum Islam yaitu terdapat pada bab XIII Pasal 85-97. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pembagian harta bersama dibagi dua secara berimbang, sedangkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pembagian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Perlindungan hukum bagi isteri atas pembagian harta bersama yang tidak berimbang dikaitkan dengan nilai keadilan dapat ditempuh isteri dengan cara meletakkan sita marital dan gugatan harta bersama. Apabila gugatan harta bersama pada pengadilan agama tidak memberikan rasa keadilan bagi isteri, maka ia dapat mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan Tinggi Agama sampai dengan kepada Mahkamah Agung. Analisis pertimbangan hakim dalam memutus pembagian harta bersama pada Putusan No. 1910/Pdt. G/2020/PA.Gs adalah secara tidak berimbang yang didasarkan pada fakta-fakta yang ditemukan selama proses persidangan. Pembagian yang tidak berimbang tersebut berupa Manfaat Program Paska Kerja, sedangkan untuk kendaraan roda empat, Majelis Hakim membagi rata harta bersama tersebut kepada Penggugat dan Tergugat.
PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL (MERBELLAH) TERNAK KERBAU BERDASARKAN KEBIASAAN SUKU PAKPAK (STUDI DI DESA PASI KECAMATAN BERAMPU KABUPATEN DAIRI) Aktif Apriantoro Siregar; Rosnidar Sembiring; Idha Aprilyana Sembiring; Maria Kaban
Jurnal Intelek Insan Cendikia Vol. 1 No. 8 (2024): Oktober 2024
Publisher : PT. Intelek Cendikiawan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bagi hasil adalah kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Praktik bagi hasil (merbellah) merupakan suatu kegiatan yang dilakukan di Desa Pasi Kecamatan Berampu Kabupaten Dairi. Masyarakat menyebutnya dengan merbellah yang artinya bagi hasil pada peternakan kerbau.Tesis ini membahas bentuk perjanjian bagi hasil (merbellah) antara pemilik kerbau dan peternak kerbau di Desa Pasi Kecamatan Berampu Kabupaten Dairi, porsi pembagian hasil antara pemilik kerbau dan peternak kerbau dalam perjanjian bagi hasil (merbellah) di Desa Pasi Kecamatan Berampu Kabupaten Dairi, penyelesaian perselisihan antara pemilik kerbau dan peternak kerbau dalam perjanjian bagi hasil (merbellah) di Desa Pasi Kecamatan Berampu Kabupaten Dairi. Jenis penelitian tesis ini menggunakan penelitian empiris yang bersifat deskriptif analisis.Data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pelaksanaan perjanjian bagi hasil (merbellah) di Desa Pasi tersebut yaitu dilakukan berdasarkan hukum adat setempat dan dibuat secara lisan dengan pembagian anak pertama 75:25, anak kedua 50:50 , Kedua jika pemilik kerbau ingin menjual indukan tersebut sebelum menghasilkan anak dengan alasan tertentu, peternak hanya mendapatkan upah tali yaitu upah yang didapatkan tidak ditentukan hanya sukarela dari pemilik kerbau tersebut. Bentuk porsi pembagian yang ketiga, jika kerbau betina yang dipelihara mandul atau tidak dapat menghasilkan anak, kerbau betina tersebut dijual dan jika kerbau yang diberikan kerbau jantan maka akan dipelihara lima sampai enam tahun, lalu dijual atau menunggu harga yang sesuai dengan keinginan pemilik. Hasil dari penjualan tersebut akan dikurangi dengan modal pertama yaitu harga kerbau pertama kali dibeli oleh pemilik setelah dikurangkan, sisanya dibagi dua atau 50:50. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian bagi hasil (merbellah) menurut hukum adat Pakpak di Kecamatan Berampu Kabupaten Dairi, bahwa dalam penyelesaian sengketa perjanjian bagi hasil (merbellah) diselesaikan melalui dua cara yaitu pertama Non-Litigasi terdiri dari Negosiasi Para Pihak, Hukum Adat dan Kepala Desa, cara yang kedua yaitu Litigasi. Hendaknya perjanjian bagi hasil (merbellah) dilakukan secara tertulis sehingga ada kepastian hukumnya, dengan demikian bentuk perjanjian bagi hasil (merbellah) yang dilaksanakan di Desa Pasi Kecamatan Berampu Kabupaten Dairi sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yaitu dalam Pasal 3 yang mengharuskan perjanjian dilakukan secara tertulis di hadapan pejabat yang berwenang.