cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Religi�: Jurnal Studi Agama-agama
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Arjuna Subject : -
Articles 98 Documents
Makna Pengobatan Tradisional Badewah Suku Dayak Bagi Masyarakat Muslim di Kalimantan Tengah Asmawati, Asmawati; Hartati, Zainap; Emawati, Emawati
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 8 No 1 (2018): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.149 KB)

Abstract

The development of science and technology can not replace the meaning of traditional medicine. Some people choose traditional medicine that have less side effects, is also related to the community's beliefs. Thus, the present study will basically try to answer such questions as: What is a badewah? How is the meaning of badewah for the Moslems communty of Muara Teweh? The study was conducted in North Barito District, Central Kalimantan. The research data consists of language, action, experience and history. The result of research as: badewah is a traditional treatment by praying to the God for healhty. Badewah treats the irrational disease and eternal disease. Muslim community in Muara Teweh choose badewah as an alternative treatment solution and interpreted as a multi-function card. Badewah has been interpreted differently by the patient. The meaning is reflected in their goals and expectations. Dayak tribe believe, if suffering from disease, before or after coming to the doctor or hospital, they are also seeking for alternative treatments such as medicines kampong and traditional healer. [Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa menggantikan makna pengobatan tradisional. Sebagian orang memilih pengobatan tradisional yang memiliki efek samping lebih sedikit, juga terkait dengan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini pada dasarnya akan mencoba menjawab permasalahan: Apa itu badewah? Bagaimana makna badewah bagi umat Muslim di Muara Teweh? Penelitian dilakukan di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Data penelitian terdiri dari bahasa, tindakan, pengalaman dan sejarah. Hasil penelitian menunjukkan badewah adalah pengobatan tradisional dengan cara berdoa kepada Tuhan untuk kesehatan. Badewah dilakukan untuk mengobati penyakit irasional dan penyakit yang tak kunjung sembuh. Komunitas Muslim di Muara Teweh memilih badewah sebagai solusi pengobatan alternatif dan ditafsirkan sebagai kartu multi-fungsi dan berbeda oleh pasien. Makna pemilihan pengobatan tradisional tercermin dalam tujuan dan harapan mereka. Suku Dayak percaya, jika menderita penyakit, sebelum atau sesudah datang ke dokter atau rumah sakit, mereka juga mencari pengobatan alternatif seperti obat-obatan kampung dan tabib tradisional.]
Muslim Paruh Waktu di SMAN 6 dan SMKN 2 Kota Padang Ashadi, Andri
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 2 (2017): September
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (422.401 KB)

Abstract

Some Islamic programs both in SMAN 6 nor in SMKN 2 such as Muslim-Muslim clothing, learning of Islamic Religion and Character Education are not only aimed at Muslim students but also involve non-Muslim (Christian) students. In this position, Christian students are faced with a conflict of identity. On the one hand, they are not possible to establish Islamic identity as Muslim students because the religion is a dogma that does not cast doubt. On the other hand, they were almost impossible to get out of various Islamic programs because it was a regional policy and in the public schools was embodied in various rules and rule of schools. This paper presents a study of how they imitate the Islamic identity of the school's public space and how they interpret the imitation process. Based on the results of observations, interviews, and FGDs with schools, Christian students, their parents, Padang City Christian religious leaders and Padang City Education Office, this paper concludes that Christian students try to imitate "like" Muslim students. It's just they behave "like" Muslim students are more meaningful than self-adjustment which has nothing to do with religion. While religion is interpreted as faith and belief and that is the reality of religion. [Beberapa program keislaman baik di SMAN 6 maupun di SMKN 2 seperti kewajiban berbusana muslim-muslimah, kultum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti tidak hanya ditujukan terhadap siswa muslim, namun juga melibatkan siswa non-muslim (Kristen). Dalam posisi tersebut siswa Kristen dihadapkan pada benturan identitas. Di satu sisi, mereka tidak mungkin untuk menjati-dirikan identitas keislaman sebagaimana layaknya siswa muslim lantaran agama adalah dogma yang tidak meruangkan keragu-raguan. Mereka hampir tidak mungkin pula keluar dari berbagai program keislaman lantaran hal tersebut merupakan kebijakan daerah dan di sekolah-sekolah umum negeri dijelmakan dalam berbagai aturan dan tata tertib sekolah. Paper ini menghadirkan kajian tentang bagaimana mereka meniru identitas keislaman ruang publik sekolah dan bagaimana pula mereka memaknai proses peniruan tersebut. Berdasarkan hasil-hasil observasi, wawancara, dan FGD dengan pihak sekolah, siswa Kristen, para orang tua mereka, pemuka agama Kristen Kota Padang dan Dinas Pendidikan Kota Padang, paper ini menyimpulkan bahwa bahwa siswa Kristen berusaha meniru untuk “seperti” siswa muslim. Hanya saja berperilaku “seperti” siswa muslim lebih mereka maknai sebatas penyesuaian diri yang tidak ada hubungannya dengan agama. Sementara agama dimaknai sebagai iman dan keyakinan dan itulah agama yang sesungguhnya.]
Eksistensi Warok Dan Gemblak di tengah Masyarakat Muslim Ponorogo Tahun 1960-1980 Krismawati, Nia Ulfia; Warto, Warto; Suryani, Nunuk
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 8 No 1 (2018): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.527 KB)

Abstract

Warok is a central figure in the life of Ponorogo Society. The existence, authority, and high social status became a social capital in the perpetuating of an ideology of kanuragan. The groups of Warok has believed that a woman is a source of weakness for mysticists that forces them to resist the lust and avoid a woman. Some of Warok presented a figure of gemblak as diversion of lust as well as an assistant in the various activities. The “menggemblak” behavior was considered not in accordance with religious values and norms because it leads to deviant practices. This study is aimed to analyze the existence of warok and gemblak in the social structure of Ponorogo society and how warok attempted to perpetuate gemblak tradition among the Muslim society as majority. The result showed that the strategic position, social status, and power to influence in the social structure became the social capital to socialize the practice of ablution as kanuragan ideology and it is normal. Meanwhile, the Islamic efforts in shifting the gemblak tradition were carried out through modification of Reog which is considered as an appropriate means of conveying religious values
Perilaku Ritual Keagamaan Komunitas Tlasih 87 dalam Menciptakan Hubungan Harmonis Antar Umat Beragama khasbullah, wiwik setiyani
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 8 No 1 (2018): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (468.78 KB)

Abstract

[Bagi masyarakat Jawa, ritual merupakan aktivitas yang sangat penting. Ritual Jawa meliputi nyadran (perayaan desa); procotan (kelahiran bayi); mantenan (upacara pernikahan); dan methil (panen). Masyarakat Tlasih 87 merupakan salah satu dari masyarakat Jawa yang senantiasa melestarikan dan menyelenggarakan ritual-ritual tersebut. Warga masyarakat Tlasih 87 memiliki latar belakang keagamaan yang berbeda, seperti Islam, Kristen, Hindu, dan aliran kepercayaan. Penelitian ini bertujuan menganalisis interaksi antar-anggota kelompok keagamaan berbeda, terutama dalam masyarakat Tlasih 87, dan praktif partisipatif mereka dalam pelaksanaan ritual Jawa. Melalui wawancara, observasi, dokumentasi, dan analisis data, penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat Tlasih 87 memiliki pola perilaku yang harmonis dan memiliki upaya menyatukan sikap kebersamaan yang baik, saling mendukung satu sama lain. Hal tersebut bisa dilihat dari keterlibatan aktif mereka dalam pelaksanaan ritual Jawa.]
Harmoni Sosial dalam Tradisi Sedekah Bumi Masyarakat Desa Pancur Bojonegoro Huda, Mohammad Thoriqul
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 2 (2017): September
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (355.907 KB)

Abstract

A Culture and society are two things that cannot be separated, both are closely related and go hand in hand. Sedekah bumi is one of the cultural agrarian societies that continues to be maintained from time to time, including the culture of sedekah bumi carried out by the people of Pancur Temayang village in Bojonegoro. Sedekah bumi tradition has become a routine part of the routine carried out every year by the Pancur community as a form of appreciation for God who has bestowed His fortune through abundant crops so that people can fulfill their daily needs. In conducting this research, researchers used a qualitative method with an ethnographic approach as a basis for conducting observations in the field because researchers needed to enter directly into the object of research to explore the meaning and value of tradition understood by the Pancur village community in carrying out the sedekah bumi tradition. Explained that sedekah bumi carried out by the people of Pancur village has several value benefits, including sociological values, namely with the existence of these activities, the social ties of people from various groups unite. Theological value, namely the implementation of the sedekah bumi as an expression of gratitude for maintaining good relations with God. Ecological value, the existence of sedekah bumi carried out in the village spring, give confidence to the community that the existence of the village spring must be preserved, and the existence of the surrounding ecosystem must also be maintained. In addition,sedekah bumi tradition also received a variety of responses from the village community, some agreed and some did not agree with the implementation of this tradition. [Budaya dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling erat berkaitan dan berjalan beriringan. Sedekah bumi adalah salah satu budaya masyarakat agraris yang terus dijaga dari masa ke masa, termasuk budaya sedekah bumi yang dilakukan oleh masyarakat desa Pancur Temayang Bojonegoro. Tradisi sedekah bumi sudah menjadi bagian rutinitas rutin yang dilakukan setiap tahun oleh masyarakat Pancur sebagai bentuk pengahargaan terhadap Tuhan yang telah melimpahkan rejeki-Nya melalui hasil panen yang melimpah sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi sebagai pijakan untuk melakukan observasi di lapangan hal ini dikarenakan peneliti perlu masuk secara langsung ke objek penelitian untuk mendalami makna serta nilai tradisi yang dipahami masyarakat desa Pancur dalam melaksanakan tradisi sedekah bumi, adapun hasil penelitian menjelaskan bahwa sedekah bumi yang dilakukan oleh masyarakat desa Pancur mempunyai beberapa manfaat nilai, diantaranya adalah nilai sosiologis, yakni dengan adanya kegiatan tersebut, ikatan social masyarakat dari berbagai golongan bersatu. Nilai teologis, yakni pelaksanaan sedekah bumi sebagai ungkapan syukur untuk menjaga hubungan baik dengan Tuhan. Nilai ekologis, keberdaan sedekah yang dilaksanakan di sendang desa, memberikan kepercayaan pada masyarakat bahwa keberadaan sendang desa harus tetap dilestarikan, dan keberadaan ekosistem di sekitarnya juga harus dijaga. Selain itu tradisi sedekah bumi juga mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat desa, ada yang setuju dan ada juga yang kurang setuju dengan pelaksanaan tradisi ini.]
Resolusi Konflik dalam Masyarakat Religius Indonesia Roswantoro, Alim
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 8 No 2 (2018): September
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (399.643 KB)

Abstract

Indonesia, as the plural nation in religion, has already performed a positive and peaceful life of the religious people who are different in faith and understanding. In general, the life of religious people in Indonesia is lasting well and peacefully. It does not mean that there never be religious conflicts of the different religious people in Indonesia. The conflicts had ever occurred and will probably emerge in the future. The conflicts were often seen as threat, or negativity, of religious life among different-religious people in Indonesia. The writing does not deny that indeed the conflicts are not wanted and have to be overcome. But since the conflicts cannot be avoided from the life of different-religious people of Indonesia, the writing philosophically intend to see and understand the conflicts in a different way. The religious conflicts can be positively seen and understood, that is, as part of communication among different-religious people interacting in public sphere. Conflict-resolution that gives the win-win solution for those who are involved in the conflict has to be principle that should be made to be tradition. Conflict resolution will be successful if the transcendently moral principles, such as mutual respect, mutually avoiding deformation of religion, and mutually giving freedom, are provided for all. [Indonesia sebagai negara yang majemuk dalam agama telah menampilkan wajah hidup umat beragama dari agama-agama yang berbeda yang damai. Secara umum, kehidupan umat beragama di Indonesia berjalan dengan penuh kedamaian. Ini bukan berarti tidak pernah ada konflik keagamaan di Indonesia. Konflik-konflik keagamaan telah pernah terjadi dan mungkin akan muncul kembali di masa depan. Konflik-konflik ini sering dilihat sebagai suatu ancaman atau sisi negatif dari kehidupan religius di Indonesia. Tulisan ini tidak memungkiri bahwa konflik-konflik ini memang tidak diinginkan dan harus diatasi. Namun, karena konflik-konflik ini tidak bisa dihindari dalam kehidupan antar umat beragama yang berbeda, tulisan ini mencoba secara filosofis melihat dan memaknai konflik-konflik ini secara berbeda. Konflik-konflik keagamaan bisa dimaknai secara positif, sebagai bagian dari komunikasi antara umat beragama yang berbeda yang berinteraksi dalam ruang publik. Resolusi konflik yang saling memenangkan masing-masing pihak harus menjadi prinsip yang harus ditradisikan. Resolusi konflik akan sukses, jika prinsip-prinsip moral transenden, seperti saling menghargai, saling menghindari deformasi agama, dan saling memberi ruang kebebasan, diberikan untuk semuanya.]
Bikulturalisme Islam-Australia: Pengalaman Akulturasi Nahid Afrose Kabir Huda MF, Moh Shofiyul
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 1 (2017): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (320.785 KB)

Abstract

This article attempts to portray the concept of Nahid Afrose Kabir about “biculturalism identity” based on Alison Blunt and Robyn Dowling’s “roots” (homeland) and “routes” (domicile) theory (2006) and Stevens Vertovec’s research (2006) about diaspora. In practice, through her ethnical and religious identity, Nahid Afrose Kabir can interact with the Muslim community, minority ethnics, and other religious communities in Australia. With his Australian identity, she has campaigned to be active citizens. That identity is based on her life experience as immigrants, moving from place to places in the western countries until her recent settlement, Australia. Through her “multicultural identity”, she emphasizes how she, as a Muslim immigrant, should behave and show her identity. Artikel ini menjelaskan tentang konsep Nahid Afrose Kabir tentang “identitas bikulturalisme” berdasarkan teori Alison Blunt dan Robyn Dowling (2006) tentang “roots” (tanah air) dan “routes” (domisili) dan penelitian Stevens Vertovec (2000) tentang diaspora. Di dalam praktiknya, dengan identitas etnis dan agamanya, Nahid Afrose Kabir bisa berhubungan dengan komunitas Muslim dan minoritas etnis dan agama lain di Australia. Dengan identitas Australia, dia telah berkampanye untuk menjadi warga negara aktif. Identitas tersebut didasari oleh pengalaman hidupnya sebagai seorang imigran yang telah pindah mondar-mandir antara Barat dan domisilinya terakhir, Australia. Dengan “identitas bikulturalisme”, dia mempertegas bagaimana dia, sebagai seorang imigran muslim, harus bersikap dan beridentitas.
Narrating Islamism in Indonesia: State, Agency, and Social Resilience Maufur, Maufur
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 2 (2017): September
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (331.249 KB)

Abstract

Islamism or the so-called political Islam is conceptualized as a socio-political, rather than a solely religious phenomenon. Inherently characterized by a singularly defined religious concept of purity and a clear-cut distinction between “we” and “them”, it manifests into a various form of activities where “terrorism” is the most violent one. Following a series of terrorist attacks in the country, the Indonesian government through The National Counter-Terrorism Agency (BNPT) launched a de-radicalization program that aims to restrain and combat religious radicalism and “terrorism”, particularly through its “stick and carrot” approach. Despite its success story in pacifying some terrorist activities in the country, the program is severely criticized for not dealing with the root causes of terrorism. It is also considered counter-productive as it creates resistance and hatred toward the state for specifically targeting Islam and, therefore, it provides incentives for religious radicalism and terrorism. The research conducted in Yogyakarta Province found that Islamism spreads and gains acceptance in the certain sections in public through certain social channels and agencies. However, this paper argues that the existing cultural virtues and local wisdom could create social resilience against such radicalization process.   Keywords:  Islamism, Radicalism, Terrorism, Local Wisdom
Discourse on Penistaan Agama of Basuki Tjahaja Purnama’s Blasphemy Trial in Twitter Imamah, Fardan Mahmudatul
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 1 (2017): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (776.889 KB)

Abstract

Abstract This study was conducted to map and elaborate how blasphemy was understood in social media, mainly Twitter. Beginning with the origins of the blasphemy law and some conflicts triggered by the law, this paper will explain the chronology of Ahok’s case and how it becomes popular within netizen. The questions of the study are how the Indonesian netizen in social media understand the blasphemy case of Ahok and how they try to construct discourse with it. The findings are interrelated the hashtags that led in five issues, (1) the action of defending Islam, (2) defending ulama, (3) Muslim leader, (4) national security, (5) imprisoning Ahok, (6) election of the regional head. The network of actors is exposing the complexity of reactions of netizen. Indonesian netizen in social media understands blasphemy in two ways, using religious discourse and political discourse. The first constructs blasphemy as a threat for religion and state security. The second argues the religious discourse by proving blasphemy as a tool for achieving political power. Various issues are tried to identify “blasphemy” that at the same time used to identify certain groups/actors as enemies or allies. In the process of identification, there emerges similar solidarity in interpreting the “blasphemy” based on a single interpretation of the religious source. However, there also emerges the discussion of how religious interpretation of blasphemy should not be used for political reason. [Studi ini bertujuan untuk memetakan dan menjelaskan bagaimana penistaan agama dipahami dalam media sosial, khususnya Twitter. Penelitian ini dimulai dengan menjelaskan hukum penistaan agama dan beberapa konflik yang terjadi di Indonesia terkait penistaan agama, yang kemudian secara khusus fokus pada kasus Gubernur DKI Basuki (Ahok) Tjahaya Purnama. Ahok dianggap telah memicu kemarahan Muslim Indonesia karena pernyataanya terkait ayat Al Maidah 51 di pertengahan September 2016. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana netizen Indonesia memahami penistaan agama dalam kasus Ahok dan bagaimana mereka membangun diskursus tentangnya. Dengan menggunakan analisis hashtag dalam Twitter,  terdapat beberapa enam isu yang paling mendominasi terkait diskursus kasus Ahok, yakni (1) aksi bela Islam, (2) bela Ulama, (3) kepemimpinan muslim, (4) keamanan nasional, (5) memenjarakan Ahok, (6) pemilihan kepala daerah. Jejaring aktor dalam diskursus ini menunjukkan kompleksitas reaksi netizen. Secara, terdapat dua cara dalam memahami penistaan agama, yakni dengan menggunakan diskursus agama dan diskursus politik. Diskursus yang pertama memahami penistaan agama sebagai ancaman terhadap agama dan negara. Sedangkan diskursus yang kedua memahami penistaan agama sebagai alat politik. Berbagai isu digunakan untuk mengidentifikasi penistaan agama, yang secara bersamaan juga digunakan untuk mengidentifikasi seseorang atau kelompok tertentu sebagai musuh atau sekutu. Dalam proses mengidentifikasi, muncul cara memahami bahwa penistaan agama terjadi karena rendahnya toleransi terhadap pemahaman berbeda atas penafsiran agama yang tunggal. Meskipun, terdapat juga diskusi tentang interpretasi sumber agama yang seharusnya tidak digunakan untuk kepentingan politik.]  
Merawat Kerukunan di Desa Cikawungading, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat Miharja, Deni; Hernawan, Wawan
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 2 (2017): September
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (399.394 KB)

Abstract

There is a relationship among religion, social and environmental conditions as a place of settlement of a society. This is a hypothesis of caring for harmony in Cikawungading Village. Through this hypothesis, the social environment has a significant influence on the form of the relationship. The process of social transformation is possible so that needed to maintain harmony, because in this village there were attacks and burning on 36 houses, 2 churches and a wood processing factory, with a total of 181 refugees. The focus of this study is to find out the characteristics of the Cikawungading Village community's diversity and the efforts that must be carried out by government agencies, institutions under the Ministry of Religion, and Universities in providing assistance and understanding about the importance of harmonious living in the conditions of pluralistic and multi-religious communities. To answer this problem, researchers used Quintan Wiktorowicz's social movement theory with a multidisciplinary approaches. The results showed, firstly, the community in Cikawungading village have now lived in harmony with each other. They have accustomed to mutual understanding in worship, giving each other help, and not disturbing each other. Secondly, the concern of government agencies, institutions under the Ministry of Religion, and Higher Education is expected to be present in their midst. The expected form of attendance is the training, especially in the momentum of religious holidays and activities to increase community income.   [Hubungan antara agama dengan kondisi sosial dan lingkungan sebagai tempat bermukimnya suatu masyarakat merupakan hipotesis dari merawat kerukunan di Desa Cikawungading. Melalui hipotesis ini, penelitian lingkungan sosial memiliki pengaruh signifikan terhadap bentuk hubungan tersebut. Proses transformasi sosial dimungkinkan terjadi sehingga perlu merawat kerukunan, karena di desa ini pada tahun 2001 telah terjadi penyerangan dan pembakaran terhadap 36 rumah penduduk, 2 gereja, dan sebuah pabrik pengolahan kayu, dengan jumlah pengungsi secara keseluruhan mencapai 181 jiwa. Fokus dari kajian ini adalah ingin mengetahui karakteristik keberagamaan masyarakat Desa Cikawungading dan upaya yang harus dilakukan instansi pemerintah, lembaga-lembaga di bawah Kementerian Agama, maupun Perguruan Tinggi dalam melakukan pendampingan dan pemberian pemahaman tentang pentingnya hidup rukun dalam kondisi masyarakat yang majemuk dan multi religi. Untuk menjawab masalah tersebut, peneliti menggunakan teori gerakan sosial dari Quintan Wiktorowicz dengan pendekatan multidisipliner. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, masyarakat di Desa Cikawungading kini telah hidup rukun satu dengan lainnya. Mereka sudah terbiasa saling pengertian dalam ibadah, saling memberi bantuan, serta tidak saling mengganggu. Kedua, kepedulian instansi pemerintah, lembaga-lembaga di bawah Kementerian Agama, maupun Perguruan Tinggi sangat diharapkan untuk hadir di tengah-tengah mereka. Bentuk kehadiran yang diharapkan, terutama dalam momentum kegiatan Peringatan Hari Besar Keagamaan dan kegiatan peningkatan pendapatan masyarakat adalah melalui pelatihan.    

Page 9 of 10 | Total Record : 98