cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Religi�: Jurnal Studi Agama-agama
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Arjuna Subject : -
Articles 98 Documents
Toward A Constructive Postmodern Pluralism on the Perspectives of Alfred North Whitehead and David Ray Griffin Purwanto, Purwanto
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 2 No 2 (2012): September
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.061 KB)

Abstract

Tidak bisa dipungkiri perkembangan pemikiran keagamaan selalu memberikan corak yang dinamis, salah satunya adalah pemikiran tentang posmodernisme. Kaitannya dengan hal tersebut istilah pluralism posmodern konstruktif merupakan salah satu pemikiran posmodern yang menjadi kajian utama dalam tulisan ini. Meskipun banyak yang menolak penggunaan kata posmodernisme karena banyaknya asumsi yang berkembang namun istilah tersebut mempunyai kegunaan lebih dalam menyelami pemikiran-pemikiran yang berkembang saat ini. Saya menggunakan istilah tersebut untuk membedakan dua macam pluralism; 1) pluralism modern yang mencari kesamaan dasar pada tiap tradisi agama yang berbeda, dan 2) pluralisme posmodern yang menolak setiap pencarian dasar kesamaan berdasarkan penekanan terhadap keragaman dan keutamaan agama. Dari situ, artikel ini menjelaskan tentang ide-ide seputar pluralisme posmodern konstruktif (constructive postmodern pluralism). Selain itu, pembahasan dalam artikel ini lebih banyak bertumpu pada pemikiran dua tokoh, yakni Alfred North Whitehead, yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Cobb, dan David Ray Griffin. Pluralisme yang diusung dua tokoh ini melampaui gagasan pluralisme yang dijelaskan oleh John Hick, yaitu pluralisme yang menempatkan agama dalam posisi dasar the same down deep. 
Ziarah Wali di Indonesia dalam Perspektif Pilgrime Studies Masduki, Anwar
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 5 No 2 (2015): September
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.11 KB)

Abstract

Pilgrimage studies is multidisciplinary studies in religious studies involving many perspectives and approaches in the social sciences. Therefore, it cannot be separated from the development of other studies, particularly tourism studies that leads to the current study on religious tourism. This article is a literature review generally tracing the development of theoretical tendencies of the pilgrimage studies. Based on an understanding of some theoretical tendencies, this article attempts to look at and examine the emerging trends in the study of saint’s pilgrimage in Indonesia, as one of the variants in pilgrimage studies. The study attempts to scrutiny (1) the dominant theories of the pilgrimage studies, (2) the study of saint’s pilgrimage in Indonesia, continued with (3) what aspects relate to the study of saint’s pilgrimage, and (4) which are the focus of discussions that still need to be discussed and explored relating to the study of saint’s pilgrimage in Indonesia. The results show that the pilgrimage studies experience recent theoretical developments and trends that emphasize postmodern reasoning, which makes pilgrimage studies vary with a great influence on the study of pilgrimage to the tourism studies. 
Rekonsiliasi Sebagai Proses Bersama Menyembuhkan Luka Sejarah Islam Kristen di Kota Ambon Iwamony, Rachel; Relmasira, Tri Astuti
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 1 (2017): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (359.286 KB)

Abstract

Reconciliation between Muslims and Christians in Ambon City is an important process to know and study.  In 1999-2004 Muslims and Christians got involved in religious-based social conflicts. The social conflicts have uprooted their brotherhood and sisterhood relationship, and left deep historical wounds. However, after a decade, Muslims and Christians in Ambon City have been successful in restoring their life in harmony and peace. Based on the interview with young people in several areas in Ambon City, it was found that reconciliation could be restored by realizing that both Muslim and Christian people should restore the social conflicts for the sake of their good future.  They have restored the reconciliation between themselves by having social and religious activities.  The process of reconciliation and religious dialogue may be seen as ways of healing the historical wounds of the past social conflicts. [Rekonsiliasi antara Muslim dan Kristen di kota Ambon adalah sebuah proses penting untuk dikaji dan dipelajari. Pada tahun 1999-2004 Muslim dan Kristen terlibat dalam konflik sosial berlatarbelakang agama. Konflik sosial telah menghancurkan sendi-sendi hubungan persaudaraan mereka serta meninggalkan luka sejarah yang begitu dalam. Namun, setelah satu dekade, Muslim dan Kristen di kota Ambon telah berhasil memulihkan kehidupan mereka dalam keharmonisan dan kedamaian. Dengan mewawancarai kalangan muda di beberapa daerah di kota Ambon, terkuak bahwa rekonsiliasi terpulihkan dengan menyadari bahwa orang-orang Muslim dan Kristen akan memulihkan konflik sosial demi masa depan mereka yang lebih baik. Mereka telah mewujudkan rekonsiliasi melalui kegiatan sosial dan keagamaan. Proses rekonsiliasi dan dialog keagamaan dapat dilihat sebagai cara untuk menyembuhkan luka historis dari konflik sosial di masa lalu.]
Revitalisasi Identitas Diri Komunitas Masjid Saka Tunggal Banyumas, Masjid Raya Al Fatah Ambon, dan Masjid Agung Jami’ Singaraja Bali dalam Perubahan Budaya Global Salehudin, Ahmad
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 8 No 1 (2018): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.135 KB)

Abstract

This study examines how three communal mosques: Masjid Saka Tunggal Cikakak Banyumas, Masjid Raya Al Fatah Ambon, and Masjid Agung Jami’ Singaraja respond toward globalization. Globalization that is characterized with the territorial demarcations of states’ administration jurisdiction, political currents, economic strata, and religions has shaped global villages with cultural homogeneity as its estuary. Strong cultures tend to crush the vulnerable cultures. These conditions tend to generate a dilemma for the existence of an identity, including the identity of communal mosques. However, communal mosques are not merely a set of inanimate objects which can only passively accept external influences. They are a collection of beings who “tactically” respond to the “strategy” of the global cultural cooptation. The result of this study reveals that communal mosques become a collective awareness of each its individual to respond to and live the life amidst the increasingly uncontrollable wave of global cultures. Global cultures, as long it benefits, are adapted and adopted to strengthen their communal identity and, otherwise, left when they bring disadvantages. In order to protect communal identities, the result of this study offers three ways: habituation and institutionalization of the communal identity, reinforcing the ancestral authority, and affirming the institutional vision and mission. [Penelitian ini mengkaji respon tiga komunitas masjid, yaitu Masjid Saka Tunggal Cikakak Banyumas, Masjid Raya Al Fatah Ambon, dan Masjid Agung Jami’ Singaraja terhadap globalisasi. Globalisasi yang ditandai oleh menghilangnya batas-batas administrasi negara, aliraan politik, strata ekonomi, dan agama telah membentuk kampung global dengan homogenisasi budaya sebagai muaranya. Budaya yang kuat cenderung menggilas budaya yang lemah. Kondisi ini cenderung melahirkan dilema bagi eksistensi identitas, termasuk identitas komunitas masjid. Namun demikian, komunitas masjid bukanlah sekumpulan benda mati yang hanya bisa pasrah menerima pengaruh luar, tetapi sekumpulan mahluk hidup yang “taktik” untuk merespon “strategi” kooptasi budaya global. Hasil penelitian menunjukkan masjid-masjid komunitas menjadi collective awareness para individu untuk merespon dan menjalani kehidupan di tengah samudra budaya global yang semakin tak terkendali. Budaya global diadaptasi dan diadopsi selama bermanfaat untuk menguatkan identitas komunitasnya, dan bersikap acuh jika tidak sesuai atau membahayakan. Untuk melindungi identitas komunitasnya, ada tiga hal yang dilakukan, yaitu melalui pembiasaan dan pelembagaan identitas komunitas, meneguhkan otoritas leluhur, dan peneguhan visi misi lembaga.]
Stereotip Mahasiswa IAIN Pontianak terhadap Agama Baha’i Hidayat, Samsul
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 1 (2017): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (355.09 KB)

Abstract

In general, people of West Kalimantan have slight understanding relating to the existence of Baha’i religion. They built some stereotypes and judgments based on interaction and daily communication with Baha’i followers. This research focuses on how the under-graduate student of State Institute of Islamic studies (IAIN) Pontianak perceive and understand Baha’i during the class of Interreligious Communication (Komunikasi Lintas Agama). Dealing with the under-graduate student of the seventh semester, this research aims to analyze such paradigm construction through Thung Ju Lan idea of “foreigners” and “cultural differences”. This research found that students have constructed their perception on Baha’i through theological denial or cultural assessment of other religious tradition. [Secara umum penduduk Kallimantan Barat memiliki pemahaman yang tidak mendalam terkait dengan agama Baha’i. Mereka membangun prasangka, stereotip, dan keyakinan sendiri tentang Baha’i, berdasar pada interksi dan komunikasi sehari-sehari dengan pemeluk Baha’i. Penelitian ini fokus pada bagaimana mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak membangun pandangan dan pemahaman mereka terhadap Baha’i dalam kelas matakuliah Komunikasi Lintas Agama. Meneliti para mahasiswa yang duduk di semester ke-7, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagunan kerangka berpikir tersebut melalui konsepnya Thung Ju Lan, foreigners and cultural differences. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian mahasiswa membangun persepsi teologis terkait agama Baha’i sebagai “sesuatu yang semestinya ditolak” dan “tidak sesuai dengan agama Islam.]
Pengelolaan Budaya Inklusif Berbasis Nilai Belom Bahadat Pada Huma Betang dan Transformasi Sosial Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah Dakir, Dakir
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 1 (2017): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (351.205 KB)

Abstract

This paper aims at analyzing the process of cultural values ​​management of belom bahadat in creating an inclusive cultural life and social transformation in the Dayak community in huma betang using textual analysis method. The results reveal that the management model of cultural consensus of belom bahadat brings about changes in values, perspective and inclusive attitude and the formation of Dayak people's polarization into three models: the formation of inclusive attitude in understanding and accepting social, traditional, cultural and religious differences in family life, society and life of nation. This change strengthens the social integration between individuals and groups of different tribes, ethnics, cultural and religious groups in family life, society and nation. It also prevents the growth of radicalism and terrorism arising from religious figures, humanists and public figures in this modern age. [Tulisan ini bertujuan menganalisis proses pengelolaan nilai budaya belom bahadat dalam menciptakan budaya kehidupan inklusif dan transformasi sosial pada masyarakat Dayak di huma betang dengan menggunakan metode analisis teks. Hasil studi menunjukan bahwa model pengelolaan konsensus budaya belom bahadat membawa perubahan nilai, cara pandang dan sikap inklusif dan terbentuknya polarisasi kehidupan masyarakat Dayak ke dalam tiga model yaitu terbentuknya sikap inklusif dalam memahami dan menerima perbedaan sosial, tradisi, budaya dan agama dalam kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat dan kehidupan berbangsa. Perubahan ini memperkuat integrasi sosial antar individu dan kelompok yang berbeda suku, etnis, budaya dan agama dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa serta mencegah tumbuhnya radikalisme dan terorisme yang muncul dari kalangan tokoh-tokoh keagamaan, budayawan dan tokoh masyarakat di era modernisasi ini.]
Pemimpin Ormas Keagamaan Sebagai Man of Communion dalam Situasi Konflik Menurut Paus Benediktus XV dan Paus Yohanes XXIII Tjatur Raharso, Aphonsus
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 2 (2017): September
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (407.149 KB)

Abstract

Abstract This article is written out of a concern about the religious leadership trend performed by some Islamic mass organization leaders during the first three month of 2017 in Jakarta which ended in horizontal conflicts and frictions based on religious and racial issues. Through the comparative method, this article would show the leadership role model of Catholic religious leaders, especially two Catholic popes during the World War I and II era, Pope Benedict XV and Pope John XXIII. While the world leaders were confronting to each other and created blocks to provoke wars, the both popes were present as fathers who loved and embraced all humankind across the nations. They placed themselves as the peace makers and invited the world to build peaceful co-habitation, which respected human right, as well as imposed justice for all humankind. The both popes were man of communion and sign of peace in amid of world conflicts. To be man of communion and sign of peace, the religious leaders need to restrain themselves to not be affected by the conflict issues that make them be sectarian, extremist, partisan, or partial. When there is a conflict because of any factors, the religious mass organization leaders might only observe whether there is a violation of human right, justice or bonum commune. If there is any, regardless from which race, religion, and class the victims are, they should fight for the justice, invoke human right, and generate bonum commune based on the legal law, by encouraging peace and harmony in the society. [Artikel ini lahir dari sebuah keprihatinan mengenai model kepemimpinan religius yang ditampilkan oleh beberapa pemimpin ormas keagamaan Islam pada trimester pertama tahun 2017 di ibukota Jakarta dan berakhir pada gesekan dan konflik horisontal berdasarkan suku dan agama. Artikel ini ditulis dengan menggunakan metode komparatif, yakni dilakukan dengan menggali gaya kepemimpinan religius pemuka agama Katolik, khususnya dua orang Paus Gereja Katolik di masa Perang Dunia pertama dan kedua, yakni Benediktus XV dan Yohanes XXIII. Kedua Paus itu tampil sebagai bapa yang mencintai dan merangkul semua orang dan bangsa, menjadi juru-damai, serta mengajak para pemimpin bangsa untuk membangun cohabitation yang damai, yang menghormati hak dan martabat pribadi manusia, serta menegakkan keadilan bagi semua orang. Kedua Paus itu telah menjadi man of communion dan sign of peace yang efektif dalam situasi konflik mondial. Dari studi komparatif dapat ditemukan bahwa untuk bisa menjadi man of communion dan sign of peace dalam situasi konflik para pemimpin ormas keagamaan di Indonesia perlu menahan diri agar tidak terkooptasi dan menjadi sektarian, partisan atau parsialistik di hadapan dan di dalam kelompok yang dipimpinnya sendiri. Dalam konflik karena faktor apapun, para pemimpin ormas keagamaan hanya boleh mengawasi apakah terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia, keadilan, atau bonum commune.]
Contesting Religion and Ethnicity in Madurese Society Siddiq, Akhmad; Epafras, Leonard C; Husein, Fatimah
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 8 No 1 (2018): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (353.696 KB)

Abstract

Abstract: This paper describes historical phases of Madurese identity construction, the origins of Madurese ethnicity, inter-ethnic and inter-cultural relation, Madurese Pendalungan culture, and how Islam involves into cultural identities of the Madurese. In this paper, I will argue that Islam has become part of cultural values of the Madurese, that is, embedded within traditional activities and local wisdom. However, the involvement does not mean to exclude other “non-Islamic” and “non-Madurese” tradition in the process of construing Madurese identity. By exploring how Madurese identity was culturally constructed we could be able to draw more visible connection between religion, tradition, and social identity. This paper illustrates how Madurese identity culturally produced, nurtured, and matured. Since identity is a way of perceiving, interpreting, and representing the existence of people, I persist that Madurese identity has also been produced and reproduced depending on political, social, and cultural situation. In this regard, inter-religious or inter-ethnic relation remains important. [Artikel ini menjelaskan fase terbentuknya identitas orang-orang Madura, asal-usul etnis, hubungan lintas-budaya dan antaretnis, budaya Pendalungan, dan bagaimana Islam berinteraksi dengan identitas budaya orang Madura. Dalam artikel ini saya meneguhkan bahwa Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai budaya Madura, yang bisa dilihat dari dalam aktivitas sosial dan kearifan lokal orang Madura. Meski demikian, hal ini tidak menafikan bahwa tradisi “non-Islam” atau “non-Madura” juga memiliki peran dalam proses pembentukan identitas Madura. Dengan mengurai proses konstruksi identitas sosial Madura, seseorang bisa melihat dengan lebih jelas hubungan erat antara agama, tradisi, dan identitas sosial. Artikel ini juga menggambarkan bagaimana identitas Madura diproduksi, dikembangkan, dan dilestarikan. Sebab identitas adalah sebuah persepsi, interpretasi, dan representasi, artikel ini menyimpulkan bahwa identitas Madura pun tidak lepas dari tahapan itu: bergantung pada kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam konteks ini, relasi antaragama dan antaretnis menjadi sangat penting.]
Implikasi Diskursus Kristianitas dalam Serat Dharmogandhul dan Pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung terhadap Komunitas Kristen Tegalombo Pati dikawati, reni; Sariyatun, Sariyatun; Warto, Warto
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 7 No 2 (2017): September
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (407.908 KB)

Abstract

Javanese Christianity construction is not only built on the basis of biblical interpretation. Discourse and knowledge contained in literary texts show the existence of acceptance capacity, communication patterns and adjustments to the cultural context, as well as the important role of the agency. Dharmogandul manuscript is a text that is part of the construction of ideas, values, ideas, about Christianity that is understood by Javanese people. This study aims to examine the dynamics of the Dharmogandul fiber texts and discourses with genealogy approaches, connect and compare with the thoughts of Kiai Ibrahim Tunggul Wulung as a real life context, as well as psychological figures that provide worldview to the Christian community in Tegalombo, Pati. Exploring Dharmogandul fiber genealogy shows that the text originated from the concept of religiosity, in the historical development there was a shift in the meaning of Dharmogandul fiber in syncretic direction, until it became attached and became part of the comparison of formalistic religion. The results of the study showed some contradictions and comparisons in accommodating the discourse of meeting several religions in the Dharmogandul fiber with the real conditions of the Tegalombo Christian community. [Kontruksi Kristen Kejawen tidak hanya dibangun atas dasar penafsiran kitabiah. Wacana dan pengetahuan yang termuat dalam teks sastra menunjukkan adanya kapasitas penerimaan, pola komunikasi, dan penyesuaian konteks kultur, serta peran penting agency. Serat Dharmogandul merupakan salah satu teks yang menjadi bagian dari kontruksi ide, nilai dan gagasan mengenai kekristenan yang dipahami masyarakat Jawa.  Penelitian  ini bertujuan  menelaah dinamika teks dan wacana serat Dharmogandul dengan pendekatan geneologi serta menghubungkan dan membandingkannya dengan pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sebagai real life context, sekaligus figur psikologis yang memberikan worldview terhadap komunitas Kristen di Tegalombo, Pati. Jelajah geneologi serat Dharmogandul menunjukkan bahwa teks berawal dari konsep religiusitas kemudian bergesr ke arah sinkretis lalu menjadi bagian dari perbandingan agama formal. Hasil penelitian menujukkan pertentangan dan perbandingan dalam mengakomodasi wacana perjumpaan beberapa agama dalam serat Dharmogandul dengan kondisi riil komunitas Kristen Tegalombo.]
Humanisme dalam Serat Jangka Jayabaya Perspektif Javanese Wordview Sasmita, Gusti Garnis; Joebagio, Hermanu; Sariyatun, Sariyatun
Religió: Jurnal Studi Agama-agama Vol 8 No 1 (2018): March
Publisher : Program Studi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.051 KB)

Abstract

Serat Jangka Jayabaya is a literary work that can be used as a source of historical learning. The local genius of Javanese worldview is reflected in humanism values in the manuscript. Which is much misunderstood by most people even historians. This study uses qualitative research methods that reveal the value of Jayabaya humanism based on content, authorship and axiological manuscripts through interviews and literature studies. The results show that the concept of "jangka" is the guidance as well as the control of Java society in viewing various social phenomena. The guidelines are summarized in the concept of humanism values reflected as knowledge, equity, equality, dignity, and moral ethics.

Page 8 of 10 | Total Record : 98