cover
Contact Name
Rini
Contact Email
kindaietam@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
kindaietam@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi
ISSN : 25411292     EISSN : 26206927     DOI : -
Core Subject : Social,
indai Etam merupakan jurnal penelitian arkeologi yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan sejak tahun 2015. Nama "Kindai Etam" berasal dari bahasa asli masyarakat Dayak Kalimantan, yaitu "kindai" yang berarti wadah dari kayu dan "etam" yang berarti kita. Secara harfiah, Kindai Etam berarti wadah kita, yang dapat dimaknai sebagai media kita bersama dalam menginformasikan hasil-hasil penelitian arkelogi.Tujuannya adalah memberikan ruang bagi peneliti arkeologi untuk mempublikasi hasil penelitiannya supaya dapat dinikmati sebagai media edukasi bagi masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 128 Documents
PEMANFAATAN PERILAKU DAN SITUASI DALAM PROSESI ZIARAH PADA TINGGALAN ARKEOLOGI SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN (THE UTILIZATION OF BEHAVIOR AND SITUATION IN THE PILGRIMAGE PROCESSION AT ARCHAEOLOGICAL REMAINS AS A PRESERVATION EFFORT) Wasita, M.A., nFn
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 4, No 1 (2018): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2609.938 KB) | DOI: 10.24832/ke.v4i1.38

Abstract

Sebagian rangkaian aktivitas ziarah di beberapa situs arkeologi di KabupatenTapin dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan menunjukkan adanya perilaku dan situasi di tempat ziarah yang mendukung kegiatan pelestarian tinggalan arkeologi. Oleh karena itu, peluang ini perlu dimanfaatkan agar pihak arkeologi mendapatkan cara pelestarian yang melibatkan masyarakat dan murah biayanya. Berkaitan dengan itu, maka penelitian ini ditujukan untuk menemukan cara dalam memanfaatkan perilaku dan situasi untuk pelestarian tinggalan arkeologi dengan tidak mengganggu kegiatan ziarah, namun kegiatan pelestarian yang diinginkan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan (arkeologi). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Implementasinya di lapangan dilakukan dengan mendeskripsikan tinggalan arkeologi untuk mengetahui kondisi eksistingnya dan riwayat pemugaran yang pernah dilakukan. Pendeskripsian ini untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat dimanfaatkan dalam mendukung kegiatan pelestarian. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa di situs-situs arkeologi yang diziarahi terdapat situasi dan perilaku para peziarah yang mendukung kegiatan pelestarian, seperti harus bersikap sopan, tidak merusak barang-barang yang ada di tempat ziarah (dalam konteks ini termasuk tinggalan arkeologi) dan situasi di tempat ziarah yang sakral, serta adanya teguran dari orang yang hidup di alam sebelah jika tidak sopan atau melanggar tata cara ziarah. Jadi kesimpulannya, situasi dan perilaku tersebut perlu dimanfaatkan untuk mendukung pelestarian tinggalan arkeologi. Caranya dengan memberi dukungan, karena perilaku yang baik (tidak merusak warisan budaya) merupakan bagian dari isi undang-undang cagar budaya. Selain itu, juga menghormati situasi yang tercipta di tempat ziarah karena itu merupakan pemaknaan oleh sebagian masyarakat. Agar cara mendukung dan menghormati dapat dipertanggungjawabkan, arkeolog harus jujur dan netral dalam kegiatan pelestarian.Kata kuci: tinggalan arkeologi, ziarah, situasi, perilaku, pelestarianSome parts of pilgrimage activities at several archeological sites in Tapin and Hulu Sungai Utara Districts indicate the existence of behaviors and conditions that support the conservation of archeological remains. This opportunity needs to be utilized, therefore the archeological party can obtain conservation methods that involve the community and the cost is cheap. The research goal is to gain proper method on utilizing pilgrim behaviors and situation for preserving archeological remains without interfering the pilgrimage activities, but the desired of conservation activities can be scientifically accounted (archeology). This research was conducted by using descriptive methods. Its implementation in the field was carried out by describing the archaeological remains of the existing conditions and the history of restoration that had been carried out. The describing of the pilgrim behaviors and the place conditions of pilgrimage is to find out what things can be utilized in supporting conservation activities. The results indicate that at the visited archeological sites there are conditions and behavior of pilgrims who supported conservation activities, such as having to be polite, not damage the items that are in the place of pilgrimage (in this context including archeological remains) and the situation in the sacred place of pilgrimage, as well as the rebuke of people living in the adjoining realm if they are not polite or violate to the procedure of pilgrimage. It is concluded that the situation and behavior need to be used to support the preservation of archeological remains. The way is by giving support, because good behavior (not damaging cultural heritage) is part of the contents of the cultural heritage law. In addition, it also respects the situation created in the place of pilgrimage because it is a meaning by some people. In order to be able to support and respect ways, archaeologists must be honest and neutral in conservation activities.Keywords: archaeological remains, pilgrimage, situations, behavior, preservation.
BENTENG KASTELA DAN SEBAB-SEBAB KEHANCURANNYA (THE KASTELA FORT AND CAUSES OF ITS DESTRUCTION) Jalil, Laila Abdul
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 4, No 1 (2018): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (484.255 KB) | DOI: 10.24832/ke.v4i1.33

Abstract

Pulau Ternate merupakan salah satu pulau di Maluku Utara yang menjadi penghasil rempah-rempah berupa pala dan cengkeh. Daya tarik rempah-rempah menjadi pemicu datangnya bangsa Eropa ke Nusantara dalam rangka menguasai sumber rempah-rempah yang kala itu menjadi komoditas paling diminati di pasar Eropa. Portugis menjadi bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Maluku, tepatnya ke Ternate. Kedatangan Portugis ke Ternate disambut dengan baik oleh SultanTernate. Portugis mendapatkan hak monopoli untuk berdagang rempah-rempah di Maluku serta diizinkan untuk mendirikan benteng pertama di Maluku, yakni Benteng Kastela yang berfungsi sebagai benteng pertahanan juga sebagai kantor dagang dan permukiman Portugis, sekaligus sebagai sekolah teologi pertama di Asia tenggara. Namun kini Benteng Kastela hanya tersisa reruntuhannya saja. Penelitian ini betujuan untuk mencari penyebab hancurnya Benteng Kastela. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sejarah pembangunan Benteng Kastela akan dicari melalui kajian pustaka dan observasi untuk mendapatkan gambaran sebenarnya mengenai tingkat kerusakan benteng. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyebab kerusakan Benteng Kastela selain karena perang juga diakibatkan oleh bencana alam berupa erupsi Gunung Gamalama.Kata kunci: Ternate, Benteng Kastela, bencana alam, rempah-rempahTernate is one of island in the North Mollucas that has produced spices especially nutmag and clove. The appeal of spices triggered Europeans arrival to dominate the source of spices which had been popular commodities in European market. Portuguese was the first of European nation came to Maluku, precisely to Ternate. Portuguese had been welcomed by Ternate’s Sultanate and got monopolly rights over spices and permits to build the first fort in Mollucas, namely Kastela fort which was not just as fortress but also trading office and Portuguese settlement as well as theological school. Presently, Kastela fort only remains ruins, so the study aims to gain the causes of Kastela fort destruction. The method in this research is using descriptive qualitative. The history of Kastela fort is collected by litterature and observation around Kastela fort  conduct to get information about level of damage. The result shows that the damages of Kastela fort were not just by war, but also by natural disaster.Key words: Ternate, Kastela fort, natural disaster, spices
APPENDIX KINDAI ETAM VOLUME 4 NOMOR 1 NOVEMBER 2018 Etam, Kindai
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 4, No 1 (2018): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.48 KB) | DOI: 10.24832/ke.v4i1.41

Abstract

APPENDIX KINDAI ETAM VOLUME 4 NOMOR 1 NOVEMBER 2018
RAGAM BENTUK ARTEFAK KAYU SITUS CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN (THE FORMS OF WOODEN ARTIFACTS FROM CINDAI ALUS, IN THE REGENCY OF BANJAR, SOUTH KALIMANTAN PROVINCE) Sunarningsih, M.A., nFn
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 4, No 1 (2018): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1908.91 KB) | DOI: 10.24832/ke.v4i1.34

Abstract

Sebagai pulau yang memiliki wilayah hutan yang luas, Kalimantan kaya akan sumberdaya hayati berupa kayu. Kayu dimanfaatkan oleh masyarakat guna menunjang kegiatan dan keperluan sehari-hari hingga sekarang. Pemanfaatan kayu sebagai alat tampaknya telah dimulai sejak masa lampau. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ragam data arkeologi dari kayu (artefak kayu) dan fungsinya, yang ditemukan di situs pemukiman kuno Cindai Alus, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Data tersebut selanjutnya akan dibandingkan dengan ragam peralatan kayu yang menjadi koleksi Museum Lambung Mangkurat, temuan di situs pemukiman kuno, dan yang masih digunakan oleh masyarakat sekarang. Hasil penelitian memberikan gambaran ragam bentuk (yang masih bertahan dan yang sudah ditinggalkan) dan peranan peralatan kayu bagi masyarakat di Kalimantan Selatan.Kata kunci: Kalimantan Selatan, Cindai Alus, pemukiman kuno, artefak kayu.As an island that has a vast forest area, Kalimantan is rich in biological resources of wood. Wood used by the community to support activities and daily needs until now. Utilization of wood as a tool seems to have started since the past. This study aims to describe the variety of archaeological data from wood (wooden artifacts) and its function which have been found on the site of ancient settlements namely Cindai Alus, in Banjar district, South Kalimantan. The data will be compared with the variety of wooden equipments that became museum collections, the wooden artifacts from other ancient settlement sites, and which are still used by the community now. The results provide a picture of the various forms (that are still survive and which have been abandoned) and the roles of wooden equipments for the community.Keywords: South Kalimantan, Cindai Alus, ancient settlement, wooden artifacts.
COVER BELAKANG KINDAI ETAM VOLUME 4 NOMOR 1 NOVEMBER 2018 Etam, Kindai
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 4, No 1 (2018): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (9324.401 KB) | DOI: 10.24832/ke.v4i1.42

Abstract

COVER BELAKANG KINDAI ETAM VOLUME 4 NOMOR 1 NOVEMBER 2018
COVER BELAKANG KINDAI ETAM VOLUME 2 NOMOR 1 NOVEMBER 2016 Etam, Kindai
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 2, No 1 (2016): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1180.331 KB) | DOI: 10.24832/ke.v2i1.26

Abstract

COVER BELAKANG KINDAI ETAM VOLUME 2 NOMOR 1 NOVEMBER 2016
KEBERLANJUTAN BUDAYA DI PELAJAU, KALIMANTAN SELATAN (THE CONTINUOUS CULTURE IN PELAJAU, SOUTH KALIMANTAN) Hartatik, Hartatik
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 1, No 1 (2015): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3441.342 KB) | DOI: 10.24832/ke.v1i1.48

Abstract

Pelajau merupakan sebuah kawasan pemukiman kuna yang dikelilingi oleh sungai mati dan kini terpecah menjadi beberapa desa. Beberapa toponim menandai ramainya aktivitas pemukiman masa itu, seperti Sumur Candi, Sumur Pemandian Raja, dan Masjid Keramat Pelajau. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran Pelajau pada masa lalu dan hubungannya dengan situs pemukiman tepi sungai bagian hulu Kalimantan Selatan seperti situs Jambu Hulu, Jambu Hilir, dan Nagara. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan penalaran induktif. Teknik pengambilan data dengan observasi, wawancara dan ekskavasi, dengan analisis data secara laboratorium, morfologi dan teknologi artefak, serta pendekatan etnoarkeologi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pelajau merupakan pemukiman tepi sungai mempunyai peranan yang penting terhadap perkembangan perekonomian, religi dan nasionalisme di wilayah hulu Kalimantan Selatan. Dari beberapa artefak dan tradisi yang hingga kini masih digunakan, disimpulkan bahwa budaya di Pelajau masih berlanjut dari masa dahulu hingga kini, meskipun sempat terjadi keterputusan generasi dan perubahan konsep pemaknaan terhadap Sumur Candi.Pelajau is an ancient settlement area surrounded by dead river, and nowadays it split into several villages. Some toponyms marked the high activities in the past, such as sumur candi (temple well), sumur pemandian raja (bath well of king) and Masjid Keramat Pelajau (Pelajau Sacred Mosque). This paper aims to identify the role of Pelajau in the pastand relationship of Pelajau with riverbank settlement sites at the upstream of South Kalimantan such as Jambu Hulu, Jambu Hilir and Nagara. The method used is descriptive with inductive reasoning. Data are collected through observation, interviews and excavation, and analysis data are conducted by laboratory, morphology and technological artifacts, as wellas ethnoarchaeological approach. Results from this study indicate that a riverbank settlement of Pelajau has an important role to the development of economy, religion and nationalism in the upstream region of South Kalimantan. Based on some artifacts and traditions which are still in use, it is concluded that the culture in Pelajau is continued from ancient times until present, eventhough there are disconnect generation and changeable concept of sumur candi (temple well) meaning.
ARCA BATU SAKE: PENJAGA BUKIT BERIBIT (SAKÉ STONE STATUE: THE KEEPER OF BUKIT BERIBIT) Kusmartono, Vida Pervaya Rusianti; Hindarto, Imam
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 5, No 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5470.315 KB) | DOI: 10.24832/ke.v5i1.50

Abstract

Pada waktu manusia mulai sadar bahwa terdapat hakikat di alam semesta yang lebih ?besar? dan ?berkuasa? yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidupnya, manusia berupaya untuk dapat mempersonifikasikan ?kekuatan? tersebut. Upaya personifikasi ini ditujukan agar ?kekuatan? alam lebih bersifat teraba oleh indera manusia. Wujud personifikasi tersebut dapat berupa struktur, gambar arang, lukisan cadas, atau arca, yang dijumpai di situs-situs gua atau situs terbuka di Nusantara. Salah satu wujud personifikasi alam yang ditemukan di Bukit Beribit di pedalaman hutan Sintang di bagian barat Kalimantan adalah arca Sake. Gejala yang menarik dari arca Sake ini adalah sosok dan sifat kesendiriannya, di tengah belantara hutan hujan tropis di lembah selatan Pegunungan Müller, tanpa didampingi komponen lain yang mendukung keberadaannya. Arca Sake ini berupa bentukan monolit vulkanis setinggi 2 meter, dan disebut sebagai ?batu Tenavak? oleh masyarakat Ot Danum. Arca serupa belum ditemukan di kawasan lain di Kalimantan. Apakah sebenarnya arca Sake ini? Etnohistori menyebutkan dua versi tentang arca tersebut, yaitu sebagai tanda mata perkawinan Rikai kepada Panjan, dan sebagai perisai spiritual atas serangan musuh terhadap etnis Ot Danum. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan penalaran induktif. Penalaran tersebut diuraikan dengan cara menggambarkan secara rinci data yang telah dikumpulkan, merekamnya secara verbal dan piktoral, dianalisis, untuk selanjutnya disintesiskan. Arca Sake diinterpretasikan sebagai figur arca penjaga, yang konsep pengarcaannya mengambil unsur campuran wujud binatang-binatang amfibi dan reptil dari konsep religi tua, dan berfungsi menjaga kawasan hutan Bukit Beribit.When human began to realize that there was an entity in the universe that was 'bigger' and 'powerful' that can affect their survival, human strived to personify such 'power'. This effort was intended so that the 'strength' of nature was more tangible to human senses. Such personification can take the form of structures, charcoal drawings, rock paintings, or statues, which can be found in cave sites or open sites in Nusantara. One manifestation of this nature personification found at Bukit Beribit in the depths of the Sintang forest in western Kalimantan is the Sake stone statue. An interesting phenomenon about the Sake stone statue is its form and solitariness, in the midst of tropical rainforests in the southern valley of Pegunungan Müller, unaccompanied by components that support its existence. The Sake stone statue is of a volcanic monolith as high as 2 meters, and is called the 'Tenavak stone' by the Ot Danum community. Similar statues have not been found in other regions of Kalimantan. What exactly is the Sake stone statue? The Ot Danum ethnohistory mentions two versions of its identity, i.e. as a dowry from Rikai to Panjan, and as a spiritual shield to prevent the Ot Danum from enemy attacks. This research was conducted using qualitative-descriptive methods with inductive reasoning. The arguments were described by depicting the collected data in detail, recording them verbally and pictorially, analysed and eventually synthesized them. The Sake stone statue was interpreted as a figure of a keeper, where the sculpture takes on an element of mixture of animals amphibian and reptile from old religious concepts, and serves to protect the forest region of Bukit Beribit.
PREFACE KINDAI ETAM VOLUME 5 NOMOR 1 NOVEMBER 2019 -, -
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 5, No 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (489.776 KB) | DOI: 10.24832/ke.v5i1.56

Abstract

-
HUNIAN BERBENTENG (KUTA) MAPOT: STUDI BENTUK, SIMBOL, DAN KRONOLOGI (THE FORTIFIED DWELLING (KUTA) OF MAPOT: STUDY OF FORM, SYMBOL, AND CHRONOLOGY) Sunarningsih, nFn
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol 5, No 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2558.271 KB) | DOI: 10.24832/ke.v5i1.51

Abstract

Kuta Mapot yang berada di wilayah Desa Tumbang Lapan, Kecamatan Rungan Hulu, Kabupaten Gunungmas, Provinsi Kalimantan Tengah, merupakan hunian berbenteng di tepian anak Sungai Tumbang Lapan, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan bagian hulu. Kuta ini termasuk istimewa karena masih nampak beberapa tiangnya, baik dari bagian pagar keliling maupun bangunan di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi bentuk, simbol, dan kronologi hunian berbenteng Mapot. Penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan induktif. Pengumpulan data menggunakan metode survei, ekskavasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian memberi gambaran bahwa Kuta Mapot berbentuk persegi, yang dibentuk oleh pagar keliling dari balok ulin, dilengkapi dengan beberapa patung yang bermakna simbolik sebagai penolak bala sekaligus penjaga, dan bangunan patahu. Secara kronologi (absolut) berdasarkan analisis 14C, Mapot berada di kisaran abad ke-5--20 Masehi, sedangkan secara relatif (keramik Cina) berada pada abad ke-18--20 Masehi. Pendukung Kuta Mapot adalah masyarakat asli, yang sekarang dikenal dengan nama masyarakat Ngaju yang tinggal di Desa Tumbang Lapan, Kecamatan Rungan Hulu. Kuta Mapot, located in the Tumbang Lapan Village, Rungan Hulu Subdistrict, Gunungmas Regency, Central Kalimantan Province, is a fortified residence on the banks of the Tumbang Lapan tributary, in the upper of Kahayan River Basin. Kuta is specially considered because there can still be found some pillars, both from the part of the fences and the buildings inside. This study aims to reconstruct the shape, symbols, and chronology of Mapot fortified dwellings in the village of Tumbang Lapan. Research is descriptive with an inductive approach. The data were collected by survey, excavation, interview, and literature study methods. The study can illustrate that Kuta Mapot is square in shape, formed by a perimeter fence of ironwood beams, equipped with several sculptures that have symbolic meanings as repellent as well as guards, and patahu building. Chronologically (absolute) based on C14 analysis, Mapot is in the range of the 5th-20th century AD, while relatively (Chinese ceramics) is in the 18th-20th century AD. Supporters of Kuta Mapot were indigenous people, now known as Ngaju people who live in Tumbang Lapan Village, Rungan Hulu District.

Page 4 of 13 | Total Record : 128