cover
Contact Name
Ilham
Contact Email
Ilham.fishaholic@gmail.com
Phone
+6221-64700928
Journal Mail Official
jra.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
Gedung Balibang KP II, Lantai 2 Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
Location
Kab. jembrana,
Bali
INDONESIA
Jurnal Riset Akuakultur
ISSN : 19076754     EISSN : 25026534     DOI : http://doi.org/10.15578/JRA
Core Subject : Agriculture, Social,
Jurnal Riset Akuakultur as source of information in the form of the results of research and scientific review (review) in the field of various aquaculture disciplines include genetics and reproduction, biotechnology, nutrition and feed, fish health and the environment, and land resources in aquaculture
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)" : 10 Documents clear
KARAKTER GENOTIPE TIGA POPULASI IKAN RAINBOW AJAMARU (Melanotaenia ajamaruensis) DARI ALAM DAN BUDIDAYA MENGGUNAKAN RAPD Erma Primanita Hayuningtyas; Shofihar Sinansari; Melta Rini Fahmi; Eni Kusrini; Bastiar Nur
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (559.883 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.105-113

Abstract

Ikan rainbow Ajamaru (Melanotaenia ajamarunensis) yang dinyatakan punah pada tahun 1996 merupakan ikan endemik dari Danau Ajamaru, Papua. Namun ikan ini berhasil ditemukan kembali pada tahun 2007 di Sungai Kaliwensi, Sorong, Papua. Domestikasi ex-situ ikan rainbow Ajamaru sedang dilakukan di Balai Riset Budidaya ikan Hias, Depok-Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi perbedaan genotipe ikan rainbow Ajamaru di alam dan budidaya melalui analisis keragaman genetik untuk melihat adanya perubahan genetik, migrasi maupun mutasi gen. Metode yang digunakan adalah Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dengan 3 jenis primer (OPA 03, OPB 6, dan OPZ 5). Setiap populasi baik, dari alam (Papua) maupun budidaya (Depok dan Papua) masing-masing diambil secara acak sebanyak 10 sampel ikan uji. Hasil penelitian menunjukkan nilai keragaman genetik pada ikan di alam lebih rendah (62,5%) dibanding ikan budidaya di Papua (70,31%) dan tertinggi pada ikan budidaya di Depok (73,43%). Heterozigositas pada ikan di alam lebih rendah (0,172) dibanding ikan budidaya di Papua (0,241) dan di Depok (0,270). Jarak genetik terjauh ditunjukkan antara populasi ikan alam dan populasi ikan budidaya Papua, sedangkan jarak genetik terdekat antara populasi ikan budidaya di Papua dengan di Depok. Karakter genotipe yang dihasilkan pada tiga populasi ikan rainbow Ajamaru adalah memiliki corak DNA yang berbeda nyata (P<0,05). Perbedaan yang dihasilkan dari karakter genotipe karena respon genotip dari tiap individu dan daya adaptasi ikan berbeda-beda pada habitat yang berbeda.Ajamaru rainbow, an endemic fish from Lake Ajamaru, Papua, once declared extinct in 1996. However, it was rediscovered in 2007, in Kaliwensi River, Sorong, Papua. Currently, the Ajamaru rainbow fish is being domesticated ex-situ at the Research Center for Ornamental Fish Culture, Depok, West Java. The aim of the research was to determine the genotype characteristics of wild and cultured Ajamaru rainbow including genetic change, drift, migration, and mutation using genetic variance analysis. The genetic analysis applied was Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) using OPA-03, OPB-6, and OPZ-5 primers. Ten samples were used for each population. The results showed that the three populations of Ajamaru rainbow fish have significantly different (P<0.05) of DNA polymorphism. The lowest value of genetic variance was found in the wild fish (62.5%) followed by the cultured fish located in Papua (70.31%), and the highest was observed in the cultured fish located in Depok (73.43%). Heterozygosity of the wild fish was lower (0.172) than that of the cultured fish in Papua (0.241) and in Depok (0.270). The high genetic distance was found between the wild and cultured fish from Papua. The closest relationship was between the fish culture in Papua and Depok. The genotype character produced in the three Ajamaru rainbow fish populations was have significantly different (P<0.05) of DNA polymorphism. The differences that result form genotype characters because of the genotypic response of each individual and the adaptability of fish vary in different habitats. 
VAKSIN KERING BEKU SEL UTUH BAKTERI Aeromonas hydrophila UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTILE AEROMONADS SEPTICEMIA PADA IKAN LELE, NILA, DAN GURAMI Desy Sugiani; Taukhid Taukhid; Uni Purwaningsih; Angela Mariana Lusiastuti
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (98.575 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.159-167

Abstract

Vaksinasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk pencegahan penyakit infeksius pada budidaya ikan. Produk vaksin yang tersedia saat ini masih berbasis produk cair (water based vaccines), yang memiliki kekurangan dalam stabilitas produk yang tidak tahan lama jika disimpan dalam suhu ruang dan keterbatasan dalam tranportasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode preparasi sediaan produk vaksin sel utuh Aeromonas hydrophila dalam bentuk kering beku (freeze dried) untuk pengendalian penyakit pada ikan lele (Clarias sp.), nila (Oreochromis niloticus), dan gurami (Osphronemus gouramy). Penelitian dilakukan dengan membuat produk vaksin kering beku pada suhu -100°C, uji mutu, uji keamanan, dan uji efikasi. Penelitian ini telah menghasilkan produk vaksin kering beku yang aman diaplikasikan pada ikan lele, nila, dan gurami, serta dapat menginduksi peningkatan level titer antibodi. Sediaan vaksin sel utuh A. hydrophila dengan metode kering beku dapat mereduksi berat produk vaksin cair 100 g menjadi serbuk sebesar 4,2 g. Efikasi vaksin menghasilkan tingkat sintasan relatif (RPS/relative percent survival) pada ikan nila (Oreochromis niloticus) 45,83%; ikan lele (Clarias sp.) 70%; dan ikan gurami (Osphronemus gouramy) 31,67%. Vaksin kering beku sel utuh bakteri Aeromonas hydrophila paling efektif diberikan pada ikan lele untuk mencegah penyakit Motile Aeromonads Septicemia.Vaccination is one of the most effective methods to prevent disease outbreaks and distribution in aquaculture. Commercial fish vaccine products are mainly available in liquid-based products (water-based vaccines), which have several limitations such as stability issues of the products (durability) when stored at room temperature, bulky packaging, and transportation complexity during distribution. This study aimed to develop a method of vaccine preparation using the freeze-dried method as part of the management control of Aeromonads septicemia disease in freshwater aquaculture. The study consisted of several stages: the first stage was the production of freeze-dried Aeromonas hydrophila vaccine product at -100°C. The second stage was vaccine quality test followed by the third stage which was vaccine efficacy test. This research produced frozen dried vaccine products that were considered safe to be applied to catfish, tilapia, and gourami, and could increase the antibody titer. The formation of the whole cell vaccine of A. hydrophila using the freeze-dried method could reduce the weight of the liquid form of the vaccine product from 100 g to a powder weighing only 4.2 g. The results of the vaccine efficacy test showed the relative percent survivals (RPSs) of Clarias sp., Oreochromis niloticus and Osphronemus gouramy were 70%, 45.83%, and 31.67%, respectively. Freeze dried vaccine of whole cells Aeromonas hydrophila are most effective in catfish to prevent Motile Aeromanads Septicemia.
DAYA DUKUNG EKOLOGI UNTUK BUDIDAYA IKAN KAKAP DALAM KERAMBA JARING APUNG, STUDI KASUS DI PERAIRAN BIAK-NUMFOR Ariani Andayani; Wartono Hadie; Ketut Sugama
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (972.191 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.179-189

Abstract

Kabupaten Biak-Numfor merupakan salah satu lokasi yang ditetapkan sebagai Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), yang memiliki potensi untuk pengembangan budidaya laut, sehingga perlu dilakukan kajian kesesuaian lokasi dan daya dukung lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kesesuaian perairan dan estimasi daya dukung lingkungan (ekologi) untuk pengembangan budidaya ikan kakap (Lates calcarifer). Kajian ini dilakukan di dua lokasi yaitu Pulau Nusi dan Teluk Urfu. Pengumpulan data primer dilakukan melalui survai lapangan dan pengumpulan data sekunder melalui Dinas terkait. Data survai lapangan yang dikumpulkan meliputi: arus, kedalaman, pH, suhu, salinitas, dissoloved oxygen (DO), amonia, nitrit, nitrat, fosfat, total suspended solid (TSS), dan kecerahan. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain: Peta RBI dan data spasial dari Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil RZWP3K Kabupaten Biak-Numfor 2015. Analisis kesesuaian perairan dilakukan dengan perangkat lunak Quantum GIS (QGIS). Analisis spasial berbasis raster. Hasil analisis kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kakap dalam keramba jaring apung (KJA), di sekitar Pulau Nusi memiliki potensi yang sesuai seluas 324,11 ha dari total area seluas 2.643 ha, sedangkan di Teluk Urfu area yang sesuai seluas 0,247 ha dari total area 33 ha. Hasil perhitungan daya dukung ekologi, Teluk Urfu tidak direkomendasikan adanya kegiatan budidaya ikan, kenyataannya saat ini telah terpasang 12 lubang KJA. Sedangkan di Pulau Nusi potensi pengembangan budidaya laut khususnya ikan kakap cukup luas. Daya dukung ekologinya adalah 158 lubang KJA (3 m x 3 m x 3 m) dengan terget panen per lubang adalah 175 kg.Biak-Numfor Regency has been designated as one of the locations of Integrated Marine and Fisheries Center (SKPT). The region has the potential to be developed as mariculture area. Thus, it is necessary to determine the site suitability and calculate the environmental carrying capacity of the area for mariculture development. This study aimed to assess the site suitability and estimate the environmental carrying capacity (ecology) of the region waters for Asian seabass/barramundi (Lates calcarifer) mariculture. The study was carried out in two locations: Nusi Island and Urfu Bay. Primary data were collected from a field survey and secondary data was gathered from the local fisheries extension office in Biak
PENINGKATAN KUALITAS NUTRIEN ONGGOK YANG DIFERMENTASIMENGGUNAKAN Bacillus megaterium SS4b SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN Mulyasari Fuad; Subaryono Subaryono; Reza Samsudin; Yohanna Retnaning Widyastuti
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (82.775 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.147-157

Abstract

Onggok adalah hasil produk samping pengolahan ubi kayu menjadi tapioka yang berpotensi dikembangkan sebagai bahan baku pakan ikan. Permasalahan yang dihadapi yaitu kecernaan onggok masih relatif rendah sehingga perlu ditingkatkan melalui teknik fermentasi. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan bakteri B. megaterium SS4b dalam menyederhanakan nutrien kompleks dari onggok, serta menentukan dosis bakteri yang sesuai untuk proses tersebut. Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu: 1) penentuan aktivitas enzim selulase, amilase, dan protease bakteri B. megaterium SS4b secara semi-kualitatif; 2) penentuan dosis inokulum yang efektif untuk proses fermentasi onggok (0%, 3%, 6%, dan 9%). Parameter yang diukur meliputi glukosa terlarut/gula pereduksi, protein terlarut, protein kasar, serat kasar, dan kecernaan protein secara in vitro. Percobaan dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan beda dosis bakteri untuk fermentasi onggok dan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. megaterium SS4b memiliki aktivitas selulase, amilase, dan protease, serta mampu menghidrolisis onggok. Dosis penambahan isolat bakteri sebanyak 9% pada kepadatan 1011 sel/mL dan inkubasi selama 72 jam merupakan dosis terbaik dalam meningkatkan kualitas nutrien onggok. Proses fermentasi ini dapat meningkatkan kandungan protein terlarut, kecernaan protein, ketersediaan gula pereduksi, dan penurunan serat onggok berturut-turut adalah sebesar 2,9 kali, tiga kali, satu kali, dan enam kali dibandingkan dengan kontrol.Cassava starch residue is a by-product in tapioca production that has the potential to be used as one of the ingredients in fish feed. The problem was that the digestibility of cassava starch residue was relatively low but could be improved through fermentation. The purpose of this study was to evaluate the ability of B. megaterium SS4b bacteria in simplifying the nutrient complex of cassava starch residue and determine the appropriate bacterial dose for the process. The study consisted of two stages: 1) determining, semi-qualitatively, the activity of cellulase, amylase, and protease enzyme of B. megaterium SS4; 2) determining the effective inoculum dose for the fermentation process of cassava starch residue (0%, 3%, 6%, and 9%). Parameters measured included dissolved glucose/reducing sugar, dissolved protein, crude protein, crude fibre, and protein digestibility in vitro. The experiment was arranged in a completely randomized design (CRD) with four different treatments of bacterial dose for fermentation of cassava starch residue and three replicates. The results showed that B. megaterium SS4b has cellulase, amylase, and protease activities and was able to hydrolyze cassava starch residue. The dosage level of the bacterial isolate at 9% with a density of 1011 cells mL-1 and incubation for 72 hours was the best treatment in improving the nutrient quality of cassava starch residue. This fermentation process could increase soluble protein content, protein digestibility, availability of reducing sugar, and decrease significantly the fiber content of cassava starch residue
INTENSITAS PARASIT INSANG (TREMATODA MONOGENEA: Pseudorhabdosynochus sp.) PADA IKAN KERAPU HIBRIDA MELALUI INFEKSI BUATAN Ketut Mahardika; Indah Mastuti; Zafran Zafran
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (172.951 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.169-177

Abstract

Infeksi trematoda monogenea: Pseudorhabdosynochus sp. dapat menyebabkan kematian massal pada ikan kerapu. Prevalensi infeksi trematoda ini mencapai 100%, namun intensitasnya hingga menimbulkan gejala klinis dan kematian ikan belum diketahui. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui intensitas parasit insang (Pseudorhabdosynochus sp.) pada ikan kerapu hibrida “cantik” melalui infeksi buatan. Ikan uji direndam dalam air tawar dengan 100 mg/L formalin selama satu jam sebelum digunakan. Infeksi buatan dilakukan melalui (A) kohabitasi antara ikan sehat dengan ikan sakit dan (B) penempelan potongan lamella insang ikan yang terinfeksi parasit ke lamella insang ikan sehat. Pada perlakuan (A) sebanyak lima ekor ikan uji dipelihara bersama dengan dua ekor ikan sakit selama 3-4 hari, sedangkan perlakuan (B) penempelan lamella insang ikan sakit (1 g lamella insang/ikan) dilakukan pada lima ekor ikan uji selama lima menit. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Pada Kontrol kepadatan ikan uji sehat sebanyak enam ekor dan lima ekor. Wadah yang digunakan berupa bak plastik volume 100 L. Pengamatan intensitas parasit dan telurnya pada setiap lamella insang bagian kanan dan kiri dari lima ekor ikan uji dilakukan selama tiga minggu dengan interval waktu satu minggu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kohabitasi antara ikan sehat dan ikan sakit menyebabkan intensitas parasit Pseudorhabdosynochus sp. dan telurnya lebih tinggi dibandingkan dengan penempelan lamella insang. Pada kontrol, Pseudorhabdosynochus sp. maupun telurnya tidak ditemukan selama tiga minggu pemeliharaan. Hasil ini menunjukkan penyebaran Pseudorhabdosynochus sp. dari ikan sakit ke ikan sehat lebih cepat dibandingkan dengan penempelan dari lamella insang ikan sakit.Monogenetic trematode (Pseudorhabdosynochus sp.) infection often leads to mass mortality in groupers, with prevalency reaching 100%. However, the intensity of this parasite to infect grouper fish has yet to be reported. The purpose of this research was to study the intensity of Pseudorhabdosynochus sp. in hybrid grouper “cantik” through experimental infection. The test fish were soaked with 100 mg/L of formalin in fresh water before used. The experimental infections were performed through: (A) cohabitation between healthy fish with sick fish and (B) infection with attached of gills lamella of sick fish to gill lamella of healthy fish. In treatment (A), a total of five test fish were cohabited with two sick fish for 3-4 days, while in treatment (B), attachment of gills lamella (1 g/fish) was done on five test fish for five minutes. Each treatment was repeated for three times. Six and five test fish were maintened as controls. The containers used were 100 L plastic tanks volume. Observation of intensity of the parasite infection and its egg production in each lamella along the right and left gills of five fish were conducted for three weeks with one week intervals. The result showed that the cohabitation between healthy and sick fish caused an increase in total of Pseudorhabdosynochus sp. and its eggs compared with the attachment of chopped-gills. In the control group, Pseudorhabdosynochus sp. and its eggs were not found for three weeks. These results indicate the spread of Pseudorhabdosynochus sp. from the sick fish to the healthy is fish faster than the attachment of gill lamella from the sick fish.
PENGARUH WARNA WADAH PADA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LARVA IKAN RAINBOW KURUMOI (Melanotaenia parva) Riani Rahmawati; Tutik Kadarini
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (480.383 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.137-146

Abstract

Rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) merupakan salah satu ikan endemik Indonesia yang berasal dari Danau Kurumoi, Papua. Ikan ini merupakan salah satu komoditas potensial untuk perdagangan ikan hias. Akan tetapi, pemenuhan permintaan ikan rainbow masih mengandalkan hasil tangkapan alam. Rekayasa lingkungan diperlukan untuk meningkatkan produksi ikan rainbow ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui warna wadah yang sesuai untuk optimalisasi pemeliharaan larva ikan rainbow kurumoi. Perlakuan dalam penelitian ini adalah: A) warna wadah merah; B) warna wadah biru; dan C) warna wadah hijau. Larva dipelihara dalam wadah volume 4 L dengan kepadatan 20 ekor/L selama 28 hari. Pakan yang diberikan berupa infusoria, Rotifer, Artemia, dan Moina secara bertahap dengan metode ad libitum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva yang diberikan perlakuan beda warna wadah tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan dan sintasan. Perlakuan A (warna wadah merah) menunjukkan laju pertumbuhan spesifik panjang tertinggi yaitu sebesar 2,2 ± 0,1%/hari; dilanjutkan perlakuan B (2,1 ± 0,7%/hari); dan terakhir perlakun C (1,8 ± 0,7%/hari). Untuk laju pertumbuhan spesifik berat pada perlakuan A sebesar 6,7 ± 1,2%/hari; diikuti perlakuan C (6,4 ± 0,3%/hari) dan perlakuan B (5,5 ± 1,6%/hari). Perkembangan sirip sudah lengkap pada umur 27 hari setelah menetas dengan panjang total tubuh (TL) berkisar antara 8,0-8,6 mm.Rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) is one of endemic fish from Kurumoi Lake, Papua, Indonesia. The fish is considered one of the potential commodities in the ornamental fish market. However, to supply the demand for rainbow fish still relies on wild capture. Environmental manipulation is needed to improve the production of rainbow fish. The aim of this study was to evaluate the effects of tank color on the growth of kurumoi rainbow larvae. The treatments in this study were: A) red; B) blue; and C) green tanks. The larvae were reared in the 4 L volume tanks with a density of 20 ind./L for 28 days. The larvae were fed, in stages, with infusoria, Rotifer, Artemia, and Moina with ad libitum method. The results showed that the red tank (A) had the highest specific growth rate of length (2.2 ± 0.1%/day) followed by blue (B) (2.1 ± 0.7%/day) and green (C) (1.8 ± 0.7%/day) tanks. The red tank (A) had the highest specific weight growth rate (6.9 ± 1.2%/day) followed by the green (C) (6.4 ± 0.3%/day) and the lowest was blue (B) (5.5± 1.6%/day) tanks. The larvae maintained in the red tanks showed brighter color than that of the other two tanks. The fins development has completed on 27 days after hatching (8.0-8.6 mm TL) [ FOR WHICH TANK]. This research indicates that the tank colors do not have any influence on the growth and survival (P>0.05) of rainbow kurumoi larvae. 
BIOLOGI REPRODUKSI DAN TINGKAT KEBERHASILAN PEMIJAHAN IKAN BAUNG Hemibagrus nemurus (Valenciennes, 1840) POPULASI CIRATA DENGAN INKUBASI SUHU BERBEDA Deni Radona; Jojo Subagja; Vitas Atmadi Prakoso; Irin Iriana Kusmini; Anang Hari Kristanto
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (470.113 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.131-136

Abstract

Ikan baung merupakan salah satu komoditas populer di Indonesia. Dalam pengembangan budidayanya masih diperlukan input teknologi terutama pada proses pembenihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter biologi reproduksi dan keberhasilannya dalam proses pemijahan pada ikan baung populasi Cirata yang diinkubasi pada suhu 23°C-24°C, 25°C-26°C, 27°C-28°C, dan 29°C-30°C. Inkubasi induk dilakukan pada styrofoam berukuran 45 cm x 35 cm x 25 cm dengan ketebalan 3 cm. Setiap styrofoam diisi satu ekor induk yang matang gonad. Seleksi tingkat kematangan gonad dilakukan secara kanulasi dan induksi hormon menggunakan LHRH analog (0,6 mL/kg). Penyuntikan dilakukan dua kali dengan selang waktu enam jam. Styrofoam diisi air dengan ketinggian 20 cm, dilengkapi tutup pada bagian atas, water heater, dan sistem aerasi. Inkubasi suhu dilakukan secara eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan suhu dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan suhu optimal inkubasi pada induk yaitu 27°C-28°C dengan waktu laten 8 jam 35 menit, dan derajat ovulasi 100%. Secara statistik inkubasi induk pada suhu 27°C-28°C menunjukkan nilai karakter biologi reproduksi yang berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan inkubasi suhu 23°C-24°C dan 25°C-26°C. Nilai biologi reproduksi yang dihasilkan pada perlakuan terbaik tersebut adalah indeks kematangan gonad 8,6 ± 0,5%; fekunditas 23.909 ± 1.473 butir per ekor; derajat pembuahan 85,5 ± 5,5%; derajat penetasan 69,9 ± 5,0%; dan sintasan 72,3 ± 5,8%. Pada inkubasi suhu 27C°-28°C, telur terdistribusi dengan diameter telur rata-rata sebesar 1,5 mm.Asian redtail catfish is one of the most popular fish commodities in Indonesia. However, improvements in its aquaculture technology are still needed, especially in the breeding process. This study was aimed to evaluate the characters of reproductive biology and level of spawning on Asian redtail catfish from Cirata population incubated at different temperature settings of 23°C-24°C, 25°C-26°C, 27°C-28°C, and 29°C-30°C. Broodstock incubation was conducted in styrofoam boxes (sized 45 cm x 35 cm x 25 cm) with a wall thickness of 3 cm. One mature broodstock was placed inside each Styrofoam. Each styrofoam box was previously filled with freshwater of 20 cm deep, equipped with a lid on top, a water heater, and an aeration system. The gonad maturity stage of each broodstock was determined using cannulation, whilst the hormone induction used LHRH hormone analog (0.6 mL/kg). The injection was performed twice within six hours interval. The incubation was arranged in a completely randomized design (CRD) with four temperature treatments with three replicates. The results showed that the optimal incubation temperature for the broodstock was 27°C-28°C with the latent time ovulation of 8 hours 35 minutes and an ovulation rate of 100%. Statistically, the incubation of broodstock at 27°C-28°C showed a significant difference on the reproductive biological character value (P<0.05) compared to temperature ranges at 23°C-24°C and 25°C-26°C. The reproductive biology parameters generated were gonadosomatic index of 8.6 ± 0.5%; fecundity of 23,909 ± 1,473 egg per individual; fertilization rate of 85.5 ± 5.5%; hatching rate of 69.9 ± 5.0%; and survival rate of 72.3 ± 5.8%. At the incubation temperature of 27°C-28°C, the egg was distributed with an average egg diameter of 1.5 mm.
PENGARUH PEMBERIAN HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN DENGAN METODE YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN BENIH IKAN BOTIA (Chromobotia macracanthus) Asep Permana; Alimuddin Alimuddin; Wartono Hadie; Agus Priyadi; Rendy Ginanjar
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (175.642 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.123-130

Abstract

Pertumbuhan ikan botia tergolong lambat, memerlukan waktu sekitar enam bulan untuk mencapai ukuran komersial (panjang total 4-5 cm). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respons pertumbuhan benih ikan botia yang diberi hormon pertumbuhan ikan kerapu (rElGH) melalui tiga metode yaitu: perendaman, oral, dan kombinasi perendaman dan oral. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dan setiap perlakuan diulang tiga kali. Dosis rElGH melalui perendaman yaitu 1,2 mg/L diberikan pada larva umur tujuh hari, sedangkan dosis secara oral yaitu 30 mg/kg pakan dan diberikan pada benih umur tiga bulan. Ikan dipelihara dalam akuarium sistem resirkulasi (80 cm x 40 cm x 25 cm) dengan kepadatan 5 ekor/L selama pemeliharaan tiga bulan pertama dan 1 ekor/L selama pemeliharaan periode tiga bulan kedua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi perendaman dan oral memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi sebesar 12,04% dibandingkan kontrol. Perlakuan ini juga meningkatkan level ekspresi insulin-like growth factor-1/ IGF-1 sebesar 29,37% dibandingkan kontrol.The growth of Clown Loach is slow. It takes about six months to reach the market size (4-5 cm total body length). This study aimed to evaluate the growth response of Clown Loach treated with recombinant giant grouper growth hormone (rElGH) delivered by three different methods: immersion, oral, and the combination of immersion and oral. A completely randomized design was used as the experimental design and each treatment was replicated three times. The immersion method used rElGH dose of 1.2 mg/L on seven-day-old larvae, while oral treatment used 30 mg rElGH/kg feed on the three-month-old juvenile. The fish were reared in a closed recirculation tank (80 cm x 40 cm x 25 cm) at a density of 5 fish/L for the first three months, and 1 fish/L for the second three months of rearing period. The result showed that the combination of immersion and oral treatments produced a higher growth rate of 12.04% compared to control treatment. Those treatments also increased insulin-like growth factor-1/IGF-1 expression level about 29.37% compared to the control.
KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN GENOTIPE LIMA STRAIN IKAN MAS DI JAWA BARAT DAN BANTEN Didik Ariyanto; Odang Carman; Dinar Tri Soelistyowati; Muhammad Zairin Jr.; Muhamad Syukur
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1623.304 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.93-103

Abstract

Langkah awal program pemuliaan adalah koleksi dan pengenalan karakter materi pemuliaan tersebut. Hasil karakterisasi digunakan sebagai dasar pertimbangan metode pelaksanaan program pemuliaan yang akan dilakukan. Koleksi material genetik untuk program pemuliaan ikan mas menghasilkan lima strain yang dominan dibudidaya di wilayah Jawa Barat dan Banten, yakni strain Rajadanu, Sutisna, Majalaya, Wildan, dan Sinyonya. Pengenalan karakter material genetik ikan mas hasil koleksi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu fenotipe menggunakan metode truss morfometrik dan genotipe menggunakan metode mikrosatelit DNA. Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi keragaan fenotipe kelima strain ikan mas relatif sesuai dengan variasi keragaan genotipenya. Selain mengelompokkan antar strain, hasil analisis genotipe juga menunjukkan bahwa tingkat keragaman genetik kelima strain ikan mas yang diindikasikan dengan nilai heterozigositas (Ho) relatif rendah, yaitu berkisar antara 0,08-0,20 dengan jarak genetik antar strain berada dalam kisaran 0,420-0,582.The first step in a fish breeding program is the collection and characterization of the breeding subject. The results of characterization are used as a baseline to select suitable potential methods used in the breeding program. The samples of genetic materials of five strains of common carp (Rajadanu, Sutisna, Majalaya, Wildan, and Sinyonya) were obtained from West Java and Banten Province. The characterization of collected genetic materials of the common carp species followed the phenotype and genotype approaches. Phenotypic characterization used truss morphometric method while genotype characterization applied DNA microsatellite method. The results showed that the phenotypic variation of the common carp had a close fit with its genotypic variation. In addition, the genotype analysis also showed that the genetic diversity level of the strains was relatively low indicated by the narrow ranges of heterozygosity values (Ho) (0.08-0.20) and genetic distance among strains (0.420-0.582).
PERFORMA PEMIJAHAN IKAN BELIDA (Notopterus chitala) MELALUI INDUKSI HORMON HCG DAN LHRH Lies Setijaningsih; Jojo Subagja; Deni Radona; Brata Pantjara; Anang Hari Kristanto; Yohanna Retnaning Widyastuti
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (85.251 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.2.2018.115-122

Abstract

Permintaan ikan belida cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku olahan makanan yang masih mengandalkan tangkapan dari alam. Tingginya eksploitasi mengakibatkan populasi ikan dari tahun ke tahun semakin berkurang dan terancam punah. Teknologi pembenihan ikan belida dengan penggunaan hormon diduga dapat meningkatkan produksi larva untuk keperluan budidaya. Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi performasi pemijahan ikan belida secara alami dan buatan melalui induksi hormon HCG dan LHRH analog. Pemijahan alami dan buatan dilakukan menggunakan induk betina sebanyak enam ekor dan jantan tiga ekor (rasio 2:1). Induk yang digunakan berukuran panjang 46 ± 5 cm dan bobot 2.209 ± 623 g. Pemijahan buatan dilakukan dengan induksi hormon HCG dosis 500 IU/kg dan LHRH analog dosis 0,5 mL/kg. Penyuntikan HCG dan LHRH diberikan dengan interval 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan pada pemijahan buatan (induksi hormon) diperoleh induk yang memijah sebanyak dua ekor dengan nilai diameter telur (3,1 ± 0,3 mm); fekunditas (282-907 butir); derajat pembuahan (21%-40%); derajat penetasan (56%-75%); dan sintasan (30%-50%); sedangkan pada pemijahan alami diperoleh satu ekor induk yang memijah dengan nilai diameter telur (3,5 ± 0,3 mm); fekunditas (1.616 butir); dan derajat pembuahan (86,7%); selama tiga bulan pengamatan secara intensif dengan frekuensi pemijahan enam kali. Aplikasi teknologi pemijahan dengan menggunakan induksi hormon dapat menghasilkan produk larva pada ikan belida.The demand for fish consumption of Clown Knifefish is considerably high. However, the fish supply for consumption and processed food still relies on wild-caught. Such exploitation has decreased the population of Clown Knifefish to a point that it can become an endangered species. Efforts on the breeding technology of Clown Knifefish through natural and artificial propagation using of hormones have shown promising results. The current study was conducted to evaluate the performance of Clown Knifefish in natural and artificial spawning conditions using the induction of HCG hormone and LHRH analogues. The natural and artificial spawning treatments were conducted using six fish females and three fish males (a ratio of 2:1). The average Broodstocks’ size was 46 ± 5 cm in length and 2,209 ± 623 g in weight. The artificial spawning was conducted with HCG hormone induction (dose of 500 IU/kg body weight) and LHRH analogue (dose: 0.5 mL/kg). HCG and LHRH injections were given within 24 hours interval. The results showed that the artificial spawning (hormone induction) had successfully caused two broodstock to spawn producing eggs with the diameter of 3.1 ± 0.3 mm; fecundity of 282-907 eggs; fertilization rate of 21%-40%; hatching rate of 56%-75%; and survival rate of 30%-50%. In the natural spawning, one broodstock had spawned with the egg diameter of 3.5 ± 0.3 mm; fecundity of 1,616 eggs; and fertilization rate of 86.7%. This study concludes that spawning technology applications using hormonal induction can increase the production larvae of Clown Knifefish broodstock.

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2018 2018


Filter By Issues
All Issue Vol 19, No 2 (2024): Juni (2024) Vol 19, No 1 (2024): (Maret 2024) Vol 18, No 4 (2023): (Desember, 2023) Vol 18, No 3 (2023): (September, 2023) Vol 18, No 2 (2023): (Juni, 2023) Vol 18, No 1 (2023): (Maret 2023) Vol 17, No 4 (2022): (Desember 2022) Vol 17, No 3 (2022): (September) 2022 Vol 17, No 2 (2022): (Juni) 2022 Vol 17, No 1 (2022): (Maret, 2022) Vol 16, No 4 (2021): (Desember, 2021) Vol 16, No 3 (2021): (September, 2021) Vol 16, No 2 (2021): (Juni, 2021) Vol 16, No 1 (2021): (Maret, 2021) Vol 15, No 4 (2020): (Desember, 2020) Vol 15, No 3 (2020): (September, 2020) Vol 15, No 2 (2020): (Juni, 2020) Vol 15, No 1 (2020): (Maret, 2020) Vol 14, No 4 (2019): (Desember, 2019) Vol 14, No 3 (2019): (September, 2019) Vol 14, No 2 (2019): (Juni, 2019) Vol 14, No 1 (2019): (Maret, 2019) Vol 13, No 4 (2018): (Desember 2018) Vol 13, No 3 (2018): (September 2018) Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018) Vol 13, No 1 (2018): (Maret 2018) Vol 12, No 3 (2017): (September 2017) Vol 12, No 4 (2017): (Desember 2017) Vol 12, No 2 (2017): (Juni 2017) Vol 12, No 1 (2017): (Maret 2017) Vol 11, No 3 (2016): (September 2016) Vol 11, No 4 (2016): (Desember 2016) Vol 11, No 2 (2016): (Juni 2016) Vol 11, No 1 (2016): (Maret 2016) Vol 8, No 3 (2013): (Desember 2013) Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010) Vol 5, No 2 (2010): (Agustus 2010) Vol 5, No 1 (2010): (April 2010) Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007) Vol 2, No 1 (2007): (April 2007) Vol 1, No 1 (2006): (April 2006) Vol 10, No 4 (2015): (Desember 2015) Vol 10, No 3 (2015): (September 2015) Vol 10, No 2 (2015): (Juni 2015) Vol 10, No 1 (2015): (Maret 2015) Vol 9, No 3 (2014): (Desember 2014) Vol 9, No 2 (2014): (Agustus 2014) Vol 9, No 1 (2014): (April 2014) Vol 8, No 2 (2013): (Agustus 2013) Vol 8, No 1 (2013): (April 2013) Vol 7, No 3 (2012): (Desember 2012) Vol 7, No 2 (2012): (Agustus 2012) Vol 7, No 1 (2012): (April 2012) Vol 6, No 3 (2011): (Desember 2011) Vol 6, No 2 (2011): (Agustus 2011) Vol 6, No 1 (2011): (April 2011) Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009) Vol 4, No 2 (2009): (Agustus 2009) Vol 4, No 1 (2009): (April 2009) Vol 3, No 3 (2008): (Desember 2008) Vol 3, No 2 (2008): (Agustus 2008) Vol 3, No 1 (2008): (April 2008) Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007) Vol 1, No 3 (2006): (Desember 2006) Vol 1, No 2 (2006): (Agustus 2006) More Issue