cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara
ISSN : 25023896     EISSN : 25812254     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 95 Documents
Hubungan Kebudayaan Tafsir Indonesia Analisis Kisah Ibrahim dan Musa dalam Tafsir karya) )Mahmud Yunus, Hamka, dan M. Quraish Shihab Anwar Mujahidin
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 3, No 1 (2017)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6932.858 KB) | DOI: 10.32459/nun.v3i1.16

Abstract

This study aims to reveal the relationship between cultural background of interpreter with the world of Alquran that is reflected in the interpretation of the story of Abraham and Moses. the research object are three interpretations Indonesia representing the first, second, and contemporary generation, namely The Interpretation of The Koran Karim works of Mahmud Yunus, Tafsir al-Azhar works of Hamka, and Tafsir al-Mishbāh works of M. Quraish Shihab. The methods to analyze the data used text analysis with explanatory analysis approach which describe the structure of the story in the books of tafsir studied and analyzed the correlation structure of the story to the cultural background of the interpreter. The results showed that all three books of commentary which analyzed had different patterns of cultural relations. Tafsir al-Azhar and the interpretation of the Koran Karim more often mentioned stories, religious system, and experiences pointing Indonesian background, while the al-Mishbāh interpretation is that at least mention the background of Indonesian cultural. In addition Tafsir al-Mishbāh also more just describe the common theme groups of verses by absurd and interesting contextuality at the Time of the Prophet, so that the story of Abraham and Moses are less contextual today.
RESEPSI HERMENEUTIKA DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN OLEH M. QURAISH SHIHAB: Upaya Negosiasi Antara Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’anuntuk Menemukan Titik Persamaan dan Perbedaan. Muzayyin Muzayyin
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 1, No 1 (2015)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3142.631 KB) | DOI: 10.32459/nun.v1i1.11

Abstract

posisiQuraish Shibah dalam merespon perdebatan hermeneutika beradadi antara dua kubu mereka yang menolak hermeneutika secarakeseluruhan dan kubu yang menerima hermeneutika secara totalitas.Sebagaimana diakui oleh Shihab tidak semua ide yang diketengahkanoleh berbagai aliran dan pakar hermeneutika merupakanide yangkeliru atau negatif.Pasti ada di antaranya yang baik dan baru serta dapatdimanfaatkan untuk memperluas wawasan, bahkan memperkayapenafsiran, termasuk penafsiran al-Qur’an. Hermeneutika danTafsir, keduanya sama-sama sebagai kaidah penafsiran. Terlepasdari perbedaan pada segi objek (al-Qur’an sebagai kalam Allah,Sedangkan Bibel hasil karya manusia).
TAFSIR ALQURAN DAN KEKUASAAN POLITIK DI INDONESIA (Persfektif Analisis Wacana Dan Dialektika) Syamsul Wathani
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 2, No 1 (2016)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7093.197 KB) | DOI: 10.32459/nun.v2i1.6

Abstract

Dinamika yang diperlihat kan dalam disertasi ini setidaknyamemberkan wawasan khazanah kajian Alquran yang sangat beragam.Alquran berdialektika dengan ragam domain, salah satunya domainkekuasaan. Dalam konteks kekuasaan, di indonesia sejarah tafsirAlquran telah melewati fase unik dimana ia diperlakukan olehpenguasaan dan penderita, sebagaimana juga halnya yang dialamioleh Farid Esack di Afrika Selatan. Ada banyak yang dapat di kajidari dialektika tafsir Alquran dengan praktik rezim orde baru.Diantaranya; latar belakang mufassir yang beragam, mulai dari ahliagam hingga ahli ekonomi. Identitas mufassir yang beragam, mulaidari akdemisi hingga politisi. Dan media tafsir yang beragam, mulaidari ceramah islami hingga publikasi televisi.
TAFSIR ALQURAN DAN PERKEMBANGAN ZAMAN: MEREKONSTRUKSI KONTEKS DAN MENEMUKAN MAKNA Munirul Ikhwan
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 2, No 1 (2016)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7089.965 KB) | DOI: 10.32459/nun.v2i1.1

Abstract

Umat Islam dari generasi manapun selalu dihadapkan pada pertanyaan seputar makna Alquran. Jarak antara realitas yang terus berubah dan berkembang, dan teks yang diturunkan pada abad awal ke-7 di Jazirah Arab menjadi perhatian utama para pemikir Muslim dan ulama. Menafsirkan Alquran di era di mana kebebasan manusia mendapat apresiasi yang tinggi, sarjana Muslim modern dituntut untuk menemukan mekanisme interpretasi baru yang mampu menghadirkan pemahaman kegamaan yang tidak selalu ‘dogmatik’, namun juga dinamis, peka zaman dan pada level tertentu juga ‘humanis’. Artikel ini berargumen bahwa membaca kitab suci di era modern akan lebih kaya dan bermakna dengan mengadopsi pendekatan interdisipliner, yaitu dengan mengadopsi temuan-temuan studi sejarah, sosiologi agama, hubungan lintas budaya, termasuk kritik tradisi (riwayat). Hal ini didasari akan pemahaman tentang perlunya menghadirkan makna dan signifikansi pesan kitab suci yang merespon nilai dan cara berpikir umat Islam pada zamanyang berbeda dari generasi Muslim pertama.
Potret Tafsir Ideologis di Indonesia; Kajian Atas Tafsir Ayat Pilihan Al-Wa'ie Farah Farida
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 3, No 1 (2017)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7067.041 KB) | DOI: 10.32459/nun.v3i1.17

Abstract

Kajian tafsir di Indonesia selalu mengalami perkembangan. Berbagai karya tafsir dengan variasi metode hingga coraknya lahir di Nusantara.Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie merupakan tafsir yang ditulis oleh seorang aktivis Hizbut Tahrir; sebuah gerakan yang mengusung misi penegakan kembali khilafah Islamiyyah, sehingga tafsir ini banyak mengangkat  tema-tema yang bersinggungan dengan misi penegakan khilafah Islamiyyah, dan cenderung sangat ideologis.Penulis menggunakan pendekatan tekstual dalam memahami ayat-ayat Alquran dan cenderung anti realitas.Di antara tujuan penulisan tafsir ini adalah mengkritisi pemahamanpemahaman orang Islam mengenaiayat-ayat Alquran, yang dinilainya sudah terkontaminasi dengan gagasan-gagasan barat yang merusak, seperti gagasan HAM, pluralisme agama, kebebasan beragama, dan lain-lain. Berdasarkan struktur epistemologinya, tafsir ini tergolong tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis.
ŪLŪ AL-‘AMR PERSPEKTIF HAMKA DAN NEGARA BERDASARKAN ISLAM DI INDONESIA Ulya ulya
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 1, No 1 (2015)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3179.821 KB) | DOI: 10.32459/nun.v1i1.12

Abstract

  Manusia hidup membutuhkan pedoman. Pedoman hidup bagi umat muslim adalah Alquran, kitab suci yang berbentuk teks dan berbahasa Arab. Agar Alquran bisa memberikan pedoman maka harus membacanya. Membaca dalam arti menafsirkannya dengan tujuan untuk mendapatkan makna. Upaya untuk mendapatkan makna ini menuntut peran aktif pembaca, dalam hal ini adalah penafsir. Imam Ali pernah mengatakan bahwa al-Qur’ān baina daftayī al-muṣḥafi lā yanṭiqu wa innamā yatakallamu bihi ar-Rijāl. Tanpa manusia, Alquran selamanya akan bungkam, tak bersuara. Alquran butuh agen manusia yang menyuarakannya.Tatkala penafsir menafsirkan alquran tidaklah bisa terlepas dari konteks yang melingkupinya, ideologi, tujuan yang ingin dicapai, masalah yang sedang dihadapi, dan seterusnya. Pendekatan posmodernisme menyatakan tidak ada fakta yang telanjang. Semua serba dikonstruksi dan representasional. Dalam konteks inilah, penulis mengasumsikan bahwa tafsir juga hasil konstruksi dari penafsirnya, merepresentasikan ideologinya, kepentingannya, sudut pandangnya, dan lain-lain.  Demikian pula tatkala dibaca tafsir ūlū al-amr Q.S. an-Nisā’ [4]: 59 versi Hamka yang telah terdokumentasikan dalam karya tafsirnya, Tafsir al-Azhar, sebuah tafsir yang telah ditulisnya untuk Indonesia di rentang tahun 1958-1966, yakni di era konstituante dan Demokrasi Terpimpin. Di tengah rentang tahun ini, Hamka mengintroduksi ūlū al-amr sebagai orang-orang yang berkuasa atau penguasa atau pemimpin. Penguasa atau pemimpin harus minkum atau insider, artinya berada dalam satu group dengan yang komunitas yang memilihnya. Jika kata minkum dikembalikan pada siapa yang diajak komunikasi, maka ūlū al-amr seharusnya seagama dan seiman. Mengingat setting penyusunan tafsir itu di tengah sidang konstituante yang memperdebatkan dasar negara, Islam vs Pancasila, maka dengan melalui situs tafsirnya, Hamka berkepentingan untuk mengarahkan dan menggiring agar umat muslim memilih pemimpin yang islami, yang mendukung usulan negara berdasarkan Islam .
Relasi Estetika dengan Kebenaran: Kajian Integrasi Teori Simetri Sains Fisika dan Al-Qur’an Afrizal Nur; Imansyah Putra
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (809.265 KB) | DOI: 10.32495/nun.v4i1.34

Abstract

Dalam artikel ini dijelaskan bagaimana kaitan antara kebenaran dan keindahan, tentunya keterkaitannya sangatlah erat dalam perkembangan sains modern, khususnya dalam kajian ilmu fisika. Bahasa keindahan itu dalam fisika diungkap dalam formulasi matematis teori grup dan ungkapan simetri-simetrinya. Ada sebuah ungkapan dalam fisika kontemporer bahwa hukum fisika didikte oleh simetri yang berati simetri yang merupakan bahasa keindahan dalam sains menentukan sebuah strategi bagi sains untuk merunut hukum baru yang lebih mempunyai skala aceptabilitas yang luas. Kenyataan ini memberikan sebuah pengayaan wacanan sangat luas bagaimana integrasi sains dan agama adalah sebuah keniscayaan penting, meningkat elemen penting yang sangat dihargai internalisasinya dalam agama adalah keindahan. Dalam kajian ini juga diberikan tinjauan soal konsep keindahan dalam Islam dan interelasinya yang erat dengan kebenaran. Oleh karena itu integrasi sains dan agama dapat dipandang sebagai sebuah jalan mencapai keindahan tertinggi yang berarti usaha mencapai kebenaran tertinggi. Suatu hal yang merupakan bagian penting dari pandangan universal manusia.
Konsep Ulumul Quran Muhammad Mafudz al-Tarmas dalam Manuskrip Fath al-Khabir bi Sharh} Mifta>h} al’Tafsi>r Zaenatul Hakamah
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (809.557 KB) | DOI: 10.32495/nun.v4i1.40

Abstract

This research reviews the differentiation, uniqueness, and theoretical power that is in Fath al-Khabi>r bi Sharh} Mifta>h} al-Tafsi>r. This research is a manuscript research by Sheikh Muhammad Mahfudz al-Termasi Pacitan which explain / sharh{ the book of mifta>h} al-Tafsi>r or what is called Alfiyah Ilm Tafsi>r written by Nigerian scholar named Syeih Abdullah ibn Muhammad ibn Uthman ibn Salih} al-Niji> ri>. The book is a manuscript that is still in the form of Sheikh Mahfudz Termas’s handwriting, this study uses a philology method that will describe the manuscript and analyze it using several contemporary Qur’anic study theories. This research shows the concept of a unique and systematic ulumul Qur’an offered by Kyai Mahfudz Termas.
Tren-Tren Wacana Studi Al-Qur’an dalam Pandangan Orientalis di Barat Muhammad Anshori
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (909.745 KB) | DOI: 10.32495/nun.v4i1.35

Abstract

This paper discusses about the history or trend of the Qur’anic studies in the West in general which is still developing until now. There are three focuses of discussion in this paper, namely the history of the translation of the Qur›an, Jewish-Christian Influences on the Qur›an, and a critical study of the Qur›an. Before discussing this matter, this paper also discusses a little about Mushaf ‘Usmānī or what is now called the Qur›an. The beginning of the study of the Qur›an in the West began with translation and later developed into a critical study of the Qur›an itself. The first translation of the Qur’an was carried out by Peter the Venerable and Abbot of Cluny in Latin. This translation was later refined by Robert of Ketton in 1143. After being translated, it was only published for the first time in 1543 AD. After the translation of this translation, it was later followed by other translations in various languages. The study of the Qur’an began to draw attention in the West when Theodor Nӧldeke wrote a book on the history of the Qur’an (Geschichte des Qorāns/Tārīkh al-Qur’ān, The History of The Qur›an). Some Western scholars said that the Qur›an has been influenced by the Judeo-Christian tradition and thus has some similarities. Some Western scholars also conduct critical studies of the Qur’an, some even want to make another version of the Qur’an. The views of Western scholars who are «eccentric» have been denied by Muslim scholars themselves. It can be said that this paper discusses the Orientalist views of the Qur›an.
PENELUSURAN PROTOTIPE PEMIKIRAN ISLAM FAISAL ISMAIL DAN PROBLEM YANG MENGHADANG Mujamil Qomar
Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : Asosiasi Ilmu Alqur'an dan Tafsir se-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (796.405 KB) | DOI: 10.32495/nun.v4i1.41

Abstract

Buku yang berjudul Visi Pluralis-Humanis Islam Faisal Ismail ini merupakan hasil final dari upaya Aksin Wijaya dalam menelusuri dan menformulasikan model pemikiran Islam Faisal Ismail yang tersebar di berbagai media baik buku, jurnal, majalah, antologi maupun surat kabar. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa prototipe pemikiran Faisal Ismail sebagai pluralis-humanis ini sebagai hasil “Ijtihad Ilmiah” dari intelektual muslim asal Sumenep Madura ini.Judul buku ini cukup menarik perhatian terutama pada kata pluralis yang seakar kata dengan pluralisme. Sebagai sebuah konsep, pluralisme yang digagas antara lain oleh Harold Coward[1] ini di Indonesia pernah menimbulkan kontroversi yang sangat tajam antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan pemikir Islam liberal. MUI bahkan mengharamkan pluralisme itu, sedangkan pemikir Islam liberal memandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang tidak mungkin dihindarkan terutama dalam kehidupan global sekarang ini di mana arus interaksi pergaulan umat manusia semakin kompleks. Dengan kata lain, sebenarnya pluralisme merupakan sunnatullah. Faisal Ismail sendiri juga dalam buku ini telah mengritik fatwa MUI tersebut, meskipun dia bukan pemikir Islam liberal.Tulisan dalam buku ini sesungguhnya merupakan upaya membaca, mencermati, menyimpulkan, dan menegaskan formulasi identitas sebuah prototipe pemikiran Islam Faisal Ismail. Suatu upaya yang relatif sulit lantaran pemikiran seseorang itu seringkali merefleksikan prototipe yang ganda. Misalnya, Imam Al-Ghazali oleh kalangan konservatif dinilai liberal tetapi oleh kalangan liberal dinilai konservatif; Al-Ghazali oleh kalangan tertentu dianggap anti-intelektualisme namun menurut kalangan lainnya justru dipandang sebagai intelektual Muslim kaliber dunia; dan berdasarkan kitabnya, Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali dipersepsi sebagai pemikir Islam yang anti-filsafat, namun kelompok lainnya justru mempersepsinya sebagai pemikir Islam yang mendalami dan terpengaruh oleh filsafat Yunani berdasarkan karya al-Ghazali lainnya, seperti Mi’yar al-‘Ilm, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul dan al-Qisthas al-Mustaqim. Sosok Gus Dur juga bisa dikategorikan sebagai pemikir tradisional, modernis, neomodernis, substantivistik, pluralis, kosmopolit, divergen, bahkan liberal. Demikian juga, prototipe pemikiran Faisal Ismail juga tidak mudah dirumuskan secara utuh dan tuntas, mengingat masih muncul bayang-bayang prototipe lainnya kendatipun tidak sekompleks al-Ghazali maupun Gus Dur.Kesulitan merumuskan prototipe pemikiran seperti yang dilakukan oleh Aksin Wijaya ini, makin terasa setelah dia menghadapi setidaknya empat hal: substansi pemikiran yang dikaji, metode atau pendekatan yang digunakan oleh tokoh yang dikaji, karakteristik pemikiran yang dikaji, dan kategorisasi atau prototipe pemikiran yang dikaji. Tambahan lagi, yaitu metode atau pendekatan yang dipakai oleh pengkaji sendiri. Kesulitan menangkap substansi pemikiran yang sedang dikaji karena pengkaji harus mencermati berbagai pemikiran seorang tokoh yang berserakan dan terkadang tidak sambung bahkan bertentangan; kesulitan menangkap metode atau pendekatan yang digunakan karena seringkali tokoh yang dikaji tidak menyebutkan jenis metode atau pendekatannya, dan jika misalnya dia menyebutkannya juga seringkali tidak jelas; kesulitan menangkap karakteristik pemikiran juga terjadi karena pengkaji harus mampu membedakan pemikiran yang sedang dikaji dengan pemikiran-pemikiran tokoh lainnya yang begitu banyak dan tidak jarang terjadi kemiripan-kemiripan; sedangkan kesulitan menangkap kategori atau prototipe pemikiran yang dikaji -- sebagaimana di depan telah disebutkan – karena suatu pemikiran seringkali mencerminkan wajah ganda, dan banyaknya sudut pandang yang dijadikan untuk memotret pemikiran seseorang. Metode atau pendekatan yang digunakan oleh pengkaji sendiri juga ikut mempersulit perumusan prototipe pemikiran seseorang tokoh karena seringkali terjebak dalam subjektivitas, sehingga pemahaman pengkaji terhadap pemikiran tokoh berbeda jauh dengan yang dimaksudkan oleh tokoh itu sendiri.Empat macam problem ini sekaligus sebagai tahapan dalam merumuskan prototipe pemikiran sesorang tokoh tersebut sehingga menuntut keseriusan pengkaji. Problem pertama terkait dengan substansi pemikiran Faisal Ismail telah berhasil dilalui oleh Aksin Wijaya dengan keberhasilannya menjelajahi dan mendalami berbagai pemikiran Faisal Ismail yang tersebar pada berbagai media kemudian mengambil intisarinya. Aksin Wijaya telah mengumpulkan dan menelaah isi/kandungan karya-karya Faisal Ismail mulai dari karya berbentuk puisi, sajak-sajak, pemikiran, maupun kritik yang menggugat pemikiran tokoh-tokoh tertentu, yang termuat baik dalam majalah, jurnal, koran, antologi, tesis, disertasi, buku ajar, buku ilmiah,  makalah, dan artikel populer.Beberapa ilustrasi pemikiran Faisal Ismail telah dipaparkan oleh Aksin Wijaya dalam buku yang ada di tangan pembaca ini. Misalnya, Faisal Ismail telah berusaha mendudukkan perbedaan tiga istilah kunci yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman yaitu modernisasi, westernisasi, dan sekularisasi.[2] Pengertian modernisasi tidak sama dengan westernisasi. Jika proses westernisasi mengandung proses sekularisasi, maka tidaklah demikian dengan modernisasi.[3] Kebudayaan Barat tidak serta merta mesti modern.[4] Modernisasi memang bayak dipraktikkan oleh orang-orang Barat, tetapi modernisasi bukan monopoli Barat dan Barat juga tidak identik dengan modernisasi. Modernisasi bisa terjadi di belahan bumi mana pun.[5] Apalagi jika modernisasi dikaitkan dengan tradisi. Turki pada masa Kemal Ataturk ternyata gagal mencapai kemajuan seperti yang dicapai oleh beberapa Negara Barat kendati tradisi-tradisi Islam telah dibabat habis guna mengikuti secara taat model kehidupan Barat, karena yang ditempuh oleh Turki ternyata bukan mengambil modernisasi Barat melainkan justru terjebak pada westernisasinya. Sebaliknya, Jepang meskipun negeri sakura ini sangat kuat mempertahankan tradisinya, ternyata Jepang justru mampu mengungguli kemajuan Barat di bidang teknologi elektro. Sebab Jepang merupakan raja teknologi elektro di dunia ini.Kenyataan ini menunjukkan bahwa westernisasi tidak identik dengan modernisasi. Selanjutnya modernisasi tidak selalu berbenturan dengan tradisi.  Di kalangan ulama, hubungan tradisi dan modernisasi itu telah dirumuskan dengan sangat ideal melalui slogan al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara hal-hal lama yang baik, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik). Al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih mencerminkan sikap kita terhadap tradisi, sedang al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah mencerminkan sikap kita terhadap modernisasi. Rumusan ini mensyaratkan kualitas yang baik pada tradisi dan kualitas yang lebih baik pada modernisasi. Maka harus ada seleksi pada tradisi dan modernisasi. Tidak semua tradisi kita pertahankan, dan tidak semua modernisasi dapat kita ambil.[6] Hanya saja, Faisal Ismail –menurut penilaian Aksin Wijaya– agak condong pada pandangan Barat yang mempertentangkan antara modernisasi dengan tradisi.Ilustrasi berikutnya yang terkait dengan pemikiran Faisal Ismail adalah tentang multikulturalisme dan pluralisme. Faisal Ismail mendefinisikan multikulturalisme sebagai paham atau pandangan yang mengakui dan menghargai realitas multikultur dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan pluralisme adalah ”prinsip yang menganggap bahwa orang-orang dari berbagai ras, agama, dan pandangan politik dapat hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang sama.”[7] Jadi pluralisme dipertegas oleh Faisal Ismail hanya sekedar “prinsip pengakuan” terhadap keberagaman ras, agama dan pandangan politik dalam masyarakat, sama sekali tidak dimaksudkan sebagai “pengakuan terhadap kebenaran semua agama”.Dan juga, Faisal Ismail menyatakan bahwa doktrin atau ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah tidak mengandung unsur atau bagian dari kebudayaan Islam, tetapi justru pengamalan umat Islam terhadap ajaran agamanya yang membentuk kebudayaan. Jadi agama Islamlah yang membentuk kebudayaan.[8]  Bukan sebaliknya, kebudayaan yang membentuk Islam. Pemikiran Faisal Ismail ini dalam konteks mengritisi pemikiran Sidi Gazalba yang menyatakan “Islam adalah agama dan kebudayaan.” Faisal Ismail benar karena paradigma berpikirnya adalah Islam sebagai wahyu sedangkan kebudayaan sebagai produk akal, sehingga memunculkan pernyataan berikutnya, tidak ada unsur-unsur kebudayaan yang membentuk ajaran Islam.Problem kedua terkait dengan metode atau pendekatan yang digunakan Faisal Ismail. Menghadapi problem ini Aksin Wijaya agak terbantu karena Faisal Ismail secara ekplisit telah menyebut istilah kritis-apresiatif dan apresiatif-kritis. Hanya saja penyebutan keduanya masih menyisakan pertanyan di benak pembaca, apakah keduanya sebagai pandangan, metode, pendekatan atau sekadar sikap? Apakah istilah kritis-apresiatif maupun apresiatif-kritis itu dimaksudkan sebagai struktur kata yang terdiri atas kata sifat beserta kata yang disifati (na’at-man’ut maupun shifat-maushuf) atau frase yakni gabungan dua kata atau lebih yang tidak menimbulkan arti baru (mudhaf-mudhaf ilaih)? Kemudian yang ditonjolkan oleh Faisal Ismail, apakah pada kritis-apresiatif atau sebaliknya, apresiatif kritis? Pertanyaan-pertanyaan ini harus diperjelas oleh Aksin Wijaya, karena semua penekanan memiliki konsekuensi dan implikasinya masing-masing.Problem ketiga terkait dengan karakteristik pemikiran Faisal Ismail. Di sini Aksin Wijaya dituntut membandingkan pemikiran Faisal Ismail dengan pemikiran tokoh-tokoh lainnya, dan pada tahapan ini harus berhadapan dengan sekian banyak pemikir Islam, setidaknya dengan sesama pemikir Islam yang berasal dari Indonesia. Dalam hal ini Aksin Wijaya telah membedakan pemikiran Faisal Ismail dengan Sidi Gazalba tentang hukum sekularisasi Islam, dengan Nurcholish Madjid tentang sekularisasi Islam, dengan Ahmad Wahib tentang sekularisasi al-Qur’an, dan dengan A. Qodri Azizi tentang humanisasi-sakralisasi ilmu. Pemikiran Faisal Ismail juga berbeda dengan pemikiran pimpinan MUI dalam hal menghadiri perayaan Natal dan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya, Aksin Wijaya berhasil menunjukkan kesamaan pemikiran Faisal Ismail dengan Naquib al-Attas dalam menolak ide sekularisasi pada segala manifestasi dan bentuknya yang dikaitkaan dengan Islam. Namun, apakah pemikir Muslim Malaysia yang pemikirannya sama atau mirip dengan pemikiran Faisal Ismail itu hanya terbatas pada seorang Naquib al-Attas tersebut? Dalam tahapan inilah, pengkaji mendapatkan tantangan yang cukup berat, khususnya dalam memotret pemikiran Faisal Ismail.Problem keempat terkait dengan kategorisasi atau prototipe pemikiran Faisal Ismail. Tahapan ini merupakan tahapan paling sulit yang dilalui oleh Aksin Wijaya, sebab tahapan ini mendasarkan pada tahapan ketiga yang berusaha mengidentifikasi karakteristik pemikiran Faisal Ismail. Jika identifikasi ini kurang tepat, akan berpengaruh terhadap penyimpulan prototipe pemikiran intelektual asal Madura ini yang oleh Aksin Wijaya disebut intelektual kelana. Di samping itu, tahapan ini merupakan hasil terakhir dari penelusuran panjang Aksin Wijaya yang diharapkan merefleksikan substansi temuannya dalam membingkai pemikiran-pemikiran seorang pemikir Islam yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Agama dan Duta Besar untuk Kuwait merangkap Bahrain tersebut, sehingga prototipe pluralis-humanis Islam itu benar-benar sebagai miniatur pemikiran Faisal Ismail.Prototipe pluralis-humanis Islam ini memancing suatu pertanyaan yang cukup mengganggu bagi Aksin Wijaya sebagai pengkaji. Apakah pemikiran Islam Faisal Ismail sudah tepat dikategorikan sebagai pluralis-humanis Islam? Apakah pemikiran Islam Faisal Ismail hanya dapat dikategorikan sebagai pluralis-humanis Islam? Apakah tidak ada tipe-tipe lainnya yang lebih cocok dengan model pemikiran Islam Faisal Ismail daripada pluralis-humanis Islam? Atas dasar sudut pandang apakah (perspektif sifat pemikiran, corak pemikiran, objek pemikiran, atau perspektif-perspektif lainnya) sehingga pemikiran Islam Faisal Ismail tergolong pluralis-humanis Islam? Mungkinkah prototipe pluralis-humanis Islam bagi pemikiran Islam Faisal Ismail diganti prototipe lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup mengusik, manakala penetapan prototipe pluralis-humanis Islam tidak memiliki dasar yang kokoh dan parameter yang jelas.   Tampaknya, penyimpulan prototipe pemikiran pluralis-humanis Islam ini oleh Aksin Wijaya lebih didasarkan pada perspektif objek pemikirannya daripada perspektif-perspektif lainnya yang biasanya lebih menonjolkan unsur subyektif pengkaji. Untuk memperkuat penyimpulan prototipe pemikiran Islam Faisal Ismail sebagai pluralis-humanis Islam, Aksin Wijaya mendasarkan pada delapan prinsip yang dia sebut sebagai manifesto pemikiran keislaman dan keindonesiaan Faisal Ismail. Delapan prinsip ini meliputi: 1) muslim pluralis-humanis mengakui dan menghargai adanya keberagaman baik dalam hubungan intra-agama maupun antaragama; 2) muslim pluralis-humanis memandang manusia seagama dan manusia di luar agamanya sebagai “kawan”, bukan sebagai lawan; 3) muslim pluralis-humanis menaruh “respek dan hormat” kepada orang seagama dan orang yang berbeda agama; 4) muslim pluralis-humanis menghargai dan merealisasikan toleransi dan harmoni antarumat beragama; 5) muslim pluralis-humanis memahami teks-teks kitab suci agama tidak bersifat hitam-putih, tekstualis-skripturalis, tidak rigit, tidak kaku, tidak sempit, dan tidak eksklusif; 6) muslim pluralis-humanis mengedepankan agenda kemanusiaan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 7) muslim pluralis-humanis mengedepankan dialog antarumat beragama, sehingga suatu persoalan yang menyangkut hubungan antarumat beragama diharapkan dapat terpecahkan melalui musyawarah secara adil dan damai, yang diterima oleh komunitas-komunitas agama peserta dialog itu; dan 8) muslim pluralis-humanis lebih mengedepankan dan mengutamakan saluran institusi-institusi pendidikan daripada saluran institusi/partai politik (formalisme syari’ah atau formalisasi Islam) dalam menyebarluaskan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat.[9]Di samping itu, pendekatan yang ditempuh oleh pengkaji sendiri terkadang menyumbangkan kesimpulan yang bias terhadap pemikiran tokoh yang dikaji. Hanya saja, Aksin Wijaya sangat tepat dalam menggunakan pendekatan dalam  kajian ini yang dia sebut dengan membaca Faisal Ismail melalui Faisal Ismail. Dengan pengertian lain, pendekatan ini adalah memahami pemikiran Faisal Ismail melalui alur berpikirnya. Pendekatan ini tepat sekali setidaknya dalam mengurangi subjektivitas pengkaji dan mempertegas pemikiran Faisal Ismail sebagai objek kajian menurut jalan pikirannya sendiri. Pendekatan ini mengingatkan saya pada sosok Prof. Harun Nasution ketika membedah suatu pemikiran: ketika mengkaji filsafat, dia seperti filosof; ketika membahas tasawuf, dia laksana sufi; ketika membahas ilmu kalam, dia seperti mutakallim; secara lebih spesifik ketika membahas aliran Khawarij, dia seperti Khariji; ketika membahas aliran Murjiah, dia seperti Murji’i; ketika membahas aliran Jabariyah, dia seperti Jabari; ketika membahas aliran Qadariyah, dia seperti qadari; ketika membahas Mu’tazilah, dia merefleksikan diri seperti Mu’tazili; ketika membahas aliran Syi’ah, dia seperti Syi’i; dan ketika membahas aliran Ahlussunnah waljama’ah, dia tampak seperti Sunni. Karena itu, mahasiswa yang memperhatikan uraiannya merasakan kesulitan di mana posisi Harun Nasution tersebut.Seandainya Aksin Wijaya menggunakan perspektifnya sendiri yang subyektif mungkin banyak penafsiran dan analisis terhadap pemikiran Islam Faisal Ismail yang “liar”, memaksakan maksud maupun makna pemikiran Islam sesuai dengan kehendaknya sendiri, dan menyimpang dari maksud-maksud yang dikehendaki oleh Faisal Ismail sendiri. Namun model pendekatan yang “menyesatkan” ini sama sekali tidak pernah ditempuh oleh Aksin Wijaya sebagai bukti bahwa dia telah mampu berdiri tegak dalam kapasitasnya sebagai pengkaji pemikiran Islam seorang Faisal Ismail. Sikap yang sangat tepat ini disebabkan karena lulusan doktor tercepat dan terbaik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada periodenya ini telah memiliki pengalaman panjang sebagai penulis maupun peneliti, di samping itu juga lantaran dia telah berkenalan dengan metodologi penelitian maupun metodologi pengkajian modern dari para ilmuan Barat secara intensif.Dengan demikian, terlepas masih terdapat kesulitan-kesulitan tertentu dalam mendefinisikan saripati pemikiran Islam Faisal Ismail yang tentu saja melampaui temuan Aksin Wijaya, yang jelas secara umum Aksin Wijaya telah berhasil mengatasi problem-problem yang mengganggu selama melakukan kajian mendalam terhadap pemikiran Faisal Ismail tersebut. Keberhasilan Aksin Wijaya ini tidak lepas dari komitmennya yang tinggi dalam upayanya menghadirkan dan mempertegas prototipe pemikiran Islam Faisal Ismail, seorang pemikir Islam dari Madura yang karya-karya dan pemikiran-pemikirannya yang tajam layak mendapatkan perhatian publik Indonesia. Karya-karya dan pemikiran-pemikiran ini merupakan kontribusi yang sangat besar dari Faisal Ismail terutama dalam membangun kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang penuh rasa toleran, damai, sejuk dan harmonis.Akhirnya, menurut pengamatan saya, buku yang ada di tangan pembaca ini sangat layak untuk dibaca, ditelaah, dan diteliti terutama bagi pelajar, mahasiswa, guru, dosen, muballigh, da’i, khatib dan pemerhati pluralisme maupun humanisme Islam untuk memahami hakekat pluralisme dan humanisme Islam tersebut. Di samping itu, buku ini juga sangat bermanfaat ketika digunakan sebagai panduan bagi umat Islam dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di mana saja, khususnya di negara-negara yang kondisi populasinya plural sekali seperti Indonesia ini. Apalagi buku ini telah disusun oleh sorang penulis yang berpengalaman dengan narasi yang sistematis. Kepada penulisnya, saudara Aksin Wijaya, semoga sukses dan selamat berkarya lagi.Buku yang berjudul Visi Pluralis-Humanis Islam Faisal Ismail ini merupakan hasil final dari upaya Aksin Wijaya dalam menelusuri dan menformulasikan model pemikiran Islam Faisal Ismail yang tersebar di berbagai media baik buku, jurnal, majalah, antologi maupun surat kabar. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa prototipe pemikiran Faisal Ismail sebagai pluralis-humanis ini sebagai hasil “Ijtihad Ilmiah” dari intelektual muslim asal Sumenep Madura ini.Judul buku ini cukup menarik perhatian terutama pada kata pluralis yang seakar kata dengan pluralisme. Sebagai sebuah konsep, pluralisme yang digagas antara lain oleh Harold Coward[1] ini di Indonesia pernah menimbulkan kontroversi yang sangat tajam antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan pemikir Islam liberal. MUI bahkan mengharamkan pluralisme itu, sedangkan pemikir Islam liberal memandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang tidak mungkin dihindarkan terutama dalam kehidupan global sekarang ini di mana arus interaksi pergaulan umat manusia semakin kompleks. Dengan kata lain, sebenarnya pluralisme merupakan sunnatullah. Faisal Ismail sendiri juga dalam buku ini telah mengritik fatwa MUI tersebut, meskipun dia bukan pemikir Islam liberal.Tulisan dalam buku ini sesungguhnya merupakan upaya membaca, mencermati, menyimpulkan, dan menegaskan formulasi identitas sebuah prototipe pemikiran Islam Faisal Ismail. Suatu upaya yang relatif sulit lantaran pemikiran seseorang itu seringkali merefleksikan prototipe yang ganda. Misalnya, Imam Al-Ghazali oleh kalangan konservatif dinilai liberal tetapi oleh kalangan liberal dinilai konservatif; Al-Ghazali oleh kalangan tertentu dianggap anti-intelektualisme namun menurut kalangan lainnya justru dipandang sebagai intelektual Muslim kaliber dunia; dan berdasarkan kitabnya, Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali dipersepsi sebagai pemikir Islam yang anti-filsafat, namun kelompok lainnya justru mempersepsinya sebagai pemikir Islam yang mendalami dan terpengaruh oleh filsafat Yunani berdasarkan karya al-Ghazali lainnya, seperti Mi’yar al-‘Ilm, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul dan al-Qisthas al-Mustaqim. Sosok Gus Dur juga bisa dikategorikan sebagai pemikir tradisional, modernis, neomodernis, substantivistik, pluralis, kosmopolit, divergen, bahkan liberal. Demikian juga, prototipe pemikiran Faisal Ismail juga tidak mudah dirumuskan secara utuh dan tuntas, mengingat masih muncul bayang-bayang prototipe lainnya kendatipun tidak sekompleks al-Ghazali maupun Gus Dur.Kesulitan merumuskan prototipe pemikiran seperti yang dilakukan oleh Aksin Wijaya ini, makin terasa setelah dia menghadapi setidaknya empat hal: substansi pemikiran yang dikaji, metode atau pendekatan yang digunakan oleh tokoh yang dikaji, karakteristik pemikiran yang dikaji, dan kategorisasi atau prototipe pemikiran yang dikaji. Tambahan lagi, yaitu metode atau pendekatan yang dipakai oleh pengkaji sendiri. Kesulitan menangkap substansi pemikiran yang sedang dikaji karena pengkaji harus mencermati berbagai pemikiran seorang tokoh yang berserakan dan terkadang tidak sambung bahkan bertentangan; kesulitan menangkap metode atau pendekatan yang digunakan karena seringkali tokoh yang dikaji tidak menyebutkan jenis metode atau pendekatannya, dan jika misalnya dia menyebutkannya juga seringkali tidak jelas; kesulitan menangkap karakteristik pemikiran juga terjadi karena pengkaji harus mampu membedakan pemikiran yang sedang dikaji dengan pemikiran-pemikiran tokoh lainnya yang begitu banyak dan tidak jarang terjadi kemiripan-kemiripan; sedangkan kesulitan menangkap kategori atau prototipe pemikiran yang dikaji -- sebagaimana di depan telah disebutkan – karena suatu pemikiran seringkali mencerminkan wajah ganda, dan banyaknya sudut pandang yang dijadikan untuk memotret pemikiran seseorang. Metode atau pendekatan yang digunakan oleh pengkaji sendiri juga ikut mempersulit perumusan prototipe pemikiran seseorang tokoh karena seringkali terjebak dalam subjektivitas, sehingga pemahaman pengkaji terhadap pemikiran tokoh berbeda jauh dengan yang dimaksudkan oleh tokoh itu sendiri.Empat macam problem ini sekaligus sebagai tahapan dalam merumuskan prototipe pemikiran sesorang tokoh tersebut sehingga menuntut keseriusan pengkaji. Problem pertama terkait dengan substansi pemikiran Faisal Ismail telah berhasil dilalui oleh Aksin Wijaya dengan keberhasilannya menjelajahi dan mendalami berbagai pemikiran Faisal Ismail yang tersebar pada berbagai media kemudian mengambil intisarinya. Aksin Wijaya telah mengumpulkan dan menelaah isi/kandungan karya-karya Faisal Ismail mulai dari karya berbentuk puisi, sajak-sajak, pemikiran, maupun kritik yang menggugat pemikiran tokoh-tokoh tertentu, yang termuat baik dalam majalah, jurnal, koran, antologi, tesis, disertasi, buku ajar, buku ilmiah,  makalah, dan artikel populer.Beberapa ilustrasi pemikiran Faisal Ismail telah dipaparkan oleh Aksin Wijaya dalam buku yang ada di tangan pembaca ini. Misalnya, Faisal Ismail telah berusaha mendudukkan perbedaan tiga istilah kunci yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman yaitu modernisasi, westernisasi, dan sekularisasi.[2] Pengertian modernisasi tidak sama dengan westernisasi. Jika proses westernisasi mengandung proses sekularisasi, maka tidaklah demikian dengan modernisasi.[3] Kebudayaan Barat tidak serta merta mesti modern.[4] Modernisasi memang bayak dipraktikkan oleh orang-orang Barat, tetapi modernisasi bukan monopoli Barat dan Barat juga tidak identik dengan modernisasi. Modernisasi bisa terjadi di belahan bumi mana pun.[5] Apalagi jika modernisasi dikaitkan dengan tradisi. Turki pada masa Kemal Ataturk ternyata gagal mencapai kemajuan seperti yang dicapai oleh beberapa Negara Barat kendati tradisi-tradisi Islam telah dibabat habis guna mengikuti secara taat model kehidupan Barat, karena yang ditempuh oleh Turki ternyata bukan mengambil modernisasi Barat melainkan justru terjebak pada westernisasinya. Sebaliknya, Jepang meskipun negeri sakura ini sangat kuat mempertahankan tradisinya, ternyata Jepang justru mampu mengungguli kemajuan Barat di bidang teknologi elektro. Sebab Jepang merupakan raja teknologi elektro di dunia ini.Kenyataan ini menunjukkan bahwa westernisasi tidak identik dengan modernisasi. Selanjutnya modernisasi tidak selalu berbenturan dengan tradisi.  Di kalangan ulama, hubungan tradisi dan modernisasi itu telah dirumuskan dengan sangat ideal melalui slogan al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara hal-hal lama yang baik, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik). Al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih mencerminkan sikap kita terhadap tradisi, sedang al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah mencerminkan sikap kita terhadap modernisasi. Rumusan ini mensyaratkan kualitas yang baik pada tradisi dan kualitas yang lebih baik pada modernisasi. Maka harus ada seleksi pada tradisi dan modernisasi. Tidak semua tradisi kita pertahankan, dan tidak semua modernisasi dapat kita ambil.[6] Hanya saja, Faisal Ismail –menurut penilaian Aksin Wijaya– agak condong pada pandangan Barat yang mempertentangkan antara modernisasi dengan tradisi.Ilustrasi berikutnya yang terkait dengan pemikiran Faisal Ismail adalah tentang multikulturalisme dan pluralisme. Faisal Ismail mendefinisikan multikulturalisme sebagai paham atau pandangan yang mengakui dan menghargai realitas multikultur dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan pluralisme adalah ”prinsip yang menganggap bahwa orang-orang dari berbagai ras, agama, dan pandangan politik dapat hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang sama.”[7] Jadi pluralisme dipertegas oleh Faisal Ismail hanya sekedar “prinsip pengakuan” terhadap keberagaman ras, agama dan pandangan politik dalam masyarakat, sama sekali tidak dimaksudkan sebagai “pengakuan terhadap kebenaran semua agama”.Dan juga, Faisal Ismail menyatakan bahwa doktrin atau ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah tidak mengandung unsur atau bagian dari kebudayaan Islam, tetapi justru pengamalan umat Islam terhadap ajaran agamanya yang membentuk kebudayaan. Jadi agama Islamlah yang membentuk kebudayaan.[8]  Bukan sebaliknya, kebudayaan yang membentuk Islam. Pemikiran Faisal Ismail ini dalam konteks mengritisi pemikiran Sidi Gazalba yang menyatakan “Islam adalah agama dan kebudayaan.” Faisal Ismail benar karena paradigma berpikirnya adalah Islam sebagai wahyu sedangkan kebudayaan sebagai produk akal, sehingga memunculkan pernyataan berikutnya, tidak ada unsur-unsur kebudayaan yang membentuk ajaran Islam.Problem kedua terkait dengan metode atau pendekatan yang digunakan Faisal Ismail. Menghadapi problem ini Aksin Wijaya agak terbantu karena Faisal Ismail secara ekplisit telah menyebut istilah kritis-apresiatif dan apresiatif-kritis. Hanya saja penyebutan keduanya masih menyisakan pertanyan di benak pembaca, apakah keduanya sebagai pandangan, metode, pendekatan atau sekadar sikap? Apakah istilah kritis-apresiatif maupun apresiatif-kritis itu dimaksudkan sebagai struktur kata yang terdiri atas kata sifat beserta kata yang disifati (na’at-man’ut maupun shifat-maushuf) atau frase yakni gabungan dua kata atau lebih yang tidak menimbulkan arti baru (mudhaf-mudhaf ilaih)? Kemudian yang ditonjolkan oleh Faisal Ismail, apakah pada kritis-apresiatif atau sebaliknya, apresiatif kritis? Pertanyaan-pertanyaan ini harus diperjelas oleh Aksin Wijaya, karena semua penekanan memiliki konsekuensi dan implikasinya masing-masing.Problem ketiga terkait dengan karakteristik pemikiran Faisal Ismail. Di sini Aksin Wijaya dituntut membandingkan pemikiran Faisal Ismail dengan pemikiran tokoh-tokoh lainnya, dan pada tahapan ini harus berhadapan dengan sekian banyak pemikir Islam, setidaknya dengan sesama pemikir Islam yang berasal dari Indonesia. Dalam hal ini Aksin Wijaya telah membedakan pemikiran Faisal Ismail dengan Sidi Gazalba tentang hukum sekularisasi Islam, dengan Nurcholish Madjid tentang sekularisasi Islam, dengan Ahmad Wahib tentang sekularisasi al-Qur’an, dan dengan A. Qodri Azizi tentang humanisasi-sakralisasi ilmu. Pemikiran Faisal Ismail juga berbeda dengan pemikiran pimpinan MUI dalam hal menghadiri perayaan Natal dan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya, Aksin Wijaya berhasil menunjukkan kesamaan pemikiran Faisal Ismail dengan Naquib al-Attas dalam menolak ide sekularisasi pada segala manifestasi dan bentuknya yang dikaitkaan dengan Islam. Namun, apakah pemikir Muslim Malaysia yang pemikirannya sama atau mirip dengan pemikiran Faisal Ismail itu hanya terbatas pada seorang Naquib al-Attas tersebut? Dalam tahapan inilah, pengkaji mendapatkan tantangan yang cukup berat, khususnya dalam memotret pemikiran Faisal Ismail.Problem keempat terkait dengan kategorisasi atau prototipe pemikiran Faisal Ismail. Tahapan ini merupakan tahapan paling sulit yang dilalui oleh Aksin Wijaya, sebab tahapan ini mendasarkan pada tahapan ketiga yang berusaha mengidentifikasi karakteristik pemikiran Faisal Ismail. Jika identifikasi ini kurang tepat, akan berpengaruh terhadap penyimpulan prototipe pemikiran intelektual asal Madura ini yang oleh Aksin Wijaya disebut intelektual kelana. Di samping itu, tahapan ini merupakan hasil terakhir dari penelusuran panjang Aksin Wijaya yang diharapkan merefleksikan substansi temuannya dalam membingkai pemikiran-pemikiran seorang pemikir Islam yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Agama dan Duta Besar untuk Kuwait merangkap Bahrain tersebut, sehingga prototipe pluralis-humanis Islam itu benar-benar sebagai miniatur pemikiran Faisal Ismail.Prototipe pluralis-humanis Islam ini memancing suatu pertanyaan yang cukup mengganggu bagi Aksin Wijaya sebagai pengkaji. Apakah pemikiran Islam Faisal Ismail sudah tepat dikategorikan sebagai pluralis-humanis Islam? Apakah pemikiran Islam Faisal Ismail hanya dapat dikategorikan sebagai pluralis-humanis Islam? Apakah tidak ada tipe-tipe lainnya yang lebih cocok dengan model pemikiran Islam Faisal Ismail daripada pluralis-humanis Islam? Atas dasar sudut pandang apakah (perspektif sifat pemikiran, corak pemikiran, objek pemikiran, atau perspektif-perspektif lainnya) sehingga pemikiran Islam Faisal Ismail tergolong pluralis-humanis Islam? Mungkinkah prototipe pluralis-humanis Islam bagi pemikiran Islam Faisal Ismail diganti prototipe lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup mengusik, manakala penetapan prototipe pluralis-humanis Islam tidak memiliki dasar yang kokoh dan parameter yang jelas.   Tampaknya, penyimpulan prototipe pemikiran pluralis-humanis Islam ini oleh Aksin Wijaya lebih didasarkan pada perspektif objek pemikirannya daripada perspektif-perspektif lainnya yang biasanya lebih menonjolkan unsur subyektif pengkaji. Untuk memperkuat penyimpulan prototipe pemikiran Islam Faisal Ismail sebagai pluralis-humanis Islam, Aksin Wijaya mendasarkan pada delapan prinsip yang dia sebut sebagai manifesto pemikiran keislaman dan keindonesiaan Faisal Ismail. Delapan prinsip ini meliputi: 1) muslim pluralis-humanis mengakui dan menghargai adanya keberagaman baik dalam hubungan intra-agama maupun antaragama; 2) muslim pluralis-humanis memandang manusia seagama dan manusia di luar agamanya sebagai “kawan”, bukan sebagai lawan; 3) muslim pluralis-humanis menaruh “respek dan hormat” kepada orang seagama dan orang yang berbeda agama; 4) muslim pluralis-humanis menghargai dan merealisasikan toleransi dan harmoni antarumat beragama; 5) muslim pluralis-humanis memahami teks-teks kitab suci agama tidak bersifat hitam-putih, tekstualis-skripturalis, tidak rigit, tidak kaku, tidak sempit, dan tidak eksklusif; 6) muslim pluralis-humanis mengedepankan agenda kemanusiaan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 7) muslim pluralis-humanis mengedepankan dialog antarumat beragama, sehingga suatu persoalan yang menyangkut hubungan antarumat beragama diharapkan dapat terpecahkan melalui musyawarah secara adil dan damai, yang diterima oleh komunitas-komunitas agama peserta dialog itu; dan 8) muslim pluralis-humanis lebih mengedepankan dan mengutamakan saluran institusi-institusi pendidikan daripada saluran institusi/partai politik (formalisme syari’ah atau formalisasi Islam) dalam menyebarluaskan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat.[9]Di samping itu, pendekatan yang ditempuh oleh pengkaji sendiri terkadang menyumbangkan kesimpulan yang bias terhadap pemikiran tokoh yang dikaji. Hanya saja, Aksin Wijaya sangat tepat dalam menggunakan pendekatan dalam  kajian ini yang dia sebut dengan membaca Faisal Ismail melalui Faisal Ismail. Dengan pengertian lain, pendekatan ini adalah memahami pemikiran Faisal Ismail melalui alur berpikirnya. Pendekatan ini tepat sekali setidaknya dalam mengurangi subjektivitas pengkaji dan mempertegas pemikiran Faisal Ismail sebagai objek kajian menurut jalan pikirannya sendiri. Pendekatan ini mengingatkan saya pada sosok Prof. Harun Nasution ketika membedah suatu pemikiran: ketika mengkaji filsafat, dia seperti filosof; ketika membahas tasawuf, dia laksana sufi; ketika membahas ilmu kalam, dia seperti mutakallim; secara lebih spesifik ketika membahas aliran Khawarij, dia seperti Khariji; ketika membahas aliran Murjiah, dia seperti Murji’i; ketika membahas aliran Jabariyah, dia seperti Jabari; ketika membahas aliran Qadariyah, dia seperti qadari; ketika membahas Mu’tazilah, dia merefleksikan diri seperti Mu’tazili; ketika membahas aliran Syi’ah, dia seperti Syi’i; dan ketika membahas aliran Ahlussunnah waljama’ah, dia tampak seperti Sunni. Karena itu, mahasiswa yang memperhatikan uraiannya merasakan kesulitan di mana posisi Harun Nasution tersebut.Seandainya Aksin Wijaya menggunakan perspektifnya sendiri yang subyektif mungkin banyak penafsiran dan analisis terhadap pemikiran Islam Faisal Ismail yang “liar”, memaksakan maksud maupun makna pemikiran Islam sesuai dengan kehendaknya sendiri, dan menyimpang dari maksud-maksud yang dikehendaki oleh Faisal Ismail sendiri. Namun model pendekatan yang “menyesatkan” ini sama sekali tidak pernah ditempuh oleh Aksin Wijaya sebagai bukti bahwa dia telah mampu berdiri tegak dalam kapasitasnya sebagai pengkaji pemikiran Islam seorang Faisal Ismail. Sikap yang sangat tepat ini disebabkan karena lulusan doktor tercepat dan terbaik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada periodenya ini telah memiliki pengalaman panjang sebagai penulis maupun peneliti, di samping itu juga lantaran dia telah berkenalan dengan metodologi penelitian maupun metodologi pengkajian modern dari para ilmuan Barat secara intensif.Dengan demikian, terlepas masih terdapat kesulitan-kesulitan tertentu dalam mendefinisikan saripati pemikiran Islam Faisal Ismail yang tentu saja melampaui temuan Aksin Wijaya, yang jelas secara umum Aksin Wijaya telah berhasil mengatasi problem-problem yang mengganggu selama melakukan kajian mendalam terhadap pemikiran Faisal Ismail tersebut. Keberhasilan Aksin Wijaya ini tidak lepas dari komitmennya yang tinggi dalam upayanya menghadirkan dan mempertegas prototipe pemikiran Islam Faisal Ismail, seorang pemikir Islam dari Madura yang karya-karya dan pemikiran-pemikirannya yang tajam layak mendapatkan perhatian publik Indonesia. Karya-karya dan pemikiran-pemikiran ini merupakan kontribusi yang sangat besar dari Faisal Ismail terutama dalam membangun kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang penuh rasa toleran, damai, sejuk dan harmonis.Akhirnya, menurut pengamatan saya, buku yang ada di tangan pembaca ini sangat layak untuk dibaca, ditelaah, dan diteliti terutama bagi pelajar, mahasiswa, guru, dosen, muballigh, da’i, khatib dan pemerhati pluralisme maupun humanisme Islam untuk memahami hakekat pluralisme dan humanisme Islam tersebut. Di samping itu, buku ini juga sangat bermanfaat ketika digunakan sebagai panduan bagi umat Islam dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di mana saja, khususnya di negara-negara yang kondisi populasinya plural sekali seperti Indonesia ini. Apalagi buku ini telah disusun oleh sorang penulis yang berpengalaman dengan narasi yang sistematis. Kepada penulisnya, saudara Aksin Wijaya, semoga sukses dan selamat berkarya lagi. 

Page 2 of 10 | Total Record : 95