cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
putuayub.simpson@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kab. semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat
ISSN : 25487868     EISSN : 25487558     DOI : https://doi.org/10.46445/ejti
Core Subject : Religion,
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat menitikberatkan pada penyampaian informasi hasil penelitian, analisa konseptual dan kajian dalam bidang Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat oleh para sivitas akademika internal dan eksternal STT Simpson Ungaran dengan rasio 30:70. Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat terbit dua kali dalam setahun yaitu bulan Januari (Batas penerimaan naskah pada bulan Oktober) dan Juli (Batas penerimaan naskah pada bulan Mei). Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat telah terdaftar pada Google Schoolar, BASE (Bielefeld Academic Search Engine), One Search. ISSN 2548-7868 (cetak), 2548-7558 (online)
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 1 (2020): Januari" : 11 Documents clear
Penciptaan Ruang Keempat Sebagai Basis Pembinaan Warga Gereja Pribumi Dalam Menggereja Di Jawa Akris Mujiyono; Fibry Jati Nugroho
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.173

Abstract

The true Church must run of vocation as peacemakers. Peacemaker could do if the Church has become part of the context. If the Church were exiled by the context, it means that there are issues that must be resolved within the Church. Northen Central Java Christian Church (GKJTU), and the same with other churches on the Javanese, experienced alienation from the context. That alienation because there is the question of the identity of a Hybrid Church. To cope with it all the citizens of the Church must be built to move nearing the Javanese culture with the formation of the fourth space as its base. This fourth space is a space to interact back with the Christianity of Javanese culture that's been left behind. The fourth space is the place for contextualize. The formation of this fourth space should be seen from the poskolonial theory is Homi k. Bhabha about third space.  Gereja yang hidup dan benar harus menjalankan panggilannya sebagai pembawa damai. Pembawa damai bisa dilakukan jika Gereja telah menjadi bagian dari konteks. Jika gereja diasingkan oleh konteks itu artinya ada persoalan yang harus diselesaikan di dalam gereja itu. Gereja Kristen Jawa tengah utara (GKJTU), dan sama dengan Gereja lain di Jawa, mengalami keterasingan dari konteks. Keterasingan itu karena ada persoalan identitas Hybrid gereja. Untuk mengatasi hal itu semua warga gereja harus dibina untuk bergerak mendekati budaya Jawa dengan pembentukan ruang keempat sebagai basisnya. Ruang keempat ini adalah ruang untuk berinteraksi kembali kekristenan dengan budaya Jawa yang sudah ditinggalkannya. Pembentukan ruang keempat ini harus dilihat dari teori poskolonial Homi K. Bhabha.
Konsep Manusia Baru Di Dalam Kristus Berdasarkan Surat Efesus 4:17-32 H Hendi; Tiopan Aruan
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson Ungaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.155 KB) | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.154

Abstract

The Concept of a New Man in Christ Based on Ephesians 4:17-32. This article discusses the new man in Christ through a syntactic and semantic approach to text analysis, namely the focus on the text itself, interactions with other texts, and the writings of the Church Fathers. Only those who wear the new humanity that comes from Christ can become new human. The new human consists of soul and body which is in the new humanity. Humanity in Christ is the humanity of Adam renewed by Christ by dying on the cross, buried, and rising from the dead so that Christ has provided a new container that is humanity universally new. This new humanity is universal salvation which is a kind of clothing for every individual. Wearing new humanity or Christ's clothes becomes individual salvation. When we wear the clothes of Christ, we become new people so that our souls and bodies or our whole lives are in the new humanity. The soul and body that is in this new humanity are now continuing to process or be renewed towards a soul and body like Christ. How? That is fighting sin and doing love both spiritually and physically. Konsep Manusia Baru Di dalam Kristus Berdasarkan Surat Efesus 4:17-32. Artikel ini membahas tentang manusia baru di dalam Kristus melalui pendekatan analisis teks secara sintaksis dan semantis yaitu fokus pada teks itu sendiri, interaksi dengan teks-teks lain dan tulisan para Bapa Gereja. Hanya orang Kristen yang mengenakan kemanusiaan baru yang berasal dari Kristus yang dapat menjadi manusia baru. Manusia baru terdiri dari jiwa dan tubuh yang berada di dalam kemanusiaan baru. Kemanusiaan di dalam Kristus adalah kemanusiaan Adam yang diperbarui oleh Kristus dengan jalan Yesus mati di atas kayu salib, dikubur, dan bangkit dari kematian sehingga Kristus telah menyediakan suatu wadah baru yaitu kemanusiaan baru secara universal kepada manusia. Kemanusiaan baru adalah keselamatan universal yang menjadi semacam pakaian untuk dikenakan bagi setiap individu. Memakai kemanusiaan baru atau pakaian Kristus menjadi keselamatan individu. Ketika orang Kristen mengenakan pakaian Kristus dan menjadi manusia baru, sehingga jiwa dan tubuh serta seluruh hidup ada di dalam kemanusiaan baru. Jiwa dan tubuh yang ada di dalam kemanusiaan baru ini sekarang terus berproses atau diperbarui menuju jiwa dan tubuh seperti Kristus. Bagaimana caranya? Yaitu melawan dosa dan melakukan kasih baik secara jiwai dan badani.
Strategi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian Agama Sonny Eli Zaluchu
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (305.851 KB) | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.167

Abstract

Research does not start from the method but must depart from the root of the problem. Formulating precisely the paradigm and background of the research will help researchers design the research design and determine the method to use. In this case, quantitative, qualitative or a mixture of both can use. Through this paper, it explains that religious research and various topics within it are open with various approaches because of their nature as science. This paper builds research insights ranging from understanding the research itself, determining and formulating research problems to choosing the right approach by introducing various methods. Through this paper, it expected that there would be no difficulty in colliding the paradigm in conducting religious research with a qualitative, quantitative or both approaches. Penelitian tidak dimulai dari metode tetapi harus berangkat dari akar permasalahan. Merumuskan secara tepat paradigma dan latar belakang penelitian akan membantu peneliti merancang desain penelitian dan menentukan metode yang akan digunakan. Dalam hal ini, dapat digunakan pendekatan kuantitatif, kualitatif atau campuran keduanya. Melalui tulisan ini dipaparkan bahwa penelitian agama dan berbagai topik di dalamnya terbuka dengan berbagai pendekatan karena sifatnya sebagai ilmu pengetahuan. Paper ini membangun wawasan penelitian mulai dari pemahaman tentang penelitian itu sendiri, penentuan dan perumusan masalah penelitian hingga memilih pendekatan yang tepat melalui perkenalan terhadap berbagai metode. Melalui paper ini diharapkan tidak terdapat kesulitan benturan paradigma di dalam menjalankan penelitian agama dengan pendekatan kualitatif, kuantitatif atau keduanya.
Kajian Teologis Mengenai Praktik Okultisme Dan Pelayanan Pelepasan Bagi Mahasiswa Elfrida Saragih; Ebenhaizer I Nuban Timo
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.198

Abstract

Types of occultism practices in the society were  trusting in the spirit of the dead, a talisman which was considered to have the power to keep the body, and the science of strength given by the ancestors to offspring. So that made offspring suffer from frequent manifestations and was possessed by an evil spirit. This article examines that issues. Theory about the exorcist services by Graham H. Twelftree the theoretical frame observe carefully these problems. Methods of this research was the direct involvment method by viewing, serving and interviewing the people who involved in the power of the occult. This research was conducted in STT Abdi Sabda Medan. Three things that invited by researcher are first, which causes people involved with occultism practices. Secondly, due both to the occult practices and to their descendants who are having a negative impact, they often encounter manifestations of evil spirits also stressed physically, psychologically and spiritually. Third, efforts  to heal and cure that people from  the occult is exorcist services. Okultisme adalah kepercayaan mengenai kuasa-kuasa gelap yaitu kekuatan gaib di luar kekuatan Tuhan.Jenis praktik okultisme yang terdapat pada masyarakat ialah kepercayaan terhadap roh orang mati, jimat yang dianggap memiliki kesaktian untuk menjaga badan, dan ilmu kekebalan yang diberikan oleh nenek moyang kepada keturunannya, sehingga membuat keturunannya menderita karena sering manifestasi dan dirasuki oleh roh-roh jahat. Artikel ini mengkaji persoalan tadi.Teori mengenai pelayanan eksorsis oleh Graham H.Twelftree dalam bingkai teoritis meneropong permasalahan tersebut.Metode penelitian yang penulis lakukan untuk menulis artikel ini adalah keterlibatan langsung melihat, melayani dan interview kepada mereka yang terlibat kuasa okultisme. Penelitian ini dilakukan di STT Abdi sabda Medan, Tiga hal yang menjadi temuan penelitian: Pertama, yang menyebabkan orang terlibat dengan praktik okultisme adalah karena diturunkan oleh nenek moyang yang melakukan praktik okultisme. Kedua, akibat praktik okultisme baik terhadap orang yang melakukan dan terhadap keturunannya adalah memiliki dampak negatif, mereka akan sering mengalami manifestasi roh-roh jahat juga tertekan secara fisik, psikologis dan secara rohani. Ketiga, Upaya yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan dan memulihkan seseorang agar terlepas dari kuasa okultisme adalah melalui pelayanan eksorsis.
Pengaruh Pelayanan Kunjungan Pastoral Terhadap Pertumbuhan Rohani Jemaat Mikha Agus Widiyanto; S Susanto
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (212.813 KB) | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.214

Abstract

This research aim to test the influence of pastoral visiting ministry to the spiritual growth of the church. Research executed in Gereja Kemah Injil Indonesia of Tenggarong, Kutai Kartanegara District, Kalimantan East. The results showed that there was an influence of pastoral visiting ministry on the spiritual growth of the congregation as indicated by the correlation coefficient of 0.340 which was significant at α = 0.05. Pastoral visiting ministry will bring the pastor closer to the congregation that he serves, making the pastoral ministry effective, thereby impacting the spiritual growth of the congregation. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pelayanan kunjungan pastoral terhadap pertumbuhan rohani jemaat.Penelitian dilaksanakan di Gereja Kemah Injil Indonesia Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat pengaruh pelayanan kunjungan pastoral terhadap pertumbuhan rohani jemaat yang ditunjukkan melalui koefisien korelasi sebesar 0,340 yang signifikan pada α = 0,05. Pelayanan kunjungan pastoral akan mendekatkan gembala dengan jemaat yang dilayaninya, membuat pelayanan penggembalaan menjadi efektif, sehingga berdampak pada pertumbuhan rohani jemaat.
Jangan Menceraikan Istri yang Berzinah: Penafsiran terhadap Matius 19:9 Pelita Hati Surbakti
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.948 KB) | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.191

Abstract

Salah satu dasar pernikahan Kristen adalah Matius 19:4-6, namun demikian Yesus dalam Matius 19:9 justru disimpulkan membenarkan perceraian dengan sebuah persyaratan. Di tengah-tengah terus meningkatnya angka perceraian suami dan istri di Indonesia, mendiskusikan lagi ayat ini tampanya cukup relevan. Frasa “mē epi porneia” (kecuali karena zinah) dalam ayat ini telah menimbulkan perdebatan. Melalui frasa itu, sebagian besar penafsir menilai bahwa Yesus membenarkan suami menceraikan istri yang berzinah, hanya sebagian kecil yang menolaknya. Menolak terjemahan frasa “mē epi“ sebagai “kecuali karena” merupakan alasan yang umum digunakan untuk menentang pendapat bahwa Yesus membenarkan perceraian. Sayangnya argumentasi semacam ini telah ditolak oleh sebagian besar penafsir karena sintaksis Yunani dinilai tidak mendukungnya. Kali ini saya akan menggunakan tema utama serta hakikat retorika injil Matius ini sebagai bingkai kerja penafsiran untuk menafsirkan teks tersebut. Dengan pendekatan di atas, Yesus dalam Matius 19:9 secara implisit tidak membenarkan seorang suami menceraikan istri yang berzinah. One of the foundations of Christian marriage is Matthew 19: 4-6, but Jesus in Matthew 19: 9 is concluded to justify divorce with a condition. In the midst of the continuing increase in the number of divorce in Indonesia, discussing this verse again seems quite relevant. The phrase "mē epi porneia" (except for adultery) in this verse has caused debate. Through that phrase, most interpreters consider that Jesus justifies a husband divorcing an adulterous wife, only a small percentage rejects it. Rejecting the translation of the phrase "mē epi" as "except because" is a reason commonly used to oppose the idea that Jesus justifies divorce. Unfortunately, this kind of argument has been rejected by most interpreters because Greek syntax is seen as not supporting it. This time I will use the main theme and nature of Matthew's gospel rhetoric as the hermeneutical framework for interpreting the text. With the above approach, in Matthew 19: 9 Jesus implicitly did not justify a husband divorcing an adulterous wife.
Kecaman Tuhan Terhadap Dosa Yehuda Berdasarkan Penafsiran Yesaya 1:10-20 Dan Relevansinya Herrio Tekdi Nainggolan
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5457.649 KB) | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.199

Abstract

God’s Censure of the Sins of Judah (The Interpretation of Isaiah 1:10-20) and  its relevance for Churches. The writing of this article will eksplore the social problems that happened in the South of Israel (Judah). With using qualitative method hermeneutical approach, this writing will excavate the meaning of the God’s censure of the sins of the Judah in Isaiah 1:10-20, in order to get it’s relevance for the current churches. Based on the research, the meaning of God's censure the sins of Judah in Isaiah 1: 10-20 is that the people of Judah assume that the LORD will deal with their official and lively worship, while they forget and oppress their fellow humans. For God, all of that is a form of evil and showing self-deceitful piety. Their crime is proven by the rise of social injustice, namely the oppression of the weak such as the poor, widows and orphans. So through the prophet Isaiah, the Lord firmly censure them and said that the worship they performed, the offering of the sacrifice they gave and the prayers they offered were something that was burdensome and disgusting to God. Judah was found guilty before God and had to turn to God's law and will. God censure the sins of Judah because all of them both leaders and people had insulted the holy God.  Kecaman Tuhan terhadap Dosa Yehuda (Penafsiran Yesaya 1:10-20) dan Relevansinya bagi Gereja. Penulisan artikel ini akan menelisik masalah sosial yang terjadi di Israel Selatan (Yehuda) pada masa pelayanan nabi Yesaya. Dengan menggunakan metode kualitatif pendekatan hermeneutik, tulisan ini akan menggali lebih mendalam makna kecaman Tuhan atas dosa kaum Yehuda dalam Yesaya 1:10-20, sehingga dapat menemukan relevansinya bagi gereja masa kini. Dari penelitian yang dilakukan, maka kecaman Tuhan terhadap dosa Yehuda dalam Yesaya 1:10-20 adalah kaum Yehuda beranggapan bahwa TUHAN akan berkenan dengan ibadah-ibadah mereka yang resmi dan meriah, sementara mereka melupakan dan menindas sesamanya manusia. Bagi Tuhan, semuanya itu adalah bentuk kejahatan dan pamer kesalehan diri yang menipu. Kejahatan mereka terbukti dengan maraknya ketidakadilan sosial, yaitu penindasan terhadap kaum lemah seperti orang miskin, para janda dan anak yatim. Maka melalui nabi Yesaya, dengan tegas Tuhan mengecam mereka dan mengatakan bahwa ibadah-ibadah yang mereka lakukan, persembahan korban yang mereka berikan dan doa-doa yang mereka sampaikan adalah sesuatu yang membebani dan menjijikkan bagi TUHAN. Yehuda dinyatakan bersalah di hadapan Tuhan dan harus berbalik kepada hukum dan kehendak TUHAN. Tuhan mengecam dosa Yehuda karena mereka semua baik pemimpin maupun umat telah menghina Allah yang kudus.
Injil Sebagai Kabar Tentang Kembalinya Kemuliaan Tuhan Ke Dalam Segenap Ciptaan Jadi Sampurna Lima
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (313.478 KB) | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.169

Abstract

This article surveys various understanding on what the Gospel is: as ‘how to get into heaven’, a declaration about forgiveness of ‘personal sins’, an invitation for a social-political revolution, and a good news about the fulfillment of God’s promise to Israel. The author argues for a theological and hermeneutical option to understand the gospel in a wider meta-narrative of creation, fall, and redemption. This option use a motif of ‘the return of God’s glory into the whole creation’ as a paradigm to understand the gospel. This article tries to show how polarization between ‘the gospel of personal salvation’ and ‘the social gospel’ can be overcome by understanding the gospel as a declaration of the ‘return of God’s glory into creation’. Artikel ini membahas aneka ragam pemahaman tentang apa itu Injil: sebagai ‘cara untuk masuk surga’, berita tentang pengampunan ‘dosa-dosa pribadi’, suatu undangan bagi revolusi sosial-politik, sampai suatu kabar tentang penggenapan janji TUHAN kepada umat-Nya. Dalam artikel ini akan dipertimbangkan sebuah opsi teologis dan tafsir untuk memahami Injil dalam konteks meta-naratif yang lebih luas, yakni didalam penciptaan, kejatuhan, dan penebusan. Opsi teologis ini memakai motif ‘kembalinya kemuliaan Allah ke dalam seluruh ciptaan’ sebagai paradigma untuk memahami Injil. Artikel ini menunjukkan bagaimana polarisasi antara ‘Injil keselamatan pribadi’ dan ‘Injil sosial’ dapat diatasi dengan memahami injil sebagai deklarasi tentang ‘kembalinya kemuliaan Allah ke dalam segenap ciptaan’.
Tinjauan Psiko-Teologi Terhadap Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran Pada Remaja Mariani Harmadi; Ruat Diana
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (312.124 KB) | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.225

Abstract

Fenomena kekerasan dalam berpacaran bukan hanya terjadi di ruang tertutup atau pribadi saja melainkan sangat mudah ditemukan di ruang publik seperti halaman sekolah, tempat rental komputer, taman, trotoar, kendaraan umum, pada penumpang kendaraan roda dua di tengah lalu lintas. Dan ketika peristiwa itu berlangsung serta disaksikan oleh masyarakat umum, pelaku dan korban tidak merasa terganggu, rikuh, malu, atau berhenti. Padahal kekerasan dalam pacaran di kalangan remaja merupakan salah satu akses kepada kekerasan dalam rumah tangga, apabila hal ini tidak ditangani secara benar sebelum berkelanjutan dengan korban yang mengalami dampak pada fisik, psikis, sosial, moral, ekonomi dan masa depan generasi penerus. Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan mengkaji fenomena kekerasan dalam pacaran dari sudut pandang Alkitab dan psikologi, dimana secara psikologis kekerasan seksual yang terjadi pada masa remaja berdampak negatif bagi pelaku maupun korban kekerasan seksual. Adapun kekerasan pada masa berpacaran dapat disebabkan karena remaja mengalami loncatan akibat gejolak hormon dan pesatnya teknologi informasi. Secara teologis hubungan seks sebelum menikah adalah tindakan merusak kehidupan para pelakunya dan kekerasan pada masa berpacaran merupakan tindakan yang bertentangan dengan konsep imago dei.  The phenomenon of dating violence does not only occur in closed or private spaces but is very easy to find in public spaces such as school yards, computer rental places, parks, sidewalks, public transportation, on two-wheeled vehicle passengers in the middle of traffic. And when the event took place and was witnessed by the general public, the perpetrators and victims did not feel disturbed, uncomfortable, embarrassed, or stopped. Whereas violence in courtship among adolescents is one access to domestic violence, if this is not handled properly before it is sustained with victims who have an impact on the physical, psychological, social, moral, economic and future generations. The method used is descriptive research by examining the phenomenon of dating violence from the perspective of the Bible and psychology, where psychologically sexual violence that occurs during adolescence has a negative impact on perpetrators and victims of sexual violence. The violence during dating can be caused by adolescents experiencing jumps due to hormone fluctuations and rapid information technology. Theologically sex before marriage is an act of destroying the lives of the perpetrators and violence during dating is an action that is contrary to the concept of Imago dei. 
Pengaruh Quality Of Life Dan Religiusitas Secara Simultan Terhadap Subjective Well Being Mahasiswa Teologi Lindin Anderson; J.T. Lobby Loekmono; Adi Setiawan
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.194

Abstract

Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan untuk mengetahui pengaruh quality of life dan religiusitas secara silmultan terhadap subjective well-being mahasiswa teologi yang bernaung dibawah Yayasan Pekabaran Injil Nusantara. Sampel penelitian adalah mahasiswa teologi Sekolah Tinggi Teologi Nusantara Salatiga dan Sekolah Tinggi Alkitab Nusatara di Malang di bawah naungan Yayasan Pekabaran Injil Nusantara (PINTA) yang berjumlah 112 mahasiswa. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik sampel jenuh. Alat pengumpulan data menggunakan tiga skala yaitu skala kepuasan hidup, skala quality of life dan religiusitas. Analisis data menggunakan analisis regresi berganda dengan hasil nilai F = 39,716 pada p = 0,000 (p<0,05), dan R2= 0,422. Melaui uji two ways anova didapatkan hasil quality of life dan religiusitas secara simultan berpengaruh signifikan terhadap subjective well-being mahasiswa teologi yang berada dibawah naungan Yayasan Pekabaran Injil Nusantara (PINTA). The research carried out aims to determine the influence of quality of life and religiously against subjective well-being simultaneously of theological students under the foundation of the Gospel of Nusantara. The research samples are the theological students of the NusantaraTheological College Salatiga and Nusantara Bible Seminary in Malang under the foundation of the Gospel of Nusantara (PINTA), amounting to 112 students. Data collection techniques using saturated sample techniques. Data collection tools use three scales of life satisfaction scale, quality of life scale, and religiosity. Data analyzed by multiple regression analysis with the result of the value F = 39.716 at p = 0.000 (P < 0.05), and  R2= 0.422. Through the test, two ways ANOVA showed that quality of life and religiosity significantly influences the subjective well-being by simultaneously of theological students who are under the foundation of the Gospel of  Nusantara (PINTA).

Page 1 of 2 | Total Record : 11