cover
Contact Name
nurbaedah
Contact Email
mizanjurnalilmuhukum@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
mizanjurnalilmuhukum@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota kediri,
Jawa timur
INDONESIA
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 23017295     EISSN : 26572494     DOI : -
Core Subject : Religion, Social,
Jurnal MIZAN terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada bulan Juni dan Desember dimaksudkan sebagai sarana publikasi karya ilmiah para pakar, peneliti dan ahli dalam bidang yang terkait dengan masalah ilmu hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 140 Documents
PERANAN KETERANGAN SAKSI / AHLI DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UNTUK MENUJU TERANGNYA KEADILAN DALAM PROSES HUKUM DI INDONESIA Gigik Tri MR; Nurbaedah Nurbaedah
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.498

Abstract

Pada masa HIR (Herziene Inlands Reglement), Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.Peranan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara pidana dapat dilihat pengaturannya dari dua jenis ketentuan undang-undang yaitu menurut HIR (Herziene Inlands Reglement) dan menurut KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Dalam HIR, keterangan ahli tidak termasuk alat bukti dalam pembuktian perkara pidana. Menurut Pasal 80 HIR menyatakan bahwa menjadi saksi dalam suatu perkara pidana itu merupakan suatu kewajiban dan apabila dilalaikan ada sanksinya, akan tetapi tidak semua orang wajib menjadi saksi. Tiap-tiap orang yang tidak dikecualikan dalam undang-undang. Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dasar hukum bagi pemeriksaan ahli dalam tingkat penyidikan jelas terlihat dalam Pasal 120 KUHAP. Dimana penyidik dapat meminta pendapat seorang ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ditingkat penyidikan, Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindah pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA OLEH SUAMI Bambang Sutrisno; Siti Asmaul Husna
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 2 (2018): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v7i2.463

Abstract

Penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman tentang perlindungan hukumterhadap isteri yang menjadi korban tindakan kekerasan suami. Faktor Penyebab terjadinya kekerasan ini disebabkan karena faktor kepedulian keluarga dan lingkungan, faktor budaya, faktor penegakan hukum, faktor ekonomi, faktorkepribadian suami. Peranan petugas penegak hukum dalam melindungi hak-hak perempuan telah dimulai sejak ditemukannya kasus kekerasan ke petugas kepolisian hingga saat pemeriksaan di pengadilan. Diawali dari lembaga Kepolisian yang menerima pengaduan tentang adanya tindak kekerasan, untuk melindungi korban yang melaporkan kekerasan yang dialaminya. Setelah proses melapor, polisi membuat berkas perkara yang kemudian akan dilimpahkan ke kejaksaan. Kemudian kejaksaan akan membuat dakwaan dan tuntutan yang akhirnya akan diputus oleh hakim di Pengadilan. Dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban tindakan kekerasan suami ditemukan beberapa kendala. Kendala tersebut diantaranya disebabkan oleh faktor hukumnya sendiri, faktor petugas penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, faktor budaya
PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI Netty Endrawati; Dyah Permatasari
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.494

Abstract

Pemberian remisi terhadap narapidana korupsi terdapat suatu pengetatan untuk mendapatkan remisi. Dengan adanya pengetatan pemberian remisi bagi narapidana koruptor masih saja terdapat pro dan kontra. Untuk itu penulis menganalisis syarat pemberian remisi terhadap koruptor apakah bertentangan atau tidak bertentangan dengan pengaturan pemberian remisi pada Undang-undang tentang Pemasyarakatan serta kesesuaian dengan teori tujuan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Syarat pengetatan pemberian remisi koruptor apabila tetap dipertahankan dan tidak mengubah aturan dari Undang - undang tentang Pemasyarakatan, maka dikatakan telah bertentangan dengan Undang - undang tentang Pemasyarakatan. Terkait dengan pemberian remisi bagi narapidana pelaku tindak pidana korupsi jika ditinjau dari teori tujuan pemidanaan terdapat dua pemikiran dalam hal itu. Kesimpulan dilihat dari sudut hierarki peraturan perundang-undangan maka pengaturan syarat pemberian remisi koruptor dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 5 Undang – undang tentang Pemasyarakatan.
EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Netty Endrawati; Dewi Setyowati
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 2 (2018): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v7i2.459

Abstract

Selain dengan perkembangan tindak pidana saat ini, maka perlu perkembangan sistem peradilan pidana (SPP) dengan melibatkan komponen penting lain dalam sistem peradilan pidana, yaitu komponen yang melaksanakan fungsi perlindungan terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana. Maka sistem peradilan pidana tidak lagi hanya beroriental kepada tersangka / terdakwa melainkan juga berorintasi kepada saksi dan korban tindak pidana. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk untuk mengimplementasikan UU Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang ditujukan untuk memastikan terakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana .Namun sebagai lembaga yang masih terbilang baru ada beberapa kendala yang dirasakan LPSK baik dari segi kelembagaan maupun undang-undang yang mengaturnya sehingga menghambat dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.
PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH SEBAGAI BUKTI KEPEMILIKAN TANAH (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor 70/Pdt.G/2016/PN. Blt) Zainal Arifin; Muhammad Ihsan Muhlashon
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.499

Abstract

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Putusan Pengadilan Negeri Blitar nomor 70/Pdt.G/2016/PN. Blt, apabila ditinjau dari aspek Hukum Tanah Nasional, perlindungan hukum bagi para pihak yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertipikat) dan untuk mengetahui keabsahan pemecahan Sertipikat Hak Milik No. 769 yang masih menjadi obyek perjanjian hutang piutang dengan kreditur Koperasi Satria Jaya menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan pertanggungjawaban institusi pemerintahan yang menerbitkan akta-akta sebagai syarat peralihan hak kepemilikan tanah (sertipikat) yang ternyata bermasalah. Metode yang digunakan adalah yuridis empiris adalah suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa tentang sejauh manakah suatu perundang-undangan/peraturan atau hukum yang sedang berlaku secara efektif. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa : 1) Putusan Pengadilan Negeri Blitar nomor 70/Pdt.G/2016/PN. Blt apabila ditinjau dari aspek Hukum Tanah Nasional hanya menitik beratkan pada proses hukum peralihan hak kepemilikan tanah sebelum munculnya sertifikat dalam hal jual belinya, maka jual beli obyek yang lain adalah batal demi hukum sesuai Pasal 26 (2) UU Pokok Agraria, karena pengadilan negeri hanya berkompetensi mengadili Perbuatan Hukumnya ( Wan prestasi dan PMH) sedangkan pembatalannya adalah wilayah PTUN kemudian di ekskusi oleh institusi yang berwenang (BPN), 2) Perlindungan hukum bagi para pihak yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertipikat) setelah adanya putusan dari Pengadilan Negeri Blitar, masih harus meneruskan proses hukum yang panjang, karena : a) jika terbukti cacat hukum dalam prosesnya maka kepemilikan tanah tersebut dapat dibatalkan, dan upaya hukum bisa dilakukan menuntut pidana atau perdata kepada penjual/pemilik yang tidak beri’tikad baik; b) Pengadilan Negeri hanya dapat mengadili sesuai dengan kompetensi peradilan dan hukum acara dalam pemeriksaan di persidangan yang tidak bisa di abaikan. 3) Pertanggungjawaban institusi pemerintahan yang menerbitkan akta-akta dalam proses peralihan hak atas tanah yang ternyata bermasalah seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata, dan tuntutan ganti rugi. Selain itu Sistem Publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah menurut UUPA no 5 Tahun 1960 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang bertendensi positif, sebelum ada gugatan karena merasa dirugikan maka proses peralihan akan tetap dilanjutkan (asas “nemo plus yuris”), Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sertipikat adalah sebagai alat bukti yang kuat dan sah terhadap kepemilikan tanah namun belum absolut/mutlak sehingga harus ada perlindungan hukum terhadap pemegangnya.
ANALISIS YURIDIS UNDANG - UNDANG NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU SEBAGAI PERLINDUNGAN ATAS HAK ASASI MANUSIA A. Hasyim Nawawie; Johan Johan
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 2 (2018): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v7i2.464

Abstract

Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bias dicapai apabila tatanan hokum telah terbukti mendatangkan keadilan dan dapat berfungsi dengan efektif. Perkembangan kehidupan masyarakat, sudah sangat kompleksitas sekali, seolah–olah menunjukan bahwa hukum dalam kehidupan manusia malahan sudah mencapai pada tingkat bahwa hokum sudah tidak lagi mampu untuk dipahami secara normal. Pada awalnya hokum dipercaya kehadirannya sebagai penjaga ketertiban(order) dimasyarakat, akan tetapi pelanggaran hukum dan ketertiban itu sendiri dimasyarakat makin tak terkalkulasi jumlahnya. Dengan adanya pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan oleh Penasihat Hukum, maka suatu proses persidangan akan berjalan dengan seimbang(audietalterampartem), oleh karena para pihak dapat memberikan pendapatnya secara bebas dan proporsional, sehingga suatu peradilan yang adil dapat terwujud. Hak untuk memperoleh keadilan(accesstojustice) merupakan hak asasi yang dimiliki setiap warga negara. Negara sebagai pelindung dan pemerintah, wajib untuk memberikan perlindungan dan pembelaan kepada setiap warga Negara atas adanya perlakuan yang tidak adil yang dialami warga negara. Bahwa berdasarkan amanah dalam UUD1945, setiap warga memiliki persamaan kedudukan didalam hukum, dan berhak atas perlindungan hukum yang adil, serta persamaan perlakuan hukum, sehingga hak-hak warga Negara berdasarkan konstitusi wajib dijamin dan dilindungi oleh Negara dalam suatu peraturan perundang-undangan. Rumusan masalah dalam penelian ini adalah : Bagaimana upaya pemberian bantuan hukum untuk mewujudkan perlindungan terhadap HAM (HakAsasiManusia) dalam Sistem Peradilan Pidana terpadu? Bagaimana masalah yang terdapat didalam pelaksanaan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang No.16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu? Rumusan masalah tersebut dikaji secara mendalam dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normative yang didasarkan pada hukum positif yang berlaku di Indonesia dengan klasifikasi dua sumber data yakni data primer dan data sekunder berupa undang-undang atau Peraturan lainnya yang masih ada hubungannya dengan masalah yang diteliti pada penulisan tesis sebagai pijakan teori serta buku-buku/bahan-bahan lain yang masih memiliki keterkaitan dengan judul penelitian ini sebagai bahan sumber sekundernya. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah : Pertama, Dapat disimpulkan bahwa upaya pemberian bantaun hukum yang tercantum dalam Undang-Undang No.16 Tahun terhadap terdakwa dalam sistem peradilan pidana terpadu sudah terintegrasi dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2014 tetang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Meski demikian hal ini belum dapat dikatakan efektif dan untuk mengukur seberapa efektif pemberian bantuan hukum itu sendiri setidaknya dapat ditentukan dari lima faktor diantaranya adalah faktor hukum itu sendiri yakni undang-undang dan peraturan yang terkait dalam hal ini sudah mengatur secara jelas, faktor dari aparat penegak hukum yakni advokat dalam menjalankan tugas serta kewajibannya diusahakan untuk selalu profesional, faktor sarana dan fasilitas yang meliputi LBH dengan fasilatas yang cukup memadahi. Kedua, Adapun masalah yang terdapat dalam pelaksanaan bantuan hukum sesuai dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum sangatlah kasustik sekali serta memerlukan penyelesaian secara nyata dengan tujuan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin. Masalah yang dimaksudkan adalah tidak mengakomodir pemenuhan hak dari masyarakat miskin dan marginal guna mendapatkan bantuan hukum dan tidak pula mencantumkan sanksi bagi advokat ketika tidak mau memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MENURUT PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE) Bambang Sutrisno; FX Bhirawa Braja Paksa
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.495

Abstract

Penggunaan teknologi internet juga tidak dapat dipungkiri membawa dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat positif yang ada. Internet dapat menimbulkan kejahatan seperti pengancaman, pencurian, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, penipuan hingga tindak pidana terorisme. Melalui media internet beberapa jenis tindak pidana tersebut dapat dilakukan secara online oleh individu maupun kelompok dengan resiko tertangkap yang sangat kecil dengan akibat kerugian yang lebih besar baik untuk masyarakat maupun negara. Fenomena tindak pidana teknologi informasi merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku tindak pencemaran nama baik melalui media sosial, merupakan salah satu cerminan bahwa masyarakat Indonesia belum memahami makna penggunaan media sosial secara baik dan bertanggung jawab. Selain mempunyai hak kita juga harus mengetahui kewajiban apa saja yang harus kita laksanakan sebelum mendapatkan hak tersebut, sama halnya dengan menggunakan media sosial, penggunaan media sosial merupakan hak tiap-tiap masyarakat pada saat ini, namun sebagai penggunanya tentu kita juga harus mengetahui kewajiban untuk mengharagai orang lain. Banyaknya modus operandi yang digunaan oleh pelaku cyber crime, maka perlunya kehati-hatian dalam menggunakan media sosial agar kita tidak menjadi salah satu dari pelaku yang dapat merugikan orang banyak. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak diatur secara jelas memahami batasan dalam kebebasan berpendapat. Jika kita melihat impelementasinya seakan-akan diatur, maka jelas bahwa kita benar-benar membutuhkan aturan yang baru tentang tindak pidana pencemaran nama baik dalam undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bagi masyarakat harus lebih mehami arti kebebasan berpendapat yang diberikan oleh negara, dan menggunakan kebebasan tersebut dengan bertanggung jawab. Bukan untuk membatasi kebebasan tersebut melainkan untuk memberi peringatan atau tindakan Preventif bagi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial dalam berkomunikasi dan memberikan tindakan Represif bagi pelaku tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial.
PERAN FKPM (FORUM KOMUNIKASI POLISI MASYARAKAT)KABUPATEN TRENGGALEK DALAMMENDUKUNG PENEGAKANHUKUM Eddy Suwito; Dyan Kristyobudi
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 2 (2018): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v7i2.460

Abstract

Perkembangan masyarakat saat ini yang telah masuk pada fase modern menyebabkan berkembangnya kejahatan atau tindak pidana yang mencakup jenis serta dimensi – dimensi yang sebelumnya tidak ada, semakin meningkat pola kehidupan masyarakat semakin hebat pula metode, tekhnik dan cara – cara tindak kejahatan dilakukan oleh para pelakunya. Untuk itu perlu adanya suatu upaya untuk mencegah tindak kejahatan tersebut sebagai upaya menekan laju kejahatan, baik secara preemtif, preventif maupun kuratif, yaitu penangkalan, pencegahan dan penanganan. Tidak ada kejahatan yang terlepas dan terpisah sama sekali dari lingkungan masyarakatnya Tingginya tingkat kejahatan memerlukan penanganan yang serius dengan didukung oleh profesionalisme aparat penegak hukum yang disertai jumlah personil yang memadai. Guna membantu tugas kepolisian dalam memerangi kejahatan diperlukan suatu peran serta masyarakat. Bentuk peran serta masyarakat di wujudkan dalam suatu kerjasama kemitraan melalui FKPM (FORUM KOMUNIKASI POLISI MASYARAKAT). Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini mengangkat permasalahan bagaimanakah Peran FKPM (FORUM KOMUNIKASI POLISI MASYARAKAT)dalam mendukung penegakan hukum di Kabupaten Trenggalek. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan empiris. Pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan masalah yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang- undangan dan literatur serta bahan- bahan hukum. Pendekatan yuridis empiris, yaitu pendekatan yang dilakukan peneliti untuk mengetahui lebih jauh mengenai pelaksanaan dan penerapan serta kebijakan di lapangan terhadap kasus-kasus tertentu dari aspek hukum pidana. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lapangan dan kepustakaan. Sedangkan jenis data meliputi data sekunder dan data primer sebagai data pelengkap dan pembanding.Data sekunder adalah data-data yang diperoleh peneliti dari perpustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang tersedia sudah dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan diperpustakaan atau milik pribadi peneliti. Data primer adalah data yang diperoleh melalui penelusuran lapangan dan wawancara dengan Kepolisian, Jaksa dan hakim yang pernah menangani perkara-perkara Pasal 310, Pasal 335, dan Pasal 352 KUHP,Pasal 351 KUHP, Pasal 362 KUHP, Pasal 170 KUHP, Pasal dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Lingkup Rumah Tangga), dan pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Perpu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak menjadi Undang-Undang serta dengan masyarakat yang bertikai / berselisih juga dengan tokoh-tokoh (agama, pemuda, masyarakat), Kepala desa dan para pengurus FKPM (FORUM KOMUNIKASI POLISI MASYARAKAT). Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa peran kegiatan FKPM (FORUM KOMUNIKASI POLISI MASYARAKAT)merupakan suatu pilihan yang tepat bagi POLRI untuk menunjukan perubahan sikap dan perilakunya selaku Polisi Sipil, walau dalam pelaksanaannya belum semua personil POLRI memahami konsep FKPM yang sebenarnya. FKPM bertujuan untuk mencegah dan menangani kejahatan dengan cara mempelajari karakteristik maupun permasalahan yang ada dalam lingkungan tertentu. FKPM memanfaatkan Sumber Daya Manusia dalam komunitas guna berbagai upaya pengendalian kejahatan. FKPM dirancang untuk membangun kendali atas kejahatan sebagai upaya bersama (Kolaboratif). Kalau diterapkan secara pantas, FKPM berusaha meningkatkan kontrol atas kejahatan dengan melibatkan mekanisme control sosial yang lebih kuat. Jadi esensi FKPM adalah tingkat kejahatan berkurang manakala kualitas kehidupan komunitasnya meningkat. Maka untuk itu keuntungan penerapan FKPM dalam menjaga Kamtibmas : Berkurangnya tindak kejahatan sehingga meningkatkan ketentraman hidup dan meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat. Polisi semakin lebih akuntabel, efektif dan transparan. Berkaitan dengan terbentuknya FKPM wewenang mereka adalah : Mengambil tindakan Kepolisian secara proforsional dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum yang dipandang perlu. Menyelesaikan pertikaian ringan/pertikaian antar warga berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak yang berperkara/ bertikai dan bila diperlukan bersama FKPM. Secara umum pelaksanaan FKPM di Kabupaten Trenggalek berjalan dengan baik walaupun masih banyak kekurangan. Hasil penelitian menunjukkan selama tahun 2016 sedikitnya 34 kasus-kasus pelanggaran dan tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan melalui FKPM. Dan tahun 2017 sesiktinya 24 Kasus. Kinerja dari FKPM hendaknya perlu terus di tingkatkan dengan memberikan pengawasan dan perhatian secara konsisten. Selain itu untuk menciptakan suatu keterikatan dan kesinambungan yang kuat maka hendaknya mengadakan kerja sama dengan media massa dan LSM tertentu untuk melaksanakan pemantauan disemua kesatuan POLRI di Kabupaten Trenggalek khususnya, sebagai upaya memaksimalkan hasil analisa dan evaluasi yang dilakukan secara internal.. Kata Kunci : Forum komunikasi, Polisi, Penegakkan hukum.
PELAKSANAAN EKSEKUSI SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN DALAM UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PENGADILAN NEGERI Yagus Suyadi; Puji Prastiyo
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.500

Abstract

Dalam lingkungan perbankan suatu kredit digolongkan sebagai kredit macet adalah semenjak tidak ditepatinya atau dipenuhinya ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kredit, yaitu apabila debitur selama tiga kali berturut-turut tidak membayar angsuran dan bunganya. Salah satu cara untuk mengatasi adanya kredit macet tersebut, maka jalan yang paling efektif ditempuh oleh pihak bank dalam rangka mengembalikan uang yang di pinjamnya adalah dengan cara melalui eksekusi terhadap sertipikat hak tanggungan sebagai mana di atur dalam undang-undang No 4 tahun 1996. Bentuk eksekusi adalah parate executie, bahwa pelaksanaan parate executie merupakan cara termudah dan sederhana bagi kreditor untuk memperoleh kembali piutangnnya, manakala debitor cidera janji dibandingkan dengan eksekusi yang melalui bantuan atau campur tangan Pengadian Negeri. Tujuan penulisan tesis ini adalah: (1) Untuk menganalisa Pengadilan Negeri dalam menjalankan eksekusi hak tanggungan. (2) Untuk menganalisa akibat hukum yang timbul sebagai konsekuensi dari tugas Pengadilan Negeri dalam menjalankan eksekusi jaminan Hak Tanggungan untuk menyelesaikan kredit macet. Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach) yaitu penulis ingin menganalisa tentang pelaksanaan eksekusi sertifikat hak tanggungan dalam upaya penyelesaian kredit macet di pengadilan Negeri kemudian seluruh data yang ada dianalisa secara deskriptif kualitatif sehingga mendapat jawaban kesimpulan akhir dari rumusan masalah penelitian yang diteliti. Hasil penelitian dalam tesis ini adalah: (1) Pengadilan Negeri dalam menjalankan eksekusi sertifikat hak tanggungan tidak saja meliputi sebagaimana ketentuan yang diamanatkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, Pasal 224 HIR/258 RBg, juga mamberikan pertimbangan hukum terhadap kreditor dan debitor. Kemudian dalam menyikapi permasalahan mengenai eksekusi Hak Tanggungan tersebut dengan berlandaskan pada ketentuan Pasal 218 (2) RBg maka dalam hal debitor/ termohon lelang tidak bersedia keluar dari obyek Hak Tanggungan atau jaminan atau barang yang dilelang maka cukup mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dilakukan eksekusi pengosongan dan hal ini dalam beberapa kesempatan telah dilaksanakan dan berjalan dengan baik, sekalipun dalam proses atau pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan tersebut salah satunya dilakukan dengan bantuan kekuatan hukum. (3) Akibat hukum yang timbul sebagai konsekuensi dari tugas Pengadilan Negeri dalam menjalankan eksekusi jaminan Hak Tanggungan untuk menyelesaikan kredit macet adalah debitor harus patuh untuk melunasi hutangnya, bila tidak patuh maka dipaksa melalui lelang, cekal dan atau paksa badan dan kalau keberatan terhadap eksekusi dapat mengajukan gugatan, sedangkan terhadap kreditor/bank yang tidak puas atas pengurusan hah tanggungan dapat mengurus sendiri piutangnya, serta terhadap Pihak Ketiga yang keberatan dapat mengajukan perlawanan (derdenverzet).
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DALAM PERADILAN PIDANA Edy Suwito; Mulyadi Aribowo
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.496

Abstract

This study aims to determine the extent to which legal protection and obstacles faced against the victims of rape in criminal justice in Blitar district court. The context of legal protection against victims of crime (criminal act of rape) is by preventive or repressive efforts conducted by both society and law enforcement officers such as providing protection from various threats that can endanger the life of the victim. The research used is juridical normative and juridical empirical research. Research location in Blitar District Court. The materials used in literature study are data collection through literature study, and field research involves interviewing informant. Based on the result of the research, the researcher got the answer that, the legal protection against the victims of criminal act of rape in criminal court in Blitar state court still caused many difficulties in settling either at the investigation stage until the victim was present in the court, because the psychic pressure in victims questioned. This of course affects the mental / psychological development of the victims and also affects the law enforcement process itself to bring about a sense of justice for victims and society.

Page 2 of 14 | Total Record : 140