cover
Contact Name
Fransisca Iriani Rosmaladewi
Contact Email
fransiscar@fpsi.untar.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jmishs@untar.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta barat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
ISSN : 25796348     EISSN : 25796356     DOI : -
Core Subject : Art, Social,
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni (P-ISSN 2579-6348 dan E-ISSN 2579-6356) merupakan jurnal yang menjadi wadah bagi penerbitan artikel-artikel ilmiah hasil penelitian dalam bidang Ilmu Sosial (seperti Ilmu Psikologi dan Ilmu Komunikasi), Humaniora (seperti Ilmu Hukum, Ilmu Budaya, Ilmu Bahasa), dan Seni (seperti Seni Rupa dan Design). Jurnal ilmiah ini diterbitkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara. Dalam satu tahun, jurnal ini terbit dalam dua nomor, yaitu pada bulan April dan Oktober.
Arjuna Subject : -
Articles 34 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni" : 34 Documents clear
URGENSI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERLANDASKAN KEARIFAN LOKAL Ahmad Redi; Tundjung Herning Sitabuana; Fakhrana Izazi Hanifati; Putri Nabila Kurnia Arsyad
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3517

Abstract

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah yang tersebar di 17.504 pulau salah satunya adalah hutan mangrove. Hutan mangrove sebaga bagian dari ekosistem memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah sebagai penyerap karbon terbesar untuk melawan pemanasan global dan pemecah ombak sehingga meminimalisir abrasi. Salah satu wilayah Indonesia yang memiliki banyak hutan mangrove adalah Provinsi Bali. Namun, perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove di Provisi Bali belum terlaksana dengan baik. Seperti adanya penyerobotan lahan kawasan hutan mangrove, pemanfaatan lahan untuk keperluan yang tidak sesuai peruntukkannya, perambahan, pencemaran, dan lain sebagainya. Meskipun terdapat regulasi yang membahas mengenai pengelolaan dari hutan mangrove, namun belum ada suatu payung hukum yang khusus membahas pemulihan ekosistem hutan mangrove yang mulai rusak. Sehingga diperlukan adanya suatu payung hukum dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat Provinsi Bali guna melindungi ekosistem hutan mangrove yang tetap sejalan dengan prinsip Tri Hita Karana. Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan bagaimana urgensi pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove dengan menyesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat Bali. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif empiris dengan studi literatur dan teknik wawancara In-Depth Interview. Hasil dari penelitian ini adalah telah terdapat berbagai regulasi nasional untuk melindungi dan mengelola hutan mangrove namun belum terdapat peraturan ditingkat daerah Provinsi Bali yang mengatur secara khusus padahal pada Tahun 2015 sebanyak 172 Ha Hutan Mangrove pada Kabupaten Badung telah rusak, kemudian pada Kabupaten Buleleng sebanyak 128,5 Ha Hutan Mangrove telah rusak yang dalam hal ini lebih banyak daripada jumlah hutan mangrove yang tidak rusak yakni 114,5 Ha, lalu pada Kota Denpasar hutan mangrove yang telah rusak adalah sebanyak 81,4 Ha, kemudian 63,5 Ha hutan mangrove di Jembrana juga telah rusak, dan Di Kabupaten Klungkung sebanyak 9,5 Ha telah rusak. Urgensi pembentukan peraturan daerah ini dapat dinilai sebagai realisasi Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesimpulan penelitian ini adalah diperlukan untuk adanya suatu peraturan daerah yang mengatur mengenai pengelolaan dan pengawasan hutan mangrove di Bali dengan melibatkan masyarakat hukum adat, memuat ketentuan pidana, dilandaskan pada kearifan lokal Bali seperti Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab keharmonisan, terdiri dari parahyangan, pawongan dan palemahan. Indonesia possesses a wealth of abundant natural resources spread over 17,504 islands, one of which is mangrove forests. Mangrove forests as part of an ecosystem provides many benefits, including being the most effective carbon sink to combat global warming, and breaking incoming waves so as to minimize abrasion. One area of Indonesia with plenty of mangrove forests is the Province of Bali. However, the protection and management of mangrove forests in the Province of Bali has not been implemented well. Examples of which include land grabbing of the mangrove forest area, clearing said forest for uses that are not in accordance with its purpose, encroachment, pollution, and so forth. Despite regulations that discuss the management of mangrove forests, there is not yet a legal protection that specifically addresses the restoration of damaged mangrove forest. Therefore, legal protection with regards to the local wisdom of the people of Bali Province is necessary in order to protect the mangrove forest ecosystem which remains in line with the principles of Tri Hita Karana. The purpose of this study is to explain the urgency of the formation of the Bali Provincial Regulation concerning the protection and management of mangrove forests with regards to the local wisdom of the Balinese people. This research used empirical normative legal research method with literature studies and in-depth interview. The result of this study is that there have been various national regulations to protect and manage mangrove forests, however there is no regulation at the provincial level in Bali for similar purposes, whereas in 2015 as many as 172 Ha of Mangrove Forest in Badung Regency was damaged, and then in Buleleng Regency 128 5 Ha of mangrove forest was damaged, which is more than the 114.5 Ha of mangrove forest that is still undamaged. Then, in Denpasar, 81.4 Ha of mangrove forest, in Jembrana, 63.5 Ha of mangrove forest, and in Klungkung Regency 9.5 Ha was damaged. The urgency of establishing this regional regulation can be seen as the realization of Article 28H paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The conclusion of this study is that it is necessary for a regional regulation governing the management and supervision of mangrove forests in Bali by involving the customary law community, which contains criminal provisions, and based on Balinese local wisdom such as Tri Hita Karana which means three sources of harmony, consisting of parahyangan, pawongan and palemahan.
PENGARUH RASA TIDAK AMAN BEKERJA TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING DAN KUALITAS TIDUR DENGAN JOB EMBEDDEDNESS SEBAGAI MODERATOR Theresia Meirosa Purba; P. Tommy Y.S. Suyasa
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3556

Abstract

Perubahan adalah suatu hal yang tidak terelakkan. Perubahan yang terjadi dalam organisasi bahkan disebut dapat menjadi salah satu sumber stress pada karyawan. Adanya gejala stress yang dialami karyawan tampak dari rasa tidak aman mengenai masa depan ataupun kelanjutan pekerjaannya. Bahkan rasa tidak aman bekerja diprediksi dapat berpengaruh terhadap kondisi emosi dan kualitas tidur karyawan. Dengan mengembangkan penelitian terdahulu, penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh dari rasa tidak aman bekerja terhadap subjective well-being dan kualitas tidur pada karyawan Perusahaan X, dengan job embeddedness sebagai variabel moderator. Sebagai suatu gejala stress, rasa tidak aman bekerja (job insecurity) diartikan sebagai ancaman kehilangan pekerjaan yang dirasakan individu serta rasa khawatir yang berkaitan dengan ancaman tersebut. Dampak dari rasa tidak aman tersebut tampak pada subjective well-being yang diartikan sebagai penilaian keseluruhan individu terhadap pengalaman emosional, serta tampak pula pada kualitas tidur, yaitu aspek kuantitatif dan subyektif dari pengalaman tidur individu. Job embeddedness sebagai moderator didefinisikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk bertahan pada pekerjaan dan organisasi atau perusahaan. Penelitian ini berbentuk studi kuantitatif non-eksperimental dengan melibatkan 110 karyawan tetap dari Perusahaan X. Pengambilan data dilakukan melalui metode survey dengan menyebarkan e-form. Kemudian data dianalisis dengan metode regresi linear melalui program SPSS 24.0. dan menunjukkan hasil di mana secara umum job embeddedness tidak menunjukkan peran sebagai moderator pada pengaruh dari rasa tidak aman bekerja terhadap subjective well-being maupun kualitas tidur. Namun demikian, job embeddedness pada level tertentu akan menunjukkan peran sebagai moderator. Change is inevitable Changes that occur in an organization might even be a stressor for employees. One symptom of stress experienced by employees is the insecurity about the future or the continuation of their employment. This feeling of work insecurity is predicted to affect the emotional condition and quality of sleep of employees. By improving on previous research, this study aims to identify the effect of work insecurity on subjective well-being and sleep quality in Company X employees, with job embeddedness as a moderating variable. As a symptom of stress, job insecurity is defined as the threat of job loss felt by individuals as well as the worry associated with said threat. The impact of insecurity on subjective well-being is defined as an overall individual assessment of emotional experience, which is reflected on the quality of sleep, namely the quantitative and subjective aspects of individual sleep experience. Job embeddedness as the moderator is defined as the factors that influence a person's decision to stay with the job and organization or company. This research is a non-experimental quantitative study involving 110 employees from Company X. Data was collected through a survey by distributing e-forms. Then, the data were analyzed using linear regression method on SPSS 24.0. which shows that, in general, job embeddedness does not serve as moderator of the influence of work insecurity on subjective well-being and sleep quality. However, job embeddedness, at a certain level serves as moderator.
MODALITAS GANDA DALAM BAHASA INGGRIS DAN PADANANNYA DALAM BAHASA INDONESIA: KAJIAN SINTAKSIS DAN SEMANTIK Deden Novan Setiawan Nugraha; Fitriani Reyta
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3334

Abstract

Bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi. Setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri serta memiliki aturan agar pemakai bahasa dapat menggunakan bahasa secara baik dan benar dalam berkomunikasi. Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia memiliki keunikan tersendiri salah satunya mengenai modalitas. Modalitas merupakan sikap pembicara atas keterlibatannya terhadap kebenaran proposisi tuturannya. Sikap ini bisa dimarkahi dengan pemarkah leksikal yang berbeda yaitu dalam bentuk kata, frasa, atau klausa. Modalitas ada dalam tataran semantik yang berarti dapat muncul dalam semua bahasa dengan bentuk pengungkapnya masing masing. Dengan menggunakan metode deskriptif, penelitian ini mendeskripsikan modalitas ganda dalam bahasa Inggris dan padanannya dalam bahasa Indonesia. Secara sintaksis, bentuk modalitas ganda yang digunakan dalam penelitian ini yaitu verba bantu modal have to dikombinasikan dengan adverb (kata keterangan). Data penelitian ini diambil dari korpus linguistik bernama COCA (Corpus of Contemporary American English). Secara semantik, hasil penelitian menunjukkan terdapat kombinasi antara verba bantu modal yaitu have to dan modal leksikal berupa kata keterangan yaitu surely, certainly yang merupakan pengungkap kesimpulan logis (logical necessity) dan termasuk ke dalam modalitas epistemik yang memiliki makna kepastian yang subjektif. Pengungkapan modalitas epistemik ditunjukkan oleh pemunculan kepastian penutur yang melibatkan pengetahuannya atau keyakinannnya. Dalam hal ini terlihat bahwa penutur telah menarik suatu kesimpulan dari hal-hal yang telah diketahui atau diamati sebelumnya. Padanan have to dalam bahasa Indonesia menjadi ‘seharusnya’ dan termasuk ke dalam pengungkap ekstraklausal, dimana terdapat kecenderungan penutur untuk menyatakan bahwa keharusan yang diungkapkan tersebut berasal dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain. The main function of a language is as a communication tool. Each language is unique and governed by rules for language speakers to use the language properly and correctly in communicating. English and Indonesian are unique in the sense of modality. The modality is the speaker's attitude towards his/her involvement in the truth of his/her speech proposition. This attitude can be marked by different lexical markers in the form of words, phrases or clauses. Modality exists on semantic level which means that it can appear in all languages with their respective expressions. Using descriptive method, this study describes dual modalities in English and their equivalents in Indonesian. Syntactically, the form of double modality used in this study is the “have to” combined with adverbs. The research data was taken from a linguistic corpus called COCA (Corpus of Contemporary American English). Semantically, the result of the study shows a combination between modal auxiliary verb “have to” and lexical modal in the form of adverbs “surely”, “certainly” which are expressions of logical necessity belonging to epistemic modality with subjective meaning of certainty. Disclosure of epistemic modality is demonstrated by the appearance of the certainty of the speaker who involves his/her knowledge or beliefs. In this case it appears that the speaker has drawn a conclusion from the things previously known or observed. The equivalent to “have to” in Indonesian is “seharusnya” and is included in extraclausal disclosures, where there is a tendency for the speaker to state that the expressed obligation originates from him/herself and not from others.
LEARNING AGILITY PADA KARYAWAN GENERASI MILLENNIAL DI JAKARTA Devi Jatmika; Karentia Puspitasari
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3446

Abstract

Globalisasi mengakibatkan perkembangan dunia ekonomi dan bisnis bergerak sangat cepat, dinamis dan terus berubah. Generasi millennial atau generasi Y merupakan generasi terbanyak saat ini dan menjadi aset bagi kemajuan perusahaan. Sehingga, untuk menghadapi tantangan perubahan ini generasi millennial memerlukan learning agility, yaitu kesediaan untuk belajar dan menerapkan hal yang telah dipelajari dalam situasi baru. Namun, generasi millennial dikenal sebagai generasi yang instan, cepat bosan, dan kurang tangguh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuck mengetahui gambaran learning agiity pada generasi millennial di Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif deskriptif. Kuesioner dibuat berdasarkan empat dimensi learning agility dari Choices Quetionnaire (Eichinger & Lombardo, 1997). Empat dimensi dari learning agility terdiri dari people agility, results agility, change agility, dan mental agility. Teknik sampling yang digunakan adalah convenience sampling. Jumlah sampel penelitian sebanyak 136 orang dengan kriteria usia generasi millennial, berusia 18- 37 tahun dan merupakan karyawan tetap di sebuah organisasi di Jakarta. Teknik analisa data deskriptif menggunakan perbandingan mean hipotetik dan mean empirik. Hasil penelitian menunjukkan learning agility karyawan generasi millennial berada pada kategori tinggi. Dari hasil penormaan setiap dimensi, diketahui keempat dimensi juga berada di kategori tinggi. Karyawan generasi millennial memiliki keinginan yang tinggi untuk belajar, fleksibel untuk menghadapi perubahan.  Globalization promotes rapid, dynamic, and constantly changing development in the economic and business world. Being the current most prominent generation, the millennial generation, also known as generation Y serves as an asset for company development. Therefore, in order to overcome this challenge of change, the millennial generation requires learning agility, which i a willingness to learn and apply what has been learned in new situations. The work attitude of the millennial generation in overcoming change still requires investigation, that organizations can have better understanding of their employees. The purpose of this study was to determine the level of learning agility of millennial employees in Jakarta. The research method used was descriptive quantitative research. The research instrument was constructed based on four dimensions of learning agility, namely = people agility, results agility, change agility, and mental agility. The sampling technique used was convenience sampling. Participants of the study were 136 millenials who worked as full-time employees aged 18-37 years. Descriptive data analysis was conducted by comparing hypothetical mean and empirical mean, along with differential test with independent sample t-test and one-way ANOVA. Results show that the learning agility of millennial generation employees was considered high. The mean score of mental agility was the highest, followed by results agility, change agility and the lowest mean score was people agility. The differential test found no differences in learning agility based on age and gender.
AKTIVISME DAN KAPITALISME DIGITAL: KONSTRUKSI BRANDING WARUNG KOPI MELALUI INSTAGRAM Nabilla Nailur Rohmah; Shuri Mariasih Gietty Tambunan
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3505

Abstract

Berkembangnya teknologi digital dan demokratisasi di berbagai aspek kehidupan di Indonesia saat ini telah mendorong pesatnya gerakan sosial, budaya maupun politik di ruang publik. Salah satunya adalah bermunculannya warung kopi sebagai tempat berkumpul, menyuarakan pendapat, dan mendiskusikan berbagai permasalahan. Studi kasus penelitian ini adalah bisnis warung kopi yang mengasosiasikan diri dengan aktivisme dan seiring dengan penciptaan tren konsumsi dan gaya hidup kelas menengah urban. Fenomena tersebut tidak terlepas dari wacana third wave coffeee yang sedang menarik perhatian dan minat para aktivis untuk menghubungkan specialty coffee dengan pemberdayaan petani dan pengembangan bisnis skala mikro. Dalam masyarakat jejaring (the network society) saat ini, banyak di antara para pengelola bisnis warung kopi menggunakan media sosial sebagai sarana untuk membangun jejaring dan promosi. Media sosial menjadi salah satu media promosi yang strategis karena menawarkan efektifitas dalam menyampaikan gagasan aktivisme serta kepentingan bisnis sekaligus. Artikel ini membahas bagaimana bisnis warung kopi mengasosiasikan diri dengan dunia aktivisme dan memosisikan branding mereka melalui media sosial Instagram. Penelitian ini menggunakan pendekatan Cultural Studies, dan dilakukan dengan menggabungkan metode digital etnografi dan metode analisis tekstual. Tiga akun Instagram, @kopikultur, @kopikintamani dan @kedaikopi_kalimetro, dianalisis untuk mendiskusikan kompleksitas konstruksi branding warung kopi dalam kaitannya dengan isu identitas gerakan, transformasi sosial, dan kepentingan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi branding warung kopi di Instagram memuat adanya upaya penciptaan transformasi sosial melalui aktivisme konsumen serta artikulasi identitas gerakan dalam rangka akumulasi kapital sosial dan simbolik. The development of digital technology and democratization of various aspects of life in Indonesia today has encouraged rapid social, cultural and political movements in public forum. One such example is the emergence of coffee shops as a place to gather, voice opinions, and discuss various issues. The case study of this research is a coffee shop businesses associating themselves with activism and going hand in hand with the consumption trends and lifestyle of the urban middle class. This phenomenon is inseparable from the discourse of third wave coffee which is attracting the attention and interest of activists to connect specialty coffee with the empowerment of farmers and micro-scale business development. In current network society, many coffee shop business managers use social media as a mean to build networks and for promotions. Social media is a strategic promotion media for its effectiveness in conveying activism ideas along with business interests. This article discusses how coffee shop businesses associate themselves with activism and position their branding through Instagram. This study used Cultural Studies approach, and was carried out by combining digital ethnographic method and textual analysis method. Three Instagram accounts, @kopikultur, @kopikintamani and @kedaikopi_kalimetro, were analyzed to discuss the complexity of the coffee shop branding construction in relation to issues of movement identity, social transformation, and economic interests. The result showed that the construction of a coffee shop branding on Instagram carries along an effort to create social transformation through consumer activism as well as the articulation of movement identity in the context of the accumulation of social and symbolic capital.
HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL DISTRESS DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, KELUARGA DAN LINGKUNGAN KERJA PADA TENAGA KERJA WANITA (TKW) INDONESIA DI TAIWAN Bianca Marella
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3399

Abstract

Belum banyak upaya dilakukan untuk mengetahui kesehatan mental tenaga kerja wanita yang berada di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan kesehatan mental pada Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Taiwan. Data diambil menggunakan metode kuantitatif dengan alat ukur the Hopkins Symptoms Checklist-25 (HSCL-25) untuk mengetahui tingkat distres psikologis dan pertanyaan mengenai karakteristik sosiodemografik. Partisipan penelitian ini adalah 181 tenaga kerja wanita Indonesia yang sudah bekerja di Taiwan selama minimal enam bulan, dikumpulkan dengan teknik convenience sampling dan snowball sampling. Berdasarkan penghitungan statistik, sebanyak 17% dari total partisipan mengalami gejala depresi dan kecemasan. Dari uji hipotesis, diketahui terdapat hubungan positif signifikan antara distres psikologis dan komunikasi rutin dengan keluarga, keaktifan di komunitas, dan alasan kerja untuk mencari kesempatan lebih baik. Little effort has been made to find out the mental health of women workers who are abroad. This study aims to look at the picture and factors related to mental health health in Indonesian Workers who work in Taiwan. Data were collected using quantitative methods using the Hopkins Symptoms Checklist-25 (HSCL-25) to determine the level of psychological distress and questions about sociodemographic characteristics. The participants of this study were 181 Indonesian female workers who had worked in Taiwan for a minimum of six months, collected using convenience sampling and snowball sampling techniques. Based on statistical calculations, as many as 17% of the total participants experienced symptoms of depression and anxiety. From the hypothesis test, it is known that there is a significant positive relationship between psychological distress and routine communication with family, activity in the community, and the reasons for work to look for better opportunities.
ANALISA KONSEPTUAL MODEL SPIRITUAL WELL-BEING MENURUT ELLISON DAN FISHER Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3521

Abstract

Studi ini menganalisa lebih dekat dua model spiritual well-being (SWB) yang dikembangkan oleh Craig W. Ellison dan John W. Fisher. Dengan menggunakan metode kualitatif kepustakaan dilakukan perbandingan (komparasi) secara deskriptif antara pendekatan Ellison dan Fisher. Ellison memperkenalan model spritual well-being dengan dua dimensi, yakni religious well-being (RWB) dan existential well-being (EWB). Berdasarkan kedua dimensi itu Ellison kemudian mengembangkan alat ukur Spiritual Well-being Scale (SWBS). Sementara Fisher menampilkan model SWB dengan empat dimensi, yaitu personal, komunal, mondial dan transendental. Berangkat dari empat dimensi ini Fisher mengembangkan juga alat ukur Spiritual Well-being Questionaire (SWBQ). Ellison dan Fisher mendalami spiritual well-being bertolak dari pengalaman mereka mendampingi kehidupan spiritual jemaat yang mereka layani. Ellison memahami spiritual well-being sebagai kesejahteraan rohani yang merupakan perwujudan konkrit dari kesehatan rohani, sedangkan Fisher melihat spiritual well-being sebagai afirmasi hidup manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan. Fisher memiliki dimensi spiritual well-being lebih terperinci dari pada Ellison. Jadi perbedaan konsep dan dimensi spiritual well-being model Ellison dan Fisher berdampak kepada pembentukan alat ukur yang berbeda juga atas kedua model Ellison dan Fisher. Kendati ada perbedaan konsep dan dimensi spiritual well-being model Ellison dan Fisher, namun keduanya diperlukan untuk memperoleh pemahaman lebih mendalam atas model spiritual well-being. This study analyzes more closely the two models of spiritual well-being (SWB) developed by Craig W. Ellison and John W. Fisher. By using qualitative literature method a descriptive comparison was made between the Ellison and Fisher approaches. Ellison introduced the spiritual well-being model with two dimensions, namely religious well-being (RWB) and existential well-being (EWB). Based on these two dimensions Ellison then developed the Spiritual Well-being Scale (SWBS) measurement tool. Meanwhile, Fisher explained SWB model with four dimensions, namely personal, communal, mondial and transcendental. From these four dimensions, Fisher developed the Spiritual Well-being Questionnaire (SWBQ) measurement tool. Ellison and Fisher examined spiritual well-being based on their respective experience accompanying the spiritual lives of the congregations they served. Ellison understood spiritual well-being as a concrete manifestation of spiritual health, while Fisher sees spiritual well-being as an affirmation of human life in relation to oneself, others, the environment and God. Fisher explains spiritual dimension of well-being in more detail than Ellison. Therefore, the different concepts and spiritual well-being dimensions of Ellison and Fisher's models have an impact on the formation of different measurement tools than both Ellison and Fisher's models. Despite the differences in the concepts and dimensions of the spiritual well-being models of Ellison and Fisher, both are needed to gain a deeper understanding of the spiritual well-being model.
GAMBARAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI SEKOLAH DASAR NEGERI DI JAKARTA BARAT Heni Mularsih
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3600

Abstract

Pelaksanaan pendidikan inklusif merupakan bentuk pelayanan pendidikan yang setara antara  anak yang memiliki kebutuhan khusus dengan anak normal yang pelaksanaan pendidikan di sekolah umum. Penekanan dalam penyelenggaraan Pendidikan inklusi yaitu adanya penerimaan  semua siswa, baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus tanpa ada deskriminasi. Namun, dalam perlakuan siswa yang memiliki kebutuhan khusus harus memperoleh pelayanan Pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, dalam praktik di lapangan, penyelenggaraan pendidikan inklusif hendaknya dilaksanakan dengan  baik pada setiap komponen-komponen penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya dipenuhi, yang meliputi peserta didik, pendidik, kurikulum, serta sarana dan prasarana. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah dasar negeri  di Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Partisipan dalam penelitian ini, yaitu guru atau kepala sekolah. Teknik pengumpulan data dengan purposive sampling, dengan kriteria  sekolah dasar negeri yang sudah menyelenggarakan Pendidikan inklusi selama minimal  tiga tahun. Instrumen berupa kuesioner tertutup dan kuesioner terbuka untuk memperoleh jawaban bebas dari partisipan. Materi kuesioner dikembangkan dari komponen-komponen dalam penyelenggraraan pendidikan inklusif melalui validasi isi dari pakar. Teknik analisis data dengan menggunakan analisis statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum Sekolah dasar Negeri Inklusi di Jakarta Barat belum  memenuhi persyaratan penyelenggaraan sekolah inklusi sesuai dengan Undang_Undang tentang Sekolah Inklusi, terutama terkait dengan belum dilakukannya identifikasi siswa ABK, belum tersedianya guru pendamping khusus, serta belum terpenuhinya sarana dan prasarana yang memadai.The implementation of inclusive education is a form of equal educational service between children with special needs and regular children in public schools. Therefore, in practice, the implementation of inclusive education should be carried out properly in every component of the administration of education which includes students, educators, curriculum, facilities and infrastructure. This study aims to find an image of the implementation of inclusive education in public elementary schools in Jakarta. The research used survey method with teachers or principals as participants. Data were collected by purposive sampling, while the instrument used was in the form of both closed and open questionnaires to obtain open-ended answers from participants. Data analysis technique was descriptive statistical analysis. The result shows that in general, the Inclusive Public Primary School in West Jakarta had not yet fulfilled the requirements for the implementation of inclusive schools in accordance with the Constitution on Inclusive Schools, especially related to the identification of special needs students, the unavailability of special assistant teachers, and the lack of adequate facilities and infrastructure. 
REPRESENTASI INTERAKSI MANUSIA DALAM GENRE FOTOGRAFI “STORY” SITUS MEGALITIKUM GUNUNG PADANG Winny Gunarti Widya Wardani; Wulandari Wulandari; Rezha Destiadi; Syahid Syahid
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3451

Abstract

Situs Megalitikum Gunung Padang terletak di Desa Karyamukti, Kabupaten Cianjur. Situs yang berasal dari zaman prasejarah ini memiliki banyak serakan batu berpola dan tersusun dalam lima teras berundak. Situs ini bernilai penting sebagai warisan sejarah dan budaya bangsa Indonesia. Studi ini bertujuan untuk ikut berpastisipasi mengabadikan benda-benda peninggalan prassejarah tersebut dalam karya seni fotografi bergenre “story”. Genre fotografi story adalah genre yang memfokuskan pada visualisasi sisi humanis untuk menghadirkan interaksi manusia dengan lingkungan alam  sekitarnya. Dengan menggunakan metode kombinasi, studi ini menggunakan pendekatan semiotika komunikasi visual yang menekankan pada pembacaan dan pemahaman terhadap tanda-tanda visual di dalam teknik fotografi, khususnya pada unsur fokus dan ruang tajam di dalam teknik pengambilan gambar. Hasil survey secara kuantitatif dalam studi ini menunjukkan masih rendahnya pandangan tentang daya tarik kehidupan manusia di area situs prasejarah yang dapat dijadikan objek fotografi. Sedangkan analisis hasil data secara kualitatif dari karya foto dalam studi ini mampu merepresentasikan adanya interaksi manusia dengan alam dan lingkungannya, sehingga membangun persepsi visual tentang manusia sebagai makhluk sosial budaya. Keberadaan situs prasejarah dalam karya fotografi ini juga menghasilkan visualisasi perilaku menusia yang mencoba merasakan kedekatannya dengan peradaban di masa lalu.  Studi tentang genre fotografi story dalam latar prasejarah ini menunjukkan bahwa karya fotografi dapat membawa pesan budaya. Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam memenuhi tuntutan perkembangan teknologi yang semakin kompetitif di bidang  fotografi maupun desain komunikasi visual. The Gunung Padang Megalithic Site is located in Karyamukti Village, Cianjur Regency. Patterned stones arranged on five terraces have been discovered at the site, dating back to prehistoric times. This site is a valuable historical and cultural heritage of the Indonesian people. This study aims to participate in preserving historical relics through “story” genre photography. Story photography genre focuses on visualizing the humanistic side to present human interaction with surrounding natural environment. Through combination method, this study uses semiotic approach to visual communication that emphasizes reading and understanding of visual signs in photographic techniques, especially on the elements of focus and depth of field in photography techniques. Quantitative survey result in this study shows a shallow understanding of the appeal of human life in prehistoric sites as photographic objects. Meanwhile, the qualitative analysis of the data from the photographs in this study can represent the existence of human interaction with nature and the environment, thus building a visual perception of humans as social and cultural beings. The existence of prehistoric sites in this photographic work also results in visualization of human behavior that attempts to feel its closeness to ancient civilization. The study of the story genre photography in prehistoric setting shows that photography can carry cultural messages. This research can also be used as a reference in meeting the demands of increasingly competitive technological developments in the field of photography and visual communication design.
IMPLEMENTASI CYBER PUBLIC RELATIONS UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG PADA PERSAINGAN ERA DIGITAL Tri Susanto; Wahyu Utamidewi; Reka Prakarsa Nur Muhamad; Satria Ali Syamsuri
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3454

Abstract

Penggunaan teknologi dalam kegiatan public relations sangat dibutuhkan dalam membangun network kepada baik konsumen ataupun relations yang dibutuhkan dalam sebuah institusi/perusahaan, dalam hal ini dikenal dengan istilah cyber Public Relations, yaitu suatu usaha seorang public relations yang menggunakan media internet sebagai sarana publikasinya dalam meningkatkan reputasi baik tingkat nasional maupun internasional. Persaingan yang ketat pada era digital menuntut perguruan tinggi terus bersaing dalam pemenuhan informasi pada khalayak, dalam proses ini Humas Unsika merupakan bagian terpenting dalam kegiatan cyber public relations. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dengan sifat deskriptif. Dengan tujuan penelitian untuk mengetahui dan menganalisis serta mengevaluasi kegiatan cyber public relations yang telah dilakukan oleh Universitas Singaperbangsa Karawang selama ini semenjak beralih status dari swasta menjadi Negeri. Dalam hal ini kegiatan cyber public relations terkait dengan publikasi online berupa press release, kerjasama, jurnal online, siakad, video maupun penyedia informasi pada situs resmi Universitas Singaperbangsa Karawang. Selain itu faktor pendukung lainnya adalah penggunaan media sosial karena kekuatan media sosial dalam menggalang opini di dunia maya mulai diperhitungkan banyak pihak, tidak mengherankan jika suatu merek institusi dapat dicitrakan secara baik tetapi juga dihancurkan melalui penggalangan opini melalui media sosial. Tetapi, kurang maksimalnya aktifitas cyber PR Unsika membuat Institusi ini cukup sulit bersaing di media internet. Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini menjadi tinjauan serta masukan agar humas dapat meningkatkan aktivitas cyber public relations di Universitas Singaperbangsa Karawang dengan baik ke depannya sehingga dapat bersaing dalam tingkat nasional maupun internasional.  The use of technology in public relations is needed for building networks toward consumers or important relations in an institution / company, in this case known as cyber Public Relations, an effort by public relations to utilize internet media as a mean of publicity in improving good reputation both nationally and internationally. Intense competition in the digital era requires universities to compete in sharing information to the public. In this process the Unsika Public Relations is the most important part in cyber public relations. This research was conducted using qualitative research method with descriptive nature. The aim of this research is to find out, analyze, and evaluate cyber public relations activities carried out by the University of Singaperbangsa Karawang so far after having its status changed from a private university to public university. In this case, cyber public relations activities related to online publications are in the form of press releases, cooperation, online journals, news, videos, and information provision on the official site of the University of Singaperbangsa Karawang. Meanwhile, another supporting factor is the use of social media for its capability to rally a certain opinion has begun to be taken into account by many parties. It is not surprising that an institutional brand can either be well-perceived, or ill-perceived through the gathering of opinions on social media. However, the lack of Unsika cyber PR activities hinders this university from competing on the internet media. The researchers hope that this research serves as a review and a suggestion for public relations to increase cyber public relations activities at the University of Singaperbangsa Karawang in the future to allow it to compete on national and international levels.

Page 1 of 4 | Total Record : 34