cover
Contact Name
Sujayadi
Contact Email
sujayadi@fh.unair.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.adhaper@gmail.com
Editorial Address
Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga Gedung A, Lt. 2, Ruang 210 Jl. Dharmawangsa Dalam, Surabaya 60286
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Hukum Acara Perdata
Published by Universitas Airlangga
ISSN : 24429090     EISSN : 25799509     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER (JHAPER) merupakan suatu jurnal open access memuat artikel-artikel yang telah di-review (peer-reviewed journal) dengan fokus kajian pada berbagai permasalahan di seputar hukum acara perdata. Artikel yang dapat dimuat dalam JHAPER adalah artikel hasil penelitian dan/ atau artikel konseptual (hasil pemikiran atau gagasan) di bidang hukum acara perdata. Meskipun memiliki fokus kajian pada hukum acara perdata terutama mengenai mengenai prosedur pemeriksaan perkara perdata di pengadilan (baik peradilan umum atau peradilan agama), hukum pembuktian, putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan; namun JHAPER juga dapat memuat artikel-artikel dengan kajian mengenai proses penegakan hukum perdata materiil di luar pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out of court dispute settlement). Untuk itu JHAPER dapat memuat artikel-artikel mengenai negosiasi dalam rangka penyelesaian sengketa, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian sengketa keperdataan berbasis pada kearifan lokal dan model-model penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 120 Documents
UPAYA KEBERATAN ATAS PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DITINJAU DARI HUKUM ACARA DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Yussy Adelina Mannas
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.5

Abstract

Upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen dan dapat diterapkan secara efektif di masyarakat sangat dibutuhkan, di samping adanya kemudahan dalam proses penyelesaian sengketa konsumen. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang semula diharapkan oleh semua pihak mampu memberikan solusi bagi penyelesaian perkara-perkara yang timbul, ternyata dalam penegakan hukumnya terjadi ketimpangan dan menimbulkan kebingungan bagi pihak yang terlibat dalam proses implementasinya, terutama yang berkaitan dengan prosedur acaranya. Pasal 52 huruf a UUPK menyebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang dari BPSK adalah melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Pasal 45 Ayat (4) UUPK menyatakan bahwa apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Pasal 54 Ayat (3) UUPK menyebutkan bahwa putusan majelis (BPSK) bersifat final dan mengikat. Pasal 56 Ayat (2) UUPK menyatakan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setelah menerima pemberitahuan putusan BPSK. Kendala lain juga terdapat dalam ketentuan permohonan eksekusi putusan BPSK. Hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian dalam hukum. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan solusi sementara untuk memberikan keseragaman pemahaman dalam penerapan hukum acara terhadap UUPK.Kata kunci: upaya keberatan, putusan, penyelesaian sengketa konsumen.
ASAS INTEGRASI DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN VERSUS CITA-CITA KODIFIKASI DAN UNIFIKASI HUKUM ACARA PERDATA Dewa Nyoman Rai Asmara Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 4, No 1 (2018): Januari – Juni 2018
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v4i1.70

Abstract

Civil procedure has important role in enforcing civil rights. Therefore codification and unification of civil procedure may guarantee the legal certainty which necessary and urgent in law enforcement. Philosophically, codification and unification is an idea in the development of national legal system. The regulation of civil procedure until nowadays is distributed into many parts of law and regulation, which mostly inherited from the Dutch Colonial Administration or substantive statutory laws enacted by the Indonesian legislative body and government. Since 1967, the bill of civil procedure had been ratifi  ed in 13th plenary session of National Legal Reform Task Force (BPLPHN), which expected to be the new Indonesian civil procedure. However, until today, the bill is not ratifi  ed yet to be a law by the parliament. There is an idea of codification and unification of civil procedure, on the other side there is integration principle, which adopted in Law of Bankruptcy and Suspension of Payment. The integration principle means that all civil procedural laws should be into one system of civil law. The main issue is that whether integration principle align with the idea of codification and unification. This article will answer the issue as a result of doctrinal research with statutory approach and conceptual approach.
PENYELESAIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA DALAM KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN Devianty Fitri; Yussy A Mannas
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 4, No 1 (2018): Januari – Juni 2018
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v4i1.61

Abstract

Polygamy is allowed only for those who their law and religion allowing a husband to have more than a wife. Such provision has been stated in general elucidation of Marriage Law at point 4c states that “This Law encourages monogamy. Only if requested by concerned parties, under their law and religion of the concerned parties, which allowing a husband to have more than a wife.” The word “law” in general elucidation of Marriage Law at point 4c refers to the marriage law of the husband. The Judge of Religious Court may have competency to consider any reasons and requirements of request for polygamy. The Judge of Religious Court shall try the case and render its judgment in accordance to the prevailing laws, Al Qur’an, Al Hadits, and the opinion of Islamic scholars. The judgment must have clear and suffi  cient consideration, in which the judge may base its verdict. Article 62(1) of Law No. 7 of 1989 concerning Religious Court provides that all ex parte decisions and judgments rendered by the court shall contain sufficient consideration and refer to certain rules of the prevailing laws both written or unwritten regulation.
KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA TERHADAP PELAKSANAAN RENVOOI PROCEDURE DALAM PROSES KEPAILITAN Pupung Faisal
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 1 (2016): Januari – Juni 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v2i1.28

Abstract

Prosedur renvooi merupakan salah satu mekanisme dalam proses kepailitan, namun UU No. 37Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU No. 37/2004) sangat sedikit mengatur mekanisme tersebut. Pengaturan yang kurang jelas mengakibatkan adanya perbedaan penafsiran di antara Hakim mengenai prosedur renvooi, terutama berkaitan dengan pemeriksaan singkat dan proses pembuktian. Praktik juga menunjukkan bahwa pelaksanaan prosedur renvooi telah sesuai dengan asas sederhana, namun masih belum memenuhi asas cepat dan biaya ringan.Kata Kunci: renvooi procedure, kepailitan, pemeriksaan singkat.  
Tuntutan Atas Hak Sangkal Pemberi Kuasa Kepada Penerima Kuasa Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Antara Ancaman dan Pengejawantahan Hak Imunitas Profesi Advokat) Heri Hartanto
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.87

Abstract

Pasal 25 RUU Hukum Acara Perdata mengatur hak sangkal pemberi kuasa atas tindakan penerima kuasa dan berhak untuk menuntut ganti kerugi kepada penerima kuasa. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan apakah bertentangan dengan ketentuan Pasal 16 UU Advokat? Advokat memiliki hak imunitas yang melindunginya dari tuntutan secara pidana maupun perdata dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 26/PPU-XI/2013 juga berpendapat sama, hak imunitas profesi Advokat berlaku pula untuk di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Hubungan kerja antara penerima kuasa (Advokat) dengan pemberi kuasa yang didasari dengan surat kuasa yang pada prinsipnya adalah suatu perjanjian/persetujuan untuk menyelenggaran suatu urusan untuk kepentingan pemberi kuasa. Asas umum dalam sebuah perjanjian harus didasari oleh itikad baik dari kedua belah pihak. Benang merah pada sengkarut pengaturan ini terletak pada itikad baik pemberi kuasa dan penerima kuasa dalam menjalankan perjanjian pemberian kuasa. Asas itikad baik merupakan gagasan yang dipakai untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang mungkin dilakukan oleh salah satu pihak. Asas ini mengajarkan bahwa dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau beritikad baik patut dilindungi dan sebaliknya, pihak yang tidak jujur, patut mendapatkan sanksi akibat ketidakjujurannya tersebut. Penerima kuasa (Advokat) sebagai salah profesi hukum memiliki kode etik dalam melaksanakan tugasnya, oleh karenanya tindakan penerima kuasa yang mengatas namakan penerima kuasa tidak boleh dilandasi oleh itikad buruk. Hak sangkal pemberi kuasa terhadap tindakan penerima kuasa yang beritikad buruk merupakan implementasi terhadap hak imunitas profesi Advokat.
DISPENSASI PENGADILAN: TELAAH PENETAPAN PENGADILAN ATAS PERMOHONAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR Sonny Dewi Judiasih; Susilowati Suparto; Anita Afriana; Deviana Yuanitasari
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.51

Abstract

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( UU Perkawinan) menyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan apabila laki-laki sudah berumur 19 tahun dan perempuan 16 tahun, tetapi dalam hal apabila akan dilakukan perkawinan di bawah usia tersebut, maka hal itu bisa dilakukan dengan memintakan dispensasi kepada pihak yang berwenang yaitu pengadilan atau pejabat lain yang terkait. Dengan adanya ketentuan tersebut menunjukan bahwa UU Perkawinan memperkenankan perkawinan di bawah usia 18 tahun, dan fakta menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda yang tinggi di dunia, yaitu ranking ke-37, sedangkan di tingkat ASEAN tertinggi kedua setelah Kamboja. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang telah dilakukan secara yuridis normatif dan permasalahan yang akan diteliti adalah pelaksanaan dispensasi dan penelaahaan beberapa penetapan dispensasi ditinjau dari hukum acara perdata. Disimpulkan bahwa dispensasi untuk melakukan perkawinan di bawah umur merupakan kompetensi absolut dari Pengadilan Agama untuk orang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk orang non muslim. Mengingat pihak yang akan melangsungkan perkawinan masih di bawah umur, maka permohonan dispensasi diajukan oleh orang tua. Atas dasar pertimbangan hakim maka hakim majelis akan menolak atau mengabulkan permohonan tersebut dalam bentuk penetapan.
PATOLOGI DALAM ARBITRASE INDONESIA: KETENTUAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DALAM PASAL 70 UU No. 30/1999 Sujayadi Sujayadi
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.19

Abstract

Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, meskipun demikian putusan arbitrase masih dapat dimohonkan pembatalan kepada pengadilan. Permohonan pembatalan ini untuk mengakomodir prinsip keadilan dan hanya dimungkinkan apabila putusan arbitrase terbukti memenuhi alasan pembatalan sebagaimana diatur dan dibatasi di dalam undang-undang. UU No. 30/1999 sebagai hukum arbitrase (lex arbitri) Indonesia telah menentukan tiga alasan pembatalan putusan arbitrase secara alternatif di dalam Pasal 70. Akan tetapi ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan karena di dalam bagian Penjelasan Umum alinea ke-18 yang menggunakan frase “antara lain”, telah mengakibatkan banyak pihak menafsirkan bahwa alasan pembatalan putusan tidak terbatas pada tiga alasan yang disebutkan dalam Pasal 70 UU No. 30/1999. Selain itu, Penjelasan Pasal 70 UU No. 30/1999 menyaratkan bahwa permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan terlebih dahulu yang membuktikan adanya pelanggaran sebagai alasan pembatalan. Prinsip universal yang berlaku dalam hukum arbitrase negara-negara modern menunjukkan bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase selalu dibatasi oleh undang-undang. Demikian pula Mahkamah Agung RI dalam putusan-putusannya terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagian besar telah berpendapat bahwa alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat limitatif; dan secara formil permohonan pembatalan putusan arbitrase harus disertai dengan putusan pengadilan yang membuktikan adanya alasan pembatalan tersebut. Namun syarat formil tersebut telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi karena pengaturannya di dalam Penjelasan Pasal 70 UU No. 30/1999 telah melahirkan norma baru yang menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945.Kata kunci: pembatalan, putusan arbitrase
KONSEP PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BERBASIS PEMBERDAYAAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BURUH DALAM MENCARI KEADILAN Kadek Agus Sudiarawan; Nyoman Satyayudha Dananjaya
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 1 (2017): Januari – Juni 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v3i1.42

Abstract

Konsep awal penyelesaian perburuhan dilaksanakan dengan perantara negara, yaitu melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4P/D). Namun upaya ini dianggap tidak efektif menjawab perkembangan perselisihan hubungan industrial yang semakin kompleks. Sehingga dibentuklah Sistem Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah secara cepat, tepat, adil, dan murah. Realitanya PPHI masih menyisakan berbagai permasalahan, diantaranya konsep hukum publik yang menempatkan buruh sebagai kelompok lemah yang harus dilindungi, menjadi hukum privat yang mengasumsikan kedudukan buruh setara dengan pengusaha. Hal ini tentu memperlemah semangat perlindungan hukum atas buruh khususnya dalam mencari keadilan dan memperjuangkan hak-hak mereka. Merosotnya jumlah penyelesaian perselisihan melalui jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dari tahun ke tahun tentu melahirkan pertanyaan besar. Dugaan bahwa mekanisme bipartit dan tripatit mampu menyelesaikan permasalahan hubungan industrial secara efektif masih patut dipertanyakan. Posisi buruh dan pengusaha dalam mekanisme ini sudah tentu tidak seimbang. Secara khusus PHI juga dianggap belum mampu menjawab berbagai permasalahan yang dialami buruh. Masih ditemukan berbagai faktor penghambat dalam sistem PPHI khususnya PHI yang mengakibatkan lembaga ini menjadi kurang efektif . Salah satu solusi kongkret untuk memperkuat sistem PPHI ini ialah dengan melakukan penguatan konsep berbasis pemberdayaan. Penelitian ini secara khusus mengkaji terkait apakah UU PPHI telah representatif bagi pihak buruh dalam mencari keadilan, menemukan permasalahan yang menjadi faktor penghambat bagi buruh dalam mencari keadilan pada sistem PPHI serta membangun konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial berbasis pemberdayaan sebagai solusi dalam merespons permasalahan ini.
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA NASABAH SETELAH DIBERLAKUKANNYA POJK NOMOR 1/POJK.07/2013 DAN POJK NOMOR 1/POJK.07/2014 Nun Harrieti
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.10

Abstract

Fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan telah beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 31 Desember 2013 yang sebelumnya diemban oleh Bank Indonesia (BI). Sampai tahun 2014 ini OJK telah mengeluarkan dua ketentuan penting yaitu mengenai Perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan melalui POJK No. 1/POJK.07/2013, dan mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan melalui POJK No. 1/POJK.07/2014. Menarik untuk diteliti bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa nasabah setelah diberlakukannya ketentuan-ketentuan ini, mengingat dua ketentuan ini baru saja disahkan serta bagaimanakah perbandingannya dengan pengaturan sebelumnya yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia di dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, mengingat sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 70 UndangUndang No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa ketentuan perbankan yang telah dikeluarkan oleh pemegang otoritas sebelumnya yaitu bank Indonesia masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti oleh peraturan yang baru yang dikeluarkan oleh OJK. Mekanisme penyelesaian sengketa nasabah berdasarkan POJK No. 1/POJK.07/2013 dan POJK No. 1/POJK.07/2014 dilakukan bila proses pengaduan nasabah tidak mencapai kata sepakat dan dapat dilakukan dengan melalui pengadilan maupun diluar pengadilan baik melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun melalui fasilitasi pengaduan nasabah oleh OJK. Perbandingan mekanisme penyelesaian nasabah antara sebelum dan sesudah disahkannya POJK No. 1/POJK.07/2013 dan POJK No. 1/POJK.07/2014 adalah dengan mencari persamaan dan perbedaan dari peraturan sebelumnya sebagaimana diatur di dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 jo. PBI No. 10/1/PBI/2008 dan SEBI No. 8/14/DPNP/2006. Kata kunci: Otoritas Jasa Keuangan, penyelesaian sengketa, nasabah
Dualisme Kompetensi Permohonan Pengangkatan Anak Bagi yang Beragama Islam Antonius Sidik Maryono
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 4, No 2 (2018): Juli – Desember 2018
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v4i2.78

Abstract

The child adoption application for Moslem applicants and Moslem adopted children prospective are authorized by the State Court and the Religion Court in practice, thus this matter causes the competency dualism in accepting, examining, and assigning that child adoption application. In the Mojokerto State Court Decision No.04/Pdt P/2012//PN Mkt, the Purwokerto Religion Court Decision No.130/Pdt P/2014/PA Pwt, the Purwokerto State Court Decision No./Pdt P/2015/PN Pwt. And the Wantanpone Religion Court Decision No.0078/Pdt P/2011/PA Wtp., those fourth courts state that they are authorized to accept, examine and assign the adoption of children. According to the research, by yuridis normative approach result of the child adoption application proposed by Moslem applicants, both in the Religion Court and through the State Court has the authority to accept, examine, grant, and assign the child adoption application, yet with different legal consideration. In the State Court Decision, the judicial legal consideration refers to the common legislation law such as the Child Protection Laws, the Population Administrations Law, the Government Ordinance, and the Supreme Court Circular, however, the Religious Court is based on the Islamic Law compilation. The legal consequences caused by child adoption decision carried out in the state Court, the adopted children have inheritance rights from the adoptive parents, while in the Religious Courts, the adored children do not server ties with the biological parents. Therefore the adopted children do not inherit property from the adoptive parents.

Page 3 of 12 | Total Record : 120