cover
Contact Name
Susanto Dwiraharjo
Contact Email
jurnalgraciadeo@gmail.com
Phone
+6282310002924
Journal Mail Official
jurnalgraciadeo@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta barat,
Dki jakarta
INDONESIA
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO
ISSN : 26556871     EISSN : 26556863     DOI : 10.46929
Jurnal Teologi Gracia Deo merupakan wadah publikasi hasil penelitian teologi yang berkaitan dengan bidang ilmu teologi dan Pendidikan Kristiani, dengan nomor ISSN: 2655-6863 (online), ISSN: 2655-6871(print), diterbitkan dan dikelola oleh Sekolah Tinggi Teologi Baptis Jakarta. Focus dan Scope dalam Jurnal ini adalah: Teologi Biblikal Teologi Sistematika Teologi Pastoral Misiologi Kepemimpinan Kristen Pendidikan Kristiani
Articles 16 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 2: Januari 2022" : 16 Documents clear
Membangun Silaturahim di tengah Pluralistas Keagamaan di Indonesia: Sebuah Kajian Sosio-Teologis Misray Tunliu
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46929/graciadeo.v4i2.118

Abstract

The most basic and most important component in the relation of religious pluralism is the creation of a sustainable relationship of friendship and dialogue, which is built by every believer by opening himself to pluralism without having to sacrifice substantive things in building the common good, in accordance with the values shared by the community. It is believed in the Holy Scriptures that each believer also believes in the national and state order which is regulated and bound by the UUD 1945, Pancasila, and within the framework of diversity, without sacrificing others in the name of any religion. Religion must be an answer that educates, inspires others to be closer to the Creator. Religion must be an agent of change that changes people who are not virtuous, have no morals into people who are virtuous and have a noble character in accordance with the nature of Allah, the ruler of life.  AbstrakKomponen paling mendasar dan terpenting dalam relasi pluralisme keagamaan adalah terciptanya hubungan silaturahim dan dialog yang berkelanjutan, yang dibangun oleh setiap umat berkeyakinan dengan membuka diri terhadap pluralisme tanpa harus mengorbankan hal-hal yang sifatnya substantif dalam membangun kemaslahatan secara bersama, sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini dalam Kitab Suci masing-masing umat berkeyakinan juga dalam tatanan berbangsa dan negara yang diatur dan diikat dalam UUD 1945, Pancasila dan dalam bingkai kebhinekaan, tanpa mengorbankan yang lain atas nama agama apapun. Agama harus menjadi jawaban yang mengedukasi, menginspirasi sesama untuk lebih dekat kepada Sang Khalik. Agama harus menjadi agen perubahan yang mengubah insan yang tidak berbudi pekerti, tidak berakhlak menjadi insan yang berbudi pekerti dan berakhlak mulia sesuai dengan natur Allah Sang penguasa kehidupan. 
Menggereja yang Ramah dalam Ruang Virtual: Aktualisasi Iman Kristen Merawat Keragaman Yonatan Alex Arifianto; Carolina Etnasari Anjaya
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46929/graciadeo.v4i2.90

Abstract

In living in a virtual space, believers are required to be able to influence the values and patterns that are formed in accordance with the values of the Christian faith. The research aims to convey the principles or models of friendly church life and practical ways of carrying them out in virtual space life within the framework of religious moderation. The research method is a descriptive qualitative approach through literature study. The research concludes that a friendly church becomes a necessity for believers as a fulfillment of God's command to bring shalom and leave this world with elements of Christian faith values. The principle of a friendly church is the awareness to love God through acts of love for others and the synergy of believers in one unit, faith, and purpose in life. The praxis of a friendly church can be actualized with virtual social services in the context of contemporary issues. Believers are required to be present as a solution to various social problems. This will reduce the turbulence of the virtual space with a tendency to wickedness. This praxis can run optimally if it is supported by the synergy of believers in collaboration with various crosses: denominations, communities, professions, competencies, and generations. AbstrakDalam kehidupan di ruang virtual umat percaya dituntut untuk dapat memberikan pengaruh atas nilai-nilai dan pola yang terbentuk sesuai dengan nilai-nilai iman Kristen. Penelitian bertujuan menyampaikan prinsip atau model hidup menggereja yang ramah dan cara praksis menjalankannya dalam kehidupan ruang virtual  dalam bingkai moderasi beragama Metode riset adalah pendekatan jenis kualitatif deskriptif melalui studi pustaka. Riset memberikan simpulan  bahwa menggereja yang ramah menjadi suatu kebutuhan bagi umat percaya sebagai pemenuhan perintah Tuhan untuk membawa shalom dan mengkhamirkan dunia ini dengan unsur nilai iman Kristen. Prinsip menggereja yang ramah adalah kesadaran untuk mengasihi Tuhan melalui tindakan kasih kepada sesama dan sinergitas umat percaya dalam satu kesatuan wadah, iman dan tujuan hidup. Praksis menggereja yang ramah dapat diaktualisasikan dengan pelayanan sosial virtual dalam lingkup isu-isu kontemporer. Umat percaya dituntut untuk hadir sebagai solusi bagi pelbagai persoalan sosial. Hal ini akan meredam gejolak ruang virtual yang bertendensi pada kefasikan. Praksis tersebut dapat berjalan optimal jika didukung oleh sinergitas umat percaya dengan kolaborasi pelbagai lintas: denominasi, komunitas, profesi, kompetensi, dan generasi.
Kebahagiaan dan Penderitaan dalam Hidup Menggereja di Era Disrupsi: Analisis Surat Filipi Murni Hermawaty Sitanggang
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46929/graciadeo.v4i2.89

Abstract

Happiness and suffering are two popular topics that are often considered contradictory and discussed separately. As a result, there is an unbalanced understanding of the two so that not a few believers are then influenced by the wrong understanding of successful theology, the concept of the law of karma or retribution, and the philosophy of Stoicism. The author argues that suffering and happiness need to be discussed together so that a correct reflection on suffering should also include happiness and vice versa. That's why this paper aims to build a more complete thought by examining the letter Philippians, which is known as the letter of joy even though it was written in prison (which is synonymous with suffering). The method used is qualitative with a descriptive approach based on a study of the Philippians letter. The conclusion of the discussion is that because the letter of Philippians states that suffering and happiness are representations of God's grace, then we as believers should not hesitate to pursue happiness even in times of suffering.  AbstrakKebahagiaan dan penderitaan adalah dua topik populer yang seringkali dianggap saling berlawanan dan dibahas terpisah. Akibatnya muncul pemahaman yang kurang berimbang tentang keduanya sehingga tidak sedikit orang percaya yang kemudian terpengaruh dengan pemahaman yang keliru dari teologi sukses, konsep hukum karma atau retribusi, dan filsafat Stoisisme. Penulis berpendapat penderitaan dan kebahagiaan perlu dibahas bersama sehingga refleksi yang benar tentang penderitaan seharusnya memuat juga kebahagiaan, dan demikian pula sebaliknya. Itu sebabnya tulisan ini bertujuan membangun pemikiran yang lebih lengkap dengan menelaah surat Filipi, yang dikenal sebagai surat sukacita meski ditulis di dalam penjara (yang identik dengan penderitaan). Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif berdasarkan kajian terhadap surat Filipi. Kesimpulan pembahasan adalah karena surat Filipi menyatakan penderitaan dan kebahagiaan adalah representasi kasih karunia Allah, maka kita sebagai orang percaya tidak perlu ragu mengejar kebahagiaan bahkan di saat menderita.  
Peran Strategis Kepemimpinan Pastoral di Masa Transisi: Kajian Eksegesis Titus 2:15 Bakhoh Jatmiko; Natalia Mega Saputri
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46929/graciadeo.v4i2.98

Abstract

The existence of a leader in an institution or organization is not lasting. Every institution and organization, including the church as a ministry institution, will enter a transition period at a certain stage either naturally or due to special factors. Leadership succession is a momentum that is both promising and risky. The successor's gait and role will determine the progress or decline of an institution. The textual analysis on Titus 2:15 was carried out to find the key roles that the leader must have in the momentum of the transition in a ministry. This study deploys qualitative descriptive research with an exegetical approach to observe the selected text. The author also uses various literature studies to support the discussion. In this case, the key strategic roles of leaders in transition are leaders as teachers, leaders as counselors, and leaders as influencers. AbstrakKeberadaan seorang pemimpin dalam sebuah lembaga maupun organisasi merupakan hal yang tidak langgeng. Setiap lembaga dan organisasi, termasuk gereja sebagai lembaga pelayanan akan memasuki periode transisi pada suatu tahap tertentu baik secara alami maupun karena faktor khusus. Suksesi kepemimpinan menjadi momentum menjanjikan sekaligus beresiko. Kiprah dan peran suksesor akan menentukan maju atau mundurnya sebuah lembaga.  Analisis terhadap teks Titus 2:15 dilakukan untuk menemukan peran-peran kunci yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam momentum transisi terjadi dalam sebuah pelayanan. Kajian ini merupakan riset deskriptif kualitatif dengan pendekatan eksegetikal terhadap teks yang diamati. Berbagai literatur digunakan untuk mendukung pembahasan di dalam kajian ini.  Pembahasan menemukan beberapa peran strategis kunci pemimpin di masa transisi, yaitu: pemimpin sebagai pengajar, pemimpin sebagai konselor, dan pemimpin sebagai pembawa pengaruh. 
Kedudukan Bapa Rohani dalam Penggembalaan Generasi Digital menurut 1 Korintus 4:14-21 Joni Manumpak Parulian Gultom; Selvyen Sophia
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46929/graciadeo.v4i2.92

Abstract

Special attention was paid to the church as a New Testament divine institution with a pastor's role as a spiritual father who was the key in shepherding the digital generation to find an entire Christian life. It did not happen because of discontinuity in functions such as motivational factors, world pressures, and the wrong mentality of the shepherd. They should be maximized the part of the shepherd as a spiritual father in the digital era. The question was, what is the role and function of the spiritual father according to Paul in 1 Corinthians 4:14-21? And what is the strategy for developing the quality of spiritual fathers in existing pastoral leadership? The purpose of this study is [1] to explain the role and function of spiritual fathers as spiritual fathers referred to by Paul in 1 Corinthians 4:14-21, [2] to define strategies in developing the quality of spiritual fathers in maximum shepherding. This study concludes that the role and function of spiritual fathers in the digital era is [1] Disciplining and teaching the digital generation as loved children (v14). [2] Gospel-centered ministry is a key in character building (v15). [3] The spiritual father has the maximum life in exemplary (v16). [4] Creating and preparing new leaders from the digital generation to the future (v17).
Menggereja dalam Ruang Pluralitas Sosial Simanjuntak, Roy Martin
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46929/graciadeo.v4i2.116

Abstract

Hidup menggereja adalah sebuah aktualisasi iman dalam masyarakat, yang mampu meghadirkan Allah di tengah dunia. Gereja seringkali melupakan perannya di tengah masyarakat karena terfokus kepada masalah-masalah spiritualitas secara interen. Panggilan hidup menggereja dalam bingkai relasi sosial sebenarnya sebuah upaya gereja dalam menciptakan dan membangun dimensi-dimensi sosial di dalam masyarakat dengan tujuan supaya gereja berpartisifasi dalam membangun persatuan, keharmonisan dalam bermasyarakat dan bernegara.  Dalam penelitian ini ditemukan beberapa hal yang harus dipahami oleh orang percaya di dalam hidup menggereja; pertama hidup menggereja dalam bingkai relasi sosial memiliki dasar teologis. Kedua, hidup menggereja di tengah bangsa Indonesia harus memahami keragaman dalam beragama, kekayaan budaya serta memahami adanya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Metode yang dipakai dalam penelitian ini studi pustaka dengan pendekatan kualitatif deskriptif.
Allah di Dunia Digital: Dampak Perubahan Pola Komunikasi terhadap Perspektif orang Kristen tentang Allah Chandra, Robby Igusti; Dwiraharjo, Susanto
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46929/graciadeo.v4i2.117

Abstract

Past studies especially done by Walter Ong have shown that the changes in technology and culture could trigger the emergence of new patterns of communication and relationship that influence human self-understanding, the meaning of life, and the image of God that they believe. This article explores whether the rapid development of digital technology and culture in Indonesia can change the modern Christians’ image of God. By using literature research, it is found that the Indonesian Christians who are already immersed in the digital culture that emphasizes experiential reality, non-stop flexible relationships, and subjective nonphysical presence might prefer the Holy Spirit as God-image in their mind. They even wish for an experiential relationship with the Holy Spirit who relates to human beings in a nonphysical and flexible manner. This study gives hints for Indonesian churches to recognize some challenges in the theological and practical spheres that they have to face.  AbstrakStudi masa lalu misalnya dari Walter Ong telah menunjukkan bahwa, perubahan teknologi dan budaya memicu hadirnya pola komunikasi dan relasi yang berbeda sehingga mengubah pemahaman manusia mengenai dirinya, makna hidup, bahkan gambaran mereka mengenai Allah yang dipercayanya. Artikel ini meneliti apakah perubahan yang disebabkan oleh hadirnya teknologi dan budaya digital yang sangat cepat di Indonesia akan mengubah pandangan orang Kristen mengenai Allah. Dengan metode penelitian kepustakaan didapatkan temuan bahwa, orang-orang Kristen yang sudah terbiasa hidup dalam budaya digital yang menekankan realitas subjektif yang eksperinsial, relasi terus menerus, kehadiran non ragawi akan lebih mudah menghayati hubungan dengan Roh Kudus yang berelasi dengan manusia secara cair. Studi ini memberikan isyarat bagi gereja di Indonesia tenta tantangan-tantang yang perlu di jawab baik di ranah teologis maupun praktis. 
Hidup Menggereja dalam Bingkai Relasi Sosial Roy Damanik; Go Heeng
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This paper aims to find out the role of the church in the reality of multiple social relations frames. The church is in the midst of a world that cannot be separated from its social environment. The church is in the spirit of pluralism that promotes religious tolerance, which agrees that in all religions there is salvation. This spirit affects the church, some are open and some are closed to the spirit of pluralism. The author wants to convey that the church was sent to manifest God's love in society. The task of calling and sending the church into the world provides space for churches to participate and take responsibility for social life. This study aims to find out the function and way of life of the church within the framework of social relations in Indonesia which is pluralistic. In this study, the author applies a qualitative method oriented to the study of literature or literature. The author concludes that the church as a divine organism must be able to be an example and still glorify God in the context of social relations with the spirit of plurality. The role of the church is to be able to church within the framework of social relations, namely living in the principle of hospitality, being the perpetrator of harmony, and interpreting the role of religion in the reality of pluralism.  AbstrakTulisan ini bertujuan untuk menemukan peran gereja dalam realitas bingkai relasi sosial yang majemuk. Gereja ada di tengah-tengah dunia yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosialnya. Gereja berada dalam semangat pluralisme yang mengedepankan toleransi beragama, yang menyetujui bahwa dalam semua agama ada keselamatan. Semangat tersebut mempengaruhi gereja, ada yang membuka diri dan ada yang menutup diri terhadap semangat pluralisme tersebut. Penulis hendak menyampaikan bahwa gereja diutus untuk mewujudkan kasih Allah di dalam masyarakat. Tugas panggilan dan pengutusan gereja ke dalam dunia memberikan ruang bagi gereja-gereja untuk berpartisipasi dan turut bertanggung jawab atas kehidupan bermasyarakat. Kajian tulisan ini bertujuan untuk menemukan peran dan cara hidup menggereja dalam bingkai relasi sosial di Indonesia yang pluralitas. Dalam penelitian ini, penulis menerapkan metode kualitatif yang berorientasi pada studi literatur atau kepustakaan. Penulis memberi kesimpulan bahwa gereja sebagai organisme Ilahi harus mampu menjadi teladan dan tetap mempermuliakan Allah dalam konteks relasi sosial dengan semangat pluralistasnya. Peran gereja untuk dapat menggereja dalam bingkai relasi sosial, yakni hidup dalam prinsip hospitalitas, menjadi pelaku kerukunan dan memaknai peran agama dalam realitas kemajemukan.  
Merengkuh Spiritualitas Persahabatan Ekumenis: Sebuah Refleksi Paradigma Misi Gereja Posmodern Fredy Simanjuntak; Jammes Juneidy Takaliuang; Budin Nurung
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46929/graciadeo.v4i2.101

Abstract

The narrative about God's Mission always manifests in the space of friendship with the world even after the fall until today's Postmodern era. In today's world, the world is largely globalized and urbanized. The church no longer lives in a closed community with limited interaction. Cultural Networks are interconnected into a system. Yet most churches still grapple with theologically and dogmatically fragmented paradigms. The church needs a friendly spiritual restoration as the body of Christ to meet God's mission with ecumenical energy. This study aims to adapt the relevant mission paradigm through the spirituality of ecumenical friendship in postmodern reality. This study uses a descriptive method with critical and socio-theological discourse analysis. It is hoped that through this research the Church can make more serious observations and position itself as an integralist to become a bridge of friendship in carrying out God's mission in a relevant way. AbstrakNarasi mengenai Misi Allah senantiasa mewujud dalam ruang persahabatan dengan dunia sekalipun pasca kejatuhan hingga di masa Postmodern sekarang ini. Di masa kini dunia sebagian besar terglobalisasi dan terurbanisasi. Gereja tidak lagi hidup dalam komunitas tertutup dengan interaksi terbatas. Jaringan Budaya saling berhubungan ke dalam suatu system. Namun sebagian besar gereja-gereja masih bergulat dalam paradigma yang terfragmentasi secara teologis dan dogmatis. Gereja memerlukan restorasi spiritual yang bersahabat sebagai tubuh Kristus untuk menyongsong misi Allah dengan energi ekumenis. Penelitian ini bertujuan untuk mengadaptasikan paradigma misi yang relevan melalui spiritualitas persahabatan ekumenis dalam realitas postmodern.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan analisis wacana kritis dan sosio-teologis. Diharapkan melalui penelitian ini Gereja dapat melakukan pengamatan yang lebih serius serta menempatkan dirinya sebagai integralis untuk menjadi jembatan persahabatan dalam mengemban misi Allah secara relevan.
Mengaktualisasikan Sila Ketiga Pancasila dalam Perspektif Iman Kristen: Refleksi Teologis tentang Kerukunan Hestyn Natal Istinatun; Andreas Fernando; Carolina Etnasari Anjaya
JURNAL TEOLOGI GRACIA DEO Vol 4, No 2: Januari 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46929/graciadeo.v4i2.121

Abstract

The actualization of the third principle of Pancasila in the plurality of Indonesian society is a necessity, in the midst of the threat of national disintegration. In a pluralistic society, harmony is needed as the foundation for the implementation of a peaceful life. The Bible teaches that harmony is a calling in life that every believer must live. The purpose of this study is to open an understanding of what and how the task of believers is in building harmony, and how to actualize the third precepts of Pancasila in social life in accordance with Bible teachings. This study uses a descriptive qualitative method with a literature study approach. The author explores the theme of harmony and the actualization of the third principle of Pancasila from various literature, both journal articles, books, and other literature. There were also excavations of various biblical texts that describe how Christians should live to fulfill God's call to create and maintain harmony. The results of this study conclude that the actualization of the third precept can be done by building harmony through the spirit of nationalism and patriotism in accordance with Bible teachings.  AbstrakAktualisasi sila ketiga Pancasila dalam kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan suatu keniscayaan, di tengah ancaman disintegrasi bangsa. Dalam masyarakat majemuk dibutuh-kan kerukunan sebagai fondasi demi terselenggaranya kehidupan yang damai sejahtera. Alkitab mengajarkan bahwa kerukunan adalah panggilan hidup yang harus dijalankan oleh setiap orang percaya. Tujuan dari penelitian ini adalah membuka pemahaman mengenai apa dan bagaimana tugas orang percaya dalam membangun kerukunan, dan bagaimana cara mengaktualisasikan sila ketiga Pancasila dalam hidup bermasyarakat yang sesuai dengan ajaran Alkitab. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi pustaka. Penulis menggali tema tentang kerukunan dan aktualisasi sila ketiga Pancasila dari berbagai literatur baik artikel jurnal, buku, maupun literatur lain. Dilakukan pula penggalian berbagai teks Alkitab yang menggambarkan bagaimana orang Kristen harus hidup memenuhi panggilan Tuhan dalam mewujudkan dan menjaga kerukunan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa aktualisasi sila ketiga dapat dilakukan dengan membangun kerukunan melalui spirit nasionalisme dan sikap patriotisme yang sesuai dengan ajaran Alkitab.

Page 1 of 2 | Total Record : 16