cover
Contact Name
Fahmi Ramadhan Firdaus
Contact Email
puskapsi@unej.ac.id
Phone
+6285785847476
Journal Mail Official
puskapsi@unej.ac.id
Editorial Address
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/PUSKAPSI/about/editorialTeam
Location
Kab. jember,
Jawa timur
INDONESIA
PUSKAPSI Law Review
Published by Universitas Jember
ISSN : -     EISSN : 27981053     DOI : https://doi.org/10.19184/puskapsi
Core Subject : Social,
PUSKAPSI Law Review adalah jurnal peer-review yang diterbitkan oleh Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum, Universitas Jember, Indonesia. Publikasi dalam jurnal ini berfokus pada kajian Pancasila, Konstitusi, hukum dan ketatanegaraan dengan pendekatan doktrinal, empiris, sosio-hukum, dan komparatif. Jurnal ini menyambut baik semua pengajuan tentang wacana terkini tentang hukum dan konstitusi dari berbagai perspektif dalam yurisdiksi tertentu atau dengan analisis komparatif. Pengiriman naskah harus antara 5.000-8.000 kata, meskipun makalah yang lebih pendek yang berkaitan dengan analisis dan debat kebijakan akan dipertimbangkan. Proses peer-review dan keputusan publikasi biasanya akan diselesaikan dalam waktu 60 hari sejak diterimanya pengajuan. Silakan lihat Instruksi untuk Penulis kami untuk informasi tentang pengiriman naskah. Jika Anda memerlukan informasi atau bantuan lebih lanjut, silakan kunjungi Pusat Dukungan kami.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 20 Documents
Implementation of Pancasila Values in Civil Society Participation Against Covid-19 Bimo Aryo Nugroho; Margaretha Hanita
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2075.002 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i1.23596

Abstract

Covid-19 pandemic significantly affects the community’s social life. It does not only result in a health crisis but also an economic crisis. This condition requires a collaboration between the governments and the community as national integration. Recent political situation exhibits a decrease in the tense relationship between the state and the civil society. A transformation is necessary to compromise. Accordingly, the state and civil society should cooperate, help each other, and control each other. Pancasila, as an open ideology, should be implemented as a national life guideline to obtain the state goals amid this pandemic.
Civil Society Against Anti-Pancasila Movements Among Millenial Generation During The Covid-19 Pandemic Yohana Maris Budianti
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2659.252 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i1.23597

Abstract

One of the interesting discourses of the decade concerns the discourse against the anti-Pancasila movement. Although the Indonesian government has issued several programs to internalize Pancasila values among the youth generations, citizens are also responsible for protecting the state’s ideology. Accordingly, civil society, as an organized citizen, should catalyze anti-Pancasila movements. Covid-19 pandemic does not only threaten the health sector, but also threatens social activities. Regarding the latter, civil society activists are demanded to adjust to conditions to optimize their function as one of the social infrastructures of a community. Applying, descriptive qualitative approach, the present study aims to see the civil society movements against anti-Pancasila movements during the covid-19 pandemic. The study revealed that civil society is still consistent with its organization despite the dynamics of the implementation.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Aplikasi Anggaran 20% Penyelenggaraan Pendidikan Nasional Rini Wulandari
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3301.58 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i1.23648

Abstract

Amandemen atau Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah melahirkan lembaga Mahkamah Konstitusi yang bertugas sebagai pelindung atas pelaksanaan amanat konstitusi dan menjamin terlaksananya hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat sehingga seharusnya dapat berlaku juga secara konsisten terhadap permasalahan yang sama. Sementara itu, jika Mahkamah Konstitusi adalah sebagai the guardian of contitution, di sisi lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebuah konstitusi negara Indonesia yang harus dijaga dan dijamin pelaksanaannya oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam upaya menunjang pendidikan yang bermutu, pemerintah mengalokasikan anggaran minimal pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Daerah sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Namun sayangnya anggaran pendidikan sebesar 20% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya formalitas. Sementara itu, sejak tahun 2005 Mahkamah Konstitusi pernah memutus beberapa pengujian terkait anggaran minimal pendidikan. Diantaranya Mahkamah Konstitusi membatalkan dan menjadikan ketentuan ‘bertahap’ menjadi tidak berlaku. Tetapi diwaktu yang sama, Mahkamah Konstitusi juga memutus tidak dapat menerima (niet ontvankelijk verklaard) pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 yang belum menerapkan anggaran pendidikan minimal 20% pada APBN 2005. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif didapati bahwa pertimbangan dan putusan Mahkamah Konstitusi turut mempengaruhi upaya mewujudkan anggaran minimal 20% bagi pendidikan. Hingga saat ini menurut Neraca Pendidikan Daerah yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), masih banyak Kota dan Kabupaten yang mengalokasikan kurang dari 10 persen APBD untuk pendidikan. Third Amendment of the Constitution 1945 of the Republic of Indonesia has established a Constitutional Court which asks for protection of the implementation of the mandate of the constitution and guarantees the implementation of constitutional rights for every Indonesian citizen. His verdict against the end and binding can finally be applied also against the end of the same. Meanwhile, if the Constitutional Court is the guardian of the constitution, on the other hand the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is the constitution of the Indonesian state which must be safeguarded and approved by the Constitutional Court. To support education, the government allocates a minimum education budget 20% of the State and regional Budget. However, the education budget of 20% of the State Revenue and Expenditure Budget (APBN) and the Regional Revenue and Expenditure Budget (APBD) are only formalities. Meanwhile, since 2005 the Constitutional Court has decided on several trials related to the minimum education budget. Among them, the Constitutional Court canceled and made the 'gradual' provision invalid. But at the same time, the Constitutional Court also decided that it could not accept (niet ontvankelijk verklaard) the review of Law Number 26 of 2004 which had not implemented a minimum education budget of 20% in the 2005 State Budget. By using the normative legal research method, found that the considerations and decisions of the Constitutional Court also influence efforts to realize a minimum budget of 20% for education. Until now, there are still many Cities and Regencies that allocate less than 10 percent of the APBD for education.
Penetapan Daftar Pemilih Oleh Komisi Pemilihan Umum Sebagai Wujud Penguatan Sistem Demokrasi Achmad Zairudin
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4046.49 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i1.23693

Abstract

Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) secara umum diatur dalam pasal 22E UUD 1945. Pemilu menjadi tolak ukur terhadap demokratisasi yang bermartabat dan sebagai salah satu sarana penyalur hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Hak memilih sebagai hak asasi manusia merupakan bagian penting dari prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin dalam prinsip demokrasi dan menjadi landasan utama dalam bernegara yang dituangkan dalam konstitusi. Tujuan utama peletakan kedaulatan rakyat adalah penghargaan dan penilaian terhadap hak rakyat untuk memilih dan menentukan arah kehidupan bernegara dengan tujuan menjamin kesejahteraan bersama. Penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dilaksanakan olek Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan bagian dari serangkaian sistem pemilu yan memiliki posisi penting dalam pelaksaan Pemilu. Dimana kewenangan KPU diatas dipertegas dalam Undang-Undang Pemilu UU N0 7 Tahun 2017.
Musyawarah dan Mufakat Sebagai Solusi Pemanfaatan Tanah Fasilitas Umum Masyarakat Andika Putra Eskanugraha
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (602.35 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i1.23838

Abstract

Utilization of land for public facilities is the ideals of the constitution as stated that "to be used for the greatest prosperity of the people" and "land to function socially" based on Law No. 5/1960 concerning Basic Agrarian Regulations. The use of land for the public facilities does not give priority rights to a party or individual. Collective use within the community must be addressed wisely and proportionally in its use. A public road that is regarded as a public facility, no one can claim to be entitled to a road because it borders or is close to the land or occupancy. With the closed access to the use and benefitting of roads as the public facilities, it is difficult to determine the violation of the law committed. There is a Provincial Regulation which regulates the prohibition of parking on the roads, but this prohibition is not well-regulated in other regions with its legal products. Disregarding in the community to the road users as public facilities, can become a social problem and must be resolved with a consensus reflecting the Pancasila as the life point of view. Deliberation and consensus is a solution to solving problems by involving Village Traditional Institutions or similar names based on regionalism. Deliberation and consensus as a solution to the use of land for public facilities, can produce decisions in village deliberations. The Village Customary Institution as a partner to the Village Government can propose the joint use of community public facilities to be regulated in a Village Regulation. Normative legal research is the method used in this study. There is no violation of legal rules in the unwise use of public facilities, making this community problem must be resolved by the community itself by prioritizing the value of the Pancasila and after that it can be elaborated in the simplest rules in the Village Regulation.
Law Riview Keindependensian Komnas HAM (the fourth branch of the government); Perspektif Pancasila, Konstitusi, dan Budaya Elkristi Ferdinan Manuel
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5105.347 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i2.27036

Abstract

Abstract The birth of the National Commission of Human Rights (Komnas HAM) through the Presidential Decree caused pessimism in the community regarding its dependence. In addition, Komnas HAM was also formed at the international insistence to immediately establish a Commission at the national level. This has resulted in a very strong government influence. As the fourth branch of the government, the commission has a central role in the protection and promotion of human rights in Indonesia. The independence of this institution can be seen from the history of Indonesia which has its own characteristics without compromise with the invaders. This can be an example for Komnas HAM in acting and acting where currently, there is a phenomenon where institutions in Indonesia can no longer be said to be independent. In this study, the authors tried to present a different perspective, namely Pancasila, Constituent and Culture, to be able to provide solutions to human rights problems in Indonesia, as well as the attitude and role of Komnas HAM in its independence. To be able to provide solutions to the problem, researchers use legal research that is normative.
MEKANISME HARMONISASI PERATURAN DAERAH PASCA HILANGNYA KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PEMERINTAH PUSAT Muhammad Iqbal
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4878.327 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i2.27798

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk membahas secara yuridis normatif mekanisme harmonisasi daerah pasca hilangnya kewenangan executive review pemerintah pusat. Dimana isu tersebut muncul pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 bahwa Hakim Konstitusi telah menyatakan mengabulkan permohonan pemohon. Putusan tersebut telah banyak menimbulkan pro dan kontra yakni mengenai terbatasnya kewenangan eksekutif untuk melakukan pencabutan atau pembatalan pada Peraturan Daerah. Hal ini berakibat pada tujuan dari Mahkamah Agung itu sendiri yang seharusnya dapat mengadili semua perkara yang terjadi di Indonesia saat ini menjadi tidak efektif. Terdapat juga potensi-potensi yang mengkhawatirkan, yaitu dimana program deregulasi untuk investasi dari pemerintah secara terpadu (pusat dan daerah) akan terhambat, karena masih banyak Peraturan Daerah yang bertentangan dengan undang-undang. Dengan demikian, dapat disimpulkan pasca Putusan MK tersebut justru tidak memberikan dampak peubahan yang besar malah semakin menunjukan tidak efektif harmonisasi Perda yang ada di Indonesia
Urgensi Penerapan Constitutional Complaint di Indonesia: Suatu Kajian Hak Asasi Manusia Andri Setiawan
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3473.093 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i2.27819

Abstract

Pengadopsian hak asasi manusia dalam UUD NRI 1945 pada dasarnya merupakan upaya negara dalam memberikan status hak warga negara secara konstitusional. Namun, pelaksanaan jaminan terhadap hak asasi manusia belum sejalan dengan cita-cita negara yang termaktub dalam UUD NRI 1945 sebagai wujud konkrit perlindungan terhadap warga negara. Hal ini ditandai dengan tidak adanya jalan hukum yang dapat ditempuh oleh pencari keadilan lewat constitutional complaint, dimana negara hanya menyediakan melalui jalan judicial review. Padahal, pada faktanya banyak tindakan penyelenggara negara yang melanggar dan merugikan hak konstitusional warga negara, tetapi hingga saat ini aturan terkait penjaminan dan perlindungannya hanya menjadi sebuah resolusi belaka karena belum ada produk hukum yang mengaturnya. Maka, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara jaminan hak asasi manusia yang dan UUD NRI 1945 untuk memperkuat konstitusionalisme. Selanjutnya, praktik constitutional complaint yang diterapkan di beberapa negara juga dapat digunakan sebagai titik penilaian terhadap tingkat relevansinya di negara Indonesia. Tulisan ini mendeskripsikan melalui sudut pandang historis, komparatif, dan rekonstruksi untuk menemukan format ideal penerapan constitutional complaint di Indonsia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak asasi manusia dan UUD NRI 1945 mempunyai hubungan kausalitas dan beberapa mekanisme praktik constitutional complaint di negara lain memiliki relevansi dengan Indonesia yang dapat diadopsi sebagai bahan masukan untuk menerapkannya. Sebab, dengan menerapkan constitutional complaint secara eksplisit negara telah melindungi hak-hal konstitusional warga negara yang diatur UUD NRI 1945 untuk memperkuat sistem konstitusionalisme.
Kunjungan Biologis Kebijakan Kunjungan Biologis Di Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Wujud Keadilan Sosial Bagi Warga Binaan DIO AKBAR PRATAMA
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2747.833 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i2.28093

Abstract

Konsep kunjungan biologis yang dijelaskan oleh penulis bisa menjadi salah satu poin untuk penunjang membantu proses revitalisasi sistem pemasyarakatan serta membangun wilayah bebas dari korupsi serta Wilayah birokrasi bersih dan melayani, konsep kunjungan biologis tersebut menurut penulis sudah sejalan dengan konsep Pemasyarakatan Indonesia dengan mengedepankan hak asasi manusia yang ada pada warga binaan pemasyarakatan sesuai yang diamanahkan di Standart Minimum Rules serta diungkapkan oleh Sahardjo ketika diumumkan pada tahun 1963 saat mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyrakatan.[1] Penerapan Kunjungan Biologis di Indonesia sebenarnya masih memiliki kendala baik kendala yuridis maupun non yuridis, untuk kendala yuridis konsep kunjungan biologis itu belum diatur secara legal disistem perundang – undangan di Indonesia, sehingga menimbulkan beberapa efek negatif yang terjadi seperti terjadinya pungutan liar didalam Lapas terkait dengan Napi yang ingin menyalurkan hasrat seksualnya bahkan dengan pasangan yang tidak resmi, karena tidak ada pengaturan yang resmi didalam Undang – Undang maka oknum petugas Lapas yang melakukan hal tersebut juga sering lepas dari jerat hukuman disiplin Kunjungan Biologis dapat diperoleh oleh warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi beberapa persyaratan dan ketentuan antara lain; dapat mengajukan program kunjungan biologis adaalh yang vonis hukumannya minimal 9 bulan penjara, harus memilki pasangan yang sah dimata hukum, kasus terorisme yang ingin mengajukan program kunjungan biologis dia harus sudah menjalani program deradikalisasi [1] Dwija Priyatno. 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia penerbit Refika Aditama, Bandung, halaman 97
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELESTARIAN KESENIAN TRADISIONAL DI KABUPATEN JEMBER Dayfrikoe Widiyanto
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4095.202 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i2.28888

Abstract

There are government policies to ensure the successful implementation of the concept of regional autonomy, once again a strong commitment and consistent leadership from the central government are needed. Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government as amended several times, most recently by Law Number 9 of 2015 concerning the Second Amendment to Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government ("Law No. 23 of 2014"). Preserving culture is closely related to what the independence of this nation has aspired to, namely the ideals to "educate the life of the nation" in accordance with the mandate of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD NRI 1945). The promotion of culture itself has been regulated in Law Number 5 of 2017 concerning the Advancement of Culture. In order to support the mandate of Law Number 5 of 2017 concerning the Advancement of Culture, it is necessary for the local government to contribute to realizing cultural sustainability in each Regency/City area. Based on this description, this research was conducted to find out the local government policies that have been carried out in order to preserve traditional arts in Jember Regency. Keywords: Local government policies in the preservation of traditional arts

Page 1 of 2 | Total Record : 20