cover
Contact Name
Fahmi Ramadhan Firdaus
Contact Email
puskapsi@unej.ac.id
Phone
+6285785847476
Journal Mail Official
puskapsi@unej.ac.id
Editorial Address
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/PUSKAPSI/about/editorialTeam
Location
Kab. jember,
Jawa timur
INDONESIA
PUSKAPSI Law Review
Published by Universitas Jember
ISSN : -     EISSN : 27981053     DOI : https://doi.org/10.19184/puskapsi
Core Subject : Social,
PUSKAPSI Law Review adalah jurnal peer-review yang diterbitkan oleh Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum, Universitas Jember, Indonesia. Publikasi dalam jurnal ini berfokus pada kajian Pancasila, Konstitusi, hukum dan ketatanegaraan dengan pendekatan doktrinal, empiris, sosio-hukum, dan komparatif. Jurnal ini menyambut baik semua pengajuan tentang wacana terkini tentang hukum dan konstitusi dari berbagai perspektif dalam yurisdiksi tertentu atau dengan analisis komparatif. Pengiriman naskah harus antara 5.000-8.000 kata, meskipun makalah yang lebih pendek yang berkaitan dengan analisis dan debat kebijakan akan dipertimbangkan. Proses peer-review dan keputusan publikasi biasanya akan diselesaikan dalam waktu 60 hari sejak diterimanya pengajuan. Silakan lihat Instruksi untuk Penulis kami untuk informasi tentang pengiriman naskah. Jika Anda memerlukan informasi atau bantuan lebih lanjut, silakan kunjungi Pusat Dukungan kami.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 26 Documents
TINJAUAN PSIKOLOGI- KRIMINAL DALAM MOTIF TINDAK KEJAHATAN MUTILASI Chusnul Qotimah Nita Permata; Nur Barokah Uswatun Khasanah
PUSKAPSI Law Review Vol 2 No 2 (2022): December 2022
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3315.095 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v2i2.31195

Abstract

Dalam kehidupan bermasyarakat suatu kejahatan memang bukan suatu hal yang asing, karena pada dasarnya kejahatan merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku yang dianggap jahat dalam masyarakat. Perkembangan zaman dan teknlogi membawa kejahatan menjadi semakin beragam yang dinilai tidak biasa dalam suatu masyarakat. Kondisi perilaku atau kejiwaan seseorang pelaku kejahatan serta semua hal yang berhubungan dengan perbuatan si pelaku kejahatan dan seluruh akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut dapat dipelajari dengan menggunakan teori yang disebut Psikologi Kriminal. Tingkah laku atau perbuatan individu yang bersifat kriminal tidak dapat dipisahkan dengan individu lainnya, karena pada dasarnya manusia satu dengan lainnya merupaka suatu jaringan yang sama. Dari zaman dahulu, tindak kejahatan mutilasi ini telah terjadi. Dewasa ini tindak kejahatan mutilasi ini telah menajdi suatu modus operandi kejahatan, dimana mutilasi ini tidak hanya dilakukan didalam suatu kebudayaan yang memiliki unsur-unsur, nilai estetika bahkan niali filosofis saja.Pelaku kejahatan mutilasi ini melakukan kejahatannya dengan tujuan agar para petugas yang bersangkutan terkelabui, selain itu untuk menyamarkan identiats korban dan juga menghilangkan jejak atas perbuatannya dengan cara memotong bagian tubuh korban menjadi beberapa bagaian (kepala, badan, bagian lain) dan kemudian pelau membuangnya secara terpisah. Disamping untuk menghilangkan jejak pelaku kejahatan, modus mutilasi ini juga karena faktor kondisi kejiwaan pelaku dimana tedapat gangguan jiwa terhadap diri pelaku, ole sebab itu melakukan tindakan diluar kemanusiaan. Selain itu juga dapat terjadi karena faktor sosial, faktor ekonomi, faktor asmara atau bahkan keadaan Rumah Tangga pelaku kejahatan mutilasi.
MEKANISME HARMONISASI PERATURAN DAERAH PASCA HILANGNYA KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PEMERINTAH PUSAT Muhammad Iqbal
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4878.327 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i2.27798

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk membahas secara yuridis normatif mekanisme harmonisasi daerah pasca hilangnya kewenangan executive review pemerintah pusat. Dimana isu tersebut muncul pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 bahwa Hakim Konstitusi telah menyatakan mengabulkan permohonan pemohon. Putusan tersebut telah banyak menimbulkan pro dan kontra yakni mengenai terbatasnya kewenangan eksekutif untuk melakukan pencabutan atau pembatalan pada Peraturan Daerah. Hal ini berakibat pada tujuan dari Mahkamah Agung itu sendiri yang seharusnya dapat mengadili semua perkara yang terjadi di Indonesia saat ini menjadi tidak efektif. Terdapat juga potensi-potensi yang mengkhawatirkan, yaitu dimana program deregulasi untuk investasi dari pemerintah secara terpadu (pusat dan daerah) akan terhambat, karena masih banyak Peraturan Daerah yang bertentangan dengan undang-undang. Dengan demikian, dapat disimpulkan pasca Putusan MK tersebut justru tidak memberikan dampak peubahan yang besar malah semakin menunjukan tidak efektif harmonisasi Perda yang ada di Indonesia
Urgensi Keberadaan Wakil Menteri di Indonesia Prita Aliyah; Antikowati Antikowati
PUSKAPSI Law Review Vol 2 No 1 (2022): June 2022
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4011.708 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v2i1.29250

Abstract

Abstract As President whose own the prerogative rights in order to doing governmental affairs, besides Vice President, President also assisted by Minister, it is regulated on Article Number 17 of Constitution of the Republic of Indonesia year 1945. Nor, the authority of appoint the ministers in the cabinet, President also has the authority to appoint the Vice Minister but this authority only can applied on particular circumstances which regulated on Article Number 10 of Law No. 39 Year 2008 about Ministry of State. As the history told, that seat of Vice Minister is has existed since the first year of Presidency of Soekarno, after the Independent Day. Yet, by the time goes the issues about Prime Ministry has regulated in Law No. 39 Year 2008 about Ministry of State and also in Presidential Decree No. 47 Year 2009 about Formation and Organizations of State Ministries. As the factual in reality practical, the appoint of Vice Minister gain the Pros and Contras for the society, because it impress the public the imagination of being political appointee as a gift for support coalition of the cabinet. The existences of Vice Minister is to assisted the Minister with the urgency situation, supposed to assisted in particular circumstances. This article aims to understanding and explain the main issues by using normative constitutional research method and legal approach method. Keywords: The urgency of Vice Minister, Ministry Effectiveness and Efficiency, Vice Minister Appointee Regulations. Abstrak Dalam hak prerogatifnya sebagai Presiden dalam menjalankan tugasnya, selain Wakil Presiden, Presiden juga dibantu oleh Menteri. Hal ini diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain kewenangannya dalam mengangkat Menteri, Presiden juga memiliki kewenangan dalam mengangkat Wakil Menteri, hal ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. Dalam penerapannya dengan sesuai fakta terjadinya pengangkatan Wakil Menteri menuai Pro dan Kontra bagi para rakyat karena dalam pengangkatannya terkesan bahwa jabatan Wakil Menteri merupakan hadiah politik yang dimanfaatkan dan diberikan hanya untuk para koalisi pendukung kabinet. Dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut penelitian ini memberikan gagasan melalui rumusan masalah berupa pengkajian hukum mengenai urgensi dan fungsi pengangkatan jabatan Wakil Menteri, serta pertimbangan upaya hukum dalam memberikan batasan dalam pengangkatan Wakil Menteri melalui pengaturan hukum mengenai persyaratan dalam pengangkatannya. Artikel ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok utama pembahasan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, serta pendekatan kasus. Dengan adanya pengaturan mengenai pengangkatan wakil menteri diharapkan untuk tidak dijadikan sebagai jabatan yang digunakan untuk mengakomodasi koalisi pendukung kabinet alias menjadikan posisi wakil menteri sebagai hadiah politik. Selain itu, dalam penerapannya Presiden selaku kepala pemerintahan semestinya mempertimbangkan syarat yang telah dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi supaya tidak terjadi rangkap jabatan yang dilakukan oleh Wakil Menteri. Maka dengan kesimpulan dalam penelitian ini membuahkan saran yaitu, seharusnya meskipun dalam kewenangannya Presiden mengangkat Wakil Menteri perlu adanya penilaian yang mempertimbangkan kefektivitasan dan keefisiensi keadaan suatu Kementerian dan seharusnya posisi Wakil Menteri harus memiliki syarat yang diatur secara tertulis dalam Peraturan Perundang-undangan. Guna menghindari terjadinya rangkap jabatan bagi Wakil Menteri, seharusnya pemberlakuan syarat Menteri juga berlaku bagi Wakil Menteri. Sehingga secara konstitusi terdapat batasan Presiden dalam kewenangannya. Keywords: Urgensi Keberadaan Wakil Menteri, Efektivitas dan Efisiensi Kementerian, Regulasi Pengangkatan Wakil Menteri
Musyawarah dan Mufakat Sebagai Solusi Pemanfaatan Tanah Fasilitas Umum Masyarakat Andika Putra Eskanugraha
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (602.35 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i1.23838

Abstract

Utilization of land for public facilities is the ideals of the constitution as stated that "to be used for the greatest prosperity of the people" and "land to function socially" based on Law No. 5/1960 concerning Basic Agrarian Regulations. The use of land for the public facilities does not give priority rights to a party or individual. Collective use within the community must be addressed wisely and proportionally in its use. A public road that is regarded as a public facility, no one can claim to be entitled to a road because it borders or is close to the land or occupancy. With the closed access to the use and benefitting of roads as the public facilities, it is difficult to determine the violation of the law committed. There is a Provincial Regulation which regulates the prohibition of parking on the roads, but this prohibition is not well-regulated in other regions with its legal products. Disregarding in the community to the road users as public facilities, can become a social problem and must be resolved with a consensus reflecting the Pancasila as the life point of view. Deliberation and consensus is a solution to solving problems by involving Village Traditional Institutions or similar names based on regionalism. Deliberation and consensus as a solution to the use of land for public facilities, can produce decisions in village deliberations. The Village Customary Institution as a partner to the Village Government can propose the joint use of community public facilities to be regulated in a Village Regulation. Normative legal research is the method used in this study. There is no violation of legal rules in the unwise use of public facilities, making this community problem must be resolved by the community itself by prioritizing the value of the Pancasila and after that it can be elaborated in the simplest rules in the Village Regulation.
Pencalonan Anggota Legislatif Mantan Narapidana Korupsi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018) Meilinda Putri Handayani Tontrinia; Ida Bagus Oka Ana; Rosita Indrayati
PUSKAPSI Law Review Vol 2 No 2 (2022): December 2022
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5440.543 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v2i2.30650

Abstract

ABSTRAK Pemilihan umum sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam pelaksanaanya seringkali terjadi kesalahan yang menyebabkan kurang berkualitasnya hasil pemilu. Menjelang pemilihan umum 2019 terhadap Pemilihan Legislatif Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan peraturan baru yaitu Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota. Pada Pasal 4 ayat (3) peraturan ini menimbulkan penolakan yang mana mengatur mengenai larangan bagi mantan terpidana, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi dilarang untuk mengikuti pemilihan calon legislatif. Terkait persyaratan untuk menjadi calon legislatif juga jelas disebutkan dalam Pasal 240 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa bagi mantan terpidana yang tidak pernah mendapat ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, atau secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana masih diperbolehkan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif. Hal ini menimbulkan pembatasan hak politik bagi mantan narapidana. Kata Kunci: Pemilihan Umum, Calon Legislatif, Mantan Narapidana, Korupsi, Hak Asasi Manusia.
Urgensi Penerapan Constitutional Complaint di Indonesia: Suatu Kajian Hak Asasi Manusia Andri Setiawan
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3473.093 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i2.27819

Abstract

Pengadopsian hak asasi manusia dalam UUD NRI 1945 pada dasarnya merupakan upaya negara dalam memberikan status hak warga negara secara konstitusional. Namun, pelaksanaan jaminan terhadap hak asasi manusia belum sejalan dengan cita-cita negara yang termaktub dalam UUD NRI 1945 sebagai wujud konkrit perlindungan terhadap warga negara. Hal ini ditandai dengan tidak adanya jalan hukum yang dapat ditempuh oleh pencari keadilan lewat constitutional complaint, dimana negara hanya menyediakan melalui jalan judicial review. Padahal, pada faktanya banyak tindakan penyelenggara negara yang melanggar dan merugikan hak konstitusional warga negara, tetapi hingga saat ini aturan terkait penjaminan dan perlindungannya hanya menjadi sebuah resolusi belaka karena belum ada produk hukum yang mengaturnya. Maka, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara jaminan hak asasi manusia yang dan UUD NRI 1945 untuk memperkuat konstitusionalisme. Selanjutnya, praktik constitutional complaint yang diterapkan di beberapa negara juga dapat digunakan sebagai titik penilaian terhadap tingkat relevansinya di negara Indonesia. Tulisan ini mendeskripsikan melalui sudut pandang historis, komparatif, dan rekonstruksi untuk menemukan format ideal penerapan constitutional complaint di Indonsia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak asasi manusia dan UUD NRI 1945 mempunyai hubungan kausalitas dan beberapa mekanisme praktik constitutional complaint di negara lain memiliki relevansi dengan Indonesia yang dapat diadopsi sebagai bahan masukan untuk menerapkannya. Sebab, dengan menerapkan constitutional complaint secara eksplisit negara telah melindungi hak-hal konstitusional warga negara yang diatur UUD NRI 1945 untuk memperkuat sistem konstitusionalisme.
Kekosongan Jabatan Presiden dalam UUD 1945: Potensi, Antisipasi, dan Mekanisme Kontrol Nando Yussele Mardika; Rian Adhivira Prabowo
PUSKAPSI Law Review Vol 2 No 1 (2022): June 2022
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7683.796 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v2i1.30413

Abstract

Tulisan ini berusaha menjawab potensi antisipasi dan mekanisme kontrol kekosongan jabatan Presiden dalam UUD 1945. Pengangkatan topik ini hendak menjawab isu wacana penundaan Pemilu 2024 yang diiringi dengan penambahan masa jabatan Presiden. Sesungguhnya kekosongan kekuasaan disini tidak dapat dimaknai sebagai akibat dari ketiadaan Pemilu saja, melainkan terhadap hal apapun yang mengakibatkan suksesi kepemimpinan tidak dapat berjalan secara normal. Sehingga disini penulis akan memberikan tanggapan dari sudut yang berbeda. Pada satu sisi, harus diterima adanya celah kekosongan hukum dalam UUD 1945 ketika proses suksesi kepemimpinan tidak dapat dilaksanakan secara normal dan sisi yang lain, kekhawatiran akan penyalahgunaan wewenang hi UUD 1945 hingga lahirnya suatu rezim otoriter. Prinsipnya, tulisan ini hendak mengambil jalan tegah solusi kekosongan hukum dalam dan mengulas langkah-langkah apa saja yang dapat ditempuh untuk mengatasi agar tampuk kekuasaan tidak sampai kosong. Tulisan ini disusun dengan metode yuridis normatif, yaitu melalui analisis sumber-sumber peraturan perundang-undangan maupun pustaka lain yang dianggap menunjang.
Penetapan Daftar Pemilih Oleh Komisi Pemilihan Umum Sebagai Wujud Penguatan Sistem Demokrasi Achmad Zairudin
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 1 (2021): Mei 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4046.49 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i1.23693

Abstract

Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) secara umum diatur dalam pasal 22E UUD 1945. Pemilu menjadi tolak ukur terhadap demokratisasi yang bermartabat dan sebagai salah satu sarana penyalur hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Hak memilih sebagai hak asasi manusia merupakan bagian penting dari prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin dalam prinsip demokrasi dan menjadi landasan utama dalam bernegara yang dituangkan dalam konstitusi. Tujuan utama peletakan kedaulatan rakyat adalah penghargaan dan penilaian terhadap hak rakyat untuk memilih dan menentukan arah kehidupan bernegara dengan tujuan menjamin kesejahteraan bersama. Penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dilaksanakan olek Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan bagian dari serangkaian sistem pemilu yan memiliki posisi penting dalam pelaksaan Pemilu. Dimana kewenangan KPU diatas dipertegas dalam Undang-Undang Pemilu UU N0 7 Tahun 2017.
Overview Of Domestic Rape Jurisdiction (Decision Number 899/Pid.Sus/2014/PN.Dps) Naily Kharisatul Umami
PUSKAPSI Law Review Vol 2 No 2 (2022): December 2022
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5857.877 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v2i2.30633

Abstract

Sexual violence against wives that occurs in the household is better known by the general public as marital rape which is defined as rape that occurs in a marriage bond. However, a broader understanding understood by various groups regarding marital rape is a wife who receives acts of sexual violence by her husband or coercion by all against her wife to carry out sexual activities without considering the condition of the wife. Or forcing to have sexual relations in ways that are not fair or do not like the wife. In Indonesia, there have been several court decisions regarding the issue of sexual violence in the household, one of which is Decision Number 899/Pid.Sus/2014/PN.Dps which was carried out by Tohari. The panel of judges in deciding this case using Article 46 of Law no. 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence The judge's considerations are in accordance with the legal facts that have been proven by the public prosecutor that the defendant intentionally committed an act of domestic violence that caused physical injury to the victim's body and genitals. And the elements have been fulfilled, namely the element of every person and the element of committing acts of sexual violence. Of the aggravating and mitigating factors, one of the aggravating factors was that the defendant had hurt and injured the victim's witness who was the defendant's wife and the defendant did not feel guilty about what he had done. While mitigating factors are the defendant has never been convicted and the defendant is elderly. Therefore, based on the facts and legal considerations, the panel of judges sentenced the defendant to 5 (five) months in prison from the original demand of 10 (ten) months from the public prosecutor.
Kunjungan Biologis Kebijakan Kunjungan Biologis Di Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Wujud Keadilan Sosial Bagi Warga Binaan DIO AKBAR PRATAMA
PUSKAPSI Law Review Vol 1 No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2747.833 KB) | DOI: 10.19184/puskapsi.v1i2.28093

Abstract

Konsep kunjungan biologis yang dijelaskan oleh penulis bisa menjadi salah satu poin untuk penunjang membantu proses revitalisasi sistem pemasyarakatan serta membangun wilayah bebas dari korupsi serta Wilayah birokrasi bersih dan melayani, konsep kunjungan biologis tersebut menurut penulis sudah sejalan dengan konsep Pemasyarakatan Indonesia dengan mengedepankan hak asasi manusia yang ada pada warga binaan pemasyarakatan sesuai yang diamanahkan di Standart Minimum Rules serta diungkapkan oleh Sahardjo ketika diumumkan pada tahun 1963 saat mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyrakatan.[1] Penerapan Kunjungan Biologis di Indonesia sebenarnya masih memiliki kendala baik kendala yuridis maupun non yuridis, untuk kendala yuridis konsep kunjungan biologis itu belum diatur secara legal disistem perundang – undangan di Indonesia, sehingga menimbulkan beberapa efek negatif yang terjadi seperti terjadinya pungutan liar didalam Lapas terkait dengan Napi yang ingin menyalurkan hasrat seksualnya bahkan dengan pasangan yang tidak resmi, karena tidak ada pengaturan yang resmi didalam Undang – Undang maka oknum petugas Lapas yang melakukan hal tersebut juga sering lepas dari jerat hukuman disiplin Kunjungan Biologis dapat diperoleh oleh warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi beberapa persyaratan dan ketentuan antara lain; dapat mengajukan program kunjungan biologis adaalh yang vonis hukumannya minimal 9 bulan penjara, harus memilki pasangan yang sah dimata hukum, kasus terorisme yang ingin mengajukan program kunjungan biologis dia harus sudah menjalani program deradikalisasi [1] Dwija Priyatno. 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia penerbit Refika Aditama, Bandung, halaman 97

Page 1 of 3 | Total Record : 26