cover
Contact Name
Rony Wirachman
Contact Email
ronywirachman@mail.uinfasbengkulu.ac.id
Phone
+6281908303500
Journal Mail Official
ronywirachman@mail.uinfasbengkulu.ac.id
Editorial Address
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/nuansa/about/editorialTeam
Location
Kota bengkulu,
Bengkulu
INDONESIA
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan
ISSN : 20864493     EISSN : 26849542     DOI : 10.29300/njsik.v16i1.11235
Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan is a scientific publication media that contains Islamic sciences to support the development of Islamic knowledge. This journal is published two times a year in June and December by Program Pascasarjana IAIN Bengkulu.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 13, No 1 (2020): Juni" : 11 Documents clear
Dinamika epistemologi Studi Islam di Kalangan Insider dan Outsider Zaini Tamin AR; Nia Indah Purnamasari
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.2867

Abstract

Islam sebagai studi masih menjadi diskursus menarik di kalangan para ilmuan. Terlebih, apabila dikaitkan dengan aspek epistemologis yang selalu dinamis seiring dengan pengembangan pendekatan, disiplin dan metodologi. Oleh karena itu, penelitian pustaka ini berupaya menganalisis dinamika epistemologi studi Islam yang berjalan seiring dengan perjuangan Islam, masyarakat, dan tantangan yang dihadapi umat Islam dalam mengaktualisasikan ajaran mereka. Penelitian ini mengungkapkan temuan bahwa dalam studi Islam sering terdapat perbedaan dalam memandang aspek normatif dan historis. Kedua aspek tersebut, membuat studi Islam sepertinya masih dibebani oleh misi keagamaan yang romantis dan apologis. Sehingga konten analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam memeriksa teks-teks atau teks-teks agama sebagai produk historis kurang terlihat, kecuali di lingkungan peneliti tertentu yang masih sangat terbatas. Ketika kecenderungan akademik tersebut menjadi lebih kuat, studi Islam mulai dielaborasi dengan beberapa pendekatan dan metode yang lebih bervariasi dari sebelumnya, mulai dari humaniora, teologi, ilmu sosial, dan studi regional. Pendekatan ini membutuhkan penguasaan ilmu inter dan multidisiplin. Dengan kata lain, inter dan multidisiplin adalah alat ilmiah yang sangat penting untuk mendukung studi Islam yang selalu mengalami perkembangan.
Filsafat Etika Mulla Shadra antara Paradigma Mistik dan Teologi Ismail Ismail
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.3334

Abstract

Secara historis, etika sebagai wahana filsafat lahir akibat dari rusaknya tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun yang lampau. Pandangan-pandangan lama mengenai hakekat baik dan buruk tidak lagi dipercaya, karenanya para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi keakuan manusia saat itu. Persoalan yang sering mengemuka saat itu, apa norma-norma untuk menentukan sesauatu yang harus dianggap sebagai kewajiban? Misalnya, dalam bidang etika hubungan antara suami dan istri, hubungan anak dan orang tua, kewajiban terhadap Negara, etika dalam pergaulan serta penilaian terhadap nyawa manusia. Pandangan-pandangan tersebut sangat berbeda satu sama  lainnya. Untuk mengatasi pergolakan perbedaan pendapat tersebut, diperlukan refleksi kritis terhadap etika.Persoalan etika atau moralitas selalu menarik untuk dikaji kapanpun atau dalam kontek apapun. Tulisan ini membicarkan seorang filosof Muslim yang memiliki kepedulian terhadap etika atau moralitas manusia, yaitu Mulla Shadra. Filsafat moral yang ditawarkan oleh Mulla Shadra sering disebut dengan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyah. Secara epistemologis al-Hikmah al-Muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu pertama; intuisi intelektual (dzawaq atau isyraaq), kedua; pembuktian rasional (‘aql atau istidlal), dan ketiga; syariat. Dengan demikian, hikmah mengandung arti kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh melalui pencerahan rohaniyah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif, tetapi juga realisasi yang mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syariat.
Relasi interpersonal Islam-Kristen Tantangan Toleransi Studi Kasus Simbol Salib Terpotong di Kotagede Yogyakarta. Herlin Lebrina Kunu
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.2942

Abstract

Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk, merupakan suatu fenomena yang tidak dapat kita hindari. Perjumpaan dalam perbedaan agama, suku, ras dan budaya menyatu menjadi ciri khas indonesia. Yogyakarta sebagai daerah otonom yang dikenal sebagai kota pelajar yang tidak terlepas dari sebuah kenyataan masyarakat yang majemuk. Masyarakat Yogyakarta dikenal sebagai kota yang menjunjung tinggi kearifan lokal dan rasa toleransi. Kasus salib terpotong do kotagede menjadikan Yogyakarta kota yang tidak toleran. Kasus dan peristiwa intoleransi kembali mengubah wajah Yogyakarta menjadi buruk. Kasus intoleran tentang pemotongan simbol salib dinisan seorang katolik yang terjadi di Kotagede Yogyakarta melukai nilai konstitusi. Kasus simbol salib pada nisan yang terpotong di Yogyakarta, menjadi tantangan dalam penerapan toleransi. Kasus ini menciderai kehidupan keberasaan dalam sebuah relasi interpersonal umat beragama, terkhusus Islam-Kristen.
Corak dan Warna-warni Islam Nusantara: Awal, Tengah dan Modern Nicodemus Boenga
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.2833

Abstract

AbstractSubstantially, Islam is not restricted as a belief that appeared in the first century Hijri in the Arabian Peninsula. Islam itself has existed long before Islam formally became a religion. It exists and is manifested in many forms. It is intertwined with a variety of customs, cultures, and traditions before Qur’an was orally revealed by God to the final prophet, Muhammad. In fact, at that time, the substantive values of Islam had not strongly yet influenced the Arab region or the world. It was considered to already existed. That is why Adam, Abraham, Moses and another figure born before Muhamad were considered to be Prophets of Islam. Similarly with the presence of “Islam of the Archipelago (Islam Nusantara)” in Indonesia. This kind of Islam is neither something out there that comes nor something that just exists in Indonesia but it is the real nature of Islam. Thus, Islam of the Archipelago became a model of thought, understanding, and experience that promotes how local culture, wherever it may be, can interact positively with Islamic beliefs and practices substantially which is reflected in Rahmatan Lil Alamin’s Islam.Abstrak            Sejatinya substansi Islam bukanlah temuan yang baru muncul pada abad pertama Hijriah di mana agama Islam lahir di Jezirah Arab. Substansi Islam sudah ada sebelum Islam secara formal menjadi sebuah agama. Substansi itu ada dan terjelma dalam berbagai konteks, lokus dan masa. Islam berkelindan dengan ragam adat, budaya dan tradisi keyakinan sebelum turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhamad, walaupun kenyataannya nilai-nilai substantif Islam belum dominan menggarami konteks Arab atau dunia pada waktu itu. Itulah sebabnya Adam, Abraham, Musa dan nama-nama lainnya yang lahir sebelum Muhamad dianggap sebagai Nabi Islam. Demikian halnya dengan Islam Nusantara. Kehadirannya bukanlah dari luar dan kebetulan ada di Indonesia tetapi itulah wajah Islam di Indonesia. Islam Nusantara membawa corak dan warna-warni tersendiri sesuai konteksnya. Islam Nusantara menjadi model pemikiran, pemahaman, dan pengalaman ajaran-ajaran Islam yang dikemas secara kontekstual melalui budaya dan tradisi lokal yang berkembang di Nusantara sehingga tetap mencerminkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin.   
Sholat Tanpa Tuma'ninah Perspektif Imam Malik dan Imam Abu Hanifah Nurhadi Nurhadi Nurhadi
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.1544

Abstract

Abstrak: Thuma’ninah adalah diam sebentar sekedar membaca tasbih, ini pendapat Abu Yusuf al-Hanafi, sama juga mazhab Maliki yaitu ketika rukuk, sujud, i’tidal dan duduk antara dua sujud seukuran membaca tasbih. Keduanya secara prinsip tidak mewajibkan thuma’ninah. Istinbath yang di gunakan menghukumi tidak wajibnya thuma’ninah surah al-Hajj ayat 77 dan hadis ahad riwayat Bukhari dan Muslim. Sebagian mazhab Maliki wajib thuma’ninah berdalil hadis diatas. Pendapat yang kuat thuma’ninah wajib untuk sholat wajib dan sunnat untuk sholat sunnat. Namun thuma’ninah lebih baik, karena mendekatkan kekhusukan dan meraih hikmah demi kemashlahatan hamba dalam mendapatkan ketenangan dalam sholat.Kata Kunci: Sholat, Tanpa Tuma`Ninah,  Perspektif. Abstract: Thuma'ninah is silent for a while just reading prayer beads, this is the opinion of Abu Yusuf al-Hanafi, the same as the Maliki school, namely when bowing, prostration, i’tidal and sitting between two prostrations the size of prayer beads. Both in principle do not require thuma'ninah. Istinbath which is used to punish the non-obligatory thuma'ninah surah al-Hajj verse 77 and hadith ahad history of Bukhari and Muslim. Some of the Maliki schools must be thuma'ninah based on the hadith above. The strong opinion of Thuma'ninah is obligatory for obligatory prayers and sunnat for sunat prayer. But thuma'ninah is better, because it draws closer to and attains wisdom for the benefit of the servant in getting peace in prayer.Keywords: Prayer, Without Tuma`Ninah, Perspective.
Fatwa MUI no 7 tahun 2005 dan Pergaulan Antar Iman di Desa Sukanegara Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan Jenny Yolita Mangialu
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.2785

Abstract

AbstrakFatwa MUI no 7 Tahun 2005 yang mengharamkan pluralisme  mengagetkan banyak pihak. Dalih yang dikemukakan bahwa pluralisme berarti menyamakan semua agama. Pandangan ini sangatlah tidak tepat. Pluralisme bukanlah sebuah situasi yang dapat direkayasa oleh siapapun. Pluralisme justru mengungkapkan KeMahakuasaan Tuhan sebagai pencipta. Pluralisme di Indonesia seharusnya dilihat sebagai keadaan yang dapat memperkaya khazanah kita. Berjumpa, berkomunikasi dan berelasi dengan setiap orang yang  berbeda latar belakang terutama agama, membuat kita dapat menularkan nilai-nilai kebaikan agama yang kita yakini sehingga keharmonisan dan toleransi terwujud. Pluralisme  membuat kita berusaha mengenal seseorang bukan hanya dari kulit luarnya saja kemudian menyematkan penghakiman kafir kepadanya.Desa Sukanegara Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan, menjadi salah satu wilayah perwujudan pluralisme pada tataran akar rumput. Warga Desa Sukanegara memahami pluralisme melalui tindakan kongkrit salah satunya  saling mengunjungi ketika perayaan hari raya tiba, baik Idul fitri, Natal dan Galungan. Kehidupan masyarakat di Desa Sukanegara menjadi cerminan bahwa pluralisme bukanlah sesuatu yang perlu untuk diperdebatkan namun di terima dan diwujudkan dalam tindakan pergaulan sehari-hari.
Sufisme versus Islam Puritan (Konstruksi Identitas dan Negosiasi Kelompok Tarekat Naqsybandi Haqqani di Indonesia) Ronggo Utomo Hardyanto
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.3335

Abstract

Artikel ini bertujuan bertujuan untuk mengetahui sejarah dan perkembangan Tarekat Naqsybandi Haqqani di Indonesia hingga saat ini, sehingga dapat menguraikan narasi tentang keberadaan kelompok Tarekat Naqsybandi Haqqani dalam mengkonstruksikan identitas keagamaannya sebagai sebuah gerakan Islam baru. Sufisme dan tasawuf merupakan salah satu isu utama yang sering dihadapi oleh kaum tarekat. Ajaran mereka sering dituduh oleh banyak pihak, khususnya datang dari kelompok gerakan pemurnian Islam (puritan). Kelompok puritan ini menganggap ajaran yang dipraktekkan oleh para kaum sufi ini telah menyeleweng dari ketentuan ajaran syariat dan tauhid dalam Islam. Kelompok Tarekat Naqsybandi Haqqani ini dianggap sebagai sebuah masalah yang harus diselesaikan karena ajarannya banyak mengandung kesesatan, bid’ah, khurafat dan lain sebagainya. Fokus pembahasan tulisan ini tertuju pada bagaimana mengungkap taktik dan negosiasi yang digunakan oleh kelompok Naqsybandi Haqqani ini dalam mengkonstruksikan identitas kelompoknya terhadap kelompok Islam puritan pada lingkup diskursus Islam yang kaffah. Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan pada kelompok Tarekat Naqsybandi Haqqani di Yogyakarta dengan paradigma cultural studies. Isu penting yang terkait dengan proses konstruksi identitas yang dibentuk oleh kelompok Tarekat Naqsybandi Haqqani tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik di dalamnya
Menguji Kembali Pemikiran Yusuf Al-Qardawi dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah ABDUL MUFID
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.2872

Abstract

This study explores and criticizes the views of Yusuf al-Qardhawi in determining the beginning of the Islamic month. Based on several valid hadiths, Yusuf al-Qaradawi is of the view that the determination of the beginning of the Hijri month can be carried out by three methods, namely rukyat (observation), hisab (astronomical calculations), and istikmal. Therefore, the fundamental question that will be examined in this paper is how is Yusuf al-Qaradawi's view when clarified by the study of hadith and astronomical studies? The main source for Muslims in understanding Islamic teachings is the Koran and Hadith. For Muslims, the Hadith second ranks after the Koran. Throughout Islamic history, hadith is a source of controversy in Islamic law. Among the problems that are still warm and almost always occur today is an understanding of the observations of the crescent related to the determination of the beginning of the Islamic month. Questioning about the differences in determining the beginning of the Hijri month is the result of different perspectives to understand the hadith about crescent observations. Therefore, the method of understanding the hadith about "crescent observation" is very urgent to be investigated more deeply. The final conclusion of this literature-based research process can be seen that the impact of Yusuf al-Qaradawi's understanding of the crescent observation traditions is al-Qaradawi's hope to unite fasting and Eid al-Fitr in Europe on the basis of priorities, not unifying all Muslims in the hemisphere of the earth.
Gagasan Penguasa Muslim dalam Pengembangan Budaya EKonomi (Umar Ibn Khattab, Umar Ibn Abdul Azis, Ghazan Khan, dan Al’uddin Khalji) Troitje Patricia Aprilia Sapakoly
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.2871

Abstract

AbstractBeing a leader with the mandate to build a well-being community, surely, needs a strong commitment. Some aspects can be the indicators to measure the success of the leadership.  One of the indicator is weather the leadership bringing the goodness for the society or not.  In the history of Islam, there are some leaders that should be remember for their policies are still contribute for the economy development today.  Umar Ibn Khattab, Umar Ibn Abdul Azis, Ghazan Khan and Al'uddin Khalji are the leaders whose ideas and economy policies can be used as the foundation to overcome the situation and condition of society. Their thoughts are influenced by the doctrine of Islam even their lifestyle is the better one to cope the economy problems in that day.This paper will discuss about 4 (four) figures with their backgrounds and policies which brought Islam to their glorious period. Their idea of economy as the moslem ruler at that moment is the contribution for the economic life of Islam, espescially how the leader doing their duties based on the Islamic values.Keywords : Islamic economy, Umar Ibn Khattab, Umar Ibn Abdul Azis, Ghazan Khan,                             Al’uddin Khalji, History.AbstrakMenjalankan mandat dan amanah sebagai pemimpin untuk menyejahterakan umat/masyarakat yang dipimpin membutuhkan komitmen yang kuat.  Keberhasilan seorang pemimpin dapat dilihat dari berbagai segi. Salah satu keberhasilannya adalah ketika kepemimpinannya mendatangkan kemaslahatan bukan hanya bagi dirinya sendiri melainkan semua orang.  Dalam catatan sejarah ke-Islaman, ada para pemimpin Islam yang patut diingat karena kebijakan-kebijakan mereka turut memberikan sumbangsih yang sangat besar atas perkembangan ekonomi yang ada pada saat ini. Umar Ibn Khattab, Umar Ibn Abdul Azis, Ghazan Khan dan Al’uddin Khalji merupakan para pemimpin yang gagasan dan kebijakan ekonominya dapat dijadikan landasan pemikiran untuk mengatasi situasi dan kondisi masyarakat.  Pemikiran-pemikiran intelektual mereka dipengaruhi dengan ajaran Islam bahkan gaya hidup cukup terbukti dapat mengatasi persoalan ekonomi yang tidak baik pada masanya. Tulisan ini akan membahas keempat tokoh tersebut mulai dari latar belakang tokoh hingga kebijakan-kebijakan ekonomi yang membawa Islam pada masa kejayaan.  Gagasan ekonomi mereka sebagai penguasa muslim pada saat itu merupakan kontribusi bagi kehidupan perekonomian Islam lebih-lebih pada bagaimana seharusnya pemimpin menjalankan tugas tanggung jawabnya berdasarkan nilai-nilai Islami.Kata Kunci : Ekonomi Islam, Umar Ibn Khattab, Umar Ibn Abdul Azis, Ghazan Khan,                               Al’uddin Khalji, Sejarah.
The Consept and Principle of Multireligious Leadership abdul amri siregar; kurniawan kurniawan
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.2892

Abstract

The Consept and Principle of Multireligious Leadership. Allah SWT decreed that each nation must have a leader as successor to the prophetic function. In order to keep religious doctrine, regulate the country, hold political control, make policies based on religious observance, and unite people in a singular leadership. As in the Islamic history of Prophet Muhammad SAW used the word “ra’in” which means leader. Based on a hadith, ’’kullukum ra’in, wa kullu ra’in mas-ulun ‘an ra’iyyatih” which means, “Every one of you is a leader, and every leader will be held accountable for their leadership”. In the context of Indonesia or in the context of multi-religious society, how is the guidance of Islam in the matter of leadership applied, for instance, the ban of choice non-muslim become a leader. Therefore, it must look to al-Qur’an on the issues of leadership selection. Some of these are on the surah Ali Imron verse 28, An Nisa’ verse 144, Al Maidah verse 57, At Taubah verse 23, Al Mujaadilah verse 22, An Nisa’ verse 138-139, and the others. Key word :  Leadership, al-Qur’an verses, multireligious.

Page 1 of 2 | Total Record : 11