cover
Contact Name
Vincentius Widya Iswara
Contact Email
vincentius@ukwms.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jakobus@ukwms.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
JURNAL WIDYA MEDIKA
ISSN : 23380373     EISSN : 26232723     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 142 Documents
Pemeriksaan Imunofluoresen Direk pada Henoch Schonlein Purpura Willy Sandhika; Marina Rimadhani; Sunarso Suyoso
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (556.708 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v3i1.765

Abstract

Henoch-Schönlein purpura (HSP) is an acute immunoglobulin A (IgA)–mediated vasculitis involving the small vessels. This disease cause systemic involvement of many organ especially the skin, the gastrointestinal (GI) tract and the kidneys. The etiology of HSP is not clear. Precipitating factors include drugs, chemicals, viruses and bacteria. Pathogenesis of HSP involve Ig A–mediated immune complex that are circulated in blood vessel and deposited in many organs. The presence of IgA-mediated immune complex deposits will activate the complement system, causing inflammation in the form of vasculitis that damage the small blood vessels in many organs. Hsp is a self-limiting disease that require supportive therapy. The problem that arises is how to distinguish HSP with other vasculitis diseases. A skin biopsy in patients with hsp will reveal leukocytoclastic vasculitis in small vessel. That kind of vasculitis are also found in urticarial vasculitis, hypersensitivity vasculitis and vasculitis due to cryoglobulinemia. Direct Immunofluorescence test from skin biopsy tissue will help to make the diagnosis of HSP. The presence of IgA deposits in small blood vessels wall can distinguish HSP from other vasculitis.
Seorang Wanita dengan Straight Back Syndrome Ika Christine
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 4, No 2 (2018)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (608.477 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v4i2.1815

Abstract

Skeletal deformity may alter thoracic configuration, which leads to misdiagnosis of the cardiovascular system. An absence of normal thoracic kyphosis has been identified to be a cause of “pseudo-heart disease”. This deformity is characterized by a reduced antero-posterior diameter of chest that causing a compression of the heart and great vessel. It is well known as the Straight Back Syndrome. Although this abnormality is subtle, it may generate leftward displacement of the heart, resulting cardiac murmurs, chest pain, and tracheal compression. Straight back syndrome may closely mimicking several cardiac diseases, such as mitral valve prolapse, ventricle septal defect, and pericardial absence. Chest x-ray has been known to be the most convenient diagnostic tool for this syndrome. Careful clinical assessment of this syndrome may avoid patients from unnecessary medication. This literature presents a case of a 36 year-old woman who was misdiagnosed with ventricular septal defect from the physical examination, transthoracic echocardiography, and transesophageal echocardiography. However, the right and left diagnostic catheterization resulted normal findings. Consequently, the patient was suggested to discontinue completely her medication
Bioetika dan Bioteknologi dalam Dunia Modern Willy F. Maramis
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (347.006 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v1i2.858

Abstract

Dalam diskusi-diskusi tentang moral dan etika, kita harus membedakan sesuatu hal yang didiskusikan itu termasuk dalam bidang etika, sopan-santun atau disiplin. Moral (filsafat moral) atau etika adalah ilmu (bukan agama), dan dengan demikian menggunakan penalaran ilmiah, untuk menetukan apakah suatu perilaku individu atau kelompok individu baik atau jahat (right or wrong). Biarpun tidak ada batas yang jelas, ada baiknya bila dibedakan antara etika (ethics), etika kedokteran (medical ethics), bioetika (bioethics) dan etika biomedik (biomedical ethics). Bioteknologi (Biotechnology) adalah teknologi yang melakukan intervensi dalam proses kehidupan. Cakrawala teknologi adalah kemungkinan-kemungkinan, sedangkan cakrawala etika adalah tujuan. Suatu alat hasil teknologi dapat dipakai untuk membangun atau pun menghancurkan manusia. Tidak ada teknologi yang netral. Karena itu ada kebutuhan akan pengarahan dan penilaian dalam teknologi, khususnya bioteknologi. Banyak sekali usaha telah dan sedang dilakukan dalam bioteknologi dan telah banyak sekali penemuan telah muncul. Hanya beberapa yang dibicarakan disini dan sekaligus disinggung secara singkat aspek etikanya. Tidak mungkin dibicarakan disini penyelesaiannya secara terperinci. Silakan pembaca yang budiman memikirkan atau mendiskusikan tentang itu dengan teman sejawat atau orang lain
My Lecturer Willy F. Maramis
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (287.701 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v4i1.1784

Abstract

Studi kasus Osteosarkoma Metastase Rudyanto Wiharjo Seger
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (921.748 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v2i2.848

Abstract

Osteosarkoma adalah tumor tulang ganas yang paling sering dijimpai.[1, 2] Penyakit ini diduga berasal dari sel-sel pembentuk tulang mesenkimal primitif, dan ciri histologisnya terdapat produksi osteoid ganas. Populasi sel lain juga dapat terlihat, karena jenis sel ini juga mungkin timbul dari sel-sel mesenkimal pluripotential, tetapi setiap tumor tulang ganas di diagnosis sebagai osteosarkoma. Terapi utama adalah operasi pengangkatan tumor ganas. Paling sering, dilakukan prosedur limb-sparing (limb-preserving). Kemoterapi juga diperlukan untuk mengobati penyakit mikrometastatik yang terjadi, tetapi sering tidak terdeteksi pada kebanyakan pasien (sekitar 80%) pada saat diagnosis.[3] Seorang wanita, nona YS, usia 21 tahun datang ke UGD RSK Marianum Halilulik-NTT dengan keluhan sesak nafas, nyeri telan, nyeri dada, panas, batuk, mual, 2 tahun yang lalu kaki kiri diamputasi dengan diagnosis patologi anatomi osteosarkoma. Pada pemeriksaan foto polos dada didapatkan gambaran suatu tumor paru dengan efusi pleura kanan. Pasien ini dirawat selama 6 bulan dengan terapi paliatif dan akhirnya meninggal dunia.
Distribusi Dan Pola Kepekaan enterobacteriaceae Dari Spesimen Urin Di RSUD DR. Soetomo Surabaya Periode Januari – Juni 2015 Silvia Sutandhio; Lindawati Alimsardjono; Maria Inge Lusida
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (135.018 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v3i1.775

Abstract

Latar Belakang: Bakteri penyebab infeksi saluran kemih (ISK) didominasi oleh Enterobacteriaceae. Idealnya, setiap rumah sakit memiliki peta kuman dan pola kepekaan sendiri untuk digunakan sebagai panduan terapi empirik dan monitor penyebaran bakteri multiresisten. Hasil kultur urin, yang merupakan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan pemilihan terapi antimikroba definitif, dapat dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Metode: Spesimen urin dikultur pada media isolasi primer, lalu diidentifikasi secara manual dan sistem semi-otomatis, yaitu BD Phoenix dan Vitek 2, yang telah dikonfirmasi dengan Clinical and Laboratory Standards Institute 2015. Hasil: Sebanyak 57.2% dari 1983 isolat hasil kultur teridentifikasi sebagai Enterobacteriaceae, dengan spesifikasi: 59.6%, 18.1%, 0.1%, 10.0%, dan 3.8%, berturut-turut untuk Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Klebsiella oxytoca, Enterobacter spp., dan Proteus spp. Lebih dari 50% isolat Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Klebsiella oxytoca merupakan penghasil Extended-Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Kesimpulan: Enterobacteriaceae yang diisolasi umumnya resisten terhadap Ampisilin dan Sefalosporin generasi I, tetapi masih sensitif terhadap antimikroba golongan Karbapenem dan Aminoglikosida. Antimikroba golongan Karbapenem, yang merupakan pilihan terakhir pada kasus infeksi oleh Enterobacteriaceae multiresisten, hanya boleh diresepkan bila sesuai dengan indikasi, untuk mencegah timbulnya organisme resisten Karbapenem.
A randomized controlled trial on the effectiveness and safety of tranexamic acid in decreasing blood loss in cesarean section Sianty Dewi
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (426.706 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v2i1.1647

Abstract

Background: WHO reported more than 100,000 maternal death due to obstetric hemorrhage annually, in other hand Cesarean Section (CS) is a common surgery done to save mother and child with one of the complications is hemorrhage. tranexamic acid (TXA) as antifibrinolytic might improve maternal outcome by decreasing blood loss in CS. Objectives:Determine effectiveness and safety of tranexamic acid in decreasing blood loss in cesarean section. Method:A prospective, double blinded, randomized controled study in Obstetrics and Gynecology Department of Southern Philippines Medical Center. The participants are 124 women underwent CS, 62 women given tranexamic acid after cord cut compared to 62 given placebo. Estimated blood loss, cardiac rate, systolic blood pressure before and after CS, events during CS and additional medicines. Hemoglobin and hematocrit was taken before and after CS, course in the ward, blood transfusion, adverse events, mortality and length of hospital stay were compared. Results: Socio demographic, clinical profile, events after interventions, need of additional medicines and complications are similar for both group (p-value>0.05). The cardiac rate after CS is significantly higher in TXA group (tranexamic:85.1±11.5 placebo:80.1±15. 6, p-value=0.0441), but still in normal range. Conclusion: Tranexamic acid is not recommended to be given routinely to reduce blood loss in CS, instead its more beneficence to abort severe bleeding hence its should be available during CS. There was no adverse events recorded in both treatment and placebo group showed safety of tranexamic acid.
Kedokteran Keluarga: Menumbuhkan Suasana Positif Dalam Keluarga Melalui Psikologi Kesehatan Untuk Mencapai Kesejahteraan Yang Optimal Inge Wattimena
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (355.102 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v4i1.1809

Abstract

Family Medicine focuses on the family’s role in creating health holistically. One such way is through the implementation of Health Psychology which studies health etiology psychologically; encourages promotion of health, disease prevention, and healing processes; supports public health policies; and develops health care. Through Health Psychology, which in general observes health from a bio-psycho-social perspective, it is expected that optimal family wellness is achieved
Perlunya Lex Spesialis bagi Pidana Kedokteran (Meninggalkan KUHP) Djuharto S. Sutanto
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (537.81 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v2i2.853

Abstract

Saat ini perubahan status dunia medik dan kemajuan teknologi di Indonesia telah menjadikan masyarakat pengguna jasa medis menjadi “masyarakat yang mudah menuntut (litigious society)” sehingga dunia medis di Indonesia alami “krisis malpraktik”. Permasalahan ini perlu dicermati dan segera dicarikan jalan keluar. Salah satu solusi mengatasinya adalah dengan diterbitkannya suatu “lex spesialis” bagi sesuatu yang dianggap “pidana dokter”.
Optimalisasi Penggunaan Antibiotik Pada Pneumoni Nosokomial : Applikasi Klinik Benyamin Margono
JURNAL WIDYA MEDIKA Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1240.4 KB) | DOI: 10.33508/jwm.v1i1.844

Abstract

Mengoptimalkan hasil terapi antibiotik perlu penggunaan yang tepat waktu dan tepat dosis, sedangkan penjabaran terapi antibiotik yang tidak aktif terhadap organisme sasaran, inisiasi terapi yang tertunda, perubahan rejimen yang tidak perlu dapat menyebabkan peningkatan jumlah pasien yang harus dirawat di rumah sakit, peningkatan kematian, lama rawat inap, durasi penggunaan antibiotik, semua mengarah pada peningkatan biaya. Strategi pada infeksi berat adalah terapi dini, empiris, tepat, adekuat, dapat mengurangi kematian sebanyak 50%. Pilih antibiotik yang paling tepat dan tidak menunda penggunaan antibiotik yang tepat sehingga terjadi kematian. Awal pengobatan empiris menggunakan dosis tinggi, antibiotik spektrum luas, kemudian dilakukan penilaian klinis setelah hasil pemeriksaan kultur dan sensitivitas didapat, dilakukan perubahan pemberian antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit (de-eskalasi) untuk meminimalkan resistensi, toksisitas dan biaya. Dianjurkan tidak memulai dengan antibiotik dengan aktifitas dan dosis rendah, kemudian baru melakukan peningkatan ketika efek klinis tidak memuaskan. Antibiotik β-lactam adalah yang paling sering diresepkan pada infeksi, sebesar 54,4% dari semua antibiotik. Aktifitas β-lactam tergantung pada waktu, artinya waktu di atas MIC (T> MIC) sangat penting dalam menentukan terapi yang memadai. Untuk efektivitas klinis: T> MIC adalah> 40% dari interval dosis, sedangkan maksimum untuk dapat membunuh infeksi berat Gram (-) patogen: disarankan T> MIC lebih dari 70%, pemberian obat dengan cara infus kontinyu dimaksudkan untuk mempertahankan kadar tunak pada ≥ 50% sepanjang interval dosis (8-10 x MIC). Infus kontinyu Cefepime dapat dengan cara mengencerkan 3-4 gram cefepime dalam 1 L Dextrose 5% dan diberikan laju aliran konstan. Cefepime memiliki aktivitas antimikroba terhadap spektrum luas Gram (+) dan Gram (-) patogen, juga aktivitas anti pseudomonas. Sehubungan dengan hal tersebut di depan direkomendasikan sebagai monoterapi pada infeksi berat bila diduga Psudomonas aerugenosa terlibat, tetapi bila terbukti infeksi disebabkan Pseudomonas aerugenosa dianjurkan kombinasi, baik Aminoglycosida (Amikin) atau Quinolon (Cipro atau Levofloksasin).

Page 2 of 15 | Total Record : 142