cover
Contact Name
Choiria Anggraini
Contact Email
choiriaanggraini@telkomuniversity.ac.id
Phone
+6231-5678478
Journal Mail Official
nangkris@ukwms.ac.id
Editorial Address
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
KOMUNIKATIF
ISSN : 25976699     EISSN : 25976699     DOI : https://doi.org/10.33508/jk
Core Subject : Education, Social,
Komunikatif publishes article from selected topics in communication studies; those are media studies, public relation, and human communication.
Articles 138 Documents
The Relationship Between Mother’s Safety Competency and The Risk Perception in Sharenting Activities Birgitta Bestari Puspita; Paulus A Edvra
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v11i2.4080

Abstract

Social media has attracted many groups of society to use it for various goals. Some parents use it as digital gallery for their children’s photographs, which is now becomes common digital activity in Instagram. In the midst of Instagram popularity, there is risk, lurks children’s safety. The risk includes misuse of children’s images or even kidnapping threat. The activity of sharing online information about children by parents is known as ‘sharenting’, which is mostly practiced by mothers. By practicing ‘sharenting’, they might violate children’s privacy rights. To avoid this, parents' digital literacy skill is needed. Parents’ digital literacy may affect their skill in using digital media, including safety competency. Thus, this research aims to measure the relationship between mother’s safety competencies and risk perception of children’s privacy in ‘sharenting’ activities. The method for this research is web survey, using questionnaire to collect the data from 385 mothers who have children under 13 years old, in accordance with Instagram’s age restriction policy, who live in East Java. The results show that the safety competency factor only correlates 14.4% with the mothers' risk perceptions of children's privacy. Another factor of 85.6% is not seen in this study. The weak relation between mothers’ safety competency and their risk perception of child’s privacy in this research shows that there are many other factors that can be explored in the future research.ABSTRAK Media sosial menarik banyak kalangan masyarakat untuk menggunakannya dengan berbagai tujuan. Beberapa orang tua menggunakannya sebagai galeri digital untuk foto anak-anak mereka, yang sekarang menjadi aktivitas digital yang umum di Instagram. Di tengah popularitas Instagram, terdapat risiko yang mengintai keselamatan anak-anak. Risiko tersebut termasuk penyalahgunaan gambar anak-anak atau bahkan ancaman penculikan. Kegiatan berbagi informasi daring tentang anak oleh orang tua dikenal dengan istilah ‘sharenting’, yang paling banyak dilakukan oleh para ibu. Dengan mempraktikkan 'sharenting', mereka mungkin melanggar hak privasi anak-anak. Untuk menghindari hal tersebut, orang tua perlu memiliki keterampilan literasi digital. Literasi digital orang tua dapat memengaruhi keterampilan mereka dalam menggunakan media digital, termasuk kompetensi keamanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur hubungan antara kompetensi keamanan ibu dan persepsi risiko atas privasi anak dalam kegiatan 'sharnting'. Metode penelitian yang digunakan adalah survei web, dengan menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data dari 385 ibu yang memiliki anak di bawah 13 tahun, sesuai dengan kebijakan pembatasan usia Instagram, yang tinggal di Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kompetensi keamanan hanya berkorelasi 14,4% dengan persepsi risiko ibu terhadap privasi anak. Faktor lain sebesar 85,6% tidak terlihat dalam penelitian ini. Lemahnya hubungan antara kompetensi keselamatan ibu dan persepsi risiko mereka terhadap privasi anak dalam penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak faktor lain yang dapat dieksplorasi dalam penelitian selanjutnya. 
Jurnalisme Imersif dan Partisipasi Publik dalam Industri Media Clara Ariski Paramitha
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v11i2.4119

Abstract

This article aims to introduce the concept of immersive journalism as a new genre in digital journalism. Hierarchy of influence is used to understand the condition of immersive journalism in the media industry. This article describes the condition of digital journalism in Indonesia and the concept of immersive journalism using the literature review method. The results of the analysis show that the production, distribution, and consumption processes of news are influenced by internal and external media organizations. The public participation opportunity that has been created in digital journalism has the potential to sustain in immersive journalism. The audience can actively participate and have control over narrative construction. A series of challenges in the development of immersive journalism that have been identified include business potential, adaptation of supporting tools, narrative creation, and vulnerability to manipulation. The dilemmatic problems faced by media industry players will be even more complex if they apply immersive journalism: redefining with the audience the limits of participation, narrative framing, objectivity, and sensitive content.ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk memperkenalkan konsep jurnalisme imersif sebagai genre baru dalam jurnalisme digital. Teori hierarki pengaruh digunakan untuk memahami kondisi jurnalisme imersif dalam industri media. Tulisan ini memaparkan kondisi jurnalisme digital di Indonesia dan konsep jurnalisme imersif dengan menggunakan metode kajian literatur. Hasil analisis menunjukkan proses produksi, distribusi, hingga konsumsi berita dipengaruhi oleh internal dan eksternal organisasi media. Ruang partisipasi publik yang telah terbentuk dalam jurnalisme digital, memiliki potensi keberlanjutan dalam jurnalisme imersif ketika khalayak dapat berpartisipasi aktif dan memiliki kendali terhadap konstruksi narasi. Serangkaian tantangan dalam prengembangan jurnalisme imersif yang telah diidentifikasi antara lain potensi bisnis, adaptasi piranti penunjang, pembuatan narasi, dan kerentanan manipulasi. Permasalahan dilematis yang dihadapi pelaku industri media akan semakin kompleks jika menerapkan jurnalisme imersif: merumuskan kembali bersama khalayaknya batasan partisipasi, pembingkaian narasi, objektivitas, serta konten sensitif.
Pengungkapan Diri Mahasiswa pada Media Sosial Twitter (Studi Etnografi Virtual Akun Autobase @Collegemenfess) Aliyyah Aura Avdijan; Rumyeni Rumyeni
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v11i2.4250

Abstract

The phenomenon of anonymous self-disclosure on social media is currently increasingly found, one of which is on social media Twitter. The @collegemenfess Twitter account is an autobase account that is widely used as a medium for student self-disclosure, especially about college issues and campus life.The purpose of this study was to determine the form of areas and motives of self-disclosure and cyber culture formed on the autobase @collegemenfess account. The study used descriptive qualitative methods. The Data in this study were obtained through interviews with 5 informants and observations on communication activities in cyberspace Twitter account @collegemenfess. The results showed that there were two forms of johari Window area that occurred in the self-disclosure in the @collegemenfess account, which occurred in the open area and the blind area. Furthermore, it is known that there are five motives for users to do self-disclosure, the @collegemenfess account is anonymous, users are afraid to tell stories with others directly, to share information and experiences, to overcome problems and get a better understanding, and motivation and actualization. The study also found five levels of cyber culture formed, namely the first level of media space, where the @collegemenfess account uses Twitter as a medium. Second, the level of media documents, where the media documents in this account are the access, interaction, activities and responses from users. Third, the media object level, where the @collegemenfess account is used as a place to discuss such as exchanging stories and expressing yourself. Finally, the experience level, which is the reason the account owner created this account to provide a communication platform for students and user communication culture using an anonymous identity.ABSTRAK Fenomena pengungkapan diri secara anonim di media sosial saat ini semakin banyak ditemukan, salah satunya di media sosial Twitter. Akun Twitter @collegemenfess merupakan akun autobase yang banyak dijadikan sebagai media pengungkapan diri mahasiswa khususnya tentang masalah perkuliahan dan kehidupan kampus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk area dan motif pengungkapan diri serta budaya siber yang terbentuk pada akun autobase @collegemenfess. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara kepada 5 orang informan dan observasi pada aktivitas komunikasi di ruang siber akun Twitter @collegemenfess. Hasil penelitian menunjukkan ada dua bentuk area jendela johari yang terjadi pada pengungkapan diri di akun @collegemenfess, yaitu terjadi pada area terbuka dan area buta. Selanjutnya, diketahui terdapat lima motif pengguna melakukan pengungkapan diri yaitu, akun @collegemenfess bersifat anonim, pengguna takut bercerita dengan orang lain secara langsung, untuk berbagi informasi dan pengalaman, untuk mengatasi masalah dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik, serta motivasi dan aktualisasi diri. Penelitian ini juga menemukan lima level budaya siber yang terbentuk yaitu pertama level ruang media, dimana akun @collegemenfess menggunakan Twitter sebagai medium. Kedua, level dokumen media, dimana yang menjadi dokumen media dalam akun ini adalah menfess, interaksi, kegiatan dan tanggapan dari pengguna. Ketiga, level objek media, dimana akun @collegemenfess dijadikan sebagai tempat untuk berdiskusi seperti bertukar cerita dan mengekspresikan diri. Terakhir, level pengalaman, dimana alas an pemilik akun membuat akun ini untuk memberikan wadah komunikasi bagi mahasiswa dan budaya komunikasi pengguna menggunakan identitas anonim. 
Mengkaji Ulang Teori Kepanikan Moral dalam Situasi Kepanikan Moral Seksual di Era Digital Dina Listiorini
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v11i2.4306

Abstract

This paper further reviews the Moral Panic Theory/TKM (Moral Panics Theory). This theory departs from sociological concepts that see conflict in society that departs from an issue that is dichotomously divided on the grounds of good and bad, right and wrong morality and is considered to have the potential to threaten national security in the long term. There are several linear stages in TKM in early TKM models initiated by Cohen (1972) and developed more or less similarly by Hall et al. (1978). Then came the constructionist model which was heavily influenced by Blumer's thinking. Technological developments and shifting issues from social problems such as motorcycle gangs, mugging and drugs to more sensitive social issues such as sexuality cause the dynamics and complexity of TKM analysis. The concepts of power and the role of the media, for example. This paper describes the initial concepts in TKM and its development in a situation of changing issues, power and development of mass media technology, which in the end must adapt to the existing situation.ABSTRAKTulisan ini mengulas lebih lanjut mengenai Teori Kepanikan Moral/TKM (Moral Panics Theory). Teori ini berangkat dari konsep-konsep sosiologis yang melihat adanya konflik di masyarakat yang berangkat dari sebuah isu yang terbelah secara dikotomis dengan alasan moralitas baik-buruk, benar-salah dan dianggap berpotensi mengancam keamanan nasional dalam jangka panjang. Ada beberapa tahap linear dalam TKM pada model-model awal TKM yang diinisiasi oleh Cohen (1972) dan dikembangkan kurang lebih sama oleh Hall dkk (1978). Kemudian muncul model konstruksionis yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Blumer. Perkembangan teknologi dam pergeseran isu dari masalah sosial seperti geng motor, penjambretan dan drug ke masalah sosial yang lebih sensitif seperti seksualitas menyebabkan dinamika dan kompleksitas analisis pada TKM. Konsep-konsep kekuasan dan peran media, misalnya. Studi ini menjelaskan konsep-konsep awal dalam TKM dan perkembangannya dalam situasi perubahan isu, kekuasaan dan perkembangan teknologi media massa, yang pada akhirnya harus menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. 
Melihat Dunia dengan Simulakra (Mengkaji Baudrillard dan Masyarakat Konsumsi) Silviana Purwanti
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v11i2.4328

Abstract

This paper is a literature review that elaborates Baudrillard's thoughts on Simulacra in Consumption Society which can be used as a study in understanding the phenomenon of consumption society today and in the future. Basically, according to Baudrillard, consumption in its process can be analyzed in two basic perspectives, namely: as a process of meaning and communication based on rules (code), where consumption practices appear and receive their meaning. Here, consumption is a language-appropriate system of exchange. Second, as a process of social classification and differentiation, this time defines objects/signs not only as significant differences in one code, but as values (rules) that are appropriate in a hierarchy. Consumption can be the subject of strategic power-determining discourse here, especially in the distribution of values that follow rules (except in relation to other social signals: knowledge, power, culture, etc.). In other words, Baudrillard's theory is able to connect the dynamics of consumption society with self-actualization and social needs.ABSTRAKNaskah ini merupakan tinjauan literatur yang mengelaborasi pikiran Baudrillard tentang Simulakra dalam Masyarakat Konsumsi yang bisa digunakan sebagai kajian dalam memahami fenomena masyarakat konsumsi saat ini dan selanjutnya. Pada dasarnya menurut Baudrillard konsumsi dalam prosesnya dapat dianalisis dalam dua perspektif dasar, yaitu: sebagai proses pemaknaan dan komunikasi berdasarkan aturan (kode), di mana praktik konsumsi muncul dan menerima maknanya. Di sini, konsumsi adalah sistem pertukaran yang sesuai dengan bahasa. Kedua, sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial, kali ini menetapkan objek/tanda tidak hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode, tetapi sebagai nilai (aturan) yang sesuai dalam suatu hierarki. Konsumsi dapat menjadi subjek diskursus penentu kekuatan strategis di sini, terutama dalam distribusi nilai yang mengikuti aturan (kecuali dalam kaitannya dengan sinyal sosial lainnya: pengetahuan, kekuasaan, budaya, dll). Dengan kata lain teori Baudrillard mampu mengkoneksikan dinamika masyarakat konsumsi dengan aktualisasi diri dan kebutuhan sosial.
Retorika dan Power Relations: Strategi Restorasi Citra Kepolisian Republik Indonesia pada Kasus Ferdy Sambo Inri Inggrit Indrayani
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v11i2.4270

Abstract

This research aimed to identify Indonesian National Police (Polri) strategy in carrying out image restoration in the Ferdy Sambo case. The case of Ferdy Sambo attracted substantial public attention throughout the end of 2022 because it involved members of the National Police in criminal acts. This incident undermined the image and reputation of the National Police as a state apparatus whose function is to maintain security and order. Furthermore, the case of Ferdy Sambo has implications for a communication crisis along with reports in the media that involve many parties as sources so that it brings speculation on the image of the Police. A communication strategy to restore the image was required in crisis communication management, especially in the early period of the crisis in order to maintain the organization's reputation. This research used a qualitative approach with qualitative content analysis as the method. This study used William Benoit's strategy formulation as divided image restoration strategies into five categories: "Denial, Evading Responsibility, Reducing offensiveness of events, Corrective action, and Mortification". The findings showed that the Polri image restoration strategy at the beginning of the Ferdy Sambo case was reducing the offensiveness of the event which consisted of bolstering followed by corrective action, while the combination of strategies practice was bolstering, differentiation, compensation, and corrective action in the post-initial case. The image restoration strategy used in the clarification meeting with Commission III of the DPR RI was to assume the crisis as an accident, bolstering, corrective action and mortification. This study found another strategy in the data as the trait of the qualitative content analysis required interpretation, apart from the strategy described by Benoit, namely hierarchical power at the beginning of the crisis, authoritative support in the post-crisis beginning and continuous improvement in the clarification meeting with Commission III of the DPR RI. The organization's power relations with the public and stakeholders determine the rhetoric and various strategies in crisis communication.ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi Polri dalam melakukan restorasi citra pada kasus Ferdy Sambo. Kasus Ferdy Sambo menarik perhatian besar publik sepanjang akhir tahun 2022 karena melibatkan para anggota Polri dalam tindakan kriminalitas. Peristiwa ini meruntuhkan citra dan reputasi Polri sebagai aparat negara yang berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban. Selain itu, kasus Ferdy Sambo berimplikasi pada krisis komunikasi seiring dengan perberitaan-pemberitaan di media yang melibatkan banyak pihak sebagai narasumber sehingga membawa spekulasi pada citra Polri. Strategi komunikasi untuk merestorasi citra dibutuhkan dalam manajemen komunikasi krisis terutama pada periode awal krisis guna menjaga reputasi organisasi.  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif dengan metode analisis isi kualitatif. Penelitian ini menggunakan rumusan strategi William Benoit yang membagi strategi restorasi citra menjadi lima kategori: “Denial, Evading Responsibility, Reducing offensiveness of event, Corrective action dan Mortification”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi restorasi citra Polri pada awal kasus Ferdy Sambo ialah reducing offensiveness of event yang terdiri dari bolstering dan diikuti dengan corrective action sedangkan pada paska awal kasus, kombinasi strategi yang digunakan ialah bolstering, differentiation, compentation serta corrective action. Strategi restorasi citra yang digunakan dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI ialah melihat krisis sebagai kecelakaan, bolstering, corrective action dan mortification. Sebagaimana penelitian analisis isi kualitatif yang bersifat melakukan interpretasi data, peneliti menemukan strategi lain dalam data, di luar strategi yang dipaparkan Benoit yaitu hierarchical power pada awal krisis, authoritative support pada paska awal krisis serta continuous improvement dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI. Power relations organisasi dengan publik maupun stakeholder yang dihadapinya menentukan retorika dan variasi strategi dalam komunikasi krisis. 
“The Real Green” or Just Gimmick: The Implementation of Green Concept in Inagro’s Instagram Tangguh Okta Wibowo; Satya Candrasari; Davis Roganda Parlindungan; Heppy New Year Haloho
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v11i2.4253

Abstract

This research paper raises the issue of green marketing in content that usually has a figurative meaning or is also called an oxymoron because a green product is a product that is not produced through a fabrication process. However, this research explores if the product is indeed a product that comes from nature. In addition, this paper examines further the relationship between content publishing for a pro-environmental company, namely PT, Intidaya Agrolestari (Inagro), on its Instagram account @inagro.id. This research examines the application of green concept content on the @inagro.id account and its suitability with data in the field. The method used in this research is a virtual observation of the @inagro.id Instagram account, field observations, interviews, and documentation. The results show that if there are differences with previous research regarding green marketing, the company only used advertising to label its products as green products. With the help of a case study from Inagro, publishing content on the @inagro.id Instagram account is limited to only informing the products and services offered, including various facilities, atmosphere, and also nature-based educational packages. The implementation of the green concept has not been seen explicitly, even though the content has met the green criteria. Nevertheless, Inagro as a nature-based tourist destination has at least highlighted a green atmosphere and is not a gimmick. The content of the Instagram channel has been examined to determine whether it offers additional information through the Inagro case study, where the product being offered is one manufactured from nature. Images used to conceal products don't always serve to mislead the production process; instead, they encourage further discussion that isn't just centered on information about product for labeling green but also information that raising visitor awareness of concern for the environment.ABSTRAK Penelitian ini mengangkat isu green marketing dalam konten yang biasanya memiliki arti kiasan atau disebut juga oxymoron karena produk green merupakan produk yang tidak diproduksi melalui proses fabrikasi. Namun, penelitian ini mengeksplorasi jika produk dari perusahaan yang diteliti memang produk yang berasal dari alam. Selain itu, tulisan ini mengkaji lebih jauh hubungan antara penerbitan konten untuk perusahaan pro lingkungan yaitu PT Intidaya Agrolestari (Inagro), pada akun Instagram @inagro.id. Penelitian ini mengkaji penerapan konten konsep green pada akun @inagro.id dan kesesuaiannya dengan data di lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi virtual akun Instagram @inagro.id, observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan jika terdapat perbedaan dengan penelitian sebelumnya mengenai green marketing yang dimanfaatkan perusahaan hanya memanfaatkan periklanan untuk melabeli produknya sebagai produk green. Dengan melalui studi kasus dari Inagro, penerbitan konten di akun Instagram @inagro.id terbatas hanya menginformasikan produk dan jasa yang ditawarkan, termasuk beragam fasilitas, atmosfer, dan juga paket edukasi berbasis alam. Penerapan konsep green belum terlihat secara eksplisit, meskipun di dalam kontennya telah memenuhi kriteria green. Meskipun demikian, Inagro sebagai tempat wisata berbasis alam setidaknya telah menonjolkan atmosfer yang green dan bukan merupakan gimik. Melalui studi kasus Inagro, konten yang dianalisis di channel Instagram menunjukkan jika mengandung informasi lain dan mengajak pada diskusi mengenai green lebih lanjut. Produk yang dikemas melalui gambar tidak selalu gambar yang menipu proses pembuatannya, melainkan mengundang diskusi lebih lanjut, tidak semata-mata terfokus pada informasi yang mempromosikan hijau, tetapi informasi yang meningkatkan kesadaran akan kepedulian lingkungan bagi pengunjung.
Peran Media Lokal dalam Pencegahan Radikalisme Guna Mendukung Kerukunan Beragama di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Lestari Nurhajati; Xenia Angelica Wijayanto; Lamria Raya Fitriyani
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v11i2.4121

Abstract

Radicalism and terrorism are still common in Indonesia, so all parties have a common obligation to carry out prevention and countermeasures. Even the Press Council issued Press Council Regulation Number 01/Peraturan-DP/IV/2015 concerning Guidelines for Reporting on Terrorism on April 9, 2015. However, it is really not easy for the mass media to report and report on this issue in various situations and interests in Indonesia. Likewise for local media in East Nusa Tenggara (NTT). This study aims to find out how the role of local journalists in NTT is to perform their functions in preventing radicalism and supporting religious harmony in NTT Province. What obstacles they face in the field, as well as what kind of news construction they have to do in carrying out their duties. Mass media, terrorism and radicalism are theories that continue to develop in line with how the discourse of radicalism is inseparable from the role of mass media coverage in encouraging or inhibiting radicalization and existing acts of violence. The position of the media, both at the local, national and global levels, becomes very important in carrying out counter narration when there are efforts by parties who want to promote the idea of radicalism and terrorism in a region. This research will use the FGD method on 10 journalists from local media in NTT, as an effort to dig deeper into the real conditions in the field. However, nowadays with the strengthening of transnational radical groups, they are trying to do various ways to divide Indonesia, and it is very likely that it will be present in NTT as one of the heart of the province which has been considered very ideal in maintaining religious harmony.ABSTRAK Radikalisme  dan terorisme masih sering terjadi di Indonesia, sehingga semua pihak memiliki kewajiban bersama untuk melakukan pencegahan dan penanggulangannya.  Bahkan  Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015 tentang Pedoman Pemberitaan Terorisme pada 9 April 2015. Meski demikian sungguh tidak mudah untuk media massa melakukan peliputan dan pemberitaan isu ini dalam berbagai situasi dan kepentingan yang ada di Indonesia. Demikian juga bagi media-media lokal yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya peran jurnalis lokal di NTT untuk melakukan fungsinya dalam mencegah radikalisme dan mendukung kerukunan beragama di Provinsi NTT. Kendala apa saja yang mereka hadapi di lapangan, serta konstruksi pemberitaan seperti apa yang mereka harus lakukan dalam menjalankan tugasnya.  Media massa, terorisme  dan radikalisme menjadi teori yang terus berkembang sejalan dengan bagaimana wacana radikalisme  tidak terlepas dari peran liputan media massa dalam mendorong atau menghambat radikalisasi dan tindakan kekerasan yang ada. Posisi media baik di tingkat lokal, nasional maupun global, menjadi sangat penting dalam melakukan narasi balasan (counter narration) ketika ada upaya pihak-pihak yang ingin mempromosikan gagasan radikalisme dan terorisme di sebuah wilayah. Riset ini akan menggunakan metode FGD pada 10 jurnalis dari media-media lokal yang ada di NTT, sebagai upaya menggali lebih dalam kondisi riil yang ada di lapangan. Bagaimanapun juga saat ini dengan makin menguatnya kelompok radikal yang bersifat transnasional, mereka berupaya melakukan berbagai cara untuk memecah belah Indonesia, dan sangat mungkin akan hadir di NTT sebagai salah satu jantung provinsi yang selama ini dianggap sangat ideal dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Pendekatan Materialist untuk Studi Komunikasi Indonesia Holy Rafika Dhona
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 12, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v12i1.4641

Abstract

ABSTRACT This paper advocates for a materialist approach to studying communication in Indonesia. This paper questions the communication/media study approach in Indonesia, which only has two approaches when looking at the ontological reality of communication: message transmission or meaning production. This paper explains that these two approaches are not absolute truths. Both of these approaches are historical products and have contributed to the stagnation of communication studies, so an alternative approach, such as a materialist approach, is needed in communication studies. This paper then describes some of the initial ideas of the materialist approach which defines communication as the circulation of people, ideas, information and capital. Furthermore, this paper also shows the development of this approach in several regions such as Europe and North America, where communication studies are understood as studies of material realities that are neglected as objects of communication studies by the message transmission process approach and the meaning production approach. This paper then outlines several alternative syntheses for developing approaches in communication studies in Indonesia, including alternative fields proposed by North American scholars namely; political economy, technological infrastructure, space, body and discourse. As a recommendation, this paper calls on Indonesian communication scholars to discuss and practice a materialist approach so that their studies will not only be limited to issues of media content, meaning, or media-centric things.ABSTRAKTulisan ini adalah upaya mengadvokasi pendekatan materialist dalam studi komunikasi di Indonesia. Untuk mengusulkan pendekatan ini, tulisan ini mempersoalkan pendekatan studi komunikasi/media di Indonesia yang hanya memiliki dua pendekatan ketika melihat realitas ontologis komunikasi; sebagai proses transmisi pesan atau sebagai proses produksi makna. Tulisan ini menjelaskan bahwa dua pendekatan ini bukan kebenaran absolut. Kedua pendekatan tersebut merupakan produk sejarah dan turut menjadi penyebab studi komunikasi berada dalam stagnansi, sehingga dibutuhkan pendekatan alternatif dalam studi komunikasi seperti pendekatan materialist. Tulisan ini kemudian menjelaskan beberapa gagasan awal pendekatan materialist yang mendefinisikan komunikasi sebagai sirkulasi orang, ide, informasi dan modal/kapital. Lebih jauh, tulisan ini juga menjelaskan perkembangan pendekatan ini di beberapa wilayah seperti Eropa dan Amerika Utara, dimana studi komunikasi dipahami sebagai studi atas realitas material yang tidak dianggap sebagai objek studi komunikasi oleh pendekatan proses transmisi pesan dan pendekatan produksi pemaknaan yang berfokus pada realitas simbolik/virtual. Tulisan ini kemudian menguraikan beberapa sintesis alternatif untuk perkembangan pendekatan dalam studi komunikasi di Indonesia termasuk di antaranya alternatif bidang yang diusulkan oleh para sarjana Amerika Utara yakni; ekonomi politik, infrastruktur teknologi, ruang, tubuh dan wacana. Sebagai rekomendasi, tulisan ini memanggil para sarjana komunikasi Indonesia untuk mendiskusikan dan mempraktikkan pendekatan materialist sehingga studi mereka tidak hanya akan terbatasi pada masalah pesan, makna atau pembahasan yang terfokus pada media.
Komunikasi Interpersonal Termediasi Pekerja Laki-Laki Pengguna Badoo: Resiprokal dan Tak Terburu-buru Yessica Suyanto; Achmad Supardi
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol 12, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v12i1.4657

Abstract

 ABSTRACTCultural pressure to marry soon is not only experienced by women but also by men. Working adult men are under more intense pressure because they are considered mature, well-established, and culturally positioned as carriers of family/surname names. Amid the pressure of limited time and the perception of higher risk in offline communication, more and more people are using online dating applications to initiate interpersonal communication in search of partners, one of which is Badoo. Using a phenomenological research design with main data from interviews and documentation of informant conversations in Badoo, this study identified the characteristics of interpersonal communication among male workers in Bekasi: driven by practicality, prioritizing privacy, highly determined by reciprocity, and preferring medium pace of communication. The purpose of their interpersonal communication is mainly to find friends to then be chosen as partners. Communication through online dating applications was chosen because it is considered practical, protects privacy, and is better at neutralizing psychological barriers such as shame and self-doubt. Communication via Badoo functions as a starting point for building chemistry before moving on to offline relationships. As a means of first assessment and screening, interpersonal communication that occurs at Badoo can be interrogative. The informants used reciprocity as an indicator as well as a variable for the effectiveness of interpersonal communication.ABSTRAKTekanan kultural untuk segera menikah bukan hanya dialami perempuan, namun juga laki-laki. Bahkan, laki-laki dewasa yang sudah bekerja mendapat tekanan yang lebih intensif karena mereka dianggap matang, mapan, dan secara kultural diposisikan sebagai pembawa nama keluarga/marga. Di tengah himpitan waktu yang terbatas dan persepsi risiko yang lebih tinggi dalam komunikasi luring, makin banyak orang yang menggunakan aplikasi kencan daring untuk memulai komunikasi interpersonal guna mencari pasangan, salah satunya Badoo. Menggunakan desain penelitian fenomenologi dengan data utama wawancara dan dokumentasi percakapan informan di aplikasi Badoo, penelitian ini mengidentifikasi empat karakteristik komunikasi interpersonal para pekerja laki-laki di Bekasi: didorong oleh kepraktisan, mengedepankan privasi, sangat diwarnai oleh sikap timbal balik, dan lebih menyukai kecepatan komunikasi sedang. Tujuan komunikasi interpersonal mereka terutama mencari teman untuk kemudian yang terpilih menjadi pasangan. Komunikasi melalui aplikasi kencan daring dipilih karena dinilai praktis, melindungi privasi, dan bisa meruntuhkan hambatan psikologis seperti rasa malu dan tidak percaya diri. Komunikasi melalui Badoo difungsikan sebagai titik awal membangun chemistry sebelum berlanjut ke hubungan luring. Sebagai sebuah sarana penjajagan pertama kali dan skrining, komunikasi interpersonal yang terjadi di Badoo bisa bersifat interogatif. Informan menjadikan sikap timbal balik sebagai indikator sekaligus variabel efektivitas komunikasi interpersonal..